Thursday, June 30, 2022

ULASAN: MINIONS 'RISE OF GRU'


Siapa sih yang tidak tahu dengan Minions? Sejak kemunculuan mereka pertama kali dalam film Despicable Me (2010) dan sejak itu kepopuleran mereka sudah mengambil tempat tersendiri dalam perkembangan pop culture. Dan memang menunggu waktu saja mereka punya film sendiri dan tahun 2015 Minions punya film yang terpisah dari Despicable Me. Berselang 7 tahun dari film pertamanya Minions sekarang kembali lagi. Jika pada film pertama kita bisa melihat dari mana asal-usul mereka, maka pada film kedua ini kita akan melihat bagaimana pertemuan mereka pertama kali dengan majikan kesayangan mereka yaitu Gru. Dengan sutradara Kyle Balda yang sudah menyutradarai Despicable Me 3 (2017) dan Minions pertama (2015), sequel ini diisi dengan deretan nama-nama populer. Selain Steve Carell yang juga mengisi suara Gru kecil, ada nama Taraji P. Henson, Jean-Claude Van Damme, Dolph Lundgren, Lucy Lawless, Danny Trejo, Michelle Yeoh, Russel Brand, Julie Andrews dan Alan Arkin.

Dengan setting tahun 1970an beberapa tahun setelah ending film pertama, Gru (Steve Carell) anak kecil berusia 12 tahun yang bermimpi bergabung dengan Vicious 6, sekelompok penjahat super dunia. Pada prolognya 5 anggota Vicious 6 ini mengkhianati pendirinya  Wild Knuckles (Alan Arkin). Lalu Gru yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya sangat gembira ketika Vicious 6 membuka lowoangan untuk mengsisi kekosangan anggota ke-6. Gru menyusun rencana untuk menjadi cukup jahat untuk bergabung dengan Vicious 6. Namun semuanya tidak berjalan sesuai rencana, merasa dipermalukan Gru mencuri batu berharga Zodiak Stone dari Vicious 6. Dalam pelarian, Gru menemukan Wild Knuckles masih hidup. Gru bersama Minions dan Wild Knuckles harus melawan Vicious 6 untuk perebutan Zodiak Stone. Premis yang cukup kompleks memang, namun seperti yang kita tahu film ini akan jauh dari kompleks dan justru sebaliknya.


Film yang berdurasi 88 menit ini tidak berlama-lama membangun set-up plotnya, adegan demi adegan akan berganti dengan cepat. Tidak butuh waktu berlama-lama pula kita akan mengenali karakter-karakter baru dalam film ini terutama dari para anggota Vicious 6. Namun dalam porsi yang sangat sebentar itu masih ada beberapa karakter yang mencuri perhatian seperti Nunchuck (Lucy Lawles), seorang biarawati  yang mempunyai kekuatan dengan berdoa untuk membunuh. Saya sangat tertarik dari mana inspirasi karakter ini tercipta. Lalu dari karakter minions kali ini tidak saja Kevin, Stuart dan Bob yang mendapat porsi. Ada Otto dengan kecerobohannya akan memncing tawa. Bahkan Otto mendapat porsi plot tersendiri dalam narasi cerita. Salah satu pembeda dari yang pertama yang cukup segar yang berasal dari dua karakter itu.


Dengan alur generik seperti seri-seri film Despicbale Me sebelumnya, penonton akan disuguhi adegan apapun yang memperlihatkan tingkah laku minions maka dipastikan itu juga akan memancing tawa penonton. Sebuah pola yang masih bertahan dari franchise ini dan kita sebagai penonton masih saja bisa tertawa. Memang, sejak Depicable Me pertama tidak ada lagi seri franchise ini yang bisa memberikan sentuhan emosional yang kuat, termasuk pada seri ini. Namun seri ini terasa jauh lebih baik dibandingkan yang pertama. Sebuah origin yang kita butuhkan bagaimana Minions sangat loyal kepada Gru, begitu juga sebaliknya.

Overall: 7/10

(By Senandika Dalu)

Wednesday, June 29, 2022


         


Vidio kembali akan merilis original series terbarunya yang mana kali ini bekerja sama dengan Rapi Films dan Kalyana Shira Films. Original series terbaru dengan genre drama komedi satire yang berjudul Suka Duka Berduka. Dibintangi oleh Jihane Almira, Ersa Mayori, Luna Maya, Tora Sudiro, Oka Antara, Atiqah Hasiholan, Samudra Taylor, Krisjiana Baharudin, Shalom Razade, Ayushita, Jajang C Noer, Shafira Umm, Anyun Cadel, Mbok Tun, dan sederet bintang papan atas lainnya.




