Thursday, August 29, 2019

ULASAN: ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD




Eksklusif, satu kata dari saya yang mewakili film-film Quentin Tarantino. Eksklusif yang saya maksud adalah bagaimana penyajian visual setiap film-filmnya yang mempunyai ciri khas tersendiri. Dimulai dari plot cerita yang mendobrak cara peceritaan film pada umumnya, teknik pengambilan gambar, hingga tingkat kekerasan yang ada dalam filmya mempunyai ciri khas sendiri. Meskipun Tarantino sendiri mengatakan jika setiap teknik pengambilan ataupun plot cerita hanyalah terinspirasi dan bahkan menduplikasikan dari film-film yang dia tonton, tapi tetap saja film-film Tarantino seakan punya nyawanya sendiri yang tidak ada di film lain. 8 film yang dia sutradarai makin menguatkan pendapat itu. Dan sekarang Quentin Tarantino hadir dengan film ke-9 berjudul Once Upon a Time in Hollywood.



Bersetting tahun 1969 di masa kejayaan hollywood benar-benar menjadi pusat hiburan untuk film ataupun televisi. Film mengikuti 2 karakter utama yang menjadi roda cerita film ini. Rick Dalton (Leonardo DiCaprio) seorang aktor yang sedang mengalami penurunan karier. Lalu ada Cliff Booth (Brad Pitt) stuntman yang bekerja untuk Rick Dalton dan sangat loyal dengan majikannya. Penonton akan diajak mengikuti hari-hari mereka menjalani aktifitas di hollywood dan mempertemukan mereka tokoh atau sineas yang besar di tahun itu, seperti Bruce Lee, Steve McQueen, Roman Polanski, Sharon Tate dan bahkan Charles Manson dengan para pengikutnya yang menggucang hollywood di era itu.



Tarantino seperti yang sudah kita tahu selalu memberikan sentuhan yang unik pada filmnya yang kembali dia tampilkan lewat OUATIH. Dari pergerakan kamera yang dinamis, warna gambar hingga musik. Jadi buat yang pertama kali menonton film Tarantino lewat film ini maka bersiap-siaplah tingkat kesabaran anda diuji karean alurnya ceritanya yang sangat lambat. Belum cukup dengan alur yang sangat lambat, sepanjang film kamu akan bertanya-tanya akan dibawa kemana kah plot cerita filmnya ? Tetapi itulah Tarantino, selalu menyisipkan diksi dan detail-detail pada karakter yang membuatnya seperti membaca novel. Tidak bisa disalahkan jika sebagian penonton tidak bisa menikmati gaya penceritaan seperti ini yang membuatnya menjadi eksklusif untuk penonton lainnya, terutama untuk yang sudah akrab dengan film-film Tarantino sebelumnya yang tidak mugkin memutuskan menonton OUATIH hanya sekedar para aktor-aktor yang bermain dalam film ini.



Tidak seperti film-film Tarantino sebelumnya yang juga menggunakan banyak karakter dan biasanya setiap karakter mempunyai jalan cerita yang akan mempunyai pengaruh pada akhir cerita. Untuk OUATIH banyak karakter yang muncul yang sama sekali tidak ada memiliki esensi apapun jika karakter itu tidak ada dalam cerita. Sepertinya Tarantino sedang ingin sedikit bersenang-senang dengan para penontonnya yang mana dibayar tuntas oleh sebuah ending yang lagi-lagi membuat penonton memberikan applause untuk sang sutradara diluar Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt yang juga memberikan performa dan kemistri yang kuat di film ini. Hanya pastikan saja kamu tahu latar belakang dari mana adaptasi film ini diangkat agar bisa merasakan sensasi yang luar biasa pada endingnya.



OUATIH sudah pasti bisa memberikan kepuasan untuk para penggemarnya dan mungkin sebagian penonton awam yang belum pernah menonton film-film Tarantino sebelumnya. Bagaimana ternyata kamu tidak bisa menikmati film ini ? Well, seperti yang saya bilang diatas, filmnya memang terasa eksklusif.

Overall: 7,5/10

(By Zul Guci)



ULASAN: READY OR NOT




Film bertema thriller dengan berbagai sub-genrenya selalu mendapat tempat tersendiri di hati penggemarnya. Faktor ketegangan dan petualangan yang memacu adrenalin ketika menonton merupakan hal yang dicari oleh penonton walau terkadang banyak dipenuhi adegan sadis dan berdarah-darah. Kali ini giliran film Ready or Not yang dijamin akan menambah deretan film favorit di genre ini. Ready or Not hadir dengan formula yang fresh dan mengusung beberapa genre sekaligus yaitu adventure thriller, horror, dan dark comedy. Film ini dirilis perdana di Fantasia Film Festival pada 27 Juli lalu dan ditayangkan di Layar sinema AS pada 21 Agustus. Sementara di Indonesia baru ditayangkan pada 28 Agustus 2019. Film ini dibuat oleh trio filmmaker yang dikenal dengan nama Radio Silence (Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillet sebagai sutradara sedangkan Chad Villella sebagai produser eksekutif) yang telah kita kenal lewat Southbound, Devil's Due, dan V/H/S. Film ini dibintangi oleh Samara Weaving sebagai bintang utama dan didukung oleh Adam Brody, Mark O'Brien, Henry Czerny, dan Andie MacDowell.



Keluarga Le Domas adalah keluarga kaya raya yang mendapatkan kekayaannya dari penjualan Board Games dan beberapa permainan klasik. Mereka memiliki tradisi memainkan permainan pada malam pernikahan sebagai bagian dari penerimaan anggota keluarga baru. Pada kejadian flashback di masa kecil Alex (Mark O’Brien) dan saudaranya Daniel (Adam Brody)menyaksikan penangkapan dan pembunuhan pengantin pria yang baru saja menikahi salah satu anggota keluarga mereka. Film lalu menuju ke masa sekarang di mana diceritakan Alex akan menikah Grace (Samara Weaving) di rumah keluarga besar mereka. Grace bercerita kepada Alex bahwa sebagai anak yatim piatu, memiliki keluarga adalah hal yang penting sekaligus kerinduan baginya. Grace pun sempat bertemu Becky (Andie MacDowell) sebelum prosesi pernikahan yang berterima kasih padanya karena sudah membawa Alex kembali ke rumah. Setelah resepsi pernikahan selesai, Alex bercerita pada Grace bahwa dia harus ikut serta dalam permainan yang akan dilangsungkan pada tepat tengah malam pada malam pernikahan sebagai bagian dari tradisi, awalnya Grace bingung namun dia mengikuti saja karena tidak menyadari ada hal yang aneh. Malamnya seluruh anggota keluarga dipanggil ke dalam ruang permainan dan memulai permainan ketika jam menunjukkan tepat pukul 12 tengah malam. Untuk memulai permainan, Grace diminta menarik kartu dari sebuah box kayu misterius di mana kartu tersebut akan menunjukkan permainan yang akan dimainkan. Grace menarik kartu dan mendapatkan kartu Hide and Seek (petak umpet), dalam permainan ini Grace harus bersembunyi sedangkan anggota keluarga yang lain akan mencarinya. Namun ada hal yang tidak diberitahukan Alex kepada Grace bahwa kakek buyut mereka Victor Le Domas membuat perjanjian dengan Justin Le Bail setelah berhasil mengungkap misteri kotak kayu tersebut adalah setiap kali kartu Hide and Seek terpilih maka keluarga Le Domas harus memberikan pengorbanan sebelum matahari terbit atau mereka semua akan mati. Ketika permainan dimulai, Alex diminta untuk tinggal dalam kamar dan adik iparnya Charity (Elyse Levesque) bertugas menjaganya.



Grace baru menyadari bahwa permainan ini bukanlah permainan biasa dan hidupnya berada dalam bahaya setelah menyaksikan salah satu pelayan mereka tertembak oleh saudara perempuan Alex, Emilie (Melanie Scrofano). Alex menemukan Grace dan berjanji untuk menyelamatkannya. Setelah menyadari bahwa Grace mengetahui kebenaran dari permainan yang mereka lakukan, seluruh keluarga Alex berpencar untuk memburunya sebelum fajar tiba. Grace berusaha lari menuju kebebasan sementara Alex berusaha untuk membuka kunci pintu mansion mereka agar Grace bisa lolos. Akankah Grace berhasil meloloskan diri dari permainan maut keluarga Le Domas dan bisa hidup bahagia bersama dengan Alex yang ia cintai sebagai satu-satunya anggota keluarga yang menurutnya waras?



