Thursday, January 26, 2023

ULASAN: OPERATION FORTUNE 'RUSE DE GUERRE'



Guy Ritchie belum selesai dengan film bergenre action. Untuk menguatkan unsur action dalam film terbarunya ini, Guy Ritchie kembali mengajak salah satu ikon genre action favoritnya Jason Statham. Ini film ke-5 kerjasama mereka dan Operation Fortune: Ruse de Guerre (OPFRDG) kerjasama mereka dua kali berturut-turut setelah Wrath of Man (2021). Nama besar lainnya yang ikut meramaikan film bertema spionase ini anatara lain Hugh Grant, Aubrey Plaza, Josh Harnett dan Bugzy Malone.


Orson Fortune (Jason Statham) seorang agen mata-mata profesional diberi tugas menghentikan penjualan senjata dengan teknologi tinggi yang berbahaya. Orson bersama rekan-rekannya dihadapkan dengan banyaknya tantangan dan penyamaran untuk menunaikan misi tersebut. Dengan anggota tim lainnya dari Sarah Fidel (Aubrey Plaza), Nathan Jasmine (Cary Elwes), JJ Davies (Bugzy Malone) mereka bersama-sama menuntaskan misi dengan keahliannya masing-masing dengan anggota tambahan yang tidak terduga seorang aktor narsistik yang mempunyai skandal Danny Francesco (Josh Hartnett) harus turut menjadi umpan dalam misi berbahaya ini.


Tidak seperti Wrath of Man film kerjasama sebelumnya Guy Ritchie dan Jason Statham yang membawanya ke arah action yang serius. Untuk OFRDG sendiri Guy Ritchie membawa filmnya ke arah action-komedi dengan elemen spionase yang kental. Sebuah komedi ciri khas dari Guy Ritchie yang menggabungkan one liner sarkasme dengan situasi. Komedi yang cukup efektif yang sering memancing tawa penonton.  Sementara elemen spionasenya sendiri juga laya menjadi kredit lebih. Layaknya seperti Ethan Hunt dengan tim Mission Impossiblenya, Orson Fortune juga mempunyai tim yang menjalankan misi dengan skema penyamaran. Namun berbeda dengan Mission Impossible yang lebih menekankan pada sequence action yang besar, OFRDG menekankan actionnya pada aksi laga seorang Jason Statham. Tidak sekali-dua kali setiap sequence action diakhiri dengan pertarungan tangan kosong yang sering kita lihat di film-film action Jason Statham. 


Guy Ritchie seperti tidak terlalu kesulitan mengarahkan film bertema mata-mata seperti ini. Sebelumnya kita sudah pernah melihatnya lewat The Man from UNCLE. Selain itu yang menarik OFRDG adalah komposisi pemainnya. Jika Jason Statham mungkin tidak heran bisa memainkan karakter serius yang diberi bumbu sinis dan sarkasme karena sudha bermain dengan film sejenis dengan Guy Ritchie. Tetapi penampilan Aubrey Plaza dan Hugh Grant yang sangat memberi warna film ini. Lebih-lebih Aubrey Plaza dengan aura karakter anehnya yang bisa mengimbangi keseriusan karakter Orson Fortune. Sementara Hugh Grant yang semakin bisa melepaskan stereotip karakter King of Romancenya setelah melihatnya dalam film ini. Namun sayangnya penampilan menonjol dari Aubrey Plaza dan Hugh Grant itu sendiri tidak sama dengan karakter-karakter pembantu lainnya. Porsi mereka ada hanya untuk pengisi cerita tanpa kedalaman berarti. 


Operation Fortune Ruse de Guerre bisa dibilang semacam Mission Impossible veris Guy Ritchie yang jauh lebih menyenangkan. Meskipun dari konflik utama plot cerita tidaklah terlalu istimewa, film ini masih bisa sangat menghibur. Untuk sebuah pembuka film action di bulan pertama tahun ini, OFRDG salah satu tontonan yang layak jadi perhatian.