Vidio Original Series Suka Duka Berduka disutradarai oleh Andri Cung dan Nia Dinata, yang juga menulis bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi. Bercerita tentang kehidupan keluarga Afan yang merupakan keluarga terpandang di Ibu Kota. Rauf Afan, 77 tahun, ditemukan oleh Istri mudanya Lilis (Atiqah Hasiholan), telah meninggal dunia karena serangan jantung, setelah berturut-turut menyantap sate kambing, durian dan bir dingin. Untuk menghormati mendiang almarhum, pengajian pun dilakukan secara rutin pada hari ketiga, hari ketujuh dan hari ke empat puluh. Disinilah berbagai cerita dan emosi bermunculan. Satu persatu anak cucu dan saudara Rauf Afan, yaitu Mitha (Ersa Mayori), Ella (Luna Maya), Rasyid (Oka Antara), Paul (Tora Sudiro), Naumi (Jihane Almira), Ipung (Krisjiana Baharudin), Vano (Samudra Taylor), Indri (Ayushita) dan NJT (Jajang C Noer) silih berganti memberi rentetan kejutan yang kental komedi. Diawali dengan perselisihan mengenai warisan, Ipung yang tak henti membuat ulah, NJT hadir dengan ribuan kisah masa lalu yang fantastis, Rasyid yang penuh misteri hingga Paul yang ingin menjadi Gubernur Jakarta. Berbagai konflik pun terjadi berujung pada serangkaian peristiwa yang mendebarkan, mengharukan, menghasilkan tangis paling keras namun juga mengundang tawa yang paling lepas. Gambaran sebuah keluarga yang dapat menemukan esensi Suka dan Duka dalam Berduka.



Menurut Nia Dinata, “Eksplorasi kreatif dalam tim di Suka Duka Berduka sangat kompak, mempelajari dan mengeksplorasi emosi manusia saat berduka berpotensi kuat menjadi drama, tetapi sebenarnya ada sisi sisi komedi dalam ruang ruang di saat keluarga besar berkumpul.”



Tia Hendani sebagai Head of Original Productions Vidio menambahkan, “Vidio Original Series Suka Duka Berduka, merupakan salah satu judul original series yang dapat dikatakan berbeda dan sangat unik jika dibandingkan dengan berbagai judul lainnya yang sudah kami rilis. Vidio Original Series Suka Duka Berduka akan membawa penonton menyelami kisah suka dan duka sebuah keluarga konglomerat saat sedang mengalami kedukaan. Situasi ini membuat seluruh anggota keluarga berkumpul yang menjadi sumber dari berbagai drama dan konflik yang ada. Tapi karena dari sisi dialog dan pengadeganan dirancang sebagai komedi satir, series ini akan sangat menghibur dan memancing tawa. Meski series ini dibalut dengan berbagai drama dan konflik, Suka Duka Berduka tetap dapat membawakan rasa kehangatan sebuah keluarga. Sehingga saat menontonnya, audiens akan merasa sangat relevan dengan yang terjadi di kehidupan mereka” Ujar.



“Komedi Tragedi Keluarga adalah topik yang jarang diangkat, kami memproduksi Suka Duka Berduka dengan sepenuh hati, membentuk team work yang kuat dan dinamika kerjasama dengan Kalyana Shira Films sangat terbuka. Sebuah proses kreatif yang progresif. Semoga hasilnya bisa memberikan alternatif tontonan untuk publik.” Ujar Sunil Samtani, produser dari Vidio Original Series Suka Duka Berduka.



Vidio Original Series Suka Duka Berduka akan tayang mulai 7 Juli 2022, sebanyak 8 episode, eksklusif hanya di Vidio. Episode pertama dan kedua dapat disaksikan secara GRATIS di aplikasi Vidio, untuk menonton episode selanjutnya konsumen dapat berlangganan Vidio Premier Platinum mulai dari 15 ribu rupiah. Konsumen dapat mengunduh dan install aplikasi Vidio di smartphone Android dan iOS di Apple Store atau Google Store serta dapat diakses juga melalui website www.vidio.com.








Monday, June 27, 2022

ULASAN: MADU MURNI





Setelah lama vakum dari dunia hiburan pasangan suami-istri Ammar Zoni dan Irish Bella yang terakhir kita lihat penampilannya di sinetron CintaSuci kali ini beradu akting bersama dalam film Madu Murni. Madu Murni disutradarai oleh Monty Tiwa dan bergenre film komedi romantis yang tayang di bioskop XXI pada 30 Juni 2022 mendatang. Madu Murni menandai comebacknya penulis skenario legendaris Musfar Yasin bersama Starvision setelah 16 tahun. Dahulu di tahun 2006, Musfar dan Starvision berkolaborasi lewat Get Married. Madu Murni mengangkat isu poligami dan permasalahan rumah tangga yang cukup lazim bersliweran di Indonesia mengenai sumber keuangan mereka tapi dikemas dengan cerita yang lebih merakyat dan apa adanya.





Mengisahkan kehidupan seorang eks guru mengaji, Mustaqim (Ammar Zoni), yang sekarang bekerjas ebagai debt-collector guna mendapatkan penghasilan yang lebih banyak dari sebelumnya. Namun istrinya, Murni (Irish Bella),sebenarnya tidak terlalu setuju dengan pekerjaan Mustaqim. Murni pun tidak mau menerima uang dari suaminya karena pertentangan moral dalam batinnya. Suatu saat Rojak (Tanta Ginting) yang merupakan rekan kerja Mustaqim memberikan saran padanya untuk menikah lagi supaya uang yang tidak diterima istrinya dapat diberikan ke Wanita tersebut. Akhirnya Mustaqim memutuskan untuk menikahl agi denganYati (Aulia Sarah) yang seksi dan sering menggodanya. Lalu apakahkeputusanMustaqiminitepat?Dapatkahiahidupakurdengankeduaistrinya? tentu saja anda dapat menyaksikan kisah selengkapnya di bioskop.