Untuk film berdurasi 95 menit, alur film ini dibawakan dengan rapi dan cepat namun tetap mampu menampilkan momen-momen seru dan tegang dengan sangat efektif. Cerita film tidak dibuat bertele-tele untuk hal yang bukan menjadi fokus cerita, penonton diberi sedikit pemanasan di awal sebelum digiring ke konflik dan inti cerita walau sebetulnya bagian introduksi ini dapat dipakai untuk lebih mengenalkan penonton terhadap sosok Grace yang merupakan tokoh protagonis film ini. Karena di bagian awal film ini kita hanya diberi kilasan mengenai masa kecil Alex dan latar belakang keluarganya yang menyimpan rahasia kelam sementara Grace hanya melalui percakapan dengan Alex dan ibunya Becky. Walau agak kurang dalam introduksi karakter Grace namun akting Samara sebagai Grace yang sangat bagus dan meyakinkan sebagai calon pengantin yang ingin kehidupan yang normal dan bahagia tapi terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan berhasil membuat penonton terhubung dengan karakternya hingga akhir cerita film ini. Penulis cerita film pandai menciptakan momen cerita di mana berulang kali Grace sebagai protagonis dibuat berada dalam keadaan terdesak dan hampir mustahil untuk bisa lolos namun Grace selalu menemukan cara untuk bangkit dan melawan kembali. Belum lagi beberapa adegan pengejaran keluarga Le Domas terhadap Grace yang menegangkan baik di hutan sekitar rumah maupun di dalam rumah yang memacu adrenalin karena kita tidak tahu bagaimana akhirnya, apa yang akan dilakukan Grace, apa yang akan dilakukan anggota keluarganya. Kelebihan lain film ini adalah adanya unsur humor gelap/ dark comedy yang menjadikan pengalaman menonton Ready or Not menjadi menarik. Adanya unsur humor memberi warna tersendiri di sela-sela situasi tegang dan sadis, proses shifting tone dari suasana tegang ke komedi cukup berhasil lewat dialog-dialog dan penempatan di adegan yang tepat. Porsi humor hanya dimunculkan secara minimal untuk mengurangi ketegangan penonton dan tidak medominasi dalam film. Untungnya mix genre dalam film ini terbilang berhasil dan tidak garing karena banyak film yang gagal memadukan unsur dark comedy dalam film thriller.




Setting lokasi yang digunakan dalam film ini merupakan salah satu hal yang perlu digaris bawahi. Terdapat 3 lokasi yang digunakan untuk menciptakan kesan seram dan kemewahan dari keluarga aristokrat Le Domas, yaitu Grand Estate di Oshawa, Ontario – Kanada yang dahulu merupakan residen bekas pendiri General Motors di Canada, R.S. McLaughlin, rumah yayasan YWCA, dan yang terakhir di Casa Loma, salah satu kastil terakhir di Amerika Utara yang populer menjadi objek wisata turis. Lokasi Grand Estate di Oshawa digunakan untuk sekuens adegan pernikahan di awal-awal film, ke 55 ruangan di dalamnya diijinkan untuk digunakan untuk keperluan shot interior film. Sementara Kastil Casa Loma digunakan untuk adegan pengejaran dengan memanfaatkan lorong-lorong dan kamar-kamar dalam kastil. Ornamen dan artifak kastil yang terpampang di dinding merupakan peninggalan asli kastil tersebut. Selain penggunaan lokasi yang asli, penggunaan efek practical tanpa mengandalkan efek visual juga menjadi kekuatan film ini. Vibe permainan klasik yang menjadi ciri keluarga Le Domas juga ditampilkan lewat desain board games dan poster-poster vintage yang menarik di dalam film. Sinematografi film ini juga patut mendapat pujian karena mampu menampilkan setiap detil adegan dengan jelas walau setting waktu dalam film ini adalah malam hari. Close up adegan luka dan kecelakaan yang dialami Grace juga dijamin bakal membuat penonton meringis ketika menyaksikannya. Pemilihan kostum sang portagonis juga sangat tepat, penampilan Grace yang bad-ass didukung oleh wedding dress yang didesain praktikal serta sepatu converse kuning menjadikannya karakter yang sangat ikonik.



Grace Weaving (Three Billboards Outside Ebbing,Missouri; Babysitter) yang merupakan next rising star adalah aktris asal Australia yang juga merupakan keponakan dari Hugo Weaving yang terkenal (The Matrix, Trilogi LOTR, V for Vendetta) mampu tampil sebagai karakter protagonis yang kuat di film Ready or Not. Dia sanggup menjadi fokus perhatian penonton sepanjang film lewat aktingnya sebagai wanita yang pantang menyerah dan terkadang punya respon nyeleneh ketika menghadapi situasi sulit. Andie MacDowell (Four Weddings and A Funeral, Groundhog Day, Bad Girls) sebagai aktris veteran juga tampil baik sebagai ibu dari Alex dan Daniel yang selalu rasional dan mengutamakan keluarga. Mark O’Brien (The Front Runner, Bad Times at The El Royale) sebagai Alex juga mampu memerankan sosok kekasih Grace yang gentleman namun memiliki misteri terselubung. Anggota keluarga lainnya yang diperankan oleh Adam Brody (Daniel), Henry Czerny (Tony), Melanie Scrofano (Emilie), Kristian Bruun (Fitch), Elyse Levesque (Charity – Istri Daniel), Nicky Guadagni (Helene – nenek keluarga Le Domas) berhasil menciptakan dinamika keluarga yang kompak namun ternyata psikopat dan suka membunuh.



Radio Silence dikenal lewat film-film mereka yang merupakan perpaduan unik antara komedi, petualangan, dan horor dengan naskah cerita yang original. Melalui Ready or Not, ide permainan klasik dipadukan dengan unsur mistis menjadi background cerita yang sangat menarik. Mereka juga menginkorporasikan isu general yang jamak dihadapi semua orang soal memasuki lingkungan keluarga baru untuk pasangan yang baru menikah dengan selipan twist yang cerdas. Di akhir penghujung film penonton pun diuji dengan pertanyaan psikologis apakah orang yang kita cintai akan menjadi orang yang sanggup menyakiti atau mencelakakan kita? Menyaksikan film ini seperti menemukan oase di antara serbuan sekuel, reboot dan saga superhero yang membanjiri Hollywood akhir-akhir ini






Overall: 8,5/10

(By Camy Surjadi)



Monday, August 26, 2019

ULASAN: 47 METERS DOWN UNCAGED






Film eksploitasi hewan buas yang menyerang manusia bisa dikatakan tidak terbilang jumlahnya mulai dari hewan berukuran kecil, sedang, maupun besar sekalipun. Film jenis ini termasuk genre Animal Horror (Creature Features). Keganasan hiu terbilang yang paling sering dijadikan materi film berkat popularitas film Jaws (1975) yang menjadi sumber inspirasi untuk film-film sejenis bahkan sampai yang tidak masuk akal sekalipun (Sharknado 1-6). Di tahun 2019 ini kita disuguhkan kembali dengan film bertema hiu berjudul 47 Meters Down: Uncaged yang merupakan sekuel dari film berjudul sama di tahun 2017. Film ini sebetulnya tidak terkait langsung secara cerita dengan film pertamanya namun hanya meminjam segi lokasi dan setting cerita para karakternya yang terperangkap dari kepungan hiu.



Film ini kembali disutradarai Johannes Roberts dan dibintangi oleh John Corbett, Nia Long, Sophie Nelisse, Corinne Foxx (putri Jamie Foxx), Sistine Stallone (Putri Sylvester Stallone), Brianne Tju, Davi Santos, Kyhlin Rhambo, dan Brec Bassinger. Film ini dirilis pada 16 Agustus di AS dan.dirilis di Indonesia pada 23 Agustus.



47 Meters Down: Uncaged menceritakan kisah 4 remaja wanita Mia (Sophie Nelisse), Sasha (Corinne Foxx), Nicole (Sistine Stallone), dan Alexa (Brianne Tju) yang memutuskan melakukan scuba diving di Salah satu situs reruntuhan kota bawah laut. Ketika menyusuri reruntuhan kota, Salah satu dari mereka tidak sengaja menyebabkan runtuhnya pilar penyangga bangunan. Seketika petualangan mereka berubah menjadi teror karena ternyata runtuhnya pilar menyebabkan munculnya hiu-hiu ganas yang telah berevolusi yang walaupun buta namun memiliki indera pendengaran yang sangat tajam. Dalam upaya mereka meloloskan diri, satu-satunya akses keluar tertimbun reruntuhan mengakibatkan mereka terjebak. Dengan sisa oksigen yang menipis dan ancaman hiu-hiu ganas, keempat remaja ini harus berjuang sekuat tenaga dan bekerja sama untuk bisa selamat dan menghirup kebebasan sekali lagi.