Overall: 7/10

Thursday, January 19, 2023

ULASAN: SAKRA



Kembalinya Pendekar Pemanah Rajawali, Golok Pembunuh Naga, dan Pendekar Harum adalah beberapa judul film silat terkenal era 90an yang pasti membekas di benak penonton. Film-film silat tersebut biasanya berasal dari novel Wuxia (Wuxia sendiri memiliki arti pendekar silat). Bagi yang mengikuti karir film Donnie Yen pasti menyadari kalau di era 90an ada beberapa judul film genre Kungfu yang pernah dibintanginya seperti Once Upon A Time in China, New Dragon Gate Inn (di tahun 1992), Iron Monkey, Butterfly and Sword (di tahun 1993). Kali ini Donnie Yen hadir dalam Sakra yang diadaptasi dari novel Wuxia Demi-Gods and Semi-Devils yang ditulis oleh Louis Cha/Jin Yong (yang juga mengarang novel Return of Condor Heroes). Donnie Yen memproduseri film tersebut bersama Wong Jing dan menjadi sutradara untuk film ini. Sakra dibintangi oleh Donnie Yen, Chen Yuqi, dan Cya Liu. Film ini akan dirilis di platform OTT di Tiongkok pada Tahun Baru Imlek 2023.



Sakra mengambil cerita dari novel Demi-Gods and Semi-Devils yang berfokus pada tokoh protagonist Qiao Feng (Donnie Yen). Qiao Feng– kepala Sekte Pengemis yang karismatik, sebuah faksi seni bela diri yang sering ditampilkan secara menonjol dalam karya fiksi wuxia-- menemukan dirinya diusir setelah dia dinyatakan sebagai seorang suku Khitan dan dituduh membunuh orang tua angkatnya, bersama beberapa tokoh bela diri lainnya. Perselisihan politik yang sedang berlangsung antara Kekaisaran Song yang didominasi oleh suku Han dan Kekaisaran Liao yang dipimpin suku Khitan, yang berperang satu sama lain, semakin memperburuk posisinya di dunia wulin (komunitas seni bela diri). Hubungannya dengan tokoh bela diri suku Han memburuk, dan dia dipandang sebagai pembunuh dan ancaman bagi Wulin. Menyadari statusnya sebagai orang buangan, Qiao Feng memulai pencarian untuk memverifikasi klaim identitasnya dan menyelidiki pembunuhan yang dituduhkan kepadanya bersama A Zhu (Chen Yuqi) di sisinya.


Berdurasi 130 menit Sakra memberikan suguhan aksi bela diri yang mendebarkan dan memanjakan mata tetapi masalah keterbatasan waktu membuat film ini tidak cukup menampilkan nuansa dan kedalaman cerita yang sama dengan karya sastranya/ novel wuxia aslinya. Sumber cerita aslinya menampilkan alur cerita yang terpisah dan terjalin berputar di sekitar tiga protagonis, Qiao Feng, Duan Yu, dan Xuzhu nah di film ini hanya berfokus pada satu karakter sentral – Qiao Feng (Donnie Yen), memang suatu tantangan tersendiri bagi siapapun yang berusaha membuat adaptasi baik dalam versi TV series atau filmnya yang menurut saya mungkin tidak akan ada versi adaptasi paling baik atau sempurna. Untuk alur cerita sendiri pacingnya cukup enak untuk diikuti dan masih memiliki ciri layaknya genre film silat. Awalnya tenang lalu konflik silih berganti mendera Qiao Feng. Penonton juga tidak dibiarkan menunggu terlalu lama menunggu adegan perkelahian karena dari awal hingga akhir sangat banyak dan cukup dieskalasi skala pertarungannya. Adegan paling memorable adalah pertarungan Qiao Feng dengan para pendekar dan saudaranya di sekte pengemis di Heroes Gathering Manor ketika ia mencoba membawa A Zhu untuk disembuhkan oleh Xue Muhua (Cheung-Yan Yuen). Pertarungan finalnya dengan Murong Fu (Yue Wu) juga tidak boleh dilewatkan. Di bagian akhir dibuat seperti akan ada sekuel karena masih ada bagian yang belum selesai diceritakan di film ini terkait identitas Qiao Feng dan sosok ayahnya yang misterius.