Berdurasi 1 jam 36 menit, Madu Murni saya rasa berhasil membawa kita masuk ke dalam kehidupan Mustaqim dan Murni tanpa kesulitan. Bagian pertama pembangunan karakter Mustaqim dan Murni ditampilkan tidak bertele-tele dan aspek-aspek penting menjadi kunci utama keberhasilan. Tetapi alasan Mustaqim memadu Murni dengan menikahi Yati terasa kurang kuat karena hanya berbekal nasihat rekannya Rojak dan interaksinya dengan Yati tidak terlalu banyak dibangun di awal film. Untung saja kekurangan ini masih mampu ditutupi dengan aktingAulia Sarah dan dinamika cerita yang berjalan baik. Setelah itu konflik antara Murni, Yati, dan Mustaqim pun jadi berkembang seiringj alannya cerita. Isu poligami diceritakan melalui sudut pandang Murni yang harus menahan sabar dan tekanan batin karena Mustaqim memilih memadu istrinya. Konflik cerita pun diperkaya dengan pertentangan moral yang dialami Mustaqim selama menjadi debt collector. Konflik personal Mustaqim digunakan untuk pembangunan karakternya dan tidak sekadar tempelan cerita. Isu maskulinitas pun coba diangkat di film ini walau tidak sepenuhnya memberi konklusi yang memuaskan, saya merasa topik maskulinitas ini lebih untuk memperkaya unsur komedi film ini saja. Di bagian akhir cerita ditutup dengan keputusan Mustaqim setelah melalui ejadian-kejadian besar yang berpengaruh pada hidupnya dan untuk penutupsaya rasa cukup memuaskan.





Semua cast dalam Madu Murni bisa dikatakan semua menampilkan performat erbaiknya. Chemistry antara Ammar dan Irish yang memang pasangan suami istri di dunia nyata tidak menyulitkan merekau ntuk beradu akting sebagai pasangan suami istri yang sederhana. Dinamika aktingAulia Sarah sebagai istri kedua juga menambah kaya suasana film ini. Akting Aulia yang centil dan genit serta ceplas-ceplos menjadi hiburan tersendiri di film ini. Aktor dan aktris pendukung seperti Tanta Ginting, Epy Kusnandar, Yayu Unru, Meriam Bellina, Ira Wibowo dan Jaja Miharja menampilkan porsi akting yang pas dan membumi. Pemilihan lokasi yang jamak kita temui di daerah pinggiran Jakarta atau kota kecil membuat film ini terasa dekat dengan keseharian masyarakat kita sehingg amembuat penonton tidak merasa asing dengan cerita yang disajikan.



Berbekal naskah cerita dari Musfar Yasin, Monty Tiwa berhasil menyajikan komedi romantis dengan isu sensitif di negara ini yaitu poligami tanpa menggurui, penonton diajak berempati lewat kisah tokoh utama yang membumi dengan kehidupan sebagian besar penonton di negara ini. Alih-alih menempuh jalur serius, penuturan masalah hiduplewat genre komedi terbilang cukup efektif dan tidak dibuat-buat. Pesan yang disampaikan juga dapat tersampaikan dengan baik dan mengena. Ketika bercerita mengenai masalah kehidupan tidak melulu mesti serius karena ini tergantung kreativitas dan pendekatan seperti apa yang cocok pada penonton. Ketimbang film serius tapi terlalu agamis dan mendikte penonton dan terasajauh dari keseharian. Karena hidup sendiri sudah serius belum lagi serba-serbi masalahnya. Semestinya film dapat menjadi hiburan, jika berhasil jadi pengingat itua dalah bonu.




Overall: 7/10

(By Camy Surjadi)  













Wednesday, June 22, 2022

ULASAN: THE BLACK PHONE




Tidak butuh waktu lama setelah resmi keluar dari proyek sequel Doctor Strange, sutradara Scott Derrickson sudah bisa beralih ke proyek film lainnya. Kali ini film yang dia sutradarai film bergenre speisalis atau yang sudah mengangkat namanya yaitu horror berjudul The Black Phone. Film yang diangkat dari cerpen berjudul sama karya Joe Hill (anak dari Stephen King) membawa Scott Derrickson kembali bekerja sama dengan Ethan Hawke, 10 tahun setelah kerjasama mereka yang sukses lewat Sinister.

Film ini bercerita tentang pasangan adik kakak Finney  (Mason Thames) dan Gwen (Madeleine McGraw) yang tinggal bersama orang tua tunggal, sang ayah mereka yang pemabuk. Kerasnya sang ayah dalam merawat pasangan adik-kakak membuat hubungan Finney dan Gwen semakin kuat. Mereka saling melindungi ketika di luar rumah atau bahkan Finney lebih sering dibantu oleh Gwen. Pada satu momen Gwen menyelamatkan Finney dari rundungan 3 anak-anak lainnya sampai membuatnya cidera secara fisik.



Di saat bersamaan, kota yang ditinggali oleh Finney dan Gwen sedang diteror oleh penculik anak. Sudah ada 5 anak-anak di lingkungan tersebut menghilang dan tidak diketahui lagi nasibnya. Puncaknya ketika Finney akhirnya menjadi korban penculik yang diberi julukan The Grabber (Ethan Hawke). Sendirian dikurung di rubanah, hanya ada sebuah telpon yang tidak aktif lagi yang dalam ruangan itu. Tanpa diduga Finney, dari telpon tidak aktif itu juga dia mendapat telpon dari korban-korban The Grabber sebelumnya yang sudah meninggal. Berpacu dengan waktu Finney harus bisa segera melarikan diri karena waktunya terbatas sebelum The Grabber benar-benar membunuhnya. Sementara ittu di sisi lain Gwen mencoba mencari sang kakak lewat mimpi, sebuah kekuatan yang ingin dikuburnya karena permintaan sang ayah.