Cerita film ini sederhana dan sudah banyak dipakai di film-film terir hiu sejenis, hal yang istimewa dalam film ini adalah close shot dari adegan scuba diving yang dilakukan 4 karakter utamanya dan unsur ketegangan yang sangat terasa. Roberts sebagai sutradara paham betul bagaimana memakai moment of surprise karena banyak momen-momen yang tidak terduga yang mampu mengejutkan dan membuat penonton menahan nafas seraya membuat penonton tetap penasaran bagaimana dengan nasib para karakter – karakter yang terjebak hiu-hiu ganas ini dapat meloloskan diri. Setting gua dan reruntuhan bawah laut memunculkan suasana claustrophobic yang secara tidak langsung juga mempengaruhi psikologis para penonton. Adegan final dalam film yang mengejutkan juga digarap cukup baik walau agak didramatisir. Penonton juga diberi kejutan mengenai siapa saja karakter yang selamat sampai akhir film.



Dari segi akting dan karakter dalam film ini boleh dikatakan tidak ada yang istimewa selain dari hiu-hiu yang menjadi karakter antagonis. Film ini merupakan debut 2 putri dari 2 aktor terkenal yaitu Corinne Foxx dan Sistine Stallone. Nia Long sebagai Ibu dari Mia dan Sasha tidak terlalu banyak punya ruang untuk tampil. Sophie dan Corinne kurang dapat menampilkan chemistry yang meyakinkan sebagai dua saudara. John Corbett yang berperan sebagai ayah Corinne dan Sasha sangat disia-siakan di film ini, karakternya seharusnya dapat lebih dimaksimalkan lagi Karena dalam film ini kehadirannya seakan tidak begitu berperan penting padahal karakternya adalah penyelam berpengalaman. Film ini juga seharusnya lebih dapat menggali latar belakang yang menjadikan Corinne dan Sasha sebagai keluarga, apakah mereka berasal dari adopsi atau masing-masing adalah anak bawaan dari pernikahan sebelumya yang menjadikan hubungan mereka tidak begitu dekat. Sistine dan Brianne sebagai teman-teman Sasha juga tampil biasa dan tidak ada yang istimewa.



Yang membuat genre Animal Horror menarik adalah suasana tegang yang ditimbulkan dan cerita penyelamatan yang menarik, bagaimana para karakter protagonis menemukan cara mengatasi masalah hewan-hewan tersebut secara tidak terduga namun dapat dipercaya. Genre ini selalu menarik sebagai komoditi film karena ketidaktahuan manusia terhadap perilaku hewan walau ada juga yang terkadang dibuat hiperbolis untuk keperluan skenario film. Hiu dalam film ini dimodifikasi agar berbeda dari hiu-hiu di kebanyakan film sejenis, yaitu tidak memiliki penglihatan namun pendengarannya sangat tajam. Level bahaya yang diciptakan juga sudah meyakinkan namun penonton tentu juga ingin kualitas cerita yang baik bukan hanya sekedar mengandalkan kejutan dan ketegangan semata.


Overall : 6,5/10 

(By Camy Surjadi)





























ULASAN: ANGEL HAS FALLEN




Dikenal di US sebagai The Fallen Series, tahun 2019 ini kita disuguhkan dengan sekuel selanjutnya dari petualangan Mike Banning sebagai pasukan pengamanan Presiden AS yang diberi judul Angel Has Fallen. The Fallen Series ini diciptakan oleh duo penulis Creighton Rothenberger dan Katrin Benedikt. Judul Angel has Fallen diberikan karena dalam film ini fokus cerita ada pada Banning yang dijebak sebagai dalang upaya pembunuhan terhadap Presiden AS. Banning dianggap sebagai simbol malaikat pelindung Presiden AS namun kali ini sang malaikat mengalami keterpurukan dan berubah statusnya menjadi penjahat yang paling dicari di AS. Untuk Film ketiga ini, Gerard Butler juga bertindak sebagai produser, Ric Roman Waugh duduk di kursi Sutradara sekaligus sebagai tim penulis naskah. Film ini dirilis di Indonesia pada 21 Agustus 2019 sementara di US menyusul pada 23 Agustus 2019.



Dalam Angel Has Fallen, Mike Banning (Gerard Butler) melanjutkan tugasnya sebagai anggota pasukan paspampres AS di mana kali ini Allan Trumbull (Morgan Freeman) telah menjadi Presiden setelah di film sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden. Suatu ketika dalam kegiatan memancing, Banning mendapati bahwa sang presiden mendapat ancaman dari serangan kawanan Drone yang dilengkapi alat peledak. Kawanan Drone ini ternyata sudah dilengkapi dengan facial recognition terhadap semua anggota paspampres sehingga satu persatu rekan Banning tewas diserang drone mematikan tersebut. Banning dengan sigap segera menyelamatkan Presiden Allan dengan menyelam ke dalam air sebelum akhirnya keduanya tidak sadarkan diri. Setibanya di rumah sakit ternyata Presiden Allan mengalami koma sedangkan Banning divonis sebagai dalang percobaan pembunuhan terhadap Presiden akibat bukti-bukti yang menyudutkan Banning sebagai terduga bersalah. Dalam perjalanan ke penjara, Banning berhasil meloloskan diri dan menjadi buronan paling dicari di seantero AS. Terdesak oleh situasi dikejar oleh FBI dan timnya, Banning harus berusaha memulihkan nama naiknya sekaligus mencari dalang yang sebenarnya yang telah menjebaknya.




Boleh dibilang tidak ada yang istimewa dalam sekuel lanjutan petualangan Mike Banning Kali ini, semuanya predictable dan klise khas film action. Dari awal film petunjuk-petunjuknya sudah jelas bahwa Banning akan dikhianati oleh siapa, yaitu rekan baiknya semasa perang Wade Jennings (Danny Huston). Bagian awal film ini memberi porsi lebih banyak untuk memberi kita perkembangan karakter Banning tentang kehidupan keluarga kecilnya, istrinya yang selalu pengertian terhadap Banning walau Banning selalu sibuk luar biasa lalu bagian berikutnya kita langsung disuguhkan ke inti cerita yang berfokus pada aksi Banning sebagai action hero yang kali ini harus menyelamatkan dirinya, sang presiden dari dalang kejahatan misterius yang juga telah menjebaknya. Bagian terbaik film ini mungkin adalah ketika Banning bertemu ayahnya Carl (Nick Nolte) sebagai harapan terakhir dan dinamika mereka berdua yang menarik seharusnya bisa lebih dimaksimalkan. Adegan aksi dalam film ini terlihat bombastis namun terkadang tidak masuk akal seperti bagaimana mungkin anggota tim Banning yang terkena ledakan maha dahsyat dari serangan Drone jasadnya bisa tetap utuh dan tidak hancur berantakan terkena ledakan. Begitupun pasukan tentara yang dikirim Jennings ketika dibombardir oleh ladang ranjau bom milik Carl, jasad mereka hanya nampak berdarah dan kotor berserakan tanah. Kehadiran karakter baru dalam cerita, Kali ini Jada Pinket Smith (istri dari Will Smith) sebagai agen FBI, sangat tidak dimaksimalkan padahal introduksi karakter ini sudah meyakinkan dan membuat penonton berpikir bahwa perannya dalam film akan penting entah mungkin akan bersekutu dengan Banning atau membantunya dengan cara lain. Level suspense dan misteri dari cerita film kali ini juga tergolong biasa saja dan cenderung mudah dilupakan. Namun aksi penutup film ini yang berfokus pada penyelamatan presiden di rumah sakit cukup rapi dan penuh perhitungan.



Karakter dalam film yang cukup menarik perhatian adalah Nick Nolte, aktor senior yang berperan sebagai ayah Carl yang menampilkan karakter penuh konflik batin dan mengalami trauma pasca perang. Gerard Butler tetap memerankan karakter Banning namun tanpa perkembangan berarti di film ketiga ini, diceritakan dirinya sedang mengalami konflik pribadi antara sakit kepala yang dialaminya akibat bertugas yang penuh risiko tinggi dan apakah dia lebih memilih pekerjaan dibanding hidup tenang bersama keluarganya. Konflik itu ada namun kita sebagai penonton tidak akan melihat kedalaman konflik tersebut. Piper Perabo kali ini tampil menggantikan Radha Mitchell sebagai Leah, istri Mike. Piper tampil sebagai istri yang pengertian dan selalu mendukung suaminya serta sangat sayang pada putri mereka, tidak ada yang istimewa namun juga tidak mengecewakan. Sementara Jada Pinket Smith sebetulnya sudah sangat bagus dan meyakinkan sebagai agen Thompson yang cerdas dan tangguh namun entah mengapa porsi perannya hanya demikian di cerita film ini. Dari sisi pemeran antagonis, Danny Huston sebagai Wade kurang meyakinkan karena motivasinya yang terkesan mengada-ngada dan tidak memiliki kedalaman karakter sama sekali. Morgan Freeman tampil karismatik Sebagai presiden AS setelah naik jabatan dari wakil presiden AS walau seharusnya bisa diberi screen time lebih banyak tentang bagaimana dinamika dia setelah menjabat menjadi presiden AS.



