Wednesday, October 30, 2019

ULASAN: TERMINATOR 'DARK FATE'





Kata kapok bukanlah kata yang cocok untuk hollywood jika jatuh beberapa kali ke lubang yang sama. Terlebih jika lubang itu adalah sebuah franchise masih punya potensi yang menguntungkan. Franchise yang dimaksud dalam tulisan ini tentu saja adalah franchise Terminator. Tidak adanya nama James Cameron terlibat di tiga film terakhirnya setelah Terminator 2: Judgment Day (1991) benar-benar membuat filmnya seakan jauh dari akarnya. Mungkin dikarenakan merasa terpanggil James Cameron kembali terlibat dalam film ke-6 Terminator ini. Tidak tanggung-tanggung, 3 film sebelumya setelah film kedua dianggap tidak ada. Terminator 'Dark Fate' adalah sequel langsung dari Jugment Day.



Keterlibatan James Cameron dalam Dark Fate memang bukan sebagai sutradara, tetapi semua cerita yang disajikan dalam Dark Fate dijamin hasil kreasi sang sepuh sendiri yang dibantu oleh David S. Goyer, Justin Rhodes dan Billy Ray sebagai penulis naskahnya. Sementara untuk kursi sutradara ada nama Tim Miller yang sukses besar lewat debut feature filmnya Deadpool (2016). Dan setelah 3 tahun, akhirnya Tim Miller menyutradarai film panjang keduanya Terminator: Dark Fate. Untuk pemain, sang ikon Terminator Arnold Schwarzenegger kembali terlibat yang juga menajdi ajang reuni dengan veteran Terminator lainnya Linda Hamilton yang berperan sebagai Sarah Connor. Nama pemain lainnya yang terlibat adalah Mackenzie Davis, Natalia Reyes dan Gabriel Luna.



Setelah dua dekade lebih telah berlalu sejak Sarah dan John Connor mencegah Judgment Day, mengubah masa depan, dan menulis ulang nasib umat manusia. Tetapi sayangnya hal itu mengubah takdir ibu dan putra ini ketika John Connor akhirnya tewas oleh T-800 (Arnold Schwarzenegger) susulan. Sarah Connor (Linda Hamilton) pun menghilang setelah kejadian itu. Lalu Dani Ramos (Natalia Reyes) hidup sederhana di Mexico City bersama saudara laki-lakinya (Diego Boneta) dan ayahnya ketika datang Rev-9 (Gabriel Luna), sebuahTerminator baru yang sangat canggih dan mematikan, yang melakukan perjalanan melintasi waktu untuk memburu dan membunuhnya. Kelangsungan hidup Dani bergantung pada dua orang pelindung, yakni Grace (Mackenzie Davis), seorang prajurit super dari masa depan yang telah ditingkatkan fisiknya, serta sang veteran Sarah Connor yang kembali muncul. Ketika Rev-9 dengan kejam menghancurkan segala sesuatu dan semua orang yang menghalanginya untuk berburu Dani, ketiganya bergabung dengan T-800 dari masa lalu Sarah yang mungkin menjadi harapan terbaik terakhir mereka.



Hadirnya James Cameron bukan hanya sekedar untuk branding untuk menarik fans original Terminator. 30 menit pertama sangat terlihat kita langsung dibawa dengan nostalgia berpacu adrenalin seperti saat kita menonton Judgment Day. Dalam 30 menit itu semua karakter 3 utama muncul dalam sebuah adegan kejar-kejaran yang seru. Percayalah, 30 menit pertama benar-benar membuatmu tidak berpaling dari layar. Jadi pastikan kamu tidak telat sama sekali masuk studio. Setelah 30 menit pertama itu barulah pelan-pelan kita akan mengenal tokoh-tokoh utama kita.



Dari yang disajikan Dark Fate, sangat terlihat para kreator franchise ini ingin melepas trademark cerita yang sangat bergantung pada karakter John Connor. Keputusan menghilangkan 3 film sebelumnya merupakan sebuah keputusan tepat yang membuat franchise Terminator menjadi lebih segar. Well, walaupun dari keseluruhan plot cerita tidak ada yang istimewa, tetapi semua ditutup dengan kehadiran tokoh-tokoh yang menarik. Pertama adalah kehadiran Grace, karakternya perpaduan antara Kyle Reese yang muncul di Terminator pertama dan Marcus Wright di Terminator Salvation yang disini tidak hanya menghindari Rev-9 yang sangat kuat, tetapi juga berhadapan satu lawan satu. Kedua ada pada karakter T-800. Jujur sedikit agak geli ketika Terminator yang satu ini menjalani mendapat proses hidayah dan membuatnya membelot menjadi pembela umat manusia. Tetapi justru hal itu yang mebuat Dark Fate jauh lebih berwarna.



Tim Miller yang terhitung masih baru terjun dalam layar lebar sekali lagi berhasil memberikan sebuah tontonan yang sangat menghibur. Jika Deadpool pertama dengan budget minimal tetapi mampu diramu dengan hasil maksimal, maka lewat Dark Fate dengan budget yang jauh lebih besar, Tim Miller tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Terlebih langsung didampingi oleh James Cameron sebagai produser.



Secara keseluruhan Terminator: Dark Fate seakan membayar kekecewaan fans pada tiga film sebelumnya. Sulit tentunya bisa melampaui Judgment Day yang masih terbaik dari semua seri Terminator. Tetapi setidaknya Dark Fate kembali pada akarnya Terminator. Sebuah tontonan yang sayang untuk dilewatkan ditonton di bioskop.



Overall: 7,5/10

(By Zul Guci)




Monday, October 28, 2019

FOOD LORE, ANTOLOGI SERIES TERBARU HBO ASIA DENGAN TEMA KULINER



Aktris Indonesian Alexandra Gottardo, bersama pemeran pembantu Dian Sidik dan Putri Ayudya, serta sutradara Billy Christian, dari serial drama antologi HBO Asia Original terbaru, FOOD LORE, hari ini mempromosikan serial tersebut di Jakarta. FOOD LORE, akan tayang perdana Minggu, 3 November 2019 jam 21.00 WIB di HBO GO dan HBO. Serial delapan episode berdurasi satu jam ini menggali kondisi sosial dengan kisah yang terinspirasi oleh makanan Asia.



Dimotori oleh pembuat film terkenal asal Singapura Eric Khoo (“Ramen Teh”, “12 Storeys”), pengambilan gambar FOOD LORE (#FOODLORE) berlangsung di delapan negara Asia – India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan disutradarai oleh beberapa pembuat film berbakat di Asia seperti Erik Matti (“BuyBust”, “Honor Thy Father”) dari Filipina, Phan Dang Di (“Bi, Don’t Be Afraid”, “Big Father, Small Father and Other Stories”) dari Vietnam, Billy Christian (“Tuyul: Part 1”, “The Sacred Riana: Beginning”) dari Indonesia, Don Aravind (“Angel”, “Drive”) dari Singapura, Pen-Ek Ratanaruang (“Headshot”, “Last Life in the Universe”) dari Thailand, Takumi Saitoh (“Blank 13”, “Hannbun no Sekai”) dari Jepang dan Ho Yuhang (“Trespassed”, “Mrs. K”) dari Malaysia.