Hal pertama yang cukup menarik perhatian mata kita sebagai penonton di film ini adalah berlatar tahun 70an. Elemen klasik yang cukup kental akan menemani sampai akhir film, mulai dari busana, arsitektur atau bahkan selipan pop culture pada tahun tersebut makin menguatkan elemen 70-an itu. Mungkin ada alasan utama kenapa film ini memilih setting tahun 70an. Kalau kamu suka nonton dokumenter kriminal di Netflix, kamu akan banyak menemui kasus-kasus series killer di periode itu dan salah satunya penculik anak-anak.


Sementara untuk plot cerita, The Black Phone tidak terburu-buru masuk ke sequence horrornya. Bahkan 30 menit pertama kita lebih diajak untuk mengenal karakternya. Dan itu berhasil, kita bisa melihat ikatan kuat Finney dan Gwen yang sangat baik dimainkan oleh Mason Themes dan Madeline McGraw. Chemistry mereka berdua adalah bumbu drama plot cerita kedepannya. Namun setelah 30 menit itu siap-siap saja, terutama setelah The Grabber muncul dan menculik Finney. Penonton tidak dibiarkan tenang sampai akhir film.


Sama halnya seperti film-film horror Scot Derrickson sebelumnya yang memberikan ketidaknyamanan sampai film-film benar berakhir, The Black Phone pun memberikan hal yang sama. Seakan belum cukup dengan terror The Grabber yang benar-benar diperankan dengan mengerikan oleh Ethan Hawke, ruangan yang kosongpun memberi kontribusi yang mencekam. Sequence horror adalah bagian terbaik dalam film ini. Jikapun merasa kekurangan itu ada pada karakter The Grabber sendiri. Kita tidak mengetahui motivasi atau kenapa korbannya harus anak-anak. Tidak banyak diketahui mengenai karakter  ini. Tetapi mungkin Scott Derrickson menginginkan penonton mengambil sudut pandang Finney yang tidak tahu apa-apa selain mencoba untuk selamat dar penculikan.


Secara keseluruhan jika dibandingkan dnegan film-film horror Scott Derrickson lainnya Sinister masihlah yang terbaik. Namun yang jadi pembeda dari The Black Phone ini adalah sentuhan dramanya yang sedikit tapi cukup kuat yang berhasil diaplikasikan oleh 2 aktor ciliknya. Meninggalkn proyek sequel Doctor Stranger untuk bisa mengerjakan film ini menjadi suatu keputusan yang tepat. Masih sangat ingin menonton film-film horror Sott Derrickson selanjutnya.

Overall: 8/10

(By Senandika Dalu)


Sunday, June 19, 2022

ULASAN: ELVIS




Andaipun kamu hanya penggemar musik yang biasa-biasa saja, tapi sedikit banyaknya pasti pernah mendengar nama Elvis Presley. Seorang ikon musik yang bagi orang awam seperti saya yang teringat pertama kali dari seorang Elvis adalah penampilannya yang nyentrik, yang mana sering muncul atau diaplikasikan oleh karakter-karakter dalam film lain yang pernah saya tonton. Dan sekarang hadirlah Elvis, film biopik pertama mengenai peyanyi ini yang saya tonton. Film biopik yang disutradarai oleh Baz Luhrman setelah terakhir kali menyutradarai film tahun 2013 lalu lewat The Great Gatsby. Biopik yang dibintangi oleh aktor senior Tom Hanks dan aktor yang sedang naik daun Austin Butler.


Biopik yang menceritakan perjalanan karir Elvis Presley (Austin Butler) mengambil dari sudut pandang manajernya Tom Parker (Tom Hanks). Dari awal kita akan melihat bagaimana awalnya Tom Parker mencium bakat seorang Elvis Presley lalu melejitkan namanya di industri musik Amerika. Namun seiring naiknya popularitas Elvis dengan jenis musik dan gerakan tarian yang diperagakan di atas panggung membawanya pada pro-kontra pada tahun 60-an dimana situasi pada saat itu kental dengan rasis yang dilegalkan. Tumbuh pada lingkungan kulit hitam, Elvis sering memberontak lewat lagu-lagu yang dia bawakan yang sering membuat kubu politik memberinya somasi. Film ini juga akan membawa kita pada jatuh bangun karier Elvis yang tergantung pada obat-obatan dan hubungan toxic dengan manajernya Tom Parker.


Dengan durasi yang mencapai 2 jam 39 menit sangat wajar jika kamu melihat durasinya sebelum menonton akan merasa was-was terjebak dalam kebosanan.. Terlebih ini film biopik yang potensi membosankannya akan sangat besar. Namun untungnya 2 jam 39 menit ini mempunyai naskah yang kuat. Baz Luhrman memaksimalkan durasi yang cukup lama itu mengekplorasi perjalanan karir seorang Elvis Presley. Tidak ada berlama-lama pada satu adegan tertentu (yang biasanya dialog dalam film biopik) karena memang sepanjang film kita akan melihat bagaimana hubungan Elvis dengan orang-orang yang membentuk karakternya seperti dari Ibunya, tokoh-tokoh musik kulit hitam, Priscilla (Olivia DeJonge) sang istri, dan termasuk hubungan naik surutnya dengan Tom Parker. Bahkan durasi selama itu juga masih terasa kurang, seperti porsi hubungan antara Elvis dan Priscilla tidak diberi kedalaman. Kehadiran karakter Priscilla lebih kepada mengisi slot orang terdekat Elvis meskipun Olivia DeJonge sebenarnya sudah bermain cukup bagus memerankan istri Elvis Prslersebut.


