Friday, February 28, 2020

ULASAN: THE INVISIBLE MAN



Sebagian besar dari kita pasti masih ingat dengan sebuah proyek ambius dengan nama  'The Dark Universe' yang diumumkan tahun 2016 lalu. Yang mana dalam universe tersebut mempertemukan monster-monster klasik dibawah bendera Universal Studio yang mana Dracula, Frakeinstein, The Invisible Man, The Mummy, The Wolfman dan bahkan Van Helsing dipertemukan dalam universe yang sama. Sayang 'proyek itu dibatalkan setelah pembuka universe tersebut yang dimulai dari 'The Mummy'yang dibintangi oleh Tom Cruise tersebut gagal total. Awalnya jika The Mummy sukses, The Invisible Man akan menyusul diproduksi dengan Johnny Depp yang akan memerankan karakter tersebut. 4 Tahun berselang The Invisible Man tetap hadir yang mengambil reboot atau modernisasi versi 1933 yang merupakan film yang berdiri sendiri tanpa terkait dengan 'The Dark Universe' yang disutradarai oleh Leigh Whannel (Insidious Chapter 3, Upgrade), orang dibalik suksesnya franchise Saw dan Insidious dandiproduseri oleh Jason Blum, sang produser film-film horror dengan rumah produksi Blumhouse.


Cecilia Kass (Elisabeth Moss) melarikan diri dari dari suaminya Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen). Pelarian diri ini dilakukan karena Cecilia menjalani hubungan toxic dengan Adrian yang sangat posesif dan temperamental dengan latar belakanya seorang ilmuwan kaya dan brilian. Cecilia mencoba kabur ketika Adrian sedang terlelap akibat obat penenang yang secara sengaja dicampur dalam minumannya. Dibantu saudara perempuannya Emily (Harriet Dyer), Cecillia berhasil melarikan diri dan bersembunyi di rumah James (Aldis Hodge), teman Emily yang berprofesi sebagai seorang polisi dan orang tua tunggal dari anak perempuan usia remaja bernama Sydney (Strom Reid).



2 minggu setelah kabur kondisi Cecilia tidak membaik dan justru dihantui kekhawatiran dan paranoid jika Adrian akan menemukan persembunyiannya. Ia terus menerus dibayangi kegelisahan, hingga tak berani keluar rumah. Sampai pada akhirnya sebuah kabar menyatakan bahwa Adrian telah meninggal dunia. Adrian diduga melakukan bunuh diri. Kabar bunuh dirinya Adrian itu dilanjutkan dengan kejutan lainnya yang ternyata Adrian mewariskan seluruh hartanya yang sangat besar pada Cecilia. Namun, ketenangan dan kelegaan yang didapatkan oleh Cecilia itu hanya bersifat sementara. Cecilia merasakan ada keanehan yang mulai mengkuti sejak kabar Adrian meningal dunia. Cecillia yakin Adrian masih hidup dan masih terus menguntitnya karena teror demi teror yang diterimanya dari sosok yang tak terlihat. Hal yang mebuat kewarasan Cecilia dipertanyakan oleh orang-orang sekitarnya. Berbekal rasa keyakinan, Cecilia bertekad membuktikan jika Adian masih hidup karena keberadaan sosok yang tak terlihat itu mulai mengancam orang-orang yang dia sayangi.


10 menit awal adalah kunci. 10 menit pertama yang dengan vokal saya bisa katakan salah satu best opening scene film yang pernah saya tonton. Rasanya sudah lama tidak merasakan momen opening seperti ini. Kejeniusan Leigh Whannell sebagai sutradara layak dipuji. Disaat kita belum diberi kesempatan untuk mengenal karakter utama film ini, tapi kita sudah dibawa dalam momen yang menegangkan yang dialami karakter Cecilia yang dimainkan dengan apik oleh Elisabeth Moss. Kepiawaian Whannell menempatkan adegan kegelisahan dan ketidaknyamanan Cecilia sangat bisa dirasakan penonton. 10 menit pertama adalah awal dari banyak memen-momen menegangkan yang membuat penonton senam jantung. Percayalaaahhhh.


Salah satu yang unik dari The Invisible man mengganungkan 3 genre sekaligus dalam satu film dari sci-fi, thriller dan horror yang ketiganya diramu dengan pas oleh Whannell yang juga menulis naskahnya sendiri. Meskipun horror atau thriller dalam film ini tidak bersifat supranatural, tetapi unsur efek merinding dan menyeramkan yang kita temui dalam Insidious terasa sangat kuat. Dengan plot erita yang tidak luar biasa Whannell tahu dengan jelas film ini mempunyai kelebihan dimana. Yaitu menciptakan suasana tidak nyaman ruang atau merasa diawasi seperti kita temui dalam film-film Insidious.


Lalu untuk pemain, melihat  penampilan Elisabeth Moss yang apik yang mengikuti serial The Handmaids Tale saya yakin tidak akan kaget lagi melihat peformanya di film ini. Kebetulan dua karakter yang diperankan oleh Elisabeth Moss menceritakan wanita yang terjebak pada situasi yang kontrolnya dipegang oleh orang lain. Melihat Cecilia disini semacam pengembangan dari karakter June Osborne di The Hanmaids Tale yang sangat mudah membuat penonton ikut terlibat merasakan yang dirasakan karakter tersebut. 


