Showing posts with label Ulasan. Show all posts
Showing posts with label Ulasan. Show all posts

Saturday, September 13, 2025

PREKUEL FILM ALI & RATU RATU QUEENS HADIR SEBAGAI SERIAL NETFLIX INDONESIA TERBARU



Netflix resmi meluncurkan Ratu Ratu Queens: The Series pada 12 September 2025, dengan konferensi pers yang digelar di Jakarta bersama para pemeran utama Nirina Zubir, Tika Panggabean, Happy Salma, dan Asri Welas. Serial ini diproduksi bersama Palari Films dengan Muhammad Zaidy (Eddy) sebagai showrunner, sutradara Lucky Kuswandi, serta penulis naskah Andri Cung. Mengambil latar delapan tahun sebelum film Ali & Ratu Ratu Queens (2021), cerita menyoroti kehidupan empat perempuan imigran asal Indonesia yang berusaha membangun kehidupan baru di Queens, New York.

Eddy menjelaskan bahwa ide awal proyek ini sebenarnya adalah membuat serial lebih dulu sebelum film Ali & Ratu Ratu Queens. Namun, pada saat itu mereka memutuskan untuk merilis filmnya terlebih dahulu. Setelah kesuksesan film di Netflix, banyak penonton yang penasaran dengan kisah keempat karakter tersebut. Hal inilah yang mendorong tim kreatif untuk kembali ke ide awal, mengeksplorasi lebih dalam kehidupan para perempuan diaspora Indonesia berusia 30–40 tahun yang jarang diceritakan di layar.

Sutradara Lucky Kuswandi menekankan bahwa kekuatan utama serial ini ada pada keberagaman karakter dan perjalanan emosional mereka. Ia mencontohkan, Chinta yang dalam film tampak tenang, di serial ini masih berjuang dengan pergolakan batin, sementara Ance ditampilkan lebih keras dengan latar belakang yang baru diungkap. Bagi penulis Andri Cung, keterlibatan dalam proyek ini sangat istimewa karena ia sendiri pernah menjadi diaspora dan banyak bertemu perempuan dengan kisah serupa. Riset langsung ke New York juga dilakukan untuk memastikan cerita tetap autentik.

Para pemeran pun berbagi pengalaman mereka. Nirina Zubir merasa beruntung bisa terlibat dalam cerita yang menggambarkan perempuan dewasa dengan segala problematikanya. Ia mengaitkan perannya dengan pengalamannya sendiri sebagai diaspora sejak kecil. Tika Panggabean menyebut karakternya sebagai ibu tunggal yang tegas namun penuh kasih. Sementara itu, Happy Salma memuji kekuatan perspektif perempuan dalam cerita ini, dan Asri Welas menyebut tokoh Biyah yang diperankannya sebagai sosok cuek namun merefleksikan kerasnya kehidupan imigran di New York.

Ratu Ratu Queens: The Series menghadirkan kisah persahabatan, perjuangan, dan kegigihan perempuan dalam balutan drama serta komedi yang menyentuh hati. Serial ini diharapkan dapat menghubungkan penonton, baik di Indonesia maupun dunia, dengan kisah diaspora yang penuh emosi dan relevansi. Eddy menutup konferensi pers dengan harapan agar penonton dapat merasa terhibur sekaligus tersentuh oleh perjalanan para karakter. Serial ini kini sudah bisa disaksikan eksklusif di Netflix.

Tuesday, September 9, 2025

REVIEW HIGHEST 2 LOWEST: REMAKE KARYA AKIRA KUROSAWA DENGAN VERSI STYLISH DI APPLE TV+

 


Sinopsis Highest 2 Lowest

Highest 2 Lowest atau disingkat H2L adalah kolaborasi ketiga antara sutradara Spike Lee dan aktor legendaris Denzel Washington, setelah Malcolm X dan He Got Game. Film ini merupakan remake dari karya klasik Akira Kurosawa High & Low, namun dengan sentuhan kekinian khas Spike Lee.