Seperti halnya masakan rumahan favorit, setiap kisah berbumbu cinta dan dibuat untuk menggugah selera. Pemirsa akan terbawa dalam petualangan emosional yang penuh gairah, sarat kenangan indah dan sedikit sentuhan Asia. Tiap episode memiliki suara, nada dan narasi berbeda.



Dua episode pertama, dari Vietnam, FOOD LORE: He Serves Fish, She Eats Flower, dan episode Filipina, FOOD LORE: Island of Dreams, akan memulai debut internasionalnya di ajang Tokyo International Film Festival (TIFF) masing-masing pada 30 Oktober dan 31 Oktober. TIFF dimulai pada 1985 sebagai ajang festival film besar yang pertama di Jepang dan sejak itu berkembang menjadi salah satu festival film terkemuka di Asia.



Tayang di Singapore International Film Festival pada 24 November, episode India, FOOD LORE: A Plate of Moon, juga akan memulai debut internasionalnya. Ini merupakan pertama kalinya HBO Asia Original hadir di kedua festival tersebut.

Tuesday, October 22, 2019

ULASAN: ZOMBIELAND 'DOUBLE TAP'





Apa arti rumah? Apakah rumah adalah tempat di mana kita hidup dalam lingkup orang-orang yang sedarah dengan kita? Atau justru rumah adalah rasa kebersamaan bersama orang-orang yang kita cintai dan juga mengerti akan diri kita dan menerima kita apa adanya? Pengertian rumah sendiri adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Dalam artian khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain



Tema keluarga memang tak ’kan pernah lekang oleh waktu. Sudah banyak film yang mengambil tema keluarga sebagai landasan cerita utama. Entah film keluarga dengan balutan komedi romantis, keluarga dengan kisah perang, keluarga dengan nuansa horror, bahkan keluarga dengan latar belakang dunia distopia melawan zombie yang tak pernah berakhir.



Zombieland adalah salah satu film yang nyeleneh karena memadukan tema disfungsional keluarga (hanya Wichita dan Little Rock yang sedarah) dengan latar belakang dunia yang sudah hancur karena serangan zombie. Terlebih bukan film aksi serius dengan adegan yang heroik, melainkan aksi melawan zombie plus komedi segar antar interaksi para karakter. Sepuluh tahun berikutnya, munculah sekuel dari Zombieland dengan judul Zombieland: Double Tap. Para karakter utama Zombieland Double Tap masih sama dengan sebelumnya, bahkan tetap dimainkan oleh peran yang sama. Termasuk si kecil nan imut Abigail Breslin yang sudah beranjang remaja dengan segala keinginannya mencari jati diri, seperti tingkah remaja pada umumnya.



Film dimulai saat Columbus (Jesse Eisenberg), Tallahassee (Woody Harrelson), Wichita (Emma Stone) dan Little Rock (Abigail Breslin) pindah ke Gedung Putih yang ditinggalkan di dunia yang dipenuhi zombie pasca-apokaliptik yang disebut oleh Columbus sebagai Zombieland. Segala sesuatunya tampak menjadi tenang bagi mereka sampai Columbus membuat Wichita takut dengan lamaran pernikahan yang mendorongnya untuk mengambil adiknya Little Rock dan meninggalkan Columbus dan Tallahassee. Setelah beberapa minggu berlalu, Columbus tampaknya telah ‘move-on’ dengan seorang gadis baru yang lucu bernama Madison (Zoey Deutch), tetapi baik dia dan Tallahassee ditarik kembali ke dunia petualangan ketika Wichita kembali dan memberi tahu mereka bahwa Little Rock telah melarikan diri dengan seseorang hippie yang baru saja ditemuinya dan disukai oleh Little Rock bernama Berkeley (Avan Jogia). Mengingat Berkeley adalah orang pasifis dan hippie yang benci akan peperangan, maka dari itu Wichita, Tallahassee dan Columbus berniat mencari Little Rock yang dibantu oleh Madison.



Seperti film "Zombieland" pertama, daya tarik film yang satu ini benar-benar berpusat pada tiga hal: Banyak adegan aksi melawan zombie yang berdarah (gore) dengan visualisasi yang ajib dialog-dialog cerdas antar pemain, dan momen istimewa ketika Columbus mencoba berbicara / bernarasi dengan para penonton dalam pembentukkan peraturan –peraturan agar bertahan hidup di Zombieland atau (sebagai twist baru dalam sekuel ini) Columbus juga mengidentifikasi berbagai jenis zombie yang mungkin akan mereka dihadapi.



Dari segi penyutradaraan, tidak dapat dipungkiri tidak ada perubahan krusial dari film pertama, hal ini justru menjadi daya tarik sendiri mengingat betapa eksentriknya film Zombieland. Dalam kurun waktu 10 tahun, Ruben Fleischer telah membuat berbagai macam film aksi atau komedi yang berbeda dan cukup fenomenal. Selain Zombieland dan Zombieland: Double Tap, Fleischer telah membuat 30 Minutes or Less yang sangat lucu dan satir, Gangster Squad aksi gangster yang sangat stylish, serta aksi antihero Venom yang sangat sukses secara komersil dan menjadi film guilty pleasure bagi banyak pecinta superhero film. Fleischer sudah membuktikan bahwa sangat film Zombieland: Double Tap, tidak akan mudah dilupakan dan akan tetap setia dengan ciri-khasnya.



Tidak ada hal yang diragukan lagi dari segi akting, semua bermain sangat prima sesuai dengan perannya. Walaupun bisa dibilang, peran-peran mereka memang identikal dengan peran di film-film lain. Contoh: Woody Harrelson selalu menjadi tokoh sok tau (serta sok tua) yang cuek dan sedikit alpha male, tetapi memang dia adalah orang yang sangat sayang dengan keluarganya dan akan selalu melindunginya. Karakternya tidak jauh berbeda dari film-filmnya yang lain, seperti The Hunger Games series, Now You See Me series, The Duel atau Wilson. Pun begitu juga dengan Emma Stone yang selalu berperan menjadi wanita cerdas, cantik, pemberontak, sarkastik, mandiri dan tau dengan apa yang dia mau, seperti peran Emma Stone di film-film Easy A, Crazy Stupid Love, The Amazing Spider-Man series, La La Land, The Favourite dll. Jesse Eisenberg juga sama dan Abigail Breslin pun serupa (walaupun Breslin masih muda). Sehingga mungkin kita sedikit bosan melihat mereka dengan karakter yang sama di film-film mereka lainnya. Tidak ada yang baru dari segi penokohan di empat pemeran utama, melainkan sebuah penegasan saja.



Walaupun begitu, Zoey Deutch yang berperan menjadi Madison adalah karakter penyegaran yang membuat kita terpana dengan segala kelucuan, kepolosan, dan betapa bodohnya Madison dengan segala tipikalnya. Tipikal dari wanita cantik, berkulit putih, rambut pirang dengan tubuh yang seksi. Zoey mampu membawakan Madison jadi scene stealer bahkan saat bersanding dengan senior-seniornya di Zombieland Double Tap. Jangan lupa penyegaran lainnya dari karakter Luke Wilson dan Thomas Middleditch serta di credit scene Bill Murray akan tampil menjadi cameo yang membuat kita tertawa terpingkal-pingkal.