Mengeksplorasi karakter yang nelangsa di tengah-tengah keglamoran dan popularitas dari sudut pandang ketiga sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Baz Luhrman lewat The Great Gatsby. Itu mungkin kenapa kita bisa melihat biopik Elvis terasa sangat matang dengan durasi yang cukup lama itu. Visualnya sekalipun cukup familiar bagi yang sudah nonton film-film Baz Luhrman sebelumnya. Kita bisa merakan influence visual Moulin Rougue, Rome0+Juliet dan The Great Gatsby dalam film ini.


Sementara itu Austin Butler yang memerankan Elvis dari berbagai usia layak diapresiasi lebih. Impersonatenya mulai dari gaya bicara, gerakan tubuh, hingga pendalaman karakternya benar-benar memukau. Percayalah, setelah melihat penampilan Austin Butler di film ini kamu akan lanngsung berselancar ke youtube untuk mecoba melihat perbandingan penampilan Elvis yang asli dengan Elvis versi Austin Butler. Lalu untuk Tom Hanks yang yang di luar kebiasaan mencoba memerankan antagonis di mana di film ini memainkan peran yang manipulatif dan serakah namun sayangnya kita tidak bisa merasakan karakter antagonis yang semestinya. Bukan karena Tom Hanks bermain buruk, bukan. Hanya saja Tom Hanks tidak bisa lepas dari pembawaanya "good man"pada karakter antagonisnya.


Secara keseluruhan Elvis bisa dimasukan dalam biopik terbaik yang pernah saya tonton. Untuk saya yang benar-benar awam dengan Elvis, film ini cukup banyak memberi hal baru buat saya tentang ikon musik ini. Memang ada detil-detil kecil ataupun porsi karakter pembantu namun penting yang tidak terlalu dieksplorasi. Namun semuanya dapat ditutupi dengan hal lainnya. Ketika sebuah film biopik membuat kamu mencari tahu lebih banyak mengenai tokohnya setelah menonton, maka film biopik itu termasuk sudah berhasil. Dan itu yang saya alami setelah menonton Elvis.

Overall: 8/10

(By Zul Guci) 


Monday, June 13, 2022

ULASAN: SEE FOR ME





Film yang mengangkat invasi atau perampokan rumah sudah banyak macam ragamnya kita tonton. Mayoritas film bertema seperti ini masuk ke dalam genre thriller. Lalu bagaimana jika dirampok yang dihuni itu orang buta? Sebuah premis yang mengingatkan kita dengan Don't Breath. Hanya saja pada Don't Breath posisi yang meneror ada pada karakter yang buta, sedangkan dalam See for Me protagonisnya benar-benar ada pada orang buta yang mencoba selamat dari 3 pembobol yang ingin merampok rumah yang dia huni. Premis yang cukup bikin penasaran bukan?


Film yang bercerita tentang mantan pemain ski bernama Sophie ((Skyler Davenport) yang kehilangan penglihatannya. Sophie yang sangat membutuhkan uang akhirnya bekerja sebagai penjaga kucing di sebuah rumah mewah dan terpencil. Namun teror berawal dari rumah yang ternyata sudah diincar oleh tiga perampok. Sophie yang tak bisa melihat dan satu-satunya pertahanannya adalah sebuah aplikasi See For Me yang menuntunnya untuk melihat keadaan disekitar dan menjadi pertahanan Sophie dari para pencuri.



Film yang minim cast ini sejak awal memang sangat menonjolkan karakter Sophie. Kita bisa melihat dari awal karakter Sophie dengan segala kekurangannya sangat keras kepala, tidak mau dikasihani termasuk oleh ibunya sendiri yang sampai akhirnya kita mengetahui sisi buruk dari Sophie. Sampai disitu pengembangan karakter Sophie bisa dibilang sudah solid yang dikombinasikan dengan plot cerita ketika memasuki sequence 3 perampok masuk. Di sini kita akan melihat momen-momen menegangkan dan menahan nafas bagaimana Sophie yang hanya bisa mengandalkan pendengarannya yang tajam dan panduan seseorang dari aplikasi.


Namun plot cerita yang sudah menarik itu mengubah arahnya cukup dratis. Randall Okita sebagai sutradara cukup berani mengambil keputusan beresiko tersebut. Perubahan arah dan motivasi Sophie di tengah-tengah plot cerita yang tadinya hanya ingin selamat menjadi memanfaatkan situasi untuk keuntungannya sendiri. Keputusan ini sangat beresiko yang bisa membuat penonton yang tadinya peduli dengan karakter Sophie akan menjadi sebaliknya. Dan saya masuk dalam kategori yang awalnya peduli menjadi sebaliknya. Ketidakkonsistenan karakter yang sangat disayangkan dan cukup meganggu.


Secara keseluruhan, See for Me mempunyai pembuka solid sampai pertengahan film. Perubahan arah motivasi karakter utama yang terlalu berani dan lebih kepada eksperimen ikut mengubah mood penonton juga pada plot cerita dan karakter utamanya. Esensi film survivalnya menjadi hilang ketika kamu tidak berpihak lagi pada karakter utama.