Cerita berfokus pada King (Denzel Washington), seorang petinggi label rekaman sukses. Suatu hari ia menerima kabar bahwa anaknya diculik. Namun setelah ditelusuri, yang diculik ternyata adalah anak sahabatnya, Paul (Jeffrey Wright), yang kebetulan mengenakan aksesori milik anak King. Meski salah sasaran, penculik tetap menuntut tebusan. King pun dihadapkan pada dilema: menyelamatkan anak sahabatnya atau melindungi karier dan reputasinya sendiri.

Sentuhan Spike Lee yang Kekinian

Spike Lee menghadirkan remake ini bukan sekadar menyalin isu kelas dari versi Kurosawa. Ia justru membawa tema baru tentang budaya Black Lives, mannerism, hingga pengaruh sosial media dan cancel culture. Nuansa hip-hop terasa kuat lewat hadirnya ikon musik seperti A$AP Rocky dan Ice Spice, bahkan ada beberapa adegan yang disusun ala video klip. Meski bagi sebagian penonton bisa terasa canggung, gimmick ini memberi warna unik yang membedakan H2L dari remake kebanyakan.

Kekuatan Teknis dan Musik

Scoring musik menjadi salah satu elemen paling menonjol. Spike Lee berani bermain dengan kontras: musik non-diegetic yang intens tiba-tiba berpindah ke musik live band (diegetic). Perpaduan ini membuat film berdurasi panjang tetap terasa dinamis dan tidak membosankan. Salah satu contohnya adalah adegan pengejaran ransel berisi uang yang berubah ritmenya lewat transisi musik latin.

Kelebihan Highest 2 Lowest

  • Interpretasi segar dari film klasik Kurosawa

  • Chemistry solid antara Denzel Washington dan Jeffrey Wright

  • Nuansa hip-hop yang jarang terlihat di genre crime-thriller

  • Musik dan scoring yang kreatif serta menghidupkan suasana

Kekurangan Highest 2 Lowest

  • Motivasi karakter utama (King) terasa kurang kuat, sehingga dilema awalnya agak melemahkan emotional impact

  • Elemen video klip bisa terasa awkward bagi sebagian penonton

  • Ceritanya masih segmented, tidak semua audiens akan nyambung dengan subteks budaya yang diangkat

Penampilan Aktor

Selain penampilan prima Denzel Washington, Jeffrey Wright hadir sebagai Paul dengan kualitas akting solid, mengingatkan kita pada kolaborasi mereka di The Manchurian Candidate (2004). A$AP Rocky juga menjadi sorotan, terutama dalam adegan long take intens bersama Denzel yang menunjukkan dirinya bisa berdiri sejajar di layar lebar.

Kesimpulan

Highest 2 Lowest adalah remake yang berani, segar, dan penuh warna khas Spike Lee. Film ini lebih dari sekadar crime-thriller; ia juga bicara tentang hustle culture, ego, dan keputusan sulit di puncak karier. Meski tidak semua orang akan mudah menerimanya, H2L tetap memberikan pengalaman menonton yang unik dan relevan.

Skor: 7,5/10
📺 Sudah bisa ditonton di Apple TV+

Thursday, September 4, 2025

REVIEW THE CONJURING: LAST RITES – PENUTUP FRANCHISE DENGAN SENTUHAN EMOSIONAL


Sebagai film pamungkas dari franchise The Conjuring, Last Rites mencoba menutup kisah panjang pasangan Ed dan Lorraine Warren dengan menggabungkan elemen horor supranatural dan drama keluarga. Namun, apakah penutup ini berhasil memenuhi ekspektasi para penggemar?

Plot: Judy Warren dan Kasus Cermin Berhantu


Cerita dalam The Conjuring: Last Rites terbagi menjadi dua plot utama. Pertama, fokus pada Judy Warren, putri pasangan Warren, yang kini beranjak dewasa dan hendak dilamar kekasihnya, Toby (Ben Hardy). Judy yang mewarisi kemampuan supranatural dari ibunya harus menghadapi masa lalu keluarga yang penuh misteri.