Bagian paling istimewa dari film ini adalah, bagaimana ke 4 pemain utama benar-benar memberikan momen momen yang membahagiakan di film, seperti layaknya keluarga pada umumnya. Walaupun tidak berhubungan satu sama lain, kemistri antara mereka berempat tidak dipungkiri lagi sangat dekat dan seakan mereka sudah menjadi keluarga dalam waktu 10 tahun. Belum lagi sempilan love interest Tallahassee bernama Nevada (Rosario Dawson) makin jadilah keluarga ini dengan kedatangan sosok seperti ‘Ibu’ yang absen di film pertama.



Konsep genre aksi komedi – road movie – paska apokalips memungkinkan film ini adalah film bertema keluarga dengan adanya kebersamaan dari ke empat tokoh utama. Mereka membentuk hubungan – ikatan yang tak nyata tetapi sangat erat sekali satu sama lain. Mereka sangat nyaman dengan hubungan aneh mereka, mejadikan mereka keluarga yang akan saling mengerti. Ending dari film ini jelas menyatakan kepastian dari sebuah keluarga baru di Zombieland termasuk tambahan satu anggota keluarga yang melengkapi kejanggalan keluarga mereka. Columbus pun menyadari, bahwa walaupun tidak beratap, hidup di alam bebas, melawan para zombie, asalkan dia bersama mereka (yang sudah menjadi keluarganya) adalah rumah paling nyaman yang selalu dia inginkan. Dia meyakini, bahwa rumahnya adalah di mana keluarganya berada.

Overall: 8/10

(By Ibnu Akbar)

Monday, October 21, 2019

ULASAN: HUSTLERS




Apakah anda masih ingat soal kisah para stripper pria yang terinspirasi dari kisah hidup Channing Tatum? Magic Mike dirilis tahun 2012 yang cukup sukses secara rating dan finansial ditambah film tersebut diperankan oleh para aktor pria yang cukup terkenal dan keren kala itu selain Channing Tatum (Matt Bomer, Matthew McConaughey, bahkan Joe Manganiello ikut bermain dalam film tersebut). Masih terinspirasi dari kisah nyata, kali ini kisah tentang para stripper wanita di kota New York dan petualangan mereka dalam mencari uang dari kota paling sibuk di AS. Kisah tersebut ditulis dalam artikel berjudul “The Hustlers at Scores” di New York Magazine karya Jessica Pressler pada tahun 2015. Artikel tersebut diangkat menjadi film berjudul Hustlers yang ditayangkan di bioskop AS pada 13 September 2019 dan tayang di Indonesia pada 18 Oktober 2019 setelah melalui proses penyensoran yang cukup alot. Film bergenre drama kriminal ini disutradarai oleh Lorene Scafaria (Nick & Norahs Infinite Playlist – 2008) sementara Jennifer Lopez dan Will Ferrell menjadi anggota tim produser film ini bersama rumah produksi mereka Nuyorican Productions. Film ini dibintangi oleh Constance Wu, Jennifer Lopez, Julia Stiles, Keke Palmer, Lili Reinhart, Lizzo, dan Cardi B.



Cerita dimulai dengan setting waktu tahun 2014 menyorot Dorothy/Destiny (Constance Wu) yang sedang diwawancarai oleh Elizabeth (Julia Stiles) terkait dengan teman sekaligus mentornya Ramona (Jennifer Lopez). Elizabeth sedang menulis cerita soal skandal penipuan yang melibatkan Destiny, Ramona dan teman-teman mereka. Tujuh tahun sebelumnya Destiny bekerja di Klub Stripper Moves untuk membiayai hidupnya dan ibunya namun penampilannya tidak begitu memukau. Sampai suatu kali ia melihat penampilan Ramona dan berusaha berteman dengannya. Usahanya berhasil, ketika bertemu Ramona di atap dan mereka bercerita, Ramona merasa cocok dan akhirnya mereka berdua menjadi tim yang solid dan mengumpulkan uang cukup banyak. Setahun kemudian krisis finansial terburuk di tahun 2008 melanda AS dan mereka berdua pun dilanda kesulitan keuangan. Ditambah lagi Destiny sudah memiliki anak dari pacarnya yang dikenal sewaktu aktif sebagai stripper sehingga keadaan tersebut memaksa Destiny untuk kembali menjadi stripper.



Sekembalinya ke Moves, Destiny terkejut karena suasananya telah berubah di sana, para stripper yang kebanyakan imigran Rusia mau melakukan aktivitas seks untuk uang, sesuatu yang melanggar batas bagi Destiny. Tidak butuh waktu lama Destiny pun kembali mengontak Ramona dan mereka bekerja sama melancarkan rencana baru untuk mendapatkan banyak uang. Bersama Annabelle (Lili Reinhart) dan Mercedes (Keke Palmer) yang merupakan kolega stripper mereka, mereka menarget klien-klien kaya dan mengeruk uang mereka. Modus operandi mereka adalah membuat para klien pria kaya menjadi teler berkat racikan obat mereka (ketamine + MDMA), yang mereka campurkan ke dalam minuman, lalu mengantarnya ke Moves untuk mencharge kartu kredit mereka sampai batasnya. Lama kelamaan Ramona berhenti membawa klien-kliennya ke Moves, Ramona berpindah membawa para kliennya ke hotel sehingga hasil yang mereka terima tidak perlu dibagi dengan klub. Taktik ini berhasil hingga suatu waktu terjadi insiden dengan suatu klien yang menyebabkan mereka diselidiki oleh kepolisian NY. Insiden ini menyebabkan hubungan Destiny dan Ramona retak serta menyebabkan mereka ditahan bersama dengan Annabelle dan Mercedes. Apakah yang terjadi selanjutnya dengan hubungan persahabatan Destiny dan Ramona? Dapatkah hubungan mereka pulih kembali?



Dalam film yang sarat unsur seksualitas ini, Scafaria berhasil menyajikan cerita yang membuat penonton berfokus pada kisah drama para stripper di industri hiburan malam ketimbang menonjolkan aspek seksualnya, sejak awal terlihat bahwa Scafaria ingin kita melihat lebih dalam pada aspek manusiawi para stripper ini. Scafaria meramu cerita yang tepat yang mampu menjadikan tokoh-tokoh utamanya yang notabene para stripper bukanlah sebagai objek semata melainkan tokoh manusiawi yang memiliki latar belakang mengapa mereka berbuat demikian. Lewat kacamata Ramona dan Destiny kita diperlihatkan bahwa pekerjaan di dunia mereka pun tidak ubahnya pekerjaan lain yang juga memiliki politik dan sistem yang terkadang tidak berpihak pada pekerja. Cerita yang dibangun cukup solid dan mampu membuat kita terhubung dengan para karakter dalam film ini, penonton akan dapat bersimpati terhadap Ramona dan Destiny terkait latar belakang mereka melakukan semua kegiatan tersebut. Kita diperlihatkan bahwa di balik semua itu mereka juga sebetulnya adalah wanita yang peduli terhadap anak dan keluarga mereka. Scafaria membuat kita terhanyut dalam kisah persahabatan dan jatuh bangun Destiny, Ramona, Annabelle, dan Mercedes dalam skema dan intrik mereka mengerjai para pekerja Wall Street sekaligus membuat kita berpikir bahwa tindakan mereka walau dalam area abu-abu mungkin layak diterima para pekerja Wall Street. Sebagaimana dijabarkan Ramona, para pekerja Wall Street juga tidak ubahnya pencuri yang menggunakan kelicikan dan tipu daya mereka dalam menipu klien untuk mendapatkan komisi besar. Jadi apakah menipu para pekerja wall Street untuk menghabiskan uang mereka dapat dibenarkan toh uang tersebut juga tidak didapat dengan cara jujur, pemikiran ini pasti akan terlintas di benak penonton.