Buat saya The Invisible Man adalah salah satu film yang mempunyai adegan pembuka terbaik yang pernah saya tonton. Keputusan Universal menggandeng Blumhouse dengan Jason Blum sebagai kepalanya seakan menjadi keputusan yang mereka buat setelah rencana monster-verse gagal total. Tanpa dibebani dan harus menghubung-hubungkannya dengan film lainnya, duet Blum dan Whannell sudah melakukan tugas mereka dengan baik dalam film ini.

Overall: 8,5/10

(By Zul Guci)



Wednesday, February 26, 2020

ULASAN: SONIC THE HEDGEHOG



Tanpa perlu diberitahu sekalipun kita semua sepertinya sudah tahu hal yang umum ini. Ketika holywood mengadaptasi sebuah gim menjadi sebuah film kita sudah tahu hasilnya akan seperti apa. Film tersebut akan berakhir dengan mendapat respon negatif dari penonton yang merupakan fanboy gim tersebut ataupun yang bukan. Tapi belakangan tren buruk itu perlahan mulai bergerak ke arah positif. Dimulai dari Angry Birds dan sequelnya mendapat respon positif, lalu juga ada serial The Witcher yang memang originalnya dari novel, tetapi lebih populer ketika sudah menjadi sebuah gim. Dan sekarang giliran Sonic the Hedgehog yang diangkat ke layar lebar. Karakter yang dimiliki oleh Sega yang sudah sejak tahun 2013 lalu ingin di filmkan.


Film Sonic the Hedgehog menceritakan alien dengan bentuk seekor landak biru bernama Sonic (Ben Schwartz) yang dapat berlari secepat kilat dan memiliki kekuatan lainnya yang dia sendiri belum tahu. Ia dibesarkan oleh seekor burung bernama Longneck. Kekuatan besar tersebut memancing makhluk lainnya untuk bisa menggunakan kekuatannya. Hal yang membuat Sonic harus meninggalkan planet asalnya dan menuju ke planet lain untuk bertahan hidup hingga akhirnya sampai ke bumi. Di bumi Sonic pun harus terus berlari dan bersembunyi yang berakhir di kota kecil bernama Green Hills. Di sana Sonic hidup tenang dan damai. Hanya saja dia sendirian yang sering membuatnya kesepian, konsekuensi dari pengasingan dirinya.  Untuk mengisi kesepiannya Sonic pun mengakalinya dengan memantau dan mengamati warga Green Hills. Salah satunya ada Tom Wachowski (James Marsden) yang menjadi orang diidolai oleh Sonic, seorang polisi setempat yang biasa berjaga dengan speed gun-nya yang ingin tantangan lebih dari pekerjaanya yang dari sekedar menjaga jalanan. Ia memiliki istri, bernama Maddie (Tika Sumpter) seorang dokter hewan yang juga diidolai oleh Sonic.



Pada satu kejadian Sonic benar-benar kesepian dan berlari sungguh cepat hingga mengeluarkan energi kuat dan mengakibatkan listrik satu kota padam. Insiden itu pun membuat pemerintah berasumsi jika negara mereka diserang ssuatu dan mencari tahu apa penyebabnya. Ditunjuklah Dr. Ivo Robotnik (Jim Carrey) yang jenius dan aneh untuk menelusuri insiden tersebut. Sonic menjadi terancam dan dia menjadi incaran Dr. Ivo Robotnik setelah keberadaanya terungkap. Satu-satunya orang yang ia percaya di Green Hills adalah Tom Wachowski. Dan akhirnya petualangan mereka berduapun dimulai.



Mendengarkan suara fans dan menunda jadwal rilis untuk merevisi visual karakter Sonic menjadi sebuah keputusan tepat. Sangat disayangkan jika film yang sudah cukup mempunyai cerita yang solid ini mendapat cela karna satu cela (ingat kumis Henry Cavill di Justice League). Yap, plot cerita Sonic the Hedgehog sudah mempunyai fondasi yang solid dan ringan yang memang dibuat untuk bisa diterima penonton anak-anak.


Untuk sebuah cerita origin di film pertama, pengenalan karakter pada pembuka film bisa dibilang berjalan cukup cepat yang membuat penonton yang tidak mengikuti gim-nya sedikit kebingungan. Terlebih informasi yang pada pembuka adegan itu cukup penting seperti siapakah Sonic sebenarnya, mengapa dia dirawat oleh seekor burung tidak terungkap sampai akhir film. Sepertinya plot ini disimpan untuk sequelnya nanti yang memang cukup membuat penasaran.


Cerita yang solid dipadu dengan penampilan ikonik dari Jim Carey yang sangat ekspresif dan komikal membuat jalan cerita berwarna. Tanpa bermaksud mengenyampingkan pemain lainnya, tapi bisa dibilang karakter Dr. Robotnik yang diperankan Jim Carey yang paling mencuri perhatian dalam film ini selain Sonic itu sendiri.


Sonic the Hedgehog bisa dimasukan dalam daftar adaptasi gim yang berhasil memuaskan ekspetasi para fans ataupun penonton yang baru mengenal karakter universe Sonic. Hanya menunggu waktu kita mendengar berita film ini resmi mendapatkan sequel karena  masih banyak plot cerita yang bisa ekplorasi dari universe Sonic ataupun karakter ikonik lainnya yang belum muncul difilm pertama ini.