Di sisi lain, ada kasus keluarga Smurl di Pennsylvania yang diteror oleh sebuah cermin berhantu. Kedua jalur cerita ini disatukan melalui device horor berupa cermin tersebut, meski sayangnya porsi latar belakang keluarga Smurl kurang terpakai di bagian akhir film.

Karakter dan Dinamika Emosional

Salah satu kekuatan film ini justru terletak pada subplot Judy Warren. Trauma masa lalu yang menghantuinya berhasil memberi dimensi emosional baru dalam franchise ini. Kehadiran Toby pun menjadi penting karena ia mewakili sudut pandang penonton awam yang baru masuk ke dunia “legacy” keluarga Warren.

Ed Warren yang masih berjuang dengan penyakit jantung pasca peristiwa film ketiga juga menambah ketegangan di beberapa momen klimaks. Unsur personal inilah yang membuat film terasa lebih intim dibanding pendahulunya.

Elemen Horor: Masihkah Menakutkan?

Dari sisi horor, Last Rites bisa dibilang lebih ringan. Jumpscare tetap ada, tetapi tidak sevariatif film-film sebelumnya. Kengerian yang seharusnya jadi ciri khas The Conjuring malah tertutup oleh lapisan drama emosional.

Meski begitu, adegan klimaks tetap menyajikan ketegangan yang bikin ngilu, bahkan mengingatkan pada atmosfer Final Destination. Hanya saja, latar belakang teror arwah tidak digali dalam, sehingga efek horornya terasa kurang maksimal.

Kesimpulan: Penutup yang Lebih Emosional daripada Menyeramkan

Sebagai penutup franchise, The Conjuring: Last Rites memang tidak menyajikan kengerian yang maksimal, tetapi berhasil memberikan penghormatan pada perjalanan panjang keluarga Warren. Sentuhan emosional, hubungan Judy dengan orang tuanya, dan beberapa throwback jadi nilai tambah yang bisa memuaskan penggemar lama.

Rating: 7/10




Sunday, August 24, 2025

REVIEW HANYA NAMAMU DALAM DOAKU: PELAJARAN PENTING TENTANG KOMUNIKASI DALAM RUMAH TANGGA LEWAT DRAMA PENUH EMOSI


Sinemaku kembali menghadirkan drama penuh haru lewat karya Reka Wijaya berjudul Hanya Namamu Dalam Doaku. Film ini mengangkat tema penyakit langka ALS, sebuah kondisi yang pernah dialami ilmuwan Stephen Hawking dan sempat populer lewat fenomena Ice Bucket Challenge beberapa tahun silam. Dengan menggandeng Vino G. Bastian dan Nirina Zubir sebagai pemeran utama, film ini menyuguhkan performa akting yang solid dan penuh energi emosional.

Vino berperan sebagai Arga, seorang ayah sekaligus kepala keluarga yang didiagnosis ALS. Bukannya terbuka dengan keluarganya, Arga justru memilih menutupi penyakitnya demi melindungi mereka. Namun sikap bungkam ini justru memicu konflik, karena sang istri Hanggini (Nirina Zubir) mengira Arga berselingkuh dengan mantan kekasihnya, Marissa (Naysilla Mirdad), yang tiba-tiba hadir kembali dalam hidup mereka. Drama rumah tangga ini terasa semakin kompleks, terutama ketika putri mereka Nala (Anantya Kirama) ikut merasakan kebingungan atas dinamika keluarganya.

Film ini menyoroti pentingnya komunikasi dalam rumah tangga, sebuah pesan sederhana namun relevan bagi banyak pasangan. Meski masih menggunakan formula melodrama yang kadang terasa “sappy”, eksekusinya tetap berhasil menyentuh penonton berkat chemistry kuat antara Vino dan Nirina. Pertukaran emosi mereka sebagai pasangan suami istri terasa nyata, mulai dari adegan adu mulut hingga momen keheningan yang menyisakan luka batin.