  
Overall: 6/10










Tuesday, June 7, 2022

ULASAN: JURASSIC WORLD 'DOMINION'



Dibuka dengan Jurassic World (2015), lalu dilanjutkan dengan Fallen Kingdom (2018) dan akhirnya ditutup dengan Diminion. Penutup trilogi kedua dari franchise Jurassic Park ini yang masih dipercayakan pada Colin Trevorrow yang menyutradarai dua film sebelumnya. Masih dengan membawa dua pemeran utama Chriss Pratt dan Bryce Dallas Howard. Untuk memembuat penutup yang epik, film ketiga ini membawa 3 nama pemain originalnya mulai dari Sam Neill, Jeff Goldblum, dan Laura Dern.

Jurassic World: Dominion mengambil plot cerita empat tahun setelah apa yang terjadi di Fallen Kingdom ketika Isla Nublar dihancurkan. Dinosaurus sekarang hidup dan berburu, beradaptasi bersama manusia di seluruh dunia. Keseimbangan yang rapuh ini akan membentuk kembali masa depan dan menentukan, sekali dan untuk semua, apakah manusia akan tetap menjadi predator puncak di planet yang sekarang mereka tempati bersama makhluk paling menakutkan dalam sejarah? Premis sederhanya seperti itu. Namun isi dari film lebih luas dari itu.



Untuk bisa terkoneksi dengan plot cerita Dominion pastikan kamu sudah menonton ulang Fallen Kingdom terlebih dahulu. Semua itu dikarenakan plot cerita dua film ini sangat berkesinambungan. Plot cerita yang membawa penonton pada bagian yang lebih luas lagi. Tidak hanya sebatas pada taman dinosuarus yang kolaps. Saking luasnya mungkin plot cerita ini sedikit terasa berat untuk penonton yang masih mengira Dominion film tentang survival seperti franschise Jurassic Park lainnya. Berjalan secara pararel, Dominion mempunyai dua plot cerita. Yang pertama plot tim Owen (Chris Pratt) dalam usahanya menyalamatkan putri angkatnya Massie Lockwood (Isabella Sermon) yang merupakan kloning manusia pertama. Yang kedua plot tim Alan (Sam Neill) yang usahanya bersama Ellie (Laura Dern) dan Ian (Jeff Goldblum) yang berusaha mengungkap busuknya sebuah perusahaan korporat yang mana hasil percobaanya bisa mendatangkan krisis yang merusak rantai makanan di muka bumi.


Membuat plot cerita terbagi dua yang berjalan secara pararel merupakan sebuah keputusan yang tepat. Colin Trevorrow sepertinya ingin membuat 3 pemeran original filmnya lebih bersinar, lebih dari sekadar fans service yang hanya tampil sebagai cameo. Dan porsi Sam Neill, Laura Dern, dan Jeff Godlblum yang bersinar tidak meganggu porsi pengembangan karakter dari generasi Jurasic World yang dikepalai oleh Chris Pratt dan Bryce Dallas Howard. Jika porsi para karakternya sudah terasa pas, namun tidak plot cerita secara keseluruhan. Seperti yang sudah disebutkan di atas, penonton akan di bawa pada bagian lebih luas lagi, namun sayangnya penyampaian yang sangat rumit untuk penonton awam yang tidak mengerti bahasa-bahasa ilmiah. Setiap adegan dialog yang memakai bahasa ilmiah itu kita ingin segera adegan berganti secepatnya. Memang sedikit berbelit-belit, padahal esensi yang disampaikan sama saja dengan 5 film sebelumnya, yaitu kosekuensi yang didapatkan ketika manusia mencoba menjadi Tuhan.



Untungnya ketika kita tidak bisa mengikuti bahasa ilimiah yang sangat sering muncul , semua terbayarkan pada setiap momen aksinya. Kejar-kejaran di tengah kota antara motor dan Velociraptor, melarikan diri dari tengah hutan yang dipenuhi dinosasurus berjenis karnivora sampai terjebak di tengah-tengah duel para karnivora raksasa diamin akan sangat memuaskan dan memenuhi esensi dari film-film dalam kategori "summer movies".


Secara keseluruhan Jurassic World: Dominion memberikan rasa nostalgia pada penontonnya dengan kehadiran 3 pemeran utama originalnya. Namun penyampaian plot cerita yang berbelit-belit dengan esensi yang sama dengan 5 film sebelumnya cukup lumayan membuat kita bosan. Namun semua dapat tergantikan oleh sequence aksinya. Bukan penutup yang sempurna, tetapi masih sangat menghibur.

Overall: 7/10

Monday, June 6, 2022

ABSEN SELAMA DUA TAHUN, EUROPE ON SCREEN KEMBALI DIADAKAN SECARA OFFLINE



Setelah dua tahun diadakan secara virtual, edisi ke 22 festival film tahunan Uni Eropa (UE) ‘Europe on Screen’ (EoS) akan digelar dengan format hybrid di tahun 2022. Pemutaran film secara luring (offline) diadakan mulai tanggal 16-26 Juni 2022 di beberapa kota besar di Indonesia: Jakarta, Bandung, Denpasar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta. Sementara, penonton juga dapat mengakses film-film pilihan yang ditayangkan di Europe on Screen 2022 secara daring (online) melalui situs festivalscope.com dari tanggal 20 - 30 Juni 2022. Semua film dan program acara Europe on Screen 2022 dapat diakses secara gratis.



Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket dalam sambutannya berkata, “Tahun ini, festival film ‘Europe on Screen’ (EoS) akan menghadirkan 69 film terkini dari 20 Negara-Negara Anggota UE serta 5 negara Eropa lainnya . Ada beragam pilihan film impresif yang ditayangkan, dari thriller ke komedi, film romantis hingga musikal, ada drama juga horror. Beberapa film pemenang penghargaan yang menangkap isu-isu terkini seperti pandemic, migrasi, perang. Kami juga akan menyelenggarakan acara-acara tambahan yang menarik seperti diskusi, webinar dan pameran.”


Festival akan dibuka dengan Do Not Hesitate (2021), sebuah film dari Belanda pada tanggal 16 Juni 2022; dan ditutup dengan film The Big Hit (2020) dari Perancis pada tanggal 26 Juni 2022. Co-Direktur Festival Nauval Yazid mengatakan, “Do Not Hesitate terpilih sebagai film pembuka, bukan hanya karena film ini merupakan nominasi dari Belanda untuk Piala Oscar ke-94 kategori International Feature Film, tapi juga karena film ini bercerita akan sisi kemanusiaan antar tentara dalam area konflik, sebagai refleksi tepat dari situasi dunia yang saat ini tengah kita alami”. Sebagai tambahan, Co-Direktur Festival Meninaputri Wismurti menambahkan, “Europe on Screen selalu berusaha memutar film yang menarik dan beresonansi dengan para penonton kami di Indonesia. Film penutup kami adalah The Big Hit yang bergenre komedi berhati besar, yang akan menginspirasi optimisme bagi siapa pun yang mau bermimpi
dan berusaha”.


EoS juga memberikan dukungan kepada industri perfilman Indonesia melalui kompetisi Short Film Pitching Project (SFPP). Kompetisi yang dilakukan secara tahunan ini mengundang submisi dari para pembuat film Indonesia yang memiliki ide brilian untuk film pendek, dengan pemenangnya mendapatkan pendanaan parsial untuk memproduksi idenya menjadi film serta dipertontonkan pada acara EoS di tahun selanjutnya. Kompetisi ini dimulai pada tahun 2018, dan telah melahirkan film-film pendek berkualitas yang telah diputar di berbagai festival film pendek di seluruh dunia.



“Industri film Indonesia kini semakin bertumbuh di mana film-film Indonesia mendapatkan penghargaan dan diakui di banyak festival internasional. Kehadiran kompetisi seperti SFPP EoS 2022 ini sangat berarti untuk mendukung industri film di Indonesia, karena ia mampu melahirkan generasi pelaku film yang baru, terutama untuk produksi film pendek." ungkap Gita Fara (Produser) selaku salah satu juri SFPP EoS 2022.


Penayangan perdana kompilasi film pendek pemenang SFPP EoS 2021 akan diadakan pada tanggal 19 Juni 2022
pukul 13.00 di GoetheHaus. Film-film pendek itu adalah:
1. Bibir Merah Siapa yang Punya – Pawadi Jihad & Haris Supiandi (Pontianak)
2. Men and Their Birds – Andrew Kose & Evi Cecilia (Jakarta)
3. What Ceti Does (Riwayat Ceti) – Azalia Muchransyah & Adhi Anugroho (Bogor)
Ketiga film pemenang SFPP EoS 2021 ini juga akan ditayangkan secara online pada 20 – 30 Juni 2022 di festivalscope.com.



Selain itu, EoS 2022 juga akan menghadirkan sorotan seni bagi sutradara legendaris dari Italia, Federico Fellini. Program retrospektif ini bertajuk #Fellini102, dan akan menghadirkan pemutaran film-film klasiknya serta satu film dokumenter terkini tentang pembuatan filmnya, dan pameran yang menampilkan kerja visualnya. Program retrospektif ini akan ditayangkan perdana di Pusat Kebudayaan Italia, Istituto Italiano di Cultura (IIC) pada 17 Juni 2022.


EoS yang merupakan festival film internasional yang tertua di Indonesia diselenggarakan oleh perwakilan diplomatic dan budaya Uni Eropa di Indonesia. Setiap tahun festival ini menarik lebih dari 30,000 penonton, menjadikannya festival film Eropa terbesar di dunia. Menuju EoS 2022, sebuah festival pendahulu berjudul “Road to EoS 2022” dilaksanakan dengan menampilkan tujuh film yang pernah dipertontonkan pada acara EoS yang terdahulu. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 3-5 Juni 2022 di Erasmus Huis, GoetheHaus, Istituto Italiano di Cultura dan Institut Francais d’ Indonesie. Road to EoS 2022 juga mengadakan serangkaian lokakarya yang berkaitan dengan film dan sesi Instagram Live dengan para profesional industri perfilman yang berasal dari Indonesia maupun Eropa.






Sunday, June 5, 2022

ULASAN: THE AMBUSH




Film The Ambush diadaptasi dari kisah nyata konflik situasi penyergapan tentara UEA (Uni Emirat Arab) pada 2018 di Yemen oleh pejuang pemberontak Houthi. Kisahnya mengikuti perjuangan tiga orang tentara UEA yang menjalankan sebuah misi peperangan. Selama patroli rutin di pegunungan, kendaraan tentara UEA yang terdiri dari Sersan Ali Al-mismari (Marwan Abdullah), Sersan Al Hindasi (Mohammed Ahmed), dan Bintara Tinggi Bilal Al Saadi (Khalifa Al-Jassem) disergap oleh sekelompok pejuang Houthi saat melewati ngarai sempit. Terjebak dan di bawah tembakan keras dari militan bersenjata serta menghadapi situasi putus asa, komandan unit mereka yang berani mencoba sekuat tenaga untuk menyelamatkan tentaranya yang terperangkap.