Overall: 8/10

(By Zul Guci)

Friday, February 21, 2020

ULASAN: BRAHMS 'THE BOY 2'



Sebagai salah satu properti yang cukup sering digunakan dalam film horor, boneka dipercaya memiliki unsur misteri dan mistis yang sanggup membuat bulu kuduk berdiri terlebih apabila boneka tersebut memiliki sejarah yang menyeramkan. Film horor bertemakan boneka yang sudah tidak asing bagi para panggemar film seperti Chucky (Child’s Play -1988) dan Annabelle (Annabelle – 2014)



sanggup menghadirkan kengerian dan menimbulkan trauma bagi beberapa orang terhadap boneka. Sebuah film yang mencoba mengeksplorasi keseraman dan teror sebuah boneka kembali disajikan lewat film Brahms: The Boy II yang merupakan sekuel tidak langsung dari film The Boy (2016). Film ini dibintangi oleh Katie Holmes, Ralph Ineson, Owain Yeoman, dan Christopher Convery. Untuk film sekuelnya tetap disutradarai oleh William Brent Bell dengan naskah yang ditulis oleh Stacey Menear. Film ini direncanakan rilis 21 Februari 2020 di US dan telah dirilis di bioskop Indonesia pada 19 Februari 2020 lalu.



Liza (Katie Holmes), Sean (Owain Yeoman), dan anak mereka Jude (Christopher Convery) adalah sebuah keluarga kecil dan bahagia yang hidup di daerah perkotaan di Inggris. Tetapi kejadian perampokan tragis di suatu malam yang menimpa Liza dan Jude merubah hidup mereka, Liza diserang oleh perampok dan Jude menjadi ketakutan setelah peristiwa itu. Mereka berdua menjadi trauma, Liza sering mengalami mimpi buruk dan tidak pernah mau membicarakan hal tersebut dengan Sean sementara Jude mengalami selective mutism dan selalu berkomunikasi lewat buku gambar yang selalu ia bawa ke mana-mana. Sean lalu menawarkan mereka untuk pindah ke pedesaan guna mencari suasana baru dan ternyata mereka pindah ke rumah Heelshire. Setibanya di sana, Jude berkeliling dan menemukan boneka berbentuk seorang anak yang sudah kotor. Katie dan Sean melihat bahwa Jude menyukai boneka tersebut dan mempersilahkannya untuk menyimpannya. Lambat laun Jude terikat dengan boneka yang dinamainya Brahms tersebut. Tanpa disadari banyak peristiwa aneh mulai bermunculan sejak boneka itu dibawa oleh Jude. Katie menemukan fakta bahwa rumah Heelshire dan boneka Brahms tersebut memiliki sejarah kelam dan mengerikan. Sanggupkah Katie dan Sean menguak misteri boneka Brahms tersebut dan menyelamatkan diri mereka sebelum terlambat?



Ketika menonton film ini kebetulan saya belum menonton film pertamanya jadi keesokannya saya baru menonton film pertamanya untuk mengetahui apa kaitan film kedua ini dengan yang pertama dan bagaimana kualitas sekuelnya ini dibanding dengan yang terdahulu. Di kisah film sebelumnya Brahms adalah boneka yang dititipkan kepada seorang pengasuh bernama Greta. Mr dan Mrs Heelshire menitipkan boneka (yang katanya adalah anak mereka) dengan segala peraturan yang harus ditaati untuk mencegahnya marah. Belakangan diketahui bahwa Brahms asli yang dikira sudah tewas ternyata masih hidup dalam sekat dan tembok di rumah keluarga Heelshire dan meneror sang pengasuhnya. Nah di film keduanya ini, yang tidak bisa dibilang sekuel langsung, benang merahnya hanya pada boneka Brahms yang juga digunakan sebagai plot device dalam film, lengkap dengan backstory boneka tersebut. Secara narasi film ini tidak terlalu istimewa karena pengembangan ceritanya yang tetap mengandalkan keseraman boneka Brahms dalam mengganggu kondisi pikiran dan psikis orang-orang yang mengambilnya, adegan horornya pun masih menggunakan metode jumpscare yang sama dan cenderung repetitif seperti di film pertamanya. Yang membedakan sekuel dari film pertama adalah genrenya yang lebih ke horor supranatural kali ini. Alur film ini cenderung lambat dan intensitas ketegangan tidak begitu dibangun dengan baik. Bagian awal banyak diisi adegan yang kurang penting dan adegan klimaks yang menegangkan dalam film baru dimunculkan pada penghujung cerita. Teror yang dilakukan oleh sang boneka pun masih dalam level yang kurang mengerikan karena lebih ke permainan psikologis dan tidak terlalu sadis jika mau dibandingkan dengan Annabelle atau pun Chucky, penonton niscaya akan merasa bosan ketika menonton film ini.