Selain itu, subplot menarik tentang “Masa Iddah” membuat alur film tidak terasa terburu-buru dan memberi ruang refleksi yang lebih dalam. Ge Pamungkas sebagai bagian dari pemeran pendukung juga tampil cukup mencuri perhatian, bahkan terasa lebih signifikan dibanding karakter Marissa yang diperankan Naysilla Mirdad.

Meski durasi film terasa bisa lebih ringkas, penutupnya berhasil memberikan kesan yang kuat. Dengan adegan bittersweet yang subtil tanpa harus bergantung pada dialog, Hanya Namamu Dalam Doaku meninggalkan pesan emosional yang membekas. Sebuah drama keluarga yang bukan hanya soal penyakit, tapi juga soal cinta, pengorbanan, dan komunikasi yang kerap terabaikan.

Rating: 7,5/10

Saturday, August 23, 2025

REVIEW DARAH NYAI: HOROR EKSPLORASI 80AN DENGAN BALAS DENDAM BRUTAL DAN FEMALE EMPOWERMENT


Azzam Fi Rullah kembali bikin kejutan. Walau kali ini ia hanya berperan sebagai penulis, gaya khasnya yang sering memberi homage pada film “esek-esek” horor Indonesia era 80-an tetap terasa kuat. Bersama sutradara Yusron Fuadi (Tengkorak), mereka menghadirkan Darah Nyai, sebuah tontonan yang sengaja diramu dengan atmosfer film B lawas: dari angle kamera, tone warna, hingga scoring musik keyboard yang bikin nostalgia ke era Febby Lawrence sampai Reynaldi.

Premisnya cukup menggigit: sepasang pengantin muda mendapati malam pertama mereka berubah jadi mimpi buruk ketika sang istri kerap mendapat penglihatan misterius. Rahasianya pun terkuak — sang istri dirasuki roh seorang Nyai yang dulunya dibunuh oleh sekelompok pemuda brengsek. Dari situlah perjalanan balas dendam dimulai, dengan tubuh sang istri sebagai medium pelampiasan dendam sang arwah.

Buat penonton yang doyan film vengeance & violent ala Kill Bill atau Hard Candy, Darah Nyai bakal jadi suguhan penuh gore yang over-the-top, intens, dan sering kali unintentionally funny tapi tetap menghibur. Perpaduan tema mistis tradisional dengan gaya modern terasa unik, apalagi dialog yang (sepertinya) banyak diimprovisasi menambah kesan raw. Kehadiran aktor senior seperti Djenar Maesa Ayu, Vony Anggraini, dan Yudi Ahmad Tadjudin, plus dukungan tokoh perfilman seperti Prof Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan di balik layar, memberi bobot lebih pada film ini.

Meski begitu, ada beberapa hal yang masih bisa diperbaiki, seperti teknis sound dialog yang kadang terlalu keras atau mendem, serta makeup yang terasa kurang maksimal. Namun, di balik kekurangannya, Darah Nyai berhasil menyampaikan gagasan kuat soal female empowerment lewat balas dendam brutal sang Nyai.

Secara keseluruhan, Darah Nyai jadi salah satu film indie lokal yang berani tampil beda dan berhasil rilis komersial. Harapannya, karya semacam ini makin sering muncul, tentunya dengan kurasi lebih matang sebelum tayang ke publik.

Rating: 7,5/10

REVIEW FILM MATERIALIST (2025) – DAKOTA JOHNSON, PEDRO PASCAL & CHRIS EVANS DALAM ROMANSA TENTANG CINTA DAN STATUS


Celine Song, yang sebelumnya sukses lewat Past Lives, kembali menghadirkan kisah romansa dengan sentuhan unik lewat film terbarunya, Materialist. Kali ini, Dakota Johnson tampil sebagai seorang “mak comblang” profesional yang mencarikan pasangan bagi para eksekutif muda. Namun, di balik profesinya yang unik, ia juga terjebak dalam dilema pribadi: memilih cinta lama yang penuh kenangan, atau sosok baru yang lebih ideal di atas kertas.