Ric sebagai sutradara juga mencoba mengangkat isu trauma yang ditimbulkan akibat perang baik dari segi psikologis maupun fisik namun hanya sebatas menyentuh permukaan saja, demikian pula dengan konflik AS-Rusia yang cenderung agak dipaksakan untuk mengubah subjek setelah di film sebelumnya memakai Korut dan Pakistan. Ric pun meminjam formula dari film The Fugitive yang sangat terasa saat Banning melakukan pelarian namun tanpa adanya inovasi baru, adegan ini terasa membosankan dan generik. Namun ada pengalaman baru ketika menonton film ini yaitu kehadiran mid credit scene yang sedikit aneh namun menghibur. Saga The Fallen Series ada karena penonton senang dengan aksi penyelamatan tokoh penting di antara situasi super genting dan penuh ancaman yang bisa diterima logika dan cerita yang menarik namun semakin sekuel film ini sering dibuat unsur logika semakin dikesampingkan demikian pula dengan kualitas ceritanya. Sudah saatnya studio dan penulis cerita fokus ke hal lain ketimbang melibatkan Mike Banning dalam petualangan lain yang tidak masuk akal dan terlupakan.



Overall : 6,5/10

(By Camy Surjadi)

Wednesday, August 21, 2019

ULASAN: PERBURUAN



Malam Agustus yang tenang, udara keemasan, dan tak berembun bisa terasa sangat indah, hujan sudah lama tak menyapa ke Karawang. Perburuan adalah tentang peristiwa masa lalu menyedihkan di Jawa bagian Tengah, serta pertempuran yang terjadi di masa pendudukan Jepang. Terjadinya beriringan dengan Perang Dunia Kedua, sebelum Indonesia merdeka di Blora, tempat banyak peristiwa menarik terjadi. Hardo, lari atau mati. Tampak seperti penjelmaan syair, dongeng dan mimpi. Penonton bisa saja menyebut keputusan Hardo menyepi adalah aneh, tapi kita bisa sebut itu adalah eksentrik. Kisahnya sedih dan indah – dan tampak nyata. Kita sedang menyaksikan sebuah film tragedi.



Sejatinya saya menanti tanggal 15 Agustus 2019 untuk menyaksikan Bumi Manusia, sampai ambil cuti tahunan. Malah siang acara penuh, sore ketiduran sehingga menyisakan jam malam untuk menikmati adaptasi buku karya Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia paling malam selepas Isya, maka tak ada opsi yang lebih ideal selain menikmati Perburuan ketika jelang tengah malam.

Cerita merentang enam bulan dari tanggal 14 Februari 1945 sampai Proklamasi berkumandang, bahwa pasukan bentukan Jepang, PETA (Pembela Tanah Air) melakukan perlawanan. Adalah Shondanco Hardo (Adipati Dolken) dan kawan-kawan yang muak atas penjajahan ini. Misi kudeta mereka gagal, pasukan yang kocar-kacir itu melarikan diri ke hutan, sebagian akhirnya menyerah ke Jepang ketika utusan datang bahwa tak akan melakukan hukuman bagi pasukan yang mau kembali, janji memberi kemerdekaan secepatnya kembali digulir.



Raden Hardo adalah anak wedana, ia diburu Jepang karena berbahaya. Dipimpin Shidokan (Michael Kho) yang kejam, dengan kaki tangannya yang jua sahabat Hardo, Karmin (Khiva Ishak). Adegan kejar-tangkap di hutan disajikan dengan tensi lambat, ketika rasanya rasa frustasi muncul, si Jepang memutuskan menangkap orang-orang terdekatnya. Ningsih (Ayushita) tunangannya, ayahnya yang berkhianat yang memberitahu. Dan pada puncaknya, kita tahu semanis impian kemerdekaan, hal itu harus dibarengi dengan harga yang sangat mahal. Saat Si Jepang membuka mulut, seolah kata-katanya menjadi hukum.

Tautan kasih dengan Ningsih, sejatinya dituturkan dengan nada optimis nan kuat. Selama pelarian, di antara mereka terbentang jurang tak berdasar yang tak bisa diseberangi dan itu jelas adalah cinta. Hanya jembatan bernama kemerdekaanlah yang bisa menyatukan mereka. Hardo merindukan sang tunangan dengan segenap kesetian dan angan.



Alurnya maju terus secara linier, tak banyak tanya yang menggantung. Ada empat adegan bagus dalam Perburuan. Pertama ketika di kebun kala Hardo ngobrol sama daun lalu muncul pejabat baru dan mereka bercengkrama. Di tengah hamparan kebun jagung yang cantik dan rapuh menjelang subuh, di jalan setapak transpotasi desa tempat angin semilir mendesah, menghembus kencang lalu menyapu wajah mereka, selembut tanaman bunga sepatu, seakan dipenuhi gambaran indah nukilan ilustrasi kartu pos lokal yang sering kita terima kala itu dari kekasih yang jauh. Subuh itu indah dan tampak cokelat keemasan, kebun jagung dan tanah pertanian di belakangnya disirami cahaya merah dan bayang-bayang yang berpagutan, dengan suara jangkrik yang dijubelkan ke telinga. Ayo tenangkan diri, dan hitung sampai seratus sebelum adegan lain. Saya duduk tenang dan memulai hitung, tak sampai separuhnya, suara gerobak muncul dan mengakhirinya.




Kedua saat di kolong jembatan. Ketika para kere, para tuna wisma ini membunuh waktu dalam rumpian harap akan masa depan Indonesia, Hardo dan pelarian lain menyatu. Well, Tuhan mungkin akan lebih mendengarkan orang-orang teraniaya, kalau kita tidak mengganggu-Nya setiap saat. Sayangnya, malah disusupkan latar gelandang lain main wayang merusak kenikmatan. Seolah ada kelabu yang mengganggu.

Ketiga, pembacaan puisi dalam goa yang dimainkan dengan korek api dan senyum ngeri. Suara bagai dentingan harpa ditiup angin, dan mata yang memancarkan keabadian. Ketika batang api meredup dan kembali menyulut api lain, perenungan dengan jeda seperti ini selalu membuatku terpana. Hardo terlihat sangat sentimental dan romantis. Pernahkah kalian membaca cerita yang tak begitu adil? Kejadian lalu memang tak membunuhnya, tapi senyumnya telah mati. Namun Hardo seolah akan terus bercerita selama masih punya lidah untuk berujar, atau ‘seseorang’ untuk mendengar. Mendengarkan dia bercerita dengan korek api sesaat nyala sesaat kejap mati, sama asyiknya dengan mendengarkan seorang penyair menyenandungkan karyanya tepat di depanmu.

Keempat dan ini yang terbaik, adalah saat pertemuan ayah-anak dalam gubuk di malam hari dengan penggambaran aneh. Gubuk tua itu dengan rahasia yang tersamarkan dirajut, diambil gambar dari langit-langit, dialog menawan tersaji. Nada-nada emas dalam suara mereka disusupi ketakutan dan permohonan. Saat itu bulan belum muncul, tapi cahayanya malah memperburuk keadaan. Bayang-bayang yang sebelumnya bergeming kini bergerak dan menari-nari saat angin malam meniup dahan dan ranting.



Sejatinya memang ini adalah kisah menanti kebebasan. Oh mengerikan sekali, rasanya jika kau hanya bisa menunggu dan seolah tak bisa melakukan apapun. Seandainya Hardo tak bisa bermain puisi, pasti rasanya waktu berjalan bergitu lambat. Keyakinan bahwa Sangkakala keruntuhan Nippon akan berbunyi suatu hari nanti. Kekalahan Jepang itu, awalnya terasa mustahil karena Belanda yang menancapkan belenggu selama ratusan tahun saja bisa disepak dalam waktu singkat, mereka tak percaya, maka rasanya wajar ada gemetar ketakutan menyelingkupi. Namun selama ada kehidupan maka harapan selalu ada.