Poin istimewa dari Sakra adalah bagaimana Donnie Yen mampu menampilkan karakter Qiao Feng yang memiliki sisi realisme dan tidak terlalu fantasi sifatnya karena kebanyakan karakter Wuxia Ketika difilmkan terlalu OP (overpowered) dan kartun. Menonton film ini saya yakin penonton setuju bawa penonton serasa tenggelam dalam cerita dan ikut dalam petualangan Qiao Feng di Cina zaman dahulu. Hal ini dikarenakan Donnie Yen berusaha untuk kembali ke sejarah dan akar budaya Cina di era persilatan dengan tetap memasukkan unsur realisme. Dari wardrobe, tata rambut dan desain set. Untuk adegan dan koreografi aksi, Donnie menggunakan apa yang dia sebut "Donnie Yen Classic Style" di mana penonton bisa merasakan sakit, kekuatan, dan substansi dari pertarungan dan ini benar adanya. Bagi Donnie Yen dalam salah satu wawancara Bersama media bagian yang paling menantang dari semuanya adalah bagaimana ia dapat memerankan Qiao Feng, yang telah diperankan oleh banyak aktor Tiongkok sebelumnya, antara lain Tony Yang, Wallace Chung, dan Felix Wong. Walau dari sisi emosi belum 100% berhasil tapi dia berhasil menciptakan impresi yang bagus untuk karakter ini. Dia tetap tampil karismatik seperti biasa untuk tokoh yang dalam cerita aslinya memang bernasib tragis. Kekurangan yang saya notice adalah bagian eksplorasi karakternya dengan love interestnya A Zhu (Chen Yuqi) yang terlalu singkat dan progressingnya tidak terlalu kelihatan, performa Chen padahal bagus dan chemistry mereka juga oke. Tapi medium film yang punya durasi terbatas membuat kesempatan eksplorasi juga tidak dapat diwujudkan. Karakter lainnya tidak terlalu menonjol karena memang tidak terlalu difokuskan sepertinya dan Kembali ke durasi yang terbatas tadi.


Kisah fiksi sejarah yang tertuang dalam novel Wuxia walau biasanya berputar di sekitar ahli bela diri dan petualangan mereka di Cina kuno (berkisar pada masa Dinasti Qing 1644-1911 tetapi popularitasnya sudah melahirkan adaptasi yang beragam seperti opera Cina, novel, manhua (komik), televisi, drama, video game, dan film. Sakra menurut saya sukses mentranslasi cerita yang ada di novelnya ke dalam media film dengan baik terutama pada adegan perkelahiannya yang sangat keren. Untuk penonton yang rindu aksi bela diri Donnie Yen dengan setting waktu jaman persilatan, film ini bisa menjadi obat pelepas rindu yang efektif. Donnie Yen memang terlihat sudah terbiasa menyutradarai film dengan genre seperti ini mengingat pengalamannya di masa lalu. Kepiawaiannya memadukan koreografi bela diri dengan special effect membuat visual adegan perkelahian sangat spektakuler yang mampu memacu adrenalin sekaligus sangat memanjakan mata.




Overall Score : 8/10


(By Camy Surjadi)


Wednesday, January 18, 2023

MENCURI PERHATIAN INTERNASIONAL SEJAK TAHUN 2022, AUTOBIGROPHY AKHIRNYA TAYANG DI BIOSKOP-BIOSKOP NDONESIA



Salah satu film yang sudah ditunggu penayangannya sejak 2022, “Autobiography”, akhirnya akan tayang di bioskop secara luas dalam hitungan hari mendatang. Film “Autobiography” arahan sutradara Makbul Mubarak dan diproduksi oleh KawanKawan Media ini akan hadir dan menjawab rasa penasaran para penonton yang sudah menugggu dengan antusias pada tanggal 19 Januari 2023 mendatang. “Autobiography” direncanakan tayang di lebih dari 25 kota di seluruh Indonesia.



Selain memastikan tanggal penayangannya, film “Autobiography” juga merilis video musik dari OST mereka yang berjudul “Ambilkan Bintang”. Lagu “Ambilkan Bintang” dinyanyikan oleh Sal Priadi, solois yang namanya sudah tidak asing di kancah musik Indonesia. Dalam video musik “Ambilkan Bintang” produksi KawanKawan Media ini, Sal Priadi berkolaborasi dengan Sutradara Anggun Priambodo dalam menciptakan visual video musik yang serasi dengan lagu “Ambilkan Bintang”. Lagu dan Video Musik “Ambilkan Bintang” dapat disaksikan di Youtube dan Spotify.