Seperti judulnya, film ini tidak sekadar tempelan. Materialist benar-benar mengupas esensi status dan materi dalam komitmen hubungan, baik secara tersirat maupun gamblang melalui dialog. Angle ini membuat film terasa berbeda dibanding romansa sejenis, bahkan dibanding karya Celine Song sebelumnya.

Akting para pemeran utama menjadi daya tarik tersendiri. Pedro Pascal memancarkan kharisma sebagai pria mapan ideal, namun tetap bisa menyentuh hati lewat sisi rapuhnya. Chris Evans, di sisi lain, memberikan tantangan tersendiri bagi penonton karena bayangan persona dan typecasting-nya masih terlalu kuat, sehingga agak sulit dipercaya sebagai aktor yang sedang berjuang. Meski begitu, chemistry-nya dengan Dakota Johnson tetap berjalan mulus dan meyakinkan.

Secara tematis, film ini menutup perdebatan tentang penting atau tidaknya status dan materi dalam hubungan dengan konklusi yang sengaja dibiarkan terbuka. Pilihan ini menimbulkan pro-kontra, tapi juga memberi ruang interpretasi bagi penonton. Dari sisi teknis, visual yang hangat dengan lanskap glamor New York, ditambah lighting lembut dan dialog intim, berhasil membangun atmosfer romantis yang cocok dinikmati bersama pasangan.

Rating: 7/10

Tuesday, August 19, 2025

REVIEW DEMON SLAYER - KIMETSU NO YAIBA THE MOVIE: INFINITY CASTLE- PART 1



Gilak! Wajib banget nonton di layar lebar dengan sound yang bikin merinding!

Sebagai pembaca manga, pengalaman menonton Demon Slayer: Infinity Castle Part 1 terasa penuh nostalgia sekaligus memacu adrenalin. Walaupun saya sudah tamat membaca manganya, menonton adaptasi layar lebarnya memberikan sensasi yang berbeda, terutama di momen epik pertarungan Shinobu vs Douma yang jadi salah satu highlight utama.

Film ini bukan recap atau kompilasi, melainkan langsung melanjutkan cerita dari arc Desa Pedang. Tiga pertarungan besar jadi fokus utama:

  • Shinobu vs Douma

  • Zenitsu vs Kaigaku

  • Tanjiro + Giyu vs Akaza

Visual & Animasi

Penggambaran Infinity Castle dengan teknik animasi 3D terasa megah dan benar-benar memberikan skala “tak terbatas” yang imersif. Walau saya menonton di bioskop reguler, efeknya sudah luar biasa—kebayang kalau menontonnya di IMAX, pasti jauh lebih epik.

Audio & Musik

Sound design jadi salah satu poin terkuat film ini. Benturan pedang, efek jurus, hingga scoring musik semuanya berpadu sempurna untuk membangun ketegangan di tiap sekuens pertarungan. Ufotable sekali lagi membuktikan kualitas mereka dalam menyajikan visual spektakuler yang selaras dengan audio yang memacu adrenalin.

Narasi & Tempo

Bagi non-manga reader, mungkin akan sedikit terganggu dengan adegan flashback yang disisipkan di tengah-tengah pertarungan karena tone-nya mendadak mellow. Tapi sebenarnya, bagian ini justru berfungsi sebagai jeda napas setelah aksi intens, sekaligus memberi ruang emosional pada karakter.

Durasi 135 menit terasa padat, dengan transisi antar-pertarungan yang rapat sehingga nyaris tidak ada momen membosankan. Film ini sukses mengadaptasi salah satu arc paling epik dengan cara yang proper, memuaskan fans lama sekaligus mudah diikuti penonton baru.

Catatan Kecil

Satu hal teknis yang agak mengganggu adalah subtitle yang kadang kalah terang dibanding adegan visualnya. Mungkin bisa lebih ditebalkan outline-nya agar lebih nyaman dibaca.

Kesimpulan

Demon Slayer: Infinity Castle Part 1 adalah tontonan wajib di bioskop. Jangan tunggu rilis streaming kalau ingin merasakan pengalaman audio-visual yang maksimal. Sebuah adaptasi penuh energi, emosional, dan memuaskan.