Lewat film kedua ini, Bell mencoba bereksperimen dengan mengubah genre film ini menjadi benar-benar horor yang dipenuhi unsur mistis ketimbang horor thriller, saya tidak paham mengapa Bell mengambil tindakan ini karena genre yang dipilihnya pada film The Boy sudah tepat dan potensial untuk dilanjutkan hanya scriptnya perlu lebih ‘dipoles’ saja. Di film keduanya malah penonton dibuat bingung mengapa bisa boneka Brahms tersebut jadi “berhantu” padahal twist cerita di film pertama akan membuat kita sadar bahwa gangguan yang ditimbulkan boneka tersebut tidaklah nyata. Tidak ada penjelasan lebih jauh mengapa boneka tersebut akhirnya “berhantu” dan selalu menyebabkan anak kecil yang tinggal di rumah Heelshire menjadi psikopat. Inilah letak kesalahan Bell (plot hole) yang menurut saya akan membingungkan penonton yang menonton kedua filmnya. Dari segi akting, praktis hanya Katie Holmes yang dikenal, pemain lainnya adalah pemain yang terkenal di serial TV. Akting semua cast dalam film cukup meyakinkan baik Katie Holmes sebagai Ibu yang berusaha pulih dari trauma, Jude sebagai anak yang bermasalah sehabis melihta kejadian traumatis di depan matanya sendiri, dan Sean sebagai tipikal ayah yang rasional dan tetap berusaha mencari jalan keluar terbaik untuk seluruh anggota keluarganya. Namun sayangnya karakter mereka tidak dapat berkembang lebih dinamis karena plot cerita yang kurang solid.



Terlihat bahwa William Brent Bell dan Stacey Menear mencoba menampilkan masalah domestik keluarga pasca trauma lewat film The Brahms: Boy II ini. Jika di film pertamanya yang lebih banyak disorot adalah bagaimana menjalani kehidupan setelah kehilangan anak maka di film keduanya penonton lebih banyak diperlihatkan soal kondisi keluarga sehabis peristiwa house raid (penyusupan dan perampokan rumah). Sang anak yang mengalami Selective Mutism serta sang ibu yang selalu bermimpi buruk menjadi fokus cerita di sepanjang film yang bertema horor ini. Namun sayangnya proses pemulihan kedua karakter ini cenderung terlalu disederhanakan dan tidak begitu terlihat, kesulitan yang dialami sang ibu tidak terlihat lagi di penghujung bagian akhir film padahal kondisi sang ibu tidak kalah serius dibandingkan sang anak. Pemulihan sang anak terlihat mendapat porsi lebih banyak dan krang berimbang dengan kondisi sang ibu. Kondisi mereka sebetulnya bisa membuat film ini lebih ‘membumi” untuk penonton tetapi sayangnya sisi psikologis tidak begitu banyak digali dan dimanfaatkan untuk memperkaya cerita yang berfokus pada keluarga ini. Film ini cukup efektif sebagai pengingat bahwa trauma dapat memberikan dampak buruk dan merusak jika tidak ditangani dengan baik tetapi untuk solusinya penonton perlu mencari sendiri lebih lanjut.

Overall: 6.5/10

(By Camy Surjadi)

Saturday, February 8, 2020

ULASAN: LITTLE WOMEN



Sejak ditulis pada tahun 1868 oleh Louisa May Alcott, Little Women sudah diadaptasi menjadi film setidaknya sebanyak enam kali, yaitu pada tahun 1917, 1918,1933, 1949, 1994, dan 2019. Film adaptasi terakhir itu baru masuk Indonesia pada Februari 2020, tepatnya akan mulai tayang pada tanggal 7 Februari 2020, dua bulan lebih lambat dibandingkan tanggal penayangan di Amerika Serikat (Desember 2019). Oleh karena itu membuat para penonton menjadi semakin tidak sabar untuk menyaksikan film tersebut. Apalagi beredar berita bahwa film ini menjadi salah satu kandidat peraih Oscar di kategori Best Picture, Best Actress (Saoirse Ronan), Best Supporting Actress (Florence Pugh), Best Adapted Screenplay (Greta Gerwig), Best Original Music Score (Alexandre Desplat), dan Best Costume Design (Jacqueline Durran).



Keindahan scene dan kostum pada film membuat mata penonton merasa nyaman untuk menyaksikan film ini, bahkan ingin menontonnya berkali-kali. Selain itu para penonton juga akan merasakan kehangatan yang teradapat pada keluarga March. Sehingga wajar film ini meraih banyak nominasi pada Oscar 2020.



Film ini bercerita tentang empat orang putri Mr. March (Bob Odenkirk) dan Mrs. March/Marmee (Laura Dern), yaitu Meg (Emma Watson), Jo (Saoirse Ronan), Beth (Eliza Scanlen), dan Amy (Florence Pugh), sama seperti di bukunya. Keempat putri pada keluarga March ini memiliki karakter dan bakat yang berbeda-beda. Meg si sulung memiliki karakter keibuan, pengatur dan sangat feminim, dengan bakat acting. Jo atau Josephine merupakan satu-satunya putri keluarga March yang tomboy, ia bahkan ingin sekali menjadi laki-laki, menyingkat namanya seperti nama laki-laki, bertingkah laku seperti laki-laki, benci takdirnya sebagai perempuan, bahkan ingin terjun ke medan perang. Jo merupakan tokoh utama pada film ini. Film ini beralur maju mundur berdasarkan sudut pandang Jo, di mana dikisahkan bahwa film ini berdasarkan cerita yang ditulis Jo mengenai keluarganya. Ya, Jo memang sangat berbakat menjadi penulis, dan itu adalah salah satu caranya mencari nafkah.



Putri ketiga (Beth), merupakan anak yang paling lemah, sering sakit, namun memiliki hati paling lembut, pendamai bagi saudari-saudarinya ketika mereka bertengkar, dan paling pemalu. Di balik itu semua, Beth sangat berbakat di bidang musik. Karena bakatnya itu, ia dihadiahi tetangganya yang kaya raya, Mr. Lawrence sebuah piano. Amy si bungsu merupakan karakter yang mewakili perempuan pada zaman itu yang ingin menikahi laki-laki kaya untuk meningkatkan taraf hidup dirinya dan keluarganya. Amy selalu berusaha tampil cantik dan menawan. Amy merasa dirinya memiliki bakat melukis.