Perjalanan di hutan dalam pelarian yang indah melewati dunia hijau, dahan-dahan berbisik, pohon trembesi beraroma asam, serta petak-petak sinar matahari yang menyusup ke bawah rimbunan pepohonan. Saya sejatinya berharap akan banyak adegan sunyi di dalamnya, harapan itu hanya sedikit terkabul. Hutan asing yang menawarkan pesona liar, samar dan tak bernama membalutnya bagai pakaian. Suara jangkrik yang seharusnya dominan, semilir angin yang menempa wajah. Di hutan, Hardo memikirkan tanah air (dengan menggenggam tanah), berkhayal bahwa suatu hari nanti dia akan memiliki umur panjang dan menyaksikan bumi merdeka, memiliki rumah mungil yang nyaman di lembah bersama Ningsih guna hidup bersama.

Penerungan yang dikitari itu tampak sentimental. Sekali lagi, waktu terasa lama saat kau sedang menunggu. Tempo mengiris udara dengan derik jangkrik bersahut-sahutan, makhluk lain pasti sudah lari saat itu juga seandainya ada tempat yang dituju, tapi tak ada tempat lain, di sekeliling Hardo hanya ada kebun gelap, tanah basah dan sapaan sunyi.

Sayangnya, semua itu runtuh oleh skoring. Sial, jelek banget iringan Purwacaraka, merusak mood. Saat sedang asyik merenung, mencoba menikmati keintiman dengan keheningan, musik dimunculkan di waktu tak tepat. Dan suara alat musiknya itu kontinu, duh! Sulit sekali menjelaskan makian yang pas untuk disampaikan, mungkin gabungan antara momen khidmat dan riuh lalu tepok jidat. Alamak.

Ketika film usai, rasanya ingin segera menikmati angin pagi. Dengan kepulan kopi duduk nyaman di teras, hanya gumam “Ayo kita ke kebun jagung dan menunggu, saya pengen ngobrol sama daun.” Lalu bercerita, rerumputan menulis jejak langkah kepergiannya dengan tetesan embun, di atas lembah serta bukit menggantung asap biru tebal, seakan alam sedang memuja altar dalam hutan. Jangkrik bernyanyi sisa semalam, suaranya merdu. Perlahan, matahari menggelincir naik di tengah awan gelap kelabu berubah menjadi bayang-bayang ungu dan merah garang di pagi itu. Enggak muncul rintik kok, Karawang masih kemarau di Agustus tandus. Memang, ada banyak hal yang tidak kumengerti.

Endingnya khas novel Pram. Saya sudah membaca empat buku beliau, Bumi Manusia yang getir, Midah yang berakhir tragis, Gadis Pantai yang menyesakkan dan Perawan Dalam Cengkraman Militer (bukan sepenuhnya tulisan Pram). Letusan itu, sejatinya tak sepenuhnya membuatku terlalu terkejut, sayang ditampilkan buruk, seolah itu adalah adegan tambahan bloppers, dalam credit title film-film Jackie Chan. Setelah usai rasanya ingin protes, mengapa? Yah, hal semacam ini memang mungkin, dan saya dilanda kengerian baru yang sebelumnya tak terpikirkan.



Bukankah merdeka adalah kata yang indah? Sangat ekspresif, M.E.R.D.E.KA. sambil mengepalkan tangan ke atas penuh antusias. Dan terasa damailah seluruh tanah yang berbunga dan segar ini, serta damailah hati kecil kami.

Terberkatilah hati sepimu Hardo, kau benar-benar manusia hebat.

Overall: 6/10

(By Lazione Budy)

Saturday, August 17, 2019

ULASAN: BUMI MANUSIA




Saat kali pertama berita akan diangkatnya novel Bumi Manusia ke layar lebar, para pemuja Pram mengeluarkan respon kekhawatirannya karena bagi mereka biarlah novel terkemuka ini menjadi peninggalan sejarah dalam bentuk sastra. Masalah tidak usai di sana, setelah akhirnya Falcon memegang penuh hak produksinya dengan Hanung Bramantyo duduk di kursi sutradara, para pemuja Pram kembali kebakaran jenggot. Tidak berhenti sampai di sana, pemilihan Iqbaal Ramadhan sebagai Minke, para pemuja Pram memicingkan mata tanda kecemasan baru akan filmnya yang pada saat itu, syuting pun belum dimulai. Reaksi yang wajar untuk para fans yang cinta mati akan Bumi Manusia dan Pramoedya Ananta Toer pada khususnya, merasa was-was apakah saduran ini akan membawa kerusakan atau penghargaan terhadap bukunya.




Sederhananya, Bumi Manusia menceritakan Minke seorang pribumi yang jatuh hati ke Annelies, seorang gadis berdarah campuran dari seorang Belanda dan pribumi yaitu Hendra dan Nyai Ontosoroh, hasil dari jual beli yang nantinya akan diceritakan sendiri oleh filmnya. Lika-liku kehidupan di mana Indonesia belum berhak merdeka, segala sesuatu mulai dari edukasi dan hukum semua berlandaskan parlemen Belanda, dan pribumi tidak ada kuasa atas haknya. Begitupun untuk hal harta dan tahta. Minke harus bersikukuh membela Annalies mengatasnamakan cinta, di sisi lain dia hanyalah patung hidup di depan kekuasaan Belanda. Ontosoroh yang tak tinggal diam ingin bertarung mempertahankan kekayaan yang ia pupuk sendiri, mau tak mau harus tunduk di bawah kedigdayaan mereka.



Secara mengejutkan, dua tokoh yang diduga akan menjadi perusak konversi ini, Hanung Bramantyo dan Iqbaal Ramadhan, ternyata bisa membungkam mulut siapapun yang menaruh rasa pesimis terhadap mereka. Pemilihan Iqbaal ternyata sungguh jitu. Dengan image Dilan yang sudah melekat di dirinya, perombakan menjadi Minke menjadi tidak begitu sulit dan kentara. Pelafalan bahasa Belanda dan sikap percaya dirinya pun terbentuk dengan fasih. Iqbaal bukan satu-satunya aktor yang bermain bagus, hampir keseluruhan cast sungguh luar biasa, terkhusus Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh yang menggelagar di setiap adegan, dan Donny Damara yang memaksimalkan performanya walaupun bagian durasinya sedikit.



Semua dipikirkan matang-matang oleh Hanung dan tim. Kendati keotentikan sejarah pada saat itu masih bisa didebatkan, Hanung tetap tidak membiarkan hidangannya menjadi tidak sedap disantap. Production value begitu serius, tampak pemandangan yang begitu indah, dan bantuan musik yang begitu mengalun merdu. Satu poin yang ingin saya sanjung adalah di teritori penulisan naskahnya. Tidak ada satupun kalimat yang saya rasa sungguh berlebihan dan bergaya puitis. Semua berjalan natural dan sebagaimana mestinya. Bagian Minke dan Annelies saling memadu kasih di pelararan rumput juga ditampilkan sungguh indah dengan bujuk rayu khas Dilan yang tepat sasaran.



Memunculkan sosok sekarismatik namun lemah secara lapangan seperti karakter Nyai Ontosoroh gampang-gampang susah. Sebagai wanita tegar korban gundik peradaban Belanda, Ontosoroh di film ini tidak ditanggalkan begitu saja. Kalau Hanung dan tim tidak berhati-hati, Ontosoroh bisa jadi hanya karakter wanita patriotik sekali lewat yang akan mudah dilupakan. Namun, dengan polesan yang tajam dan berkat performa cemerlang Ine Febriyanti, Ontosoroh menjadi salah satu tokoh penting di film ini, dan bisa saja menjadi contoh ke depan bagaimana menghidupi karakter wanita kuat tanpa rasa takut dengan bentakan pria.



Sebagai penonton yang tidak membaca bukunya, dan hanya mendengar fakta bahwa Bumi Manusia adalah salah satu novel yang sulit dibawa ke ranah layar lebar. Dari sana saya bisa menyimpulkan bahwa tugas dan tanggung jawab Hanung memegang kendali novel ini sungguh sangat besar. Bagaimana ia harus menyenangkan produser membuat film yang ringan tapi penuh nilai positif, dan bagaimana ia bertaruh untuk menyenangkan hati para pembaca novel beserta penyanjung Pram. Bagi saya, Hanung sudah sangat berhasil minimal memenuhi salah satu tugasnya. Mungkin saja para pembaca tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dipaparkan di hadapan mereka, namun Hanung, sekali lagi, berhasil membawa sejarah menjadi suatu yang indah dan mudah ditangkap untuk kalangan anak muda yang belum mengenal bentuk karya sastranya.