Rating: 9/10
Info tambahan: Part 2 dijadwalkan tayang dua tahun lagi—jadi siap-siap menunggu pertarungan berikutnya!

REVIEW FILM TINGGAL MENINGGAL: HUMOR ABSURD, SATIR, DAN SENTILAN EMOSIONAL


Tinggal Meninggal hadir sebagai debut film panjang Kristo Immanuel yang berani sekaligus unik. Dengan gaya khasnya yang nyeleneh, absurd, namun tetap menyelipkan sisi emosional, Kristo berhasil menghadirkan karya yang tidak hanya mengundang tawa, tetapi juga menyentil penonton lewat pesan-pesan yang subtil.

Sejak awal, alur ceritanya sebenarnya masih bisa ditebak, tetapi Kristo pintar menjaga atensi dengan celetukan kocak, momen awkward, hingga teknik breaking the fourth wall yang memberi kesegaran tersendiri. Premisnya sendiri dibangun dengan humor getir yang terasa natural, menjadikan film ini punya warna berbeda dibanding komedi lokal kebanyakan. Salut juga untuk Imajinari yang berani mengeksekusi ide “seaneh” ini ke layar lebar—karena biasanya konsep semacam ini hanya berhenti di film pendek.

Salah satu elemen paling menonjol adalah bit jokes bernuansa agama yang meski agak riskan, justru menjadi salah satu bagian paling ngena. Di sisi lain, ada Mario “Mahi Mahi” Caesar yang tampil sebagai scene stealer lewat perannya sebagai kolega penuh curiga namun cerdik dalam rekayasa.

Meski begitu, film ini terasa masih butuh sedikit “ledakan” ekstra agar tidak tampak canggung di beberapa bagian. Namun bisa jadi rasa canggung itu memang disengaja, agar penonton ikut merasakan apa yang dialami karakter Gema. Beberapa ganjalan mungkin ada, tetapi tidak sampai mengganggu keseluruhan pengalaman menonton.

Secara keseluruhan, Tinggal Meninggal adalah tontonan segar yang patut diapresiasi karena keberaniannya. Kristo membuktikan dirinya bukan hanya sekadar komika dengan persona lucu, tetapi juga seorang storyteller yang punya visi.

Rating: 7,5/10

REVIEW FILM LA TAHZAN (2025) – DRAMA RUMAH TANGGA BERBALUT KLENIK

Meski menggunakan judul yang sama dengan film La Tahzan (2013) yang dibintangi Joe Taslim, versi terbaru ini sama sekali tidak memiliki hubungan cerita dengan pendahulunya. Judulnya sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “Jangan Bersedih”, namun ironisnya justru kurang relevan dengan isi film yang lebih menyerupai drama pelakor berbalut unsur mistis.

Kisahnya berpusat pada Alina (Marshanda) dan Reza (Deva Mahenra), pasangan harmonis dengan dua anak kecil. Kehidupan mereka berubah sejak kedatangan babysitter baru, Asih (Ariel Tatum), yang menyimpan maksud tersembunyi. Perlahan, intrik dan misteri mulai mengusik rumah tangga mereka. Sayangnya, alih-alih mengembangkan potensi drama dan pesan islami sesuai judulnya, film ini lebih sering terasa seperti sinetron yang dipindahkan ke layar lebar.

Meski begitu, ada beberapa sisi hiburan yang menyelamatkan, seperti celetukan jenaka dari para pemeran pendukung (Asri Welas, Benedict Siregar, Patricia Gouw) serta momen-momen tegang yang lumayan menghidupkan suasana, apalagi jika ditonton bersama-sama. Marshanda memberikan akting dramatis yang kuat, namun filmnya sendiri terasa ragu-ragu menentukan arah, terombang-ambing antara klenik dan drama rumah tangga. Penyelesaian akhirnya pun terkesan tempelan kutipan Islami untuk menambal alur yang goyah.