Karakter dan bakat yang berbeda-beda itulah yang menjadi kekuatan pada cerita di film ini. Terkadang karena perbedaan-perbedaan itu mereka bertengkar, namun lebih banyak mereka bersatu. Misalnya saja ketika malam perayaan Natal, dengan bakat masing-masing, mereka menggelar drama yang ditonton keluarga dan tetangga.



Bisa ditebak dari judulnya yang terdapat kata women, film ini memang juga bercerita tentang usaha dan kondisi emansipasi wanita di tahun 1800-an. Perempuan pada zaman itu dituntut untuk mengalah dengan laki-laki (terjadi pada Meg, yang harus mengalah pada suaminya), harus bisa menarik perhatian laki-laki agar mau menikahinya (terjadi pada Amy), bahkan cenderung menyembunyikan namanya sebagai penulis novel, agar tidak terlihat bahwa ia seorang perempuan (dialami oleh Jo). Selain itu juga terjadi cinta segitiga antar kedua saudari (Jo dan Amy) dengan laki-laki tetangga mereka Theodore Laurie Lawrence (Timothée Chalamet)



Walaupun diadaptasi dari novel dengan judul yang sama, film ini ditulis ulang naskahnya oleh Greta Gerwig, sehingga ada beberapa hal yang tidak sama dengan buku. Jadi walaupun kamu sudah pernah membaca novelnya atau menonton film-film adaptasi Little Women lainnya, film ini masih sangat layak untuk ditonton karena menyajikan banyak hal berbeda dari novel maupun fil-film adaptasi sebelumnya. Penasaran bagaimana cerita film dengan rate 8,1 di IMDB ini ? Ayo segera temui empat bersaudari March di bioskop-bioskop kesayanganmu!

Overall:
(By Aisyah Syihab)

Friday, February 7, 2020

ULASAN: BIRDS OF PREY



Pada akhir 2019 lalu kita dikejutkan dengan fakta bahwa universe TV dan film DC akhirnya disatukan lewat cerita Crisis on Infinite Earths yang terbilang cukup fantastis karena membawa karakter-karakter lama yang pernah muncul di TV maupun seri terdahulu (beberapa di antaranya seperti Smallville dan Superman Returns). Tahun ini DCEU (DC Cinematic Universe) kembali melanjutkan franchisenya lewat film spin-off berjudul Birds of Prey, yang merupakan film kedelapan dalam DCEU, setelah film Suicide Squad yang flop di tahun 2016 lalu. Karena tema women empowerment sedang gencar maka DC merasa ini saat yang tepat untuk merilis film bertemakan team-up semua tokoh hero wanita dengan berfokus pada karakter Harley Quinn yang merupakan counterpart dari kisah komiknya dengan judul sama. Sempat beredar kabar bahwa tadinya ada opsi untuk membuat Gotham City Sirens selain Birds of Prey. Namun akhirnya Margot Robbie sang bintang utama memilih Birds of Prey dan Gotham City Sirens ditunda sampai ada info lebih lanjut, alasannya Margot Robbie ingin agar para fans-nya lebih mengenal tokoh wanita DC yang ‘kurang dikenal’ ketimbang Catwoman atau Poison Ivy (yang lebih banyak dikenal karena mereka adalah musuh Batman. Birds of Prey disutradarai oleh Cathy Yan dan screenplay-nya ditulis oleh Christina Hodson. Film ini dibintangi oleh Margot Robbie, Mary Elizabeth Winstead, Jurnee Smollett-Bell, Rosie Perez, Chris Messina, Ella Jay Basco, Ali Wong, dan Ewan McGregor. Cerita film ini berfokus mengenai petualangan Harley Quinn yang bergabung bersama Black Canary, Helena Bertinelli, dan Renee Montoya demi menyelamatkan Cassandra Cain dari salah satu penjahat keji di Githam yaitu Black Mask.



Setelah peristiwa di film Suicide Squad, Harley Quinn (Margot Robbie) kini telah putus dari Joker dan tidak lagi berada dalam pengaruh dan perlindungannya. Setelah putus Harley sempat tenggelam dalam ritual rutin yang biasa dilakukan seseorang sehabis putus yaitu memotong rambutnya, bergabung dalam tim Roller Derby, hingga mencoba bersenang-senang di klub milik seorang bos mafia kejam namun narsis Roman Sionis (Ewan McGregor), yang juga dikenal dengan nama Black Mask. Harley terlindungi dari para penjahat di Gotham berkat statusnya sebagai pacar Joker. Namun hal itu berubah ketika salah seorang anggota roller derby mengolok-oloknya sebagai wanita yang clingy dan pasti akan kembali ke pelukan Joker. Mendengar hal itu Harley memutuskan membuat ‘pengumuman’ dengan menabrakkan truk ke pabrik Ace Chemical tempat dia bertransformasi pertama kali dan menjadi pasangan Joker. Setelah peristiwa tersebut tersebar, semua penjahat di kota Gotham mengejar dan mencoba membuat perhitungan atas hal yang telah dilakukan Harley kepada mereka terutama Roman dan kaki tangannya Victor Zsasz. Namun tanpa disadari, Harley terlibat dalam plot pencurian permata yang diincar oleh Roman karena berisi informasi kekayaan keluarga Bertinelli yang ingin dikuasai oleh Roman. Harley menawarkan diri untuk membantu Roman mendapatkan permata tersebut sebagai jaminan untuk nyawanya. Perburuan permata ini membawanya pada Cassandra Cain (Ella Jay Basco) yang diketahui membawa permata tersebut, ia juga harus berhadapan dengan Dinah Lance/ Black Canary (Jurnee Smollett-Bell) yang bekerja untuk Roman, detektif idealis Renée Montoya (Rosie Perez) yang ingin meringkusnya, serta tidak ketinggalan Helena Bertinelli/ Huntress (Mary Elizabeth Winstead) yang mempunyai dendam pada para penjahat yang telah menghabisi keluarganya. Di tengah kekacauan ini, dapatkah Harley Quinn menunaikan janjinya kepada Roman dengan tetap selamat?