Overall: 8/10

(By Ruttastratus)

Thursday, August 15, 2019

ULASAN: ANGRY BIRDS 2



Angry Birds merupakan game terlaris produksi Rovio Entertainment di tahun 2009 yang telah menjelma menjadi berbagai variasi game, animasi pendek, berbagai produk konsumen dan hiburan hingga akhirnya memproduksi film animasi yang diadaptasi dari game mereka yang terkenal, Angry Birds Movie. Setelah sukses dengan film pertamanya tersebut pada tahun 2016, selang 3 tahun kemudian Angry Birds kembali dengan sekuelnya tanpa embel-embel sub judul dengan mendapat tambahan angka 2. Angry Birds Movie pertama merupakan film animasi yang sukses secara Box Office dengan total pendapatan 352 juta USD secara global dan menjadi film terlaris di urutan ketiga yang berbasis dari video game setelah Warcraft dan Detective Pikachu. Film Angry Birds 2 diproduksi bersama oleh Columbia Pictures, Rovio Animation, dan Sony Pictures Animation, film ini dirilis di UK pada 2 Agustus 2019 dan menyusul di US pada 13 Agustus 2019. Film ini disutradarai oleh Thurop Van Orman dengan screenplay yang dibuat Peter Ackerman, Eyel Podell, dan Jonathon E. Stewart. John Cohen tetap duduk di kursi produser. Jason Sudeikis, Josh Gad, Danny McBride, Maya Rudolph, Bill Hader, dan Peter Dinklage kembali mengisi suara mereka dengan beberapa cast baru seperti Leslie Jones, Rachel Bloom, Awkwafina, Sterling K. Brown, Eugenio Derbez, Pete Davidson, Zach Woods, Dove Cameron, Lil Rel Howery, Nicki Minaj, Beck Bennett dan Brooklynn Prince.



Jika di film pertamanya menceritakan kisah Red (Jason Sudeikis) bersama dua sahabatnya Chuck (Josh Gad), dan Bomb (Danny McBride) dalam menggagalkan rencana para kelompok babi yang dipimpin Leonard (Bill Hader) dalam upaya mencuri telur-telur milik para burung. Maka produser John Cohen ingin memakai cerita di film keduanya untuk lebih mengekspansi universe dalam film Angry Birds. Dalam Angry birds 2 alkisah Red telah menjadi ikon pahlawan yang disegani di Bird Island dan perang dengan kelompok babi berubah menjadi prank war dan saling ejek. Namun situasi tersebut berubah serius saat muncul ancaman dari pulau misterius ketiga yang menghujani Bird Island dan Pig Island dengan bola es raksasa. Di saat demikian, Leonard mendatangi Red untuk menawarkan gencatan senjata dan ajakan bekerja sama untuk mengatasi masalah yang lebih besar, yaitu ancaman dari Eagle Island, pulau misterius ketiga yang ingin meluluhlantakkan dan menginvasi kedua pulau tempat tinggal mereka. Red pun bingung dan semula berpikir ini hanya akal-akalan para babi untuk menjalankan rencana terselubung mereka. Namun karena tidak ada opsi pilihan lain akhirnya Red mau bersekutu dengan Leonard. Mereka pun mulai membentuk tim ‘super’ yang beranggotakan tentu saja Chuck dan Bomb, Mighty Eagle (Peter Dinklage), adik perempuan Chuck, Silver (Rachel Bloom); personil baru yang juga pintar dan ahli teknologi, Courtney (Awkwafina); asisten Leonard yang lucu namun cekatan, serta Garry; sang ilmuwan yang memfasilitasi semua teknologi canggih para babi di Piggy Island. Dalam upaya infiltrasi ke Eagle Island, tim ini menemukan bahwa sosok misterius di Eagle Island adalah burung elang Zeta (Leslie Jones), yang memiliki masa lalu misterius dengan Mighty Eagle, dibantu chief scientistnya Glenn (Eugenio Derbez) yang sedang merancang senjata canggih terbaru untuk mewujudkan rencananya menghancurkan Pig Island dan Bird Island. Akankah kedua personil tim burung dan babi yang selalu berselisih ini mampu mengesampingkan perbedaan di antara mereka dan bekerja sama menghentikan rencana jahat Zeta sebelum terlambat?



Premis film ini diceritakan dengan menarik dan tidak membosankan sama sekali. Plot ceritanya cukup rapi dibalut unsur komedi yang cukup kental. Film ini memberi ruang yang cukup efektif untuk pengembangan karakter dengan tidak mengabaikan ceritanya selama durasi 1 jam 37 menit. Bagian awal film ini menampilkan apa yang terjadi dengan tiga sekawan Red, Chuck, dan Bomb selepas film pertama dan konflik dalam diri Red sekaligus penyegar ingatan akan penduduk Bird Island. Babak berikutnya menampilkan bagaimana akhirnya para burung bisa membentuk aliansi dengan grup babi dan mengesampingkan perbedaan dan ditutup dengan misi infiltrasi ke Eagle Island yang penuh keseruan dan adegan kocak. Satu hal yang menonjol dalam film Angry Birds adalah faktor komedinya yang mampu ditranslasikan dengan baik secara visual dan mampu menembus batas usia ataupun latar belakang penonton. Adegan komedinya selalu mendarat pada adegan yang tepat dan kadang tak terduga dijamin menjadikan penonton tak berhenti tertawa. Banyak unsur budaya populer yang diplesetkan ke dalam dunia Angry Birds yang bakal membuat penonton menyadari bahwa unsur komedi film ini benar-benar dipikirkan dengan detil, contohnya plesetan Crazy Rich Avians (dari Film laris Crazy Rich Asians) yang memang fenomena sensasional di dunia perfilman dan banyak humor receh lainnya yang harus disaksikan sendiri. Penggunaan tembang lawas seperti All by Myself (Eric Carmen), Space Oddity (David Bowie), I Don’t Want to Wait (Paula Cole), Eye of A Tiger (Survivor), dan Hello (Lionel Richie) makin menambah semarak film ini yang sudah pasti membuat penonton dewasa kembali bernostalgia. Bahkan jingle Baby Shark juga ikut muncul dalam Salah satu adegan film. Adegan romantis antara Red dan Silver juga tidak lupa diselipkan dalan film sehingga turut menambah semarak cerita yang ada. Kekuatan film ini terletak pada karakter-karakternya yang kuat dan eksekusi alur cerita yang sangat baik. Tiap karakter mendapat momennya sendiri untuk tampil namun mereka tetap bersinar baik ketika sendiri maupun ketika berinteraksi dengan karakter lain. Dibandingkan film pertamanya, di film sekuelnya ini terdapat lebih banyak momen seru dan mengocok perut serta aksi yang lebih bombastis karena menggabungkan kekuatan para burung dan babi.



Faktor penting yang menentukan keberhasilan film animasi adalah pemilihan voice cast yang tepat dan mumpuni dalam menghidupkan karakter-karakternya. Angry Birds 2 punya jajaran voice cast yang hebat dan berkualitas karena masing-masing memang berpengalaman dalam dunia komedi. Jason Sudeikis kembali memerankan Red yang pemberani namun memiliki masalah dalam interaksi sosial dan kepercayaan dirinya. Jason Sudeikis mampu menampilkan karakter yang mengalami perubahan emosional seiring berjalannya cerita film. Josh Gad (Chuck) tetap tampil sebagai karakter yang cekatan, hiperaktif dan penuh energi. Danny McBride (Bomb) tampil sebagai pelengkap trio grup burung yang berhati besar namun terkadang terlalu lugu. Peter Dinklage (Mighty Eagle) yang terkenal lewat Game of Thrones juga turut mencuri perhatian dengan karakternya yang kuat namun terkadang bodoh. Karakternya dalam film berperan cukup penting karena rahasia masa lalunya yang terkait dengan cerita film ini. Interaksi Bill Hader (Leonard) sebagai karakter pemimpin para babi yang narsis dan manipulatif dan selalu berselisih dengan Jason Sudeikis (Red) berhasil ditampilkan dengan dinamis. Sementara itu Rachel Bloom (Silver) yang Kita kenal lewat Crazy Ex- Girlfriend berhasil tampil sebagai karakter baru yang fresh, pintar, ceria, dan energik serta memiliki kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Awkwafina sebagai Courtney dengan gaya komedinya yang khas tampil sebagai asisten Leonard yang dapat diandalkan sementara Sterling K. Brown sebagai Garry tampil kocak ala Q dari film 007 yang jenius, lengkap dengan logat British, namun terkadang kualitas pekerjaannya menimbulkan masalah baru. Dari sisi karakter antagonis, Leslie Jones tampil memukau sebagai Zeta yang dipenuhi dendam masa lalu dan cukup mengintimidasi bagi para tim burung dan babi.