Hikmah yang ingin disampaikan sebenarnya bisa tersampaikan tanpa elemen mistis yang mendominasi. Apalagi dengan sutradara sekelas Hanung Bramantyo yang piawai meramu drama, rasanya sayang melihat potensi film ini kurang dimaksimalkan. La Tahzan akhirnya menjadi tontonan yang punya momen menghibur, tetapi tidak cukup meninggalkan kesan mendalam.

Rating: 6/10

Monday, August 11, 2025

REVIEW FILM PANGGIL AKU AYAH – DRAMA GLOOMY YANG TIDAK SEAMAN KESAN PROMOSINYA

Setelah sukses mengaduk emosi penonton lewat Miracle in Cell No. 7, ada lagi film remake Korea tentang ayah dan anak arahan sutradara Benni Setiawan dengan kisah mengharukan yang kali ini diadaptasi dari film Korea Pawn (2020). Meski begitu, saya menonton Panggil Aku Ayah (PAA) tanpa membandingkannya dengan versi aslinya — review ini murni berdasarkan pengalaman menonton filmnya sendiri.

Sinopsis Singkat

Dedi (Ringgo Agus Rahman) dan Tatang (Boris Bokir) adalah dua penagih utang yang terpaksa menyandera seorang anak kecil karena sang ibu tak mampu membayar hutangnya. Anak itu, Intan, atau yang mereka panggil “Pacil” (diperankan Myesha Lin), perlahan menjadi bagian dari hidup mereka. Dari hubungan yang awalnya terpaksa, tumbuhlah rasa sayang dan ikatan layaknya keluarga.

Nuansa & Penyajian

Berbeda dari banyak drama keluarga yang biasanya hangat dan penuh warna, PAA justru hadir dengan tone yang gloomy dan murung. Meski ada karakter anak kecil yang lucu, suasana kelam ini cukup dominan.

Durasi film tergolong panjang, namun ritme pacing-nya masih terjaga. Sayangnya, momen komedi yang dihadirkan terasa minim, sehingga penonton harus menunggu cukup lama sebelum momen haru yang menjadi andalan muncul.

Hal yang perlu diperhatikan, meski materi promosi film ini terlihat aman untuk tontonan keluarga, di dalamnya terdapat potret kehidupan malam, bahasa kasar, dan beberapa adegan dengan nuansa cukup gelap. Bagi orang tua yang membawa anak kecil, ini bisa jadi momen awkward di tengah bioskop.

Performa Akting

Dari sisi akting, PAA masih sangat terbantu oleh penampilan para pemainnya. Ringgo Agus Rahman tampil meyakinkan sebagai pria keras yang menyimpan beban hidup namun tetap penyayang. Mikro-ekspresinya berbicara banyak tanpa dialog berlebihan.

Boris Bokir menjadi scene stealer dengan pembawaannya yang luwes dan natural. Sementara Myesha Lin sebagai “Pacil” benar-benar mencuri hati — pintar, menggemaskan, dan mampu membawa warna tersendiri di tengah dominasi tone film yang kelam.

Kelebihan & Kekurangan

Kelebihan:

  • Akting solid dari Ringgo, Boris, dan Myesha Lin.

  • Pacing terjaga meski durasi cukup panjang.

  • Nuansa Sunda yang kental, memperkuat konsep “Abah” sebagai ayah pengganti.

Kekurangan:

  • Tone terlalu gloomy untuk sebuah drama keluarga, membuat emosi terasa agak kaku.

  • Minimnya momen komedi membuat transisi menuju adegan haru terasa berat.

  • Materi cerita yang “tidak seaman” kesan promosinya.

Kesimpulan

Panggil Aku Ayah adalah drama yang mencoba memadukan nuansa kelam dengan kehangatan hubungan ayah-anak. Meski secara akting sangat kuat, film ini terasa butuh lebih banyak dinamika emosional agar momen haru bisa “menghantam” hati penonton dengan lebih dalam.

Rating: 6,5/10 – Cocok untuk penonton yang menyukai drama keluarga dengan sentuhan realitas keras, tapi perlu mempertimbangkan usia penonton muda sebelum menonton bersama keluarga.