Melalui Birds of Prey, DC mencoba menampilkan sisi lain dari film-film mereka, yang kali ini cukup terasa unik dan ‘messy’ persis seperti karakter Harley Quinn yang memang menjadi fokus film ini. Sepanjang cerita film banyak diisi narasi suara Harley Quinn sehingga penonton seperti menonton dan mendengar cerita dari POV (Point of View) Harley Quinn yang menjelaskan secara non linear namun maju mundur dan terkesan semaunya. Keputusan untuk tidak membuat film solo namun menempatkan Harley Quinn dalam team-up movie sudah tepat tetapi film ini tidak cocok untuk semua demografi penonton, penonton yang mengharapkan cerita yang kompleks dan aksi yang spektakuler tidak akan mendapatkannya di film ini dan untuk penonton pria pasti akan beda menanggapinya dengan penonton wanita karena tema feminisme yang diusungnya cukup kentara. Istilahnya seperti kita menonton aksi geng cewe yang masing-masing personilnya memiliki basic problem yang cukup kacau dan bagaimana akhirnya karena ketiadaan pilihan mereka bekerja sama untuk mengatasi kekacauan yang lebih besar. Perlu kejelian untuk menangkap maksud dan pesan sang sutradara dalam film ini karena di permukaan film ini terkesan urakan, penuh humor absurd, dan dark comedy tetapi karakter Harley Quinn benar-benar menjadi lebih hidup dan diberi ruang untuk berkembang lagi di film ini sembari penonton diperkenalkan dengan tokoh-tokoh wanita lain. Durasi selama 109 menit benar-benar digunakan Cathy Yan untuk mengeksplorasi karakter Harley Quinn dari aspek yang tidak muncul sebelumnya dalam Suicide Squad. Tone film ini yang fun dan playful sayangnya tidak diimbangi dengan plot cerita di film ini yang sederhana dan mudah tertebak, keadaan ini menjadi salah satu penyumbang permasalahan film ini. Bagi penonton yang senang dengan cerita superhero/ antihero yang berbobot mungkin harus menurunkan ekspektasinya ketika menyaksikan film ini. Film ini cocok sebagai pelepas jenuh cukup nikmati saja ceritanya karena kita tidak perlu banyak berpikir.



Ansamble cast yang ada dalam film ini terbilang menarik dan walaupun karakter dalam film cukup banyak namun tetap terlihat bahwa Margot Robbie tetap tampil mempesona dan dominan sebagai Harley Quinn, karakter yang terlemah dalam film ini adalah Mary Elizabeth Winstead yang terkesan sedikit dipaksakan, Ella Jay sebagai Cassandra Cain cukup mencuri perhatian dan sukses memerankan anak perempuan bengal dan nakal, Jurnee Smollett sebagai Black Canary cukup representatif dan mampu menunjukkan dinamika akting yang baik Bersama Margot Robbie, hal senada juga ditunjukkan oleh Rosie Perez yang berperan sebagai Renée Montoya, seorang polisi idealis dengan gaya khas detektif wanita ala 80’an yang akhirnya mau bekerja sama dengan Harley untuk mengatasi Roman. Para karakter antagonis dalam film ini mulai dari yang level preman hingga kakap (Roman dan Victor) tampil “cartoonish” dengan adegan kekerasan yang dibalut dark comedy untuk mengurangi ketegangan penonton dan tetap pada jalur ‘fun and playful” tetapi hal ini tidak berhasil diterapkan pada semua adegan film. Ewan McGregor sebagai aktor yang berbakat kurang begitu dioptimalkan sebagai karakter Black Mask dan terkesan terjebak dalam memerankan stereotipe bos mafia yang gila. Unsur lain yang perlu dikritisi adalah pemilihan wardrobe yang kurang telaten dan sesuai untuk personifikasi karakter Black Canary dan Huntress. Kostum Harley Quinn memang sesuai cirinya yang berwarna, ceria, serta urakan tetapi ketika dibandingkan dengan karakter lain yang notabene karakter DC cukup jomplang padahal seharusnya mereka semua bisa dibuat lebih ‘standout’.



