Sunday, May 26, 2019

ULASAN: ALADDIN



Sejak kemunculan live action Maleficent (2014) lalu disusul oleh Cinderella (2015) Disney makin rajin memproduksi film-film live action sekaligus remake dari film-film animasinya sendiri. Selain dua film diatas juga ada The Jungle Book (2016), Beauty and The Beast (2017), Christopher Robin (2108) dan Dumbo (2019) yang tayang bulan Maret yang lalu. Meskipun semua hasilnya tidak berakhir posistif, tetapi kita semua sebagai penonton setuju bahwa sebelum menonton memasang ekspetasi positif akan hasil film, terlebih setelah melihat trailer-trailernya sangat mejanjikan hal itu. Tetapi malang untuk Aladdin, versi live action ini sudah mendapat nada skeptis sejak masa produksinya dikarenakan versi animasinya sudah terlalu sempurna untuk diremake. Diumumkannnya nama Will Smith yang akan mengisi peran Genie yang dulu versi animasinya diisi dengan sangat hidup oleh mendiang Robin Williams semakin menguatkan nada skeptis itu. Ditunjuknya Guy Ritchie (Sherlock Holmes, Snatch) juga tidak mampu meredam nada skeptis yang cukup kencang. Satu-satunya  untuk membuktikannya adalah menonton filmnya sendiri secara langsung. Lalu apakah benar film ini gagal seperti yang sudah ramai diprediksikan ? 


Sempat kesulitan mencari pemain yang pas dengan wajah Asia Timur untuk memerankan karakter-karakter utama live action Aladdin ini yang membuat tertundanya proses produksi. Sampai akhirnya terpilihlah Mena Massoud (Run This Town, Jack Ryan TV Series) sebagai Aladdin dan Naomi Scott (Power Rangers, The Martian) sebagai Princess Jasmine. Lalu seperti yang kita tahu Will Smith (Men in Black, Bad Boys) memerankan Genie dan Marwan Kenzari (Ben-Hur, The Mummy) sebagai Jafar.


Untuk plot cerita tidak ada banyak berubah dari cerita original dongeng dari 'Negeri 1001 Malam' versi animasinya yang tayang tahun 1992 ini. Di negeri kerajaan bernama Agrabah hiduplah seorang pemuda yatim piatu yang untuk menafkahi dirinya sendiri dengan menjadi pencuri. Seorang pencuri yang hanya mencuri sesuai kebutuhannya saja yang ditemani oleh monyet kesetiannya bernama Abu. Secara tidak sengaja Aladdin bertemu dan menyelamatkan putri raja bernama Jasmine yang menyamar ditengah-tengah rakyatnya yang sedang mengalami masa-masa sulit. Dari sanalah perkenalan Aladdin dengan sang putri yang akhirnya membawa Aladdin ke istana.


Tanpa sepengetahuan dirinya, Aladdin ternyata sedang diawasi oleh Jafar sang penasihat raja yang sangat terobsesi dengan kekuasaan. Jafar membutuhkan seseorang yang bisa membantunya mengambil sebuah lampu ajaib yang berisi seorang jin yang bisa mengabulkan 3 permintaan apa saja. Dimanfaatkan dengan iming-iming harta, Aladdin menerima tawaran Jafar untuk mengambil lampu wasiat yang terdapat dalam gua misterius. Hanya butuh waktu yang tidak lama pada akhirnya Aladdin mengetahui hanya dimanfaatkan oleh Jafar. Dan pada sebuah kejadian dramatis, Aladdin justru orang yang beruntung yang memiliki lampu ajaib yang memperkenalkannya dengan jin nyentrik bernama Genie. Dengan bantuan Genie, Aladdin bertekad mendapatkan cinta putri Jasmine sekaligus secara tidak langsung terlibat dalam perseteruan Jafar di istana.


Hal positif yang didapatkan ketika kita sudah skeptis dengan sebuah film sebelum ditonton adalah tidak adanya ekspetasi berlebih. Mungkin karena dipengaruhi hal itu impressi awal saya di 30 menit pertama saya sudah bisa berpendapat saya akan bisa menikmati film ini sampai akhir. Dan hal itu terbukti. Ditampilkan dengan penuh warna kita akan diperkenalkan pada latar belakang hero kita dengan cara yang padat lewat sebuah adegan musikal. Lalu beralih pada karakter-karakter lainnya dari Putri Jasmine dengan konfliknya yang mendapat pinangan demi pinangan dari kerajaan lain yang tidak pernah pilihan hatinya. Bisa dibilang dua karakter utama yang diperankan oleh Mena Massoud dan Naomi Scott berjalan dengan semestinya. 