Dari segi cast, Jennifer Lopez lah bintang utama dalam film ini berkat kepiawaiannya menjelma menjadi seorang wanita Latin pemimpin kelompok para stripper, ia tampil sangat memukau sebagai wanita yang kuat dan dominan, yang menguasai sistem dan tahu cara mengeksekusi rencana besar untuk mendapatkan uang. Dari segi fisik penampilan Lopez pun terlihat prima dan mengagumkan mengingat usianya yang sudah menginjak 50 tahun. Lopez juga mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang ibu yang peduli pada anaknya dan memiliki empati pada para teman sekerjanya. Constance Wu kali ini tampil lebih multi dimensional ketimbang perannya dalam Crazy Rich Asians, ia yang semula lugu mampu menjelma menjadi penipu namun tetap punya moralitas setelah diajari oleh Ramona, ia juga mampu menampilkan sosok pekerja kelas bawah yang berjuang untuk menghidupi putri dan ibunya. Ini semua ditampilkan secara cukup pas dan apa adanya. Lili Reinhart dan Keke Palmer juga tampil memuaskan sebagai aktris pendukung film ini dan menciptakan dimamika menarik antara mereka.



Hustlers menampilkan sisi humanis dan aspek manusiawi di balik industri kehidupan malam, secara spesifik Klub Stripper, yang selama ini hanya selalu dipandang negatif saja. Scafaria mengajak kita menyelami lebih dalam kehidupan para pekerja yang tak ubahnya wanita yang ingin bertahan hidup dengan segala problematika hidup mereka. Aspek moralitas penonton juga diusik lewat serangkaian tindakan penipuan yang dilakukan para karakter wanita dalam film ini karena tujuan mereka melakukan hal tersebut tidak hanya untuk keuntungan semata walau memang termasuk kriminal. Sesuatu hal yang dibangun dengan fundamental yang tidak baik seperti penipuan tidak dapat bertahan selamanya begitulah pesan yang ingin disampaikan lewat cerita film ini. Tentu saja kondisi budaya dan aspek legal di US berbeda dengan di Indonesia, di sana Klub stripper adalah hal yang legal sementara di Indonesia sifatnya lebih tertutup/ ilegal dan sarat prostitusi. Dalam film ini dijelaskan bahwa Destiny, Ramona dan teman-temannya tidak pernah melewati batas hingga ke arah prostitusi. Menyaksikan film ini memang butuh kedewasaan tersendiri untuk menangkap pesan sebenarnya yang ingin disampaikan. Film ini bukan biopik namun hanya terinspirasi dari kisah nyata dengan beberapa unsur yang sudah ditambahkan untuk kepentingan cerita film, sebagai penikmat film yang kritis tentunya kita perlu menggali lebih jauh fakta sebenarnya agar mendapat gambaran yang menyeluruh.


Overall:7.5/10

(By Camy Surjadi)

Friday, October 18, 2019

ULASAN: MALEFICENT 'MISTRESS OF EVIL'




Tidak mudah mendaur ulang kisah dongeng klasik menjadi suatu kisah baru yang menarik dengan persepektif yang berbeda namun Disney berhasil melakukannya melalui Maleficent. Disney berani mengambil risiko dengan menampilkan karakter penyihir jahat Maleficent menjadi tokoh utama dalam dongeng Putri Tidur Aurora dan mengambil perspektif cerita dari mata Maleficent sehingga menampilkan kisah yang benar-benar baru dan menarik hati para penggemarnya. Setelah sukses dengan film pertamanya yang meraup 758,5 juta USD di seluruh dunia wajar saja jika film ini sangat dinantikan sekuelnya. Maleficent (2014) merupakan film yang melambungkan nama Angelina Jolie kembali termasuk menjadikan film terlaris yang dibintanginya secara global hingga kini. Berselang 5 tahun dari film pendahulunya, sekuelnya diberi judul Maleficent: Mistress of Evil. Sebetulnya film ini direncanakan rilis pada musim panas 2020 namun Disney membuat kejutan pada Maret tahun ini dengan pengumuman bahwa filmnya akan rilis pada Oktober tahun ini. Untuk sekuelnya, Linda Woolverton kembali menulis screenplaynya bersama Micah Fitzerman-Blue dan Noah Harpster sedangkan untuk kursi Sutradara kali ini dipegang oleh Joachim Rønning (Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales). Di jajaran cast semua pemain dari film pertamanya seperti Angelina Jolie, Elle Fanning, Sam Riley, Imelda Staunton, Juno Temple, dan Lesley Manville kembali tampil dan ditambah dengan para cast baru di antaranya Harris Dickinson yang menggantikan Brenton Thwaites (Prince Philip), Chiwetel Ejiofor, Ed Skrein, dan Michelle Pfeiffer. Maleficent: Mistress of Evil dirilis di bioskop Indonesia pada 16 Oktober 2019 dan akan dirilis di bioskop AS pada 18 Oktober 2019.



Pada kisah kali ini diceritakan bahwa kehidupan Maleficent (Angelina Jolie) dan Aurora (Elle Fanning) di Moors berlangsung damai dan tentram hingga suatu hari Pangeran Philip (Harris Dickinson) memberi kejutan dengan melamar Aurora untuk menjadi istrinya. Walau awalnya ragu namun akhirnya Maleficent menerimanya setelah diyakinkan oleh Aurora bahwa pernikahan mereka akan menjadi awal penyatuan Kerajaan Manusia (Ulstead) dan Kerajaan Peri (Moors). Mereka berdua pun diundang untuk jamuan makan malam di Kerajaan Ulstead untuk bertemu keluarga Pangeran Philip. Namun tanpa disadari Philip, sang ibu Ratu Ingrith (Michelle Pfeiffer) memiliki rencana memulai peperangan antara bangsa manusia dan bangsa peri melalui perkawinan Philip dan Aurora. Dalam insiden jamuan makan malam, Maleficent dituduh sebagai penyebab Raja John (Robert Lindsay) jatuh sakit. Lambat laun dan akibat skema jahat dari Ratu Ingrith, Maleficent dan Aurora menemukan bahwa diri mereka berada dalam pihak yang saling berseteru. Aurora dihadapkan pada pilihan haruskah ia tetap percaya pada Maleficent atau berpihak pada keluarga Philip. Akankah Aurora dapat memulihkan hubungannya dengan Maleficent seperti sebelumnya dan bagaimana Aurora menghadapi Ratu Ingrith agar dapat tetap bersatu dengan pria yang dicintainya, Pangeran Philip. Dalam kisah kali ini hubungan Aurora dan Maleficent kembali diuji dan dalam perjalanan kisah ini Aurora akan menemukan sejumlah fakta dan kejadian yang tak terduga.