Terlihat bahwa Cathy Yan bersama Christina Hodson mencoba menampilkan isu feminis dalam film ini dengan menyajikan cerita yang berfokus pada karakter-karakter wanita yang mengalami ketidakadilan dan penindasan dengan gaya cerita yang santai dan ringan. Bagaimana seseorang mencoba melepaskan diri dari judgement dari orang-orang di sekelilingnya dan menjadi independen tergambar lewat karakter Harley Quinn yang dalam cerita berusaha membuktikan bahwa ia bukanlah wanita yang hanya bisa berlindung di balik kuasa seorang pria (Joker). Empowerment of women diperlihatkan lewat karakter Black Canary dan Renee Montoya, polisi wanita yang mengalami konflik dengan atasan di lingkungan kerjanya hingga akhirnya mereka mampu mengambil sikap tegas guna mengakhiri konflik tersebut. Gaya penceritaan yang unik dan tidak biasa dimanfaatkan Cathy Yan, yang juga merupakan debut utamanya dalam menyutradarai film layer lebar, untuk memberikan karakteristik yang unik dan fresh untuk film ini namun penilaian publik mungkin akan terbagi dari yang puas hingga biasa saja. Pesan dalam film Birds of Prey akan relate untuk kalangan tertentu tetapi tidak untuk golongan lainnya, untuk menuntaskan rasa penasaran tidak ada salahnya menyaksikan film ini di bioskop.


Overall: 7/10

(Camy Surjadi)





Wednesday, February 5, 2020

ULASAN: SECRET ZOO



Film – film drama komedi Korea Selatan terkenal dengan kreativitasnya dalam mengolah tema yang tidak biasa namun bisa menjadi cerita yang sangat menarik. Kali ini film keluarga bertajuk Secret Zoo yang bernuansa komedi hadir. Film ini diangkat dari adaptasi serial webcomic berjudul Haechijiana karya Hun dan sudah dipublikasikan dari 20 September 2011 hingga 27 April 2012 di Daum Webtoon Company. Film ini disutradarai dan ditulis naskah ceritanya oleh Son Jae-Gon (Villain and Widow-2010; My Scary Girl-2006) dan dibintangi oleh Ahn Jae-Hong (Miss & Mrs Cops -2019) dan Kang So-Ra (Cheer Up Mr.Lee-2013; Sunny-2011) sebagai bintang utama dengan didukung oleh Park Young-Gyu (Happiness for Sale-2013), Kim Sung-Oh (Unstoppable-2018; The Merciless-2017), Jeon Yeo-Bin (Illang: The Wolf Brigade-2018), Park Hyuk-Kwon (Unfinished-2018), Yoon Sung-Woo (Ashfall-2019), dan Jeon Woon-Jong (K-Drama series Chocolate-2018/2019). Film ini sudah dirilis di Korea Selatan pada 15 Januari 2020 dan telah menjadi box office di Korsel dengan menjual lebih dari 813 ribu tiket di 1.216 layar sejak tayang. Film Secret Zoo akan tayang di bioskop Indonesia pada 5 Februari 2020.



Tae Soo (Ahn Jae Hong), seorang pengacara yang sedang berusaha meraih kesuksesan di tempat ia bekerja mendapat kesempatan menjadi direktur di sebuah kebun binatang setelah menyelamatkan bosnya CEO Hwang (Park-Hyuk Kwon) dari amukan para demonstran. Tae Soo diberi waktu 3 bulan untuk mengurus kebun binatang tersebut agar ramai kembali sebelum perusahaannya akan menjual kembali ke pihak pembeli Min Chae-Ryung (Han Ye-Ri). Akan tetapi sesampainya di lokasi, Tae Soo terkejut mendapati kebun binatang tersebut hampir mengalami kebangkrutan dan akan ditutup. Semua hewan di kebun binatang habis terjual, dan hanya menyisakan sangat sedikit binatang serta seekor beruang kutub bernama Black Nose. CEO Hwang rutin mengecek Tae Soo untuk memastikan apakah ia mampu melaksanakan tugas yang diberikan, Tae Soo selalu menjawab dengan yakin. Karena terdesak, Tae Soo akhirnya memiliki sebuah ide yang sangat tidak biasa bahkan agak gila untuk menyelamatkan kebun binatang tersebut. Tae Soo mengajak para pegawainya untuk menggunakan hewan palsu sebagai pengganti hewan-hewan asli karena mereka tidak mungkin mendatangkan hewan-hewan asli dalam waktu singkat. Tae So dan para karyawannya mendatangi tempat pembuatan kostum untuk film yang digawangi oleh Tuan Ko (Kim Ki-Cheon), guna mendapatkan kostum yang terlihat ‘nyata’. Kostum yang disarankan adalah singa, beruang kutub, kukang, dan gorila, serta jerapah yang akan disusulkan. Para pegawai kebun binatang diminta oleh Tae Soo untuk berpura-pura menjadi hewan-hewan tersebut. Han So Won (Kang Sora) diminta menjadi singa, direktur Seo (Park Young Gyu), yang merupakan direktur kebun binatang sebelumnya, diminta menjadi beruang kutub, Kim Gun Wook (Kim Sung Oh) diminta menjadi gorilla, dan Kim Hae Kyung (Jeon Yeo Bin) menjadi kukang. Tae Soo yang menggantikan direktur Seo menyamar sebagai beruang kutub suatu ketika merasa Lelah dan meminum Coca-Cola. Hal tersebut ternyata dilihat oleh pengunjung dan akibat kelucuan itu kebun binatang tersebut akhirnya menjadi ramai dan viral di media sosial. Akan tetapi berbagai rintangan sudah menunggu Tae Soo dan para pegawai kebun binatang. Berhasilkah Tae Soo meraih kesuksesan dan posisi yang dijanjikannya setelah kebun binatang yang dipimpinnya menjadi viral atau malah ‘kepalsuan’ yang dia rencanakan terkuak?