Yang paling ditunggu-tunggu adalah semua penonton tentu saja Genie. Apakah Will Smith mampu memerankan karakter Jin esentrik itu dengan baik ? Percayalah, kekhawatiran itu perlahan sirna bagaimana dengan energiknya Will Smith memainkan karakternya. Tanpa harus berusaha keras menyamai Robin Williams, Will Smith bisa menampilkan Genie versinya sendiri tetapi masih dengan benang merah yang sama dengan versi Robin Williams. Genie versi Will Smith yang awalnya dikira akan menjadi titik lemah malah justru menjadi salah satu titik kuat cerita film ini. Kemunculan Genie makin menyemarakan isi cerita. Jadi jika diurutkan dari peforma terbaik dari semua cast Aladdin, maka Will Smit berada pada posisi teratas.


Dengan cerita yang tidak banyak berubah Aladdin akan tetap menghibur penggemar setia versi animasinya. Jika ada yang terasa meganggu adalah bagian ending yang terlihat sedikit memaksakan menyampaikan pesan kesamataraannya. Iya pesan yang ingin disampaikan cukup baik, hanya hanya terasa kurang pas yang seperti menyampingkan karakter Aladdin itu sendiri. Dan a hal lagi,  kamu adalah penggemar sutradara Guy Ritchie, jangan harap kamu akan merasakan rasa film sang sutradara seperti film-film dia sebelumnya. Bisa dibilang adalah Aladdin adalah film Guy Ritchie yang tidak Guy Ritchie sama sekali.


Overall: 8/10

(By Zul Guci)

Friday, May 24, 2019

ULASAN: JOHN WICK "CHAPTER 3: PARABELLUM"



Melanjutkan kisah di film sebelumnya, John Wick kini harus menjadi buronan dengan bayaran terbuka senilai 14 juta dollar untuk nyawanya setelah High Table menetapkan status “Excommunicado” atas dirinya. Sebagai pengingat di film sebelumnya status tersebut diperolehnya akibat membunuh Santino D'Antonio di Hotel Continental, yang menurut aturan merupakan area netral dan tidak boleh ada pertumpahan darah yang terjadi di tempat tersebut. Winston, sang manajer Hotel Continental menunda memberitahu pengumuman “Excommunicado” selama 1 jam untuk memberi John keuntungan lebih awal. Dengan kemungkinan selamat yang hampir mustahil dan akses terhadap bantuan di Hotel Continental yang kini sudah dilucuti akankah John Wick mampu membalikkan situasi dan lolos lagi dari maut dari para pembunuh bayaran yang sedang memburunya? Ekspektasi untuk film ketiga ini amat besar mengingat popularitas film ini yang cukup tinggi. Fans menantikan bakal segila dan sekeren apa aksi John Wick di film ketiganya kali ini. Film bergenre Neo Noir Action Thriller garapan Sutradara Chad Stahelski ini terbilang sukses dan stabil dari cerita dan aksi yang ditampilkan, Chad tampaknya sangat paham keinginan penonton dan sanggup menyajikannya dengan detail dan kualitas yang memuaskan di setiap filmnya.