Sekuel ini sebetulnya terwujud akibat performa film pertamanya yang begitu impresif dan didukung akting Jolie yang sangat kharismatik sebagai antihero Maleficent. Tugas film sekuelnya cukup berat karena bisa dikatakan cerita di film pertamanya dapat dianggap selesai, tim penulis harus menciptakan cerita baru yang menarik dan bukan cerita yang sengaja dibuat-buat tanpa memiliki makna seperti kebanyakan sekuel yang gagal. Namun setelah menyaksikan film ini, saya dan penonton dijamin akan merasa puas karena materi cerita yang dibawakan dalam sekuelnya cukup meningkat drastis dan lebih bagus dibandingkan film pertama yang lebih bersifat pengenalan saja. Dalam sekuelnya, Disney berani mengangkat konflik yang lebih dewasa dan tidak hanya berfokus pada satu konflik saja sehingga menjadikan cerita ini menarik untuk disimak hingga akhir film. Konflik yang kompleks antara keluarga, cinta, dan politik kerajaan menjadi fokus utama pada sekuel Maleficent kali ini. Walau cukup banyak hal yang ingin diangkat dan terlihat konflik geopolitik antara kerajaan Moors dan Ulstead cukup dominan dalam film ini namun untungnya tidak menutup inti cerita proses pemulihan kembali hubungan Aurora dan Maleficent. Jika dalam film pertamanya film didominasi oleh kehadiran Jolie sebagai Maleficent maka kemunculan tokoh Ratu Ingrith (Michelle Pfeiffer) sebagai sang ratu jahat yang ingin melenyapkan bangsa peri membuat dinamika film semakin menarik.



Babak pertama film diisi dengan komedi yang menarik ala film Meet The Parents di mana kita bisa melihat dua bintang kawakan, Jolie dan Pfeiffer beradu akting dengan sangat apik antara Ibu angkat dan calon mertua lalu dilanjutkan babak kedua menunjukkan dimulainya konflik lewat peperangan awal antara Maleficent dengan Ratu Ingrith sekaligus menunjukkan motif sebenarnya dari Ratu Ingrith namun karena pada bagian ini scenenya hampir gelap total maka agak sulit untuk menangkap keseruan dan ketegangan aksi yang ditampilkan. Pada babak final film ini barulah suguhan utama cerita ditampilkan secara total, kita akan melihat perang besar antara Maleficent dan Ratu Ingrith yang cukup bombastis untuk skala film Disney yang bernuansa negeri dongeng ini. Jika boleh dibandingkan hal ini cukup serupa antara Cersei “The Mad Queen” dengan Daenerys “Mother of Dragon” dalam seri Game of Thrones namun dengan level yang lebih ‘toned down’ karena rating film ini untuk semua umur. Sayangnya motif Ingrith begitu dendam terhadap para peri kurang begitu dieksplor secara mendetil dan hanya lewat narasi saja, penggunaan flashback ketika Ingrith masih kecil mungkin dapat membantu memperkaya cerita film ini. Faktor menarik lain yang diangkat dalam film adalah pengenalan pada bangsa peri serupa Maleficent yang dikenal dengan nama Dark Fey dan eksplorasi terhadap karakter Maleficent yang menjadikan cerita sekuel film ini makin kaya dan menarik. Terlebih dengan kejutan yang diselipkan pada akhir film yang akan membuat anda makin mnegagumi karakter Maleficent yang wajib anda saksikan sendiri.




Angelina Jolie adalah salah satu faktor yang menyebabkan film Maleficent sukses karena dia merupakan aktris yang karismatik yang mampu membuat semua penonton berfokus padanya setiap kali ia tampil, serupa seperti Gal Gadot tampil sebagai Wonder Woman yang akan membuat kita terpana. Setiap kali Jolie muncul sebagai Maleficent dengan kulit putih pucat, tulang pipi yang tajam, yang mungkin sanggup memotong berlian, sorot mata hijau menyala, tanduk siganture, dan sayap hitam yang besar sulit untuk tidak terkesima. Maleficent 2 merupakan momen comeback Jolie di mana kita tahu kehidupan personalnya tidak begitu baik semenjak perceraiannya dengan Brad Pitt pada tahun 2016 dan semua tabloid cenderung memberitakan hal negatif terkait dirinya. Meihat penampilan Jolie yang tetap dominan dan kuat tentu akan membuat hati penggemarnya senang. Jolie termasuk aktris yang mampu mengubah naskah cerita yang biasa menjadi menarik (tengok saja film Salt dan Wanted). Pfeiffer juga tampil mengesankan sebagai ratu Ingrith yang manipulatif, baik di luar namun ternyata jahat dan intimidatif. Penampilannya sebagai ratu biasa membuat penonton tidak akan menyangka kalau dia punya rencana jahat yang keji terhadap para peri. Elle Fanning sebagai Aurora juga berperan sebagai penyeimbang karakter Maleficent yang penuh kebaikan namun lugu dan polos, perannya sebagai putri Aurora sangat cocok. Para pemeran pria dalam film ini bukanlah fokus utama karena film ini lebih memfokuskan pemeran wanitanya, sesuatu yang jarang dilakukan di Hollywood. Namun demikian, Harris Dickinson, Chiwetel Ejiofor (Conall), dan Ed Skrein (Borra) tetap mampu memberikan warna tersendiri dalam film ini. Karakter Chiwetel dan Ed Skrein tidak banyak dieksplorasi mungkin karena keterbatasan waktu, sesuatu yang cukup disayangkan.



Faktor “Wow” dalam film ini adalah penggunaan kostum-kostum yang digunakan terlihat lebih impresif dibandingkan dalam film pertama terutama oleh Jolie sebagai Maleficent dalam berbagai scene sangat mengagumkan dan ikonik, menonjolkan keanggunan sekaligus sisi misterius Maleficent. Begitupun kostum yang digunakan Pfeiffer sebagai ratu begitu elegan dan mewah mulai dari acara jamuan makan malam, pakaian sehari-hari sampai pada kostum perangnya, termasuk seluruh kostum yang dikenakan para anggota kerajaan mulai dari para prajurit sampai ke King John dan Prince Philip sungguh luar biasa pengerjaan dan detilnya. Joachim Rønning bersama timnya berhasil menciptakan negeri dongeng khususnya Kerajaan Moors yang penuh mahkluk dongeng seperti pohon yang hidup, para peri, jamur hidup dan berbagai keajaiban seperti di film pertamanya. Kali ini ditambah dengan pengenalan negeri Dark Elves yang sangat kaya warna dan latar belakang yang dihubungkan dengan karakter Maleficent. Bersama Geoff Zanelli yang pernah bekerja sama dengan Rønning dalam Pirates of Carribean, score musik yang dibawakan mampu menggiring kita untuk menyimak momen-momen penting dalam film terutama adegan perang kolosal yang menjadi puncak film ini. Penggunaan warna-warna cerah dan berani mewarnai sebagian besar setting tempat dan karakter film ini. Adegan paling menarik dan mencuri perhatian adalah adegan peperangan antara para peri yang dipimpin Maleficent dan para manusia yang dipimpin ratu Ingrith. Rønning mampu menggiring kita menjadi terkoneksi dalam konflik yang dimunculkan sejak awal cerita karena ceritanya yang solid dan ini ditampilkan lewat dampak yang terjadi pada bangsa peri dari penggunaan senjata rahasia yang dirancang oleh Ratu Ingrith bersama ilmuwan mirip goblin, Lickspittle (Warwick Davis).