Konsep cerita yang ditampilkan Cohen berkisar soal frenemies menjadi faktor kuat yang melingkupi keseluruhan film (Frenemies adalah istilah untuk aliansi dua pribadi yang bertolak belakang dalam berbagai hal) dalam kasus ini aliansi dari para burung dan babi. Ide musuh baru yang lebih kuat dan intimidatif dan unsur twist yang klise namun tetap menghibur turut menyumbang keberhasilan cerita film ini. Cerita film ini yang dibuat bergaya film mission impossible tapi banyak dipenuhi kekonyolan dan kecerobohan dari Tim Frenemies juga menjadi Salah Satu nilai tambah tersendiri. Van Orman dalam debutnya sebagai sutradara animasi Layar lebar sanggup memaksimalkan visualisasi komedi dan aksi menjadi tontonan yang sangat menarik. Cohen juga secara kreatif menciptakan Side story soal Trio Hatchlings yg tidak kalah memikat dan menambah kekayaan cerita. Trio Hatchlings beranggotakan Zoe (warna pink) – Brooklyn Prince, Vivi (warna hijau) – Genesis Tennon, dan Sam-Sam (warna beige) – Alma Varsano. Para Hatchlings Di dunia Angry Birds ini disuarakan oleh talent baru yang memulai debut mereka di film animasi ini turut mencuri perhatian penonton lewat voice acting dan tingkah mereka yang kocak.



Sebagai film animasi untuk keluarga, film ini mampu menyampaikan pesan moral yang mengena lewat konflik yang dialami karakter Red terhadap teman-temannya seperti isu kepercayaan diri, pentingnya mendengarkan pendapat orang lain serta apa esensi dari berelasi dan kerjasama yang baik. Lewat kejadian-kejadian di film penonton belajar akibat .Melalui karakter Mighty Eagle penonton diajarkan bahwa mengakui kesalahan di masa lalu merupakan pintu menuju rekonsiliasi dalam suatu hubungan, yang berlaku dalam hubungan romantis ataupun non romantis. Film animasi yang baik adalah film yang selain mampu menghibur juga mampu membuat kita merefleksikan kejadian dalam film dengan kehidupan kita sehari-hari. Semua unsur tersebut terkandung lengkap dalam Angry Birds 2. Animasi seperti inilah yang baik ditonton terutama untuk anak-anak karena mediumnya yang bersifat ringan, ceria, dan mudah diterima. Selain itu lewat film animasi, tugas orang tua dalam membekali nilai-nilai dalam kehidupan menjadi lebih ringan karena anak-anak akan menjadikan karakter dalam film yang mereka tonton sebagai role model. Hal ini tentunya perlu diimbangi dengan bimbingan orang tua dalam menonton dan memilih film animasi yang tepat.


Overall: 8,5/10 

(By Camy Surjadi)

Sunday, August 11, 2019

ULASAN: DORA AND THE LOST CITY OF GOLD







Apa sih yang pertama kali melintas dipikiran sobat-sobat Gila Film ketika pertama kali mendengar serial animasi anak-anak 'Dora the Exploler' diangkat menjadi film layar lebar live action ? Tanpa bermaksud mengambil kesimpulan secara keseluruhan rasanya hampir sebagian besar kita tidak ada yang menyambut positif berita itu. Meskipun dalam versi animasinya serial ini komunikatif dengan penonton anak-anak, tetapi animasinya tidak mempunyai unsur atau plot cerita tertentu. Dan sepertinya hollywood tetap tidak mau melewatkan hal itu. Malah pihak studio memanfaatkan situasi itu dengan tidak adanya struktur cerita yang kuat di animasinya membuat para kreator live actionnya mempunyai jangkauan yang luas untuk menciptakan kisah Dora. Dan salah satunya adalah mengubah umur Dora yang pada serial animasinya masih anak-anak, maka untuk versi live action Dora akan menjadi seorang remaja.



Dora (Isabela Moner) yang mempunyai orang tua arkeolog tumbuh dalam lingkungan hutan belantara karena tuntutan pekerjaan kedua orang tuanya. Bukan sesuatu yang disesali oleh Dora. Tinggal di hutan tidak pernah membuat Dora kesepian. Dora sering berkeliling hutan yang dia anggap sebagai petualangan bersama monyet bernama Botts yang merupakan satu-satunya sahabat dia di hutan. Dan sampai akhirnya kedua orang tua Dora menemukan petunjuk mengenai situs yang sedang dikerjakan yang mengharuskan mereka harus pergi dari hutan dan tidak bisa membawa serta Dora dalam ekspedisi mereka. Sempat keberatan akhirnya Dora setuju untuk tinggal sementara dengan keluarga mereka di kota.



Di kota Dora tinggal bersama sepupunya Diego (Jeff Wahlberg) yang sudah lama tidak pernah ditemuinya. Disaat Dora sedang beradaptasi dengan lingkungan barunya yang sangat jauh berbeda dengan keadaanya ketika di hutan, Dora termasuk 3 teman lainnya termasuk Diego diculik oleh kelompok penjahat yang mengincar penemuan yang selidiki oleh orang tua Dora. Petualangan Dora dan teman-temannya pun dimulai, dari memecahan teka-teki yang memberi mereka petunjuk ke situs sekaligus menyalamatkan diri dari sekelompok penjahat tersebut.



Karena serial animasinya yang memang untuk anak-anak tentu penonton dewasa tidak mempunyai bayangan versi live actionnya akan seperti apa. Mengubah usia Dora menjadi remaja mungkin bisa dimaksudkan untuk menggaet penonton remaja dengan nama Isabela Moner sebagai pemeran Dora yang sebelumnya sudah tampil lewat film-film besar seperti franchise Transformers dan sequel Sicario. Dan ternyata penampilan Isabela sebagai Dora diluar dugaan cukup menghibur. Penampilannya yang sangat ekspresif dan ceria sangat mewakili Dora versi animasinya.



Ceritanya dibuat seringan mungkin yang memang targetnya penonton remaja dan anak-anak. Jadi jangan kaget untuk penonton dewasa akan lebih banyak bersabar dengan tipikal cerita yang sangat klise. Beberapa bagian cukup mengundang tawa, seperti adegan salah satu ciri khas Dora the Exploler yang mangajak interaksi penontonnya juga dimasukan versi live action ini. Tetapi hanya sebatas itu, selebihnya hanya menemui plot yang sangat mudah ditebak.



Dengan cerita yang tidak berbelit-belit tetapi juga tidak istimewa Dora and the Lost City of Gold mungkin hanya menghibur sesuai target penonton remaja dan dibawah umur. Jadi sangat disarankan jika kamu tidak ingin merasa bosan ketika menontonnya, mengajak adik atau anak saat menontonnya adalah pilihan tepat.

Overall: 6/10

(By Zul Guci)

Saturday, August 10, 2019

ULASAN: SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK




Selain tren film genre superhero, beberapa tahun belakangan ini genre horor termasuk yang cukup diminati di Hollywood. Kesuksesan film Conjuring dengan shared universe ala MCU yang sudah menelurkan beberapa sekuel dan spin off ditambah remake beberapa film horor yang sempat hits di antaranya Pet Sematary, dari film berjudul sama di era 80’an dan IT, dari serial TV di tahun 1990-an turut mendongkrak meningkatnya popularitas film horor. Satu lagi kisah horor dari buku anak-anak yang berjudul sama Scary Stories to Tell in The Dark karya Alvin Schwartz dengan ilustrasi oleh Stephen Gammell diadaptasi ke layar lebar. Buku Scary Stories to Tell in The Dark terdiri dari tiga buku berjudul Scary Stories to Tell in The Dark, More Scary Stories to Tell in The Dark, dan Scary Stories 3: More Tales to Chill Your Bones. Kisah horor dalam buku- buku tersebut berciri singkat namun memiliki efek mencekam dan mengejutkan dalam penyampaian dan konklusi nasib karakter protagonisnya. Hak adaptasi buku ini dibeli oleh CBS Films pada tahun 2013 sebelum akhirnya diumumkan bahwa kisah Scary Stories to Tell in The Dark akan difilmkan pada tahun 2016. Film ini disutradarai oleh André Øvredal (Troll Hunter, The Autopsy of Jane Doe) sementara Guillermo del Toro menjadi produser film ini dan ikut membantu menulis cerita dalam film ini. Film ini dirilis di bioskop Indonesia pada 7 Agustus 2019 yang lalu sementara di bioskop US pada 9 Agustus 2019.