Wajah-wajah lama di film sebelumnya tampil kembali menghiasi film ketiga ini, Keanu Reeves tetap melanjutkan perannya sebagai John Wick, Ian McShane dan Laurence Fishburne juga kembali sebagai Winston, sang manajer Hotel Continental dan Bowery King. Tidak lupa Charon (Lance Reddick) sang Concierge di hotel Continental. Di Film ketiga ini juga muncul beberapa karakter baru yang dibintangi aktor/ artis kawakan, di antaranya ada Sofia (Halle Berry) yang merupakan partner lama dari John, The Director (Anjelica Huston) yang berstatus sebagai “protector” John, dan ada “Sang Adjudicator” (Asia Kate Dillon) yang misterius. Tidak ketinggalan aktor laga veteran Mark Dacascos tampil sebagai penjahat utama di sini. Yang mungkin spesial bagi para penonton khususnya Indonesia adalah kemunculan Yayan Ruhiyan dan Cecep Arif Rahman yang walaupun perannya minor namun sudah kita lihat banyak bersliweran di film aksi berkat film The Raid. Dari sisi karakter, yang paling mencuri perhatian kali ini adalah Halle Berry lewat aksi comebacknya sebagai assassin (pembunuh bayaran) dengan 2 anjing german shepherd yang luar biasa keren. Anjelica Huston sebagai The Director tampil kharismatik sebagai seorang pemilik teater pertunjukan balet yang menjadi penolong John di film ini. Di film ketiga ini Ian McShane dan Charon memiliki screen time cukup banyak karena Hotel Continental berperan krusial pada bagian akhir film ini. Dari segi eksplorasi karakter, Keanu sebagai John masih tampak kaku dan satu-satunya yang membuat kita terhubung dengannya adalah status bahaya dan terdesaknya dia kali ini namun dari segi aksi tidak bisa dipungkiri di situlah kepiawaian dia. Asia Kate Dillon tampil layaknya sosok hakim yang tegas namun cukup membuat kita penasaran, dia menyelidiki orang-orang yang memberi bantuan yang dilabel ilegal terhadap John Wick dan memberi ganjaran yang setimpal. Sementara dari sisi karakter antagonis, Mark Dacascos terasa kurang sebagai villain utama, jika saja karakternya diberi eksplorasi background lewat flashback mungkin akan lebih berkesan. Ada baiknya menonton film kedua untuk mengingat beberapa karakter di sini dan apa yang mereka lakukan agar tidak bingung ketika menonton.



John Wick sejatinya adalah film aksi yang mengusung konsep gun-fu, suatu teknik memadukan aksi tembak menembak dengan bela diri kungfu, dari segi cerita tidak ada sesuatu yang istimewa karena masih seputar aksi balas dendam seorang mantan pembunuh bayaran yang terpaksa kembali ke dunia lamanya. Premis yang sudah umum kita temui di film bertema sejenis. Tapi John Wick muncul sebagai film aksi yang outstanding dengan latar belakang dunia pembunuh bayaran yang detail dan penuh warna dan intrik. John Wick disukai karena tiga hal, pertama karakter John Wick sebagai sosok antihero mantan pembunuh bayaran yang badass, kedua dunia assassin yang dibangun dalam film John Wick sangat detail dan memiliki konsep mitologi yang misterius dan keren, ketiga aksi tembak-tembakan yang brutal dan keren. Nampak bahwa di film ketiga ini ekploitasi terhadap unsur aksi dilakukan secara habis-habisan.



Dari sejak awal film dimulai hingga selesai film ini tidak membuang waktu untuk membuat penonton santai, kita langsung dibombardir dengan banyak aksi yang memacu adrenalin, hal tersebut sudah terihat dari sejak film dimulai. Film ini banyak memiliki momen-momen aksi keren yang terjadi di beberapa lokasi yang sudah ditampilkan di trailernya. Adegan kejar-kejaran dengan motor di mana John Wick melawan para assassin yang mengejarnya dengan katana, adegan John Wick bahu-membahu dengan Sofia dalam menumpas para assassin di Maroko, aksi yang dilakukan Sofia bersama para anjingnya adalah suatu yang tidak boleh dilewatkan dalam film ini. Untuk adegan klimaks film ini yang terjadi di Hotel Continental di mana John Wick bertempur habis-habisan melawan para assassin dieksekusi dengan sangat baik dan tetap menjaga ritme aksi yang sudah terbangun dari awal. Khusus untuk penonton Indonesia dijamin akan terhibur dan bangga dengan penampilan Yayan Ruhiyan, Cecep Arif Rahman, dan Keanu Reeves bisa tampil satu layar dan akan ada kejutan manis di adegan tersebut. Di film ini pun kadang diselipkan komedi satir, hal ini mungkin untuk memberi penonton jeda sejenak dari aksi brutal yang akan berlanjut yang cukup berhasil dan tidak merusak keseruan film ini. Teknik koreografi bela diri di film ini adalah suatu hal yang pantas mendapat pujian luar biasa karena terlihat indah dan meyakinkan apalagi karena teknik kamera close up yang digunakan membuat setiap sesi perkelahian terasa real begitu juga dengan adegan tembak menembak yang tergolong cukup sadis dan brutal berhasil ditampilkan dengan maksimal. Teknik pencahayaan juga digarap optimal sehingga walaupun dalam adegan yang lingkungan sekitarnya gelap, semua pergerakan para aktornya tetap dapat disaksikan dengan jelas. Pengalaman sang sutradara, Chad Stahelsky yang dulunya merupakan Stunt Coordinator nampaknya sangat membantunya dalam mewujudkan aspek aksi di film ini sebagai suatu hal yang sangat outstanding.