Dalam film sekuelnya ini banyak poin – poin penting yang ingin disampaikan dan film ini berhasil karena pesannya begitu dekat dengan penonton seperti dalam film pertamanya. Ada Isu klasik mertua dan menantu serta ibu angkat yang jamak ditemui dalam kehidupan membina keluarga. Konflik politis kerajaan yang mungkin bisa dipandang sebagai pernikahan yang terkadang memiliki motif politis untuk penyatuan koalisi politik atau bisnis perusahaan. Selain itu film ini juga membawakan pesan untuk tidak menilai seseorang hanya dari penampilannya saja karena karakter yang ada dalam diri seseorang itulah yang lebih penting ketimbang penampilan luar. Lewat semua faktor yang digunakan secara tepat dan efektif sekaligus tetap ramah untuk ditonton semua usia, Maleficent: Mistress of Evil membuktikan bahwa film ini sukses melewati ujian menjadi film yang hanya sekedar lewat dan terlupakan.


Overall: 8,5/10

(By Camy Surjadi)

ABRACADABRA MENJADI FILM PEMBUKA PERGELARAN JOGJA-NETPAC ASIAN FILM FESTIVAL KE 14




 

Festival film tahunan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) akan kembali merayakan perkembangan sinema Asia di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai tanggal 19 November hingga 23 November 2019 mendatang. Di usianya yang ke-14, JAFF mengusung tema “Revival” yang menempatkan festival film sebagai bentuk panggilan untuk merefleksikan lebih dalam dan mengangkat kembali kekayaan sejarah dan peradaban Asia. Meskipun kolonialisme merupakan pengalaman yang telah merendahkan martabat bangsa Asia, hal tersebut memberikan dasar bagi bangsa Asia membangun masa depan melampaui peradaban Barat.



“Kami ingin mengajak para penonton untuk memilah manakah warisan dari budaya Barat yang mesti di-Asia-kan dan manakah unsur-unsur sejarah Asia yang mesti digali dan dilestarikan. Pada dasarnya, kami berharap Bangsa Asia sadar bahwa mereka mesti lebih banyak belajar dengan sesamanya ketimbang pada masyarakat Barat.”, ungkap Budi Irawanto selaku presiden JAFF.



Tahun ini, JAFF 14 akan dilaksanakan secara terpadu di satu kawasan yang berpusat di Empire XXI Yogyakarta. Sebanyak 107 film akan ditayangkan dalam program pemutaran JAFF yang terbagi menjadi program kompetisi dan non-kompetisi, antara lain Asian Perspectives, Asian Feature, Light of Asia, JAFF Indonesian Screen Awards, dan Open Air Cinema. "Pemilihan film di setiap program JAFF tahun ini dilakukan dengan melihat banyak pertimbangan. Bukan hanya teknis yang bagus atau penceritaan yang baik semata, melainkan juga dari perspektif bagaimana film bisa membawa sikap dan argumen yang jelas dari sebuah peristiwa yang terjadi dari sudut pabdabf pembuatnya mengenai banyak hal-hal yang dibawa ke dalam film tersebut", ujar Reza Fahri, program director JAFF tahun ini.


Bersamaan dengan memperingati 100 tahun sinema Bengali, JAFF 14 juga menayangkan sejumlah karya terbaik dari sinema Bengali yang sudah melakukan produksi sejak 8 November 1919. "Keberadaan sinema Bengali dalam JAFF 14 adalah salah satu wujud refleksi penggalian identitas diri sinema Asia yang telah hadir sejak seabad yang lalu", tutur Ifa Isfansyah selaku direktur festival JAFF.


Selain program pemutaran film, JAFF 14 akan menyuguhkan beberapa program edukasi yang terdiri dari Art for Children, Public Lecture, dan Forum Komunitas. JAFF Education sebagai program Masterclass yang merupakan program lokakarya film untuk pemula juga tidak akan ketinggalan memeriahkan JAFF tahun ini. Program edukasi juga tidak hanya berfokus pada perfilman namun edukasi seni secara umum. "Tahun ini, kami berkolaborasi dengan Tempa sebagai seniman yang membuat artwork festival", ujar Ajish Dibyo selaku Executive Director JAFF. "Selain itu, ada aktivasi program edukasi seni untuk anak-anak dalam bentuk membuat kolase dan stempel sebagai upaya JAFF menumbuhkan minat seni sedari dini", tambahnya.


Program JAFF Education yang merupakan sebuah program lokakarya akan menghadirkan salah satu rigging gaffer profesional asal New Zealand, Sean O'Neill. Sean O'Neill ikut terlibat dalam departemen sinematografi beberapa film Hollywood seperti The Great Wall (2016), Alien: Covenant (2017), dan yang terbaru Mulan (2020). Penyelenggaraan JAFF 14 akan dibuka oleh film Abracadabra arahan sutradara Faozan Rizal. Abracadabra yang dibintangi oleh Reza Rahadian akan ditayangkan secara perdana dan akan menyuguhkan sebuah drama-komedi seorang pesulap bernama Lukman yang berusaha menggali kembali gairahnya pada dunia sulap. Selain itu, Humba Dreams, sebuah film karya Riri Riza juga akan menjadi film yang disuguhkan di JAFF 14. Humba Dreams yang dibintangi oleh J. S. Khairen mengisahkan tentang seorang mahasiswa sekolah film Jakarta yang pulang ke Sumba untuk sebuah tugas yang tak mudah. Perjalanan mempertemukan Martin dengan Anna (Ully Triani) dan berbagai pertanyaan tentang Humba dan dirinya perlahan menemukan jawaban.


"Tahun ini, dinamika film Indonesia sungguh menarik. Ini yang membuat kurasi kompetisi JAFF ISA tidak mudah. Namun eksplorasi cerita, tema, dan sikap personal para filmmaker menjadi perhatian yang ingin kami dalami dalam seleksi ini.", ujar Kamila Andini, direktur artistik JAFF 14.



Sebagai salah satu festival internasional terbesar di Indonesia, tercatat 23 negara akan terlibat dalam penyelenggaraannya. Ketigapuluhdua negara tersebut antara lain Indonesia, Filipina, Kamboja, Cina, Australia, Iran, Korea Selatan, Singapura, India, Vietnam, Jepang, Thailand, Kyrgyzstan, Sri Lanka, Bhutan, Jordan, Malaysia, Uzbekhistan, Tibet, Hongkong, USA, Georgia, dan Bangladesh.