Film perang yang berkesan adalah film yang mampu mengangkat porsi sejarah dan fakta dengan objektif tanpa dramatisasi berlebihan, beberapa film aksi perang produksi Hollywood sebut saja Black Hawk Down, Saving Private Ryan dan Dunkirk merupakan contoh yang bagus. Jika anda suka dengan film-film bertema perang maka ada satu film yanga akan segera tayang di bioskop kita yang perlu anda saksikan berjudul The Ambush (Al Kameen). Film perang produksi gabungan antara AGC Studios (AS) dan Image Nation Abu Dhabi (UEA). Film ini disutradarai oleh Pierre Morel (Taken) dengan naskah film ini ditulis oleh Brandon Birtell (Furious 7) dan Kurtis Birtell (Medal of Honour) melalui konsultasi erat dengan para prajurit yang terlibat dalam situasi penyergapan kehidupan nyata yang mengilhami plot film. Al Kameen sepenuhnya difilmkan di UEA. Ini adalah salah satu film fitur Arab terbesar yang diproduksi dengan lebih dari 400 pemain dan kru, kata Image Nation Abu Dhabi. Pemeran utama terdiri dari semua aktor Emirat ternama, di antaranya Marwan Abdullah Saleh, Khalifa Albhri, Khalifa Al Jassem dan Mohammed Ahmed. Film ini meraih pendapatan tertinggi di UEA ketika dirilis pada akhir November 2021



Film The Ambush diadaptasi dari kisah nyata konflik situasi penyergapan tentara UEA (Uni Emirat Arab) pada 2018 di Yemen oleh pejuang pemberontak Houthi. Kisahnya mengikuti perjuangan tiga orang tentara UEA yang menjalankan sebuah misi peperangan. Selama patroli rutin di pegunungan, kendaraan tentara UEA yang terdiri dari Sersan Ali Al-mismari (Marwan Abdullah), Sersan Al Hindasi (Mohammed Ahmed), dan Bintara Tinggi Bilal Al Saadi (Khalifa Al-Jassem) disergap oleh sekelompok pejuang Houthi saat melewati ngarai sempit. Terjebak dan di bawah tembakan keras dari militan bersenjata serta menghadapi situasi putus asa, komandan unit mereka yang berani mencoba sekuat tenaga untuk menyelamatkan tentaranya yang terperangkap.



Dengan rentang durasi 1 jam 42 menit The Ambush terasa cukup panjang untuk sebuah film aksi penyelamatan dengan setting lokasi yang sempit di daerah pegunungan batu yang diceritakan merupakan wilayah konflik perang saudara di Yaman. Untungnya aksi peperangan yang seru dan tanpa henti mampu membuat penonton untuk tetap menonton hingga akhir cerita. Cara penuturan cerita secara bergantian antara ketiga tentara yang terperangkap dengan tentara di pangkalan yang berjuang untuk menyelamatkan adalah kelebihan film ini di samping adegan aksi yang sangat fantastis dan Nampak begitu realistis. Hal ini membuat penonton dapat merasakan POV dari masing-masing pihak dan lebih berempati terhadap keadaan mereka. Dengan tetap mempertahankan bahasa dan adat lokal, film ini juga menunjukkan kekuatan originalitasnya, Dari segi scoring karena ada PH Hollywood jadi mereka sudah tahu bagaimana scoring yang pas untuk film seperti ini. Sisi emosional walau kurang dieksplor terlalu dalam tapi cukup membuka mata dan memberi banyak pelajaran untuk penonton bahwa ada cerita di balik setiap tentara yang pergi berperang untuk membela negaranya.



Para cast yang membintangi film ini mungkin asing untuk kita karena ini film non-Hollywood namun semuanya menampilkan dinamika acting yang sangat baik. Nilai patriotisme dan heroisme sangat kental terasa di setiap adegan demi adegan film. Kekurangannya mungkin latar belakang masing-masing karakter utama terutama tiga prajurit yang menjadi fokus film hanya sedikit dieksplorasi dan lebih banyak berfokus pada aksi perang. Sinematografi film ini cukup luar biasa untuk ukuran film berbahasa asing dengan dominasi ledakan dan aksi tembak menembak. Selain itu juga menjadi ajang pamer kendaraan lapis baja yang tahan ledakan dan gempuran senjata, kekuatan militer UEA terlihat sekali menjadi fokus film ini karena selain kekuatan di darat di sepanjang film anda akan diperlihatkan armada kekuatan di udara mulai dari Apache, Drone, hingga armada pesawat tempur yang tidak bisa dipandang sebelah mata.



The Ambush menceritakan kisah tentang sekelompok kecil tentara yang menunjukkan keberanian, kepahlawanan, dan persaudaraan dalam keadaan yang tak terbayangkan. Morel mampu menciptakan suasana peperangan yang realistis dengan memanfaatkan lanskap alam UEA yang menakjubkan secara visual maupun budaya walau masih terbatas. Perlu lebih banyak film-film dengam menggunakan metode kerjasama antara PH Hollywood dan PH Lokal di suatu negara dengan memanfaatkan lokasi dan local talent agar penonton bisa mendapatkan tontonan yang beragam (tidak melulu Hollywood-centric) namun tetap berkualitas.



Overall: 7/10

(By Camy Surjadi)