Film Scary Stories to Tell in The Dark berlatar tahun 1968 di mana pada masa itu AS sedang melangsungkan pemilu dengan kandidat kuat Richard Nixon dan juga sedang mengalami perang Vietnam (1955 – 1975). Stella Nicholls (Zoe Colleti) adalah seorang gadis pemalu dan hidup terasing dari lingkungannya di sebuah kota kecil Mill Valley. Ibu Stella meninggalkannya dan keluarganya tanpa alasan yang jelas sejak Stella kecil menyebabkan Stella tumbuh menyendiri. Auggie Hilderbrandt (Gabriel Rush) dan Chuck Steinberg (Austin Zajur) adalah dua sahabat Stella yang paling ia percayai, mereka selalu melakukan kegiatan bersama-sama. Alkisah di Mill Valley terdapat kisah seram mengenai Rumah keluarga Bellows yang angker, di rumah itu Sarah Bellows kerap disiksa dan ia menuliskan kisah-kisah penyiksaan itu menjadi sekumpulan cerita seram. Pada malam Halloween, Stella, Auggie, dan Chuck mempunyai rencana untuk mengerjai Tommy Milner (Austin Abrams). Tommy adalah anak berandal yang selalu mengganggu tiga sahabat ini sedari kecil. Rencana mereka awalnya berjalan lancar namun belakangan Tommy dan teman-teman gengnya mengejar mereka bertiga. Saat hampir tertangkap, mereka dibantu oleh Ramon Morales (Michael Garza) untuk bersembunyi dalam mobilnya di area bioskop mobil terbuka (Drive-in Cinema). Setelah berhasil lolos dan sebagai balasan karena telah menolong mereka, Stella mengajak Ramon untuk ikut ke rumah keluarga Bellows. Rumah keluarga Bellows selalu menjadi tujuan favorit Stella dan ketiga temannya saat Halloween. Ketika menyusuri isi rumah tersebut, tiba-tiba Ramon menemukan pintu rahasia menuju kamar Sarah. Di kamar itu, mereka menemukan buku kisah seram yang ditulis Sarah. Tanpa berpikir panjang Stella mengambil buku tersebut dan membawanya ke rumah. Setelah itu Stella menemukan fakta bahwa kisah-kisah seram dalam buku tersebut adalah teror yang menjadi kenyataan, yang ditulis Sarah yang menimpa semua keluarganya dan orang-orang yang mengganggunya. Perlahan nasib mengerikan menimpa Tommy dan juga mengincar Stella, Auggie, Chuck, Ramon, dan semua yang memasuki rumah keluarga Bellows pada malam Halloween. Akankah Stella berhasil menghentikan teror kisah seram yang ditulis Sarah dalam bukunya dan menyelamatkan mereka semua sebelum terlambat ?



Sebagai film bergenre action horor dengan rating PG-13, film ini memiliki nilai positif karena lebih mengutamakan narasi cerita ketimbang formula jump scare yang membosankan dan mudah ditebak. Mengadaptasi kisah aslinya yang berbentuk antologi (cerita terpisah yang memiliki benang merah dari segi setting tempat, premis, atau kejadian) tentu merupakan tantangan tersendiri namun Guillermo del Toro dan André Øvredal berhasil meramu plot cerita film Scary Stories menjadi menarik. Cerita yang berpusat pada tokoh sentral anak-anak ini tergolong ringan dan lebih bersifat menghibur, sepanjang cerita kita akan disuguhi teror yang dilakukan oleh para monster yang muncul buku kisah seram yang dtulis Sarah. Petualangan dan kerjasama Stella dan teman-temannya dalam mengatasi teror cukup berhasil menyita perhatian penonton dan membuat penonton penasaran akan konklusi film ini. Level kengerian yang ditampilkan lewat monster-monster yang muncul cenderung bersifat biasa dan tidak sampai menimbulkan efek kengerian berlebih karena fokus utama film ini yang berpusat pada misteri keluarga Bellows terutama Sarah Bellows dan buku kisah seramnya. Namun sayangnya film Scary Stories ini terlihat menggebrak di awal dan agak kehabisan amunisi ketika menuju penghujung akhir filmnya. Hal ini terlihat dari adegan klimaks antara Stella dan hantu Sarah yang terkesan diburu-buru dan kurang mengena juga adegan penutup yang terlihat agak dipaksakan untuk mengarah ke sekuel.



Walaupun menggunakan cast yang belum terlalu dikenal namun para castnya yang terdiri dari anak-anak yang tergolong pra-remaja cenderung tampil baik. Hal yang menonjol dan terasa di film ini adalah suasana persahabatan di antara cast anak-anak ini dan interaksi mereka dalam menghadapi teror demi teror dari buku kisah seram. Zoe Colletti (Annie, Wildlife, Skin) sebagai protagonis film ini cukup bersinar dan mampu menampilkan karakter anak yang penyendiri namun memiliki keberanian dan rasa keingintahuan yang besar karena didorong oleh hasratnya menjadi penulis cerita horor. Namun karakter pendukung lainnya yang diperankan Gabriel Rush (Auggie) dan Austin Zajur (Chuck) terasa kurang dimaksimalkan bahkan termasuk Michael Garza sebagai Ramon yang semestinya bisa menjadi partner bagi Stella yang bisa menjadikan dinamika cerita ini lebih menarik. Karakter pendukung ini merupakan unsur cukup esensial yang sebetulnya berpotensi lebih mengikat penonton terhadap cerita film ini tetapi karakter pendukung ini kurang dieksplorasi baik dari segi background maupun hubungannya dengan Stella. Keadaan ini membuat ketika monster yang muncul dari buku kisah seram mengejar dan siap menimpakan nasib buruk untuk mereka, penonton merasa datar saja karena level kedekatan yang dibangun belum sampai taraf terhubung secara emosional. Sarah Bellows yang tampil sebagai karakter hantu antagonis film ini juga cenderung hambar dan tidak mengintimidasi sebagaimana image yang diceritakan sejak awal film.



Guillermo del Toro menggunakan pendekatan kreatif dengan meminjam ide buku yang dapat membaca kepribadian seseorang dari Salah satu karyanya yaitu Pan's Labyrinth untuk merajut cerita dalam film Scary Stories karena ia menghindari bentuk cerita antologi dalam film ini. Ditambah dengan misteri dan twist khas film slasher di mana korbannya terbunuh satu persatu oleh karakter antagonis maka hasilnya adalah adaptasi yang terbilang cukup fresh. Wujud makhluk supranatural yang berwujud monster merupakan signature khas Del Toro yang sangat kentara di film ini. Sutradara André Øvredal yang berpengalaman dalam menciptakan efek ketegangan seperti yang dilakukannya dalam The Autopsy of Jane Doe cukup ahli dalam menciptakan suasana suspense dan menentukan timingnya dengan optimal bagi penonton. Detil dan pernak-pernik poster dan memorabilia horor di kamar Zoe termasuk highlight penayangan film Night of The Living Dead adalah contoh desain set yang membuat film ini semakin kaya dan hidup. Del Toro dan Andre juga berhasil menginkorporasikan ciri khas film horor klasik era 80-an dengan segala atribut di era itu sehingga penonton pun akan merasakan nostalgia tersebut. Ketika menonton bukan mustahil penonton akan merasakan pengaruh film IT dan serial Stranger Things juga turut menyumbang atmosfer dalam film ini. Karena memang kedua judul tersebut sangat berhasil menghidupkan kembali hal berbau retro di masa lalu di era milenial ini.



Inti cerita film Scary Stories adalah mengenai kisah yang mempengaruhi, kisah yang diceritakan secara terus menerus memiliki dampak terhadap kehidupan yang dapat berwujud positif maupun negatif. Penceritaan suatu kisah memiliki kekuatan untuk menyembuhkan ataupun menyakiti, hal tersebut umumnya berupa isu, rumor, maupun gosip yang sering kita temui sehari-hari. Sama seperti kisah Sarah Bellows yang merupakan manisfestasi dari perlakuan buruk dan stigma negatif salah kaprah yang diterimanya, AS pun melakukan propaganda ‘kisah’ kebohongan bahwa perang Vietnam adalah bukti heroik kemenangan mereka melawan kekejaman tentara Vietnam padahal kenyataannya tidak demikian. Scary stories juga mencoba menampilkan isu rasisme terhadap Ramon yang merupakan imigran di mana pada era itu rasisme terhadap kulit berwarna khususnya kulit hitam sangat masif. Hal ini juga contoh kisah kelam AS yang efeknya masih dirasakan hingga zaman modern walau sudah jauh membaik sekarang. Pesan moral yang mengena dari sebuah film horor yang diucapkan lewat narasi yang dibacakan Stella di awal dana akhir film ini mengenai kekuatan cerita sekaligus menjadi refleksi bahwa cerita horor yang berkesan adalah yang paling diingat dan mampu membentuk pola pikir alam bawah sadar kita seperti kisah horor klasik era 80-90 yang makin jarang kita temui di era modern ini.

Overall : 7/10 

(By Camy Surjadi)