Mari mengakar kuat menggali identitas sinema Asia bersama di Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-14! JAFF 14 akan diselenggarakan pada 19-23 November 2019 di Empire XXI Yogyakarta.

Thursday, October 10, 2019

ULASAN: GEMINI MAN




Pernahkah anda terpincut oleh suatu trailer film action yang terlihat sangat keren dan menjanjikan, dari cuplikan aksi-aksi yang ditampilkan dan cast yang akan bermain anda sudah memiliki ekpektasi bahwa film tersebut harus anda tonton karena cukup memukau dan membuat penasaran. Nah kira-kira hal tersebut yang terjadi ketika anda menonton film Gemini Man ini. Apa yang ada di benak anda tampak sangat berbeda ketika disaksikan. Dilabel dengan genre action thriller, film ini ternyata ide awal pembuatannya sudah berkeliaran sejak tahun 1997 namun sempat mengalami kebuntuan 20 tahun lamanya. Hingga akhirnya pada Oktober 2017 Ang Lee didapuk menjadi sutradara setelah hak cipta film ini dibeli oleh Skydance Pictures dan distribusinya dipegang oleh Paramount. Film ini dibintangi oleh Will Smith, Mary Elizabeth Winstead, Clive Owen, dan Benedict Wong. Untuk screenplaynya sendiri ditulis oleh David Benioff (GoT), Billy Ray (Volcano), and Darren Lemke (Shrek Forever After; Lost). Gemini Man dirilis di bioskop AS pada tanggal 11 Oktober 2019 dan akan dirilis di Indonesia pada 9 oktober 2019.



Gemini Man bercerita tentang Henry Brogan (Will Smith), seorang pembunuh bayaran terlatih serupa anggota Black Ops (detail organisasi tidak pernah disebutkan dengan jelas sepanjang film) yang ingin pensiun setelah menyelesaikan misi terakhirnya. Dalam misi terakhirnya Henry diperintahkan membunuh target dalam kereta super cepat, targetnya berhasil dibunuh oleh Henry walau meleset dari kepala tapi mengenai leher targetnya. Hal tersebut terjadi karena ada gadis kecil yang sempat mendekati targetnya. Semenjak itu Henry merasa dihantui dan memutuskan untuk berhenti. Dalam proses pengurusan pensiunnya, Henry berkenalan dengan Danny (Mary Elizabeth Winstead) di galangan kapal dan bertemu dengan kawan lamanya Jack (Douglas Hodge) yang memberitahu bahwa target dalam misi terakhir yang dibunuhnya adalah orang yang tidak bersalah. Henry lalu mengatur pertemuan dengan informan Jack yang bernama Yuri (Ilia Volok) untuk memastikan hal tersebut.



Agensi yang menugaskan Henry mengetahui pertemuan tersebut dan berusaha melenyapkan Henry karena telah mengetahui fakta yang seharusnya tidak boleh diketahui. Henry pun bergegas menyelamatkan Danny karena ternyata mereka berdua sekarang menjadi target agensi mereka. Henry dengan mudah menghabisi semua agen yang ditugaskan untuk melenyapkan mereka dan bersama Danny mereka pergi ke arah timur mencari kawan lama Henry yaitu Baron (Benedict Wong). Bersama Baron mereka berusaha mencari Yuri untuk mencari kebenaran dari situasi yang mereka hadapi. Sementara itu Clay Varris (Clive Owen) mengaktifkan program Gemini dengan tujuan untuk menghabisi Henry karena dia meyakini hanya proyek Gemini yang mampu menandingi kehebatan Henry. Dalam misi bertemu Yuri, Henry bertemu dengan pembunuh yang diutus Clay Varris yang belakangan diketahui bernama Junior (Will Smith). Henry kewalahan dan sekaligus kebingungan karena Junior memiliki penampilan yang mirip namun lebih muda dan kehalian yang sama hebatnya dengan Henry. Berbekal tes DNA dari sampel hasil konfrontasinya dengan Junior, Henry menemukan fakta mengejutkan bahwa Junior adalah klonnya yang lebih muda sekaligus fakta bahwa target terakhirnya terkait erat dengan proyek Gemini. Bersama Danny dan Baron, mereka bertiga berusaha menghentikan Clay Varris dan proyek Gemini sebelum Junior yang memiliki kehebatan sama seperti Henry menghabisi mereka terlebih dulu.



Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, film ini sama sekali tidak menarik karena semuanya serba tanggung, porsi drama dan aksi dalam Gemini Man membuat kita bertanya-tanya mau dibawa ke mana arah film ini. Seandainya film ini berfokus ke drama saja ataupun aksi saja, hasilnya mungkin akan berbeda. Ang Lee adalah sutradara yang piawai dalam film bertema filosofis dan drama kehidupan tetapi nampaknya spesialisasi Ang Lee tersebut tidak dimanfaatkan dengan optimal dalam aktualisasi cerita film ini, kesalahan tidak sepenuhnya berada di tangan Ang Lee, naskah cerita yang buruk juga menjadi penyebabnya. Selama berjalannya film berdurasi 117 menit ini, terlihat momen aksi dan drama tidak dibangun dengan solid untuk menunjang cerita, cerita yang awalnya sudah dipenuhi dengan adegan aksi yang cukup memacu adrenalin tiba-tiba bisa menjadi drama penuh dialog di tengah-tengah hingga menjelang penghujung cerita, upaya membangun momen klimaks seakan menjadi sia-sia. Aksi-aksi yang ditampilkan bisa dibilang cuma adegan pelengkap yang mungkin tidak diperlukan jika ingin menampilkan konflik batin antara tokoh utama dan klonnya yang tidak ingin saling membunuh. Tidak dijelaskan dengan jelas juga mengapa Junior sang klon tiba-tiba memiliki keraguan dan kesadaran moral, bahkan detil proyek Gemini pun tidak dieksplorasi selama film ini. Satu-satunya petunjuk adalah pernyataan Clay bahwa dia terinspirasi memiliki banyak prajurit seperti Henry yang tidak memiliki emosi/ keraguan dan bisa diperintah sesuai keinginan yang akan sangat membantu militer AS. Jika di beberapa film dengan premis yang mirip terasa dualisme yang saling bertolak belakang antara klon dan tokoh aslinya di mana salah satunya berkarakter sangat jahat, sebut saja Replicant (Van Damme, 2001), maka keputusan untuk membuat klon yang punya ambiguitas moral menjadi bumerang tersendiri dalam Gemini Man.



Dari segi cast, Will Smith nampak berusaha keras menghidupi kedua karakternya baik versi muda maupun versi dewasanya namun naskah cerita yang kurang baik membuat penjiwaan dan eksplorasi karakter Junior terlihat janggal. Sebagai Henry, motivasi yang mendorong tindakannya jelas namun sebagai Junior dengan backgroundnya yang kabur, saya sebagai penonton menjadi bingung mengapa karakternya seperti mudah disetir dan terbawa situasi ketika berhadapan dengan versi dewasanya, Henry. Mary Elizabeth Winstead hanya menonjol pada beberapa bagian dalam film ini namun sebetulnya dia bisa tampil lebih dari itu sedangkan Benedict Wong terlihat sebagai “third wheel” / pelengkap saja yang sangat minim dieskplorasi. Clive Owen tampil mengecewakan di sini karena perannya sebagai pimpinan organisasi Black Ops dan pencetus proyek Gemini tidak mengintimidasi sama sekali, ingin tampil sebagai karakter antagonis multidimensi tapi akhirnya terkesan sebagai tukang gertak saja.