Adaptasi cerita webtoon Haechijiana ini terbilang berhasil karena mampu menghadirkan cerita yang lucu namun tetap memiliki emosi dan pesan yang mengena untuk para penonton. Dengan durasi 117 menit narasi cerita mengalir dengan baik di bagian awal dan pertengahan cerita namun agak tergesa-gesa di bagian konklusinya. Pada bagian introduksi dan pengenalan karakter apa yang dilakukan dalam film ini sudah sangat baik, penonton diperkenalkan secara perlahan dan detil mengenai keseharian hidup Tae Soo sehingga memberi penonton waktu untuk terhubung dengannya. Lalu di bagian berikutnya penonton diperkenalkan dengan karakter-karakter pegawai kebun binatang yang cukup beragam namun mereka semua mampu memberikan dinamika yang menarik di sepanjang cerita film berkat interaksi mereka dengan Tae Soo ataupun di antara mereka satu sama lain. Unsur komedi film ini adalah aspek yang paling menarik karena mampu ditempatkan pada adegan-adegan yang tepat dan dijamin memancing gelak tawa. Selingan kisah percintaan juga turut diselipkan antara Tae Soo dan Han So serta Kim Gun Wook dan Kim Hae Kyung tetapi sayangnya terlalu dangkal padahal akan menarik jika dieksplorasi karena chemistry di antara kedua pasangan tersebut mampu ditampilkan dengan baik dan organik. Momen-momen dramatis juga disajikan dengan baik dan mampu membuat penonton berempati dan merefleksikan masalah dan konflik yang terjadi di kebun binatang. Akting Ahn Jae Hong sebagai karakter utama sangat baik terutama di momen-momen dia mengalami konflik batin dan moral atas keputusan yang harus ia buat terkait kebun binatang yang ia pimpin. Ahn Jae Hong juga terlihat lebih berakting dominan dibandingkan Kang Sora kemungkinan karena jalan cerita yang kurang memberi mereka momen untuk bersama padahal hubungan di antara mereka akan sangat menarik untuk dieksplorasi. Jalan cerita film ini mudah ditebak ketika kita menuju pertengahan film namun dinamika akting para pemainnya dalam memancing gelak tawa penonton mampu menarik penonton untuk menantikan seperti apa adegan final film ini.



Hal utama yang patut diapresiasi dalam film ini adalah penggunaan kostum yang sangat baik kualitasnya sehingga penampilan para aktor/ aktris dalam ksotum binatang terlihat meyakinkan dan mampu menunjang keseluruhan cerita dengan sangat baik. Mereka juga mampu tampil kocak lewat dialog-dialog dan tingkah konyol selagi berada dalam kostum binatang. Kekurangan yang sekaligus menjadi tantangan dalam film ini adalah karakter beruang kutub Black Nose yang full CGI tetap terlihat kentara di beberapa adegan dan sangat sulit untuk menampilkan gerakan atau interaksi yang realistis dari beruang kutub tersebut. Akan tetapi untungnya hal tersebut tidak mengganggu jalan cerita namun bagi penonton dewasa yang detil pasti akan menyadari kekurangan ini. Minimnya kehadiran hewan juga menjadi pertanyaan karena dalam film diceritakan para pegawai kebun binatang masih mengurus beberapa binatang kecil yang tersisa, penonton tidak akan melihat interaksi para pegawai kebun binatang tersebut dengan para hewan. Ide penggunaan kostum binatang sekaligus merefleksikan pertanyaan dan ironi apakah manusia mengeksploitasi para hewan hanya untuk objek tontonan semata.



Son Jae-Gon berusaha menyampaikan isu seputar permasalahan yang kerap terjadi di kebun binatang lewat serangkaian peristiwa-peristiwa dan dialog para pemainnya dalam film dengan tepat dan mengena bagi penonton khususnya mengenai nasib-nasib para binatang yang ada di kebun binatang. Jae-Gon mengajak para penonton untuk ikut berpikir tentang apakah manfaat dari kebun binatang itu sepadan dengan hewan-hewan yang ‘dikondisikan’ bukan di habitat asli mereka dan menunjukkan bahwa yang dapat manusia lakukan adalah merawat para binatang itu sebaik mungkin. Karena sebaik apapun kebun binatang dirancang tetap tidak akan dapat meyamai habitat asli mereka, hal inilah yang kerap menjadi pertentangan bagi organisasi pencinta hewan terhadap kebun binatang. Selain itu isu penindasan korporasi besar, dalam film ini properti, yang mencaplok kebun binatang untuk dijadikan area perumahan seakan menyindir praktik yang sering terjadi di kota-kota besar yang lebih mementingkan keuntungan ketimbang preservasi lingkungan dan kekayaan alam. Dilema moral tentang bagaimana seharusnya kita memilih hal yang benar untuk dilakukan dalam hidup digambarkan dengan sangat baik dalam film ini. Jae-Gon pandai merangkai adegan dan cerita dalam film guna menyampaikan pesan-pesan tersebut secara santai namun tepat sasaran. Seusai menyaksikan film ini semoga anda mendapatkan pesan bahwa kita memiliki peran dalam menjaga kelangsungan hidup hewan-hewan di dunia sekaligus memiliki perspektif baru terhadap kebun binatang dan para pekerja yang terlibat di dalamnya.

Overall: 8/10
(By Camy Surjadi)