Dunia assassin yang menjadi latar universe John Wick berada nampak digarap dengan sangat detail, ini terlihat dari aturan-aturan yang dipaparkan sepanjang film pertama, mata uang yang digunakan, dan unsur-unsur religius lainnya. Hal ini nampaknya digarap dengan hati-hati karena tidak semuanya dibuka agar tetap menyisakan rasa penasaran untuk para penonton. Proses pengungkapan satu-persatu hal dan orang yang terkait dengan High Table merupakan langkah yang cerdas dan tepat, satu sisi ada efek kejutan sementara di sisi lain penonton semakin dibuat ingin tahu lebih banyak. Ini seperti kata pepatah lama dalam dunia perfilman suatu rahasia akan menarik jika tidak dibuka seluruhnya karena jika diungkap semuanya di mana nanti letak keseruannya. Terbukti formula ini berhasil hingga membuahkan film ketiga. Film ini hanya berfokus menceritakan aksi John Wick dan tidak membuat subplot yang tidak perlu sehingga momentum film ini terjaga dengan baik dari awal hingga akhir.



Film ini memiliki pesan kuat soal sebab dan akibat dari tindakan yang diambil serta menyampaikan pesan moral soal apa warisan yang akan kita tinggalkan setelah tiada juga mejadi sesuatu yang menggema dan menjadi dilema moral bagi sang tokoh utama sekaligus pengingat bagi kita apakah kita tetap berpegang pada integritas kita, kesetiaan atau kepada kebenaran. John Wick benar-benar menetapkan standar tinggi yang sukar dilampaui film aksi lainnya karena film ini memang sangat keren. Belum tersiar kabar bahwa akan ada film sekuelnya lagi setelah sekuel ketiga, nampaknya masih menunggu performa di Box Office. Universe John Wick sendiri nampaknya akan makin meluas karena serial TV nya berjudul The Continental sedang dalam proses produksi dan akan disiarkan di Channel Starz, juga ada rencana Film Spin off berjudul Ballerina dan bahkan ada rumor bahwa bisa saja film crossover John Wick dan Atomic Blonde diwujudkan mengingat sutradaranya sama-sama terlibat dalam film pertama. Melihat berbagai hal tersebut nampaknya petualangan John Wick masih jauh dari kata berakhir.


Overall: 8/10 

(By Camy Surjadi)



Monday, May 6, 2019

ULASAN: LONG SHOT





Pernahkah terpikir bahwa seseorang yang anda sukai sewaktu masih kecil bisa bertemu lagi dan memiliki kesempatan kedua untuk melanjutkan kisah cinta yang dulu tertunda? Kira-kira demikian premise kisah cinta yang ingin dibawakan dalam film ini. Film Long Shot bergenre komedi romantis dan disutradarai Jonathan Levine, yang kita kenal lewat film Warm Bodies dan The Night Before, yang sudah sering bekerja sama dengan Seth Rogen dalam beberapa filmnya.



Film Long Shot bercerita mengenai seorang jurnalis Fred Flarsky (Seth Rogen) yang agak nekat dan urakan serta gemar membuat tulisan kritik yang berani yang karena suatu kesempatan mempertemukannya dengan Charlotte Field (Charlize Theron), mantan pengasuh sekaligus ‘love crush’ masa kecilnya. Namun wanita tersebut sekarang berstatus sebagai wanita paling berpengaruh di dunia terlebih karena ia sedang mencalonkan diri menjadi presiden selepas jabatannya sebagai Menterl Luar Negeri AS. Alkisah Fred mengundurkan diri dari kantor tabloid tempat dia bekerja karena diakuisi oleh perusahaan media yang selama ini dia kritik, sementara di tempat terpisah Charlotte sedang menghadap presiden untuk meminta dukungan pencalonannya sebagai calon presiden. Fred yang sedang jobless datang ke temannya Lance (O’Shea Jackson Jr.) untuk mencari dukungan dan penghiburan. Merasa simpati Lance berusaha menghiburnya dengan mengajaknya ke sebuah acara pesta di mana Fred tertarik karena ada Boyz II Men yang tampil. Nasib mempertemukan Fred dan Charlotte, setelah melewati serangkaian kejadian yang terbilang kocak, Charlotte meminta Fred untuk menjadi penulis pidatonya guna keperluan kampanye karena backgroundnya sebagai jurnalis. Akankah Fred memiliki kesempatan untuk menyatakan cintanya kepada Charlotte terlepas dari posisi dan status mereka sekarang?