Sinematografi dan efek visual dalam film ini diharapkan menjadi komponen “Wow” karena film ini dishot dengan format 3D dengan resolusi 4K dan 120 FPS. Efek visualnya pun ditangani oleh Weta Digital. Komponen yang digadang-gadang menjadi pemicu kekaguman adalah melihat Will Smith berusia 51 tahun berinteraksi secara ‘real time’ dengan versi mudanya yang berusia 23 tahun. Namun efek spektakuler ini terkesan mubazir ketika saya menyaksikan cerita yang ditampilkan karena tidak banyak adegan dalam film yang memanfaatkan efek 3D demikian pula resolusi dan frame rate yang tinggi terlihat agak berlebihan setelah menonton cerita yang serba tanggung ini. Ada beberapa adegan yang terlihat bahwa klon Will Smith adalah bantuan efek digital. Penggunaan set lokasi di Savannah, Budapest, dan Cartagena murni hanya untuk efek sinematografi agar lebih beragam dan memanjakan mata. Padahal tidak akan ada masalah jika hanya berfokus di satu negara saja.



Gemini Man mencoba menampilkan isu rekayasa genetika dan kloning serta bahayanya jika digunakan sebagai senjata dalam militer. Ang Lee mencoba mendramatisasi hal ini lewat konflik etis dan dilema yang dialami oleh sang klon dan individu aslinya. Namun pendekatannya dengan menggabungkan genre drama dan aksi dengan porsi yang tidak pas menjadikan pesan moral film ini tidak tersampaikan dengan efektif. Sebagai penonton saya tidak bisa menangkap kegelisahan sang tokoh utama dan level bahaya yang ditampilkan lewat aspek kloning terhadap khalayak ramai karena film ini hanya berpusat pada Henry, Junior, dan Danny serta Clay sebagai bayang-bayang sepanjang film. Kloning sebagai ancaman dalam dunia militer terhadap keamanan atau perdamaian global nyaris tidak pernah ada dalam film ini. Film ini lebih terlihat sebagai balas dendam Clay terhadap Henry dengan memakai teknologi kloning ketimbang menunjukkan konflik besar yang seharusnya bisa digambarkan lewat cerita film Gemini Man ini.

Overall: 6/10 

(By Camy Surjadi)



Friday, October 4, 2019

ULASAN: JOKER





Banyak dari pecinta film yang tentunya sudah mengenal Joker, musuh legendaris dari Manusia Kelelawar (Batman). Joker boleh dibilang sebagai musuh utama Batman karena dia paling sering muncul di semua adaptasi cerita Batman (dari komik, film, bahkan Lego Movie) serta merupakan musuh yang paling berbahaya. Padahal, Joker merupakan manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan super apapun. Kekejaman dan kebrutalannya lah yang membuat ia begitu ditakuti masyarakat Gotham City, kota di mana Bruce Wayne beraksi sebagai Batman.



Meskipun Joker merupakan musuh Batman yang paling terkenal, namun masih banyak sisi kehidupan Joker yang belum banyak diketahui dan diangkat ke layar lebar, salah satunya adalah asal usul dan cerita kehidupan penjahat berwajah badut ini. Pembaca komik Batman tentunya paham bahwa asal usul Joker memiliki banyak versi. Namun pada film Joker (2019) ini, DC dan Warner Bross melalui naskah yang ditulis oleh Todd Phillips dan Scott Silver, ingin menampilkan sosok Joker yang bernama asli Arthur Fleck (diperankan oleh Joaquin Phoenix).



Arthur merupakan seorang pemuda yang berprofesi menjadi badut di perusahaan hiburan bernama Haha’s. Arthur hanya tinggal berdua dengan ibunya (Penny Fleck, diperankan oleh Frances Conroy) di sebuah apartemen yang kumuh dan tidak terawat. Arthur sendiri memiliki riwayat gangguan jiwa, yang ditandai dengan ketidakmampuan mengontrol tawa. Dia bisa tertawa tanpa henti dan tidak terkendali, tidak peduli pada situasi apapun. Arthur mendapatkan perawatan dari Layanan Sosial kotra Gotham berupa konseling gratis dengan psikolog dan obat-obatan yang harus ia konsumsi. Dengan bantuan layanan sosial itu, Arthur masih dapat menjalani kehidupan normal seperti bekerja dan merawat ibunya. Gangguan yang diderita Arthur tersebut kerap membuat dia di-bully oleh orang-orang yang melihat keanehannya tersebut. Berbagai penderitaan dan kekecewaan hidup yang dia alami membuat Arthur menjadi brutal, melakukan beberapa pembunuhan. Inilah yang membuat Arthur menjadi seorang Joker, penjahat yang melakukan aksi kejahatannya dengan topeng badut.



Film ini memang kental dengan nuansa psikologis, di mana penonton akan menyaksikan dan bisa saja turut berempati dengan kondisi Arthur, khususnya kondisi emosional akibat berbagai hal yang ia derita. Aksi Joaquin bisa mengundang berbagai emosi penonton, mulai dari sedih, terharu, empati, tegang, takut, sampai lucu. Menurut saya, ini adalah film DC terbaik yang pernah saya tonton. Warner Bross kali ini cukup berani mengeluarkan film yang kontroversial. Joker bukanlah sekedar karakter, namun sebuah gerakan (movement). Pers banyak yang menilai bahwa film ini bisa menginspirasi penonton untuk melakukan tindakan yang brutal.



Akan tetapi, penonton sebetulnya bisa memandang persepsi yang lain. Arthur menjadi seorang Joker karena ketidakadilan dan kekejaman orang-orang di sekitarnya. Seseorang yang lemah dan sering menjadi bulan-bulanan suatu saat dapat melawan dan berubah menjadi individu yang kejam. Orang-orang di sekitarnya justru harus membantu orang-orang seperti Arthur, memberi ia kepercayaan, mendukungnya melakukan perilaku-perilaku positif, bukan diacuhkan apalagi sampai dipecundangi.



Kehadiran musik pengiring pada film ini juga menjadikan film ini begitu realistis. Musik-musik besutan Hildur Guðnadóttir membuat alur film menjadi lebih hidup, beberapa hal dapat disampaikan tanpa kata yang terucap, hanya melalui gambar dan musik. Sebagus apapun film ini (saya pribadi memberi nilai 10/10 dan film ini terbukti memenangkan The Golden Lion pada 76th Venice International Film Festival), bukan berarti film ini layak ditonton oleh semua usia. Film ini memiliki rating R (hanya boleh ditonton dewasa), karena banyak adegan kekerasan serta ucapan yang tidak sopan.



Sebagai penggemar Batman, mungkin banyak penonton yang penasaran apakah Batman akan muncul pada film ini? Jawabannya adalah ya dan tidak. Semakin penasaran? Ayo segera menonton and put on happy face!

Overall: 10/10

(By Aisyah Syihab)