Film ini dibintangi dua aktor kawakan sebagai bintang utama yaitu Seth Rogen dan Charlize Theron yang tidak perlu diragukan lagi kualitas aktingnya. Seth Rogen tampil meyakinkan sebagai Fred Flarsky, dengan gayanya yang urakan dan cuek namun berhati baik dan memiliki integritas tinggi terhadap pekerjaan dan pandangan hidupnya. Sementara Charlize Theron betul-betul tampil mengesankan di film ini sebagai Charlotte Field, dia benar-benar menampilkan sosok wanita kuat, dominan, anggun dan berjiwa pemimpin. Memang Charlize Theron adalah pilihan yang sangat tepat untuk peran semacam ini. Kita tahu dia seorang aktris multitalenta yang mampu memerankan peran apa saja. O’Shea Jackson Jr. Yang berperan sebagai Lance, teman dari Fred juga cukup mencuri perhatian lewat dialog dan guyonannya yang khas, lucu namun mengena di setiap situasi. June Diane Raphael juga cukup mengesankan sebagai Maggie, asisten Charlotte yang jutek dan awalnya antipati terhadap Fred. Penampilan setiap cast sesuai porsinya baik kedua pemeran utama maupun para pemeran pendukung, dan baik karakter Fred maupun Charlotte benar-benar dieksplorasi dengan cukup mendalam, Chemistry di antara mereka berdua ditampilkan dengan sangat baik. Mungkin hanya Tom (Ravi Patel) yang kurang mendapat pengembangan karakter dan boleh terbilang minor di sepanjang film. Terdapat kejutan juga dari Alexander SkarsgĂ„rd yang tampil sebagai PM Kanada



Cerita film ini pada dasarnya adalah mengenai kisah cinta tapi yang membuat menarik adalah di dalamnya terdapat unsur politik dan berbagai isu kekinian yang dibawakan dengan cerdas dan tepat sasaran, “it really hits you on the sweet spot” istilahnya. Film ini menyajikan kisah cinta romantis tapi dengan cara yang kreatif. Alih-alih membosankan, karena kita tahu politik adalah hal yang serius dan materi yang cukup berat, film ini berhasil mengubah pandangan itu. Ramuan ceritanya pas dan tidak terlalu rumit membuat penonton akan terhibur ketika menontonnya. Cara penyampaian ceritanya menarik dan sama sekali tidak terduga, di dalamnya juga terdapat twist yang membuat kita bertanya-tanya akan bagaimana ending film ini. Peletakan konfliknya sangat bagus dan tepat, pembangunan alur cerita mulai dari introduksi, klimaks, dan konklusi diekseskusi dengan rapi dan baik.



Film ini merupakan tipikal komedi cerdas karena mampu mengemas cerita kisah cinta yang kita sudah terbiasa saksikan namun dibalut dengan tema politis dan isu gender yang kental namun tetap dapat dinikmati tanpa beban pikiran yang berat. Sepanjang film kita akan disuguhkan topik- topik seperti woman empowerment, isu sexist dan gender terhadap wanita, isu pengendalian media, konglomerasi media dalam pemerintahan di US, masalah dukungan suara dan kampanye, isu lingkungan hidup, persepsi negatif terhadap kaum oposisi, dan skandal yang sering menjadi bahan gunjingan untuk menjatuhkan lawan politik dalam perebutan kekuasaan. Semua isu tersebut diramu dengan pas dan tidak tumpang tindih satu sama lain serta tidak mengaburkan alur cerita utama dari film ini. Jokes-jokes yang ditampilkan juga bisa dibilang adalah jokes yang jujur dan lebih membuat kita merefleksikan dengan apa yang sering kita alami di dunia nyata. Sebagian besar jokesnya termasuk jokes nyeleneh khas Seth Rogen yang cukup frontal dan ada juga yang mengambil referensi pop culture seperti Marvel Avengers maupun Game Of Thrones.


Film ini memiliki pesan moral yang baik soal integritas yang harus dimiliki seseorang terlepas di manapun dia bekerja dan jabatan yang dia emban, juga soal jujur terhadap diri sendiri dan terhadap cinta kepada pasangan. Hal ini tergambar jelas lewat konflik yang terjadi di sepanjang cerita film ini. Konklusi film ini juga cukup memuaskan walau agak nyeleneh tapi sangat dapat diterima. Keberadaan film ini seakan menjadi oase di tengah-tengah film remake maupun superhero yang tengah mendominasi layar bioskop.


Overall : 8,5/10

(By Camy Surjadi)