Sebelum tayang secara luas di bioskop Indonesia, film “Autobiography” sebelumnya sempat melakukan penayangan terbatas pada kompetisi Jogja-Netpac Asia Film Festival 2022. Antusiasme penonton terhadap film “Autobiography” terlihat saat gelaran tersebut. Setelah dua jadwal penayangan utama yang tiketnya habis dalam waktu kurang dari 30 menit. Dari keikutsertaannya, “Autobiography” meraih penghargaan tertinggi Golden Hanoman Award. Selain itu, Film “Autobiography” juga mendapatkan Piala pada malam penganugerahan Festival Film Indonesia 2022 dalam kategori “Penulis Skenario Asli Terbaik”. Prestasi-prestasi tersebut juga dipastikan membuat antusiasme dan rasa penasaran penonton Indonesia terhadap film “Autobiography” tinggi.



Selain di level nasional, film “Autobiography” juga bersinar di kancah internasional. Film yang diproduksi Kawankawan Media, diproduseri Yulia Evina Bhara ini sekaligus menjadi debut film panjang sutradara Makbul Mubarak. Beberapa penghargaan yang diterima film “Autobiography” sebelumnya antara lain, The International Critics Prize for Best Film in Orizzonti from the International Federation of Film Critics (FIPRESCI) Venice Film Festival 2022, Feature Fiction Award Winner Adelaide Film Festival Winner 2022, Grand Prize Winner-TOKYO FILMeX International Film Festival 2022, Best Screenplay-Asia Pacific Screen Awards 2022, NETPAC Award-Taipei Golden Horse Film Festival 2022, Asian Cinema Observer Recommendation Award, Taipei Golden Horse Film Festival 2022, Aluminium Horse Award for Best Directorial Debut at the Main Competition Section, Stockholm International Film Festival 2022, dan masih ada beberapa penghargaan bergengsi lainnya.


Film “Autobiography” bercerita tentang sosok Rakib (diperankan oleh Kevin Ardilova) dengan ayahnya di penjara dan saudara laki-lakinya di luar negeri untuk bekerja, Rakib bekerja sebagai pengurus rumah tangga tunggal di sebuah rumah kosong milik Purna (Arswendy Bening Swara), seorang pensiunan jenderal yang klan keluarganya telah mengabdi selama berabad-abad di sebuah kota pedesaan di Indonesia. Setelah Purna kembali ke rumah untuk memulai kampanye pemilihan Bupati, Rakib terikat dengan lelaki tua itu, yang menjadi mentor dekat dan figur ayah, dan menemukan panggilannya sebagai asisten Purna dalam pekerjaan dan kehidupan. Ketika poster pemilihan Purna ditemukan dirusak suatu hari, Rakib tidak ragu untuk melacak pelakunya, memicu rantai kekerasan yang meningkat.


Film panjang pertama sutradara dan penulis skenario Makbul Mubarak ini dibintangi oleh antara lain Kevin Ardilova, Arswendy Bening Swara, Lukman Sardi, Yusuf Mahardika, Rukman Rosadi, Yudi Ahmad Tajudin, Haru Sandra, dan Alm. Gunawan Maryanto. Nantikan informasi terbaru tentang film “Autobiography” pada akun resmi media sosial KawanKawan Media dan penayangannya pada 19 Januari 2023.












Tuesday, January 17, 2023

ULASAN: MUMMIES




Mummies membuka sebagai film animasi pertama yang tayang di bioskop-bioskop lokal kita di tahun 2023 ini. Film animasi yang baru tayang bulan Februari di negara-negara lain namun Indonesia menjadi salah satu negara yang mendpat jadwal tayang lebih awal. Film animasi produksi dari negeri Spanyol ini harusnya sudah tayang sejak tahun 2021 sebelum akhirnya mendapat jadwal tayang pasti awal tahun 2023 ini. Uniknya meskipun filmnya produksi dengan seluruh kru dari Spanyol tetapi isi ceritanya sendiri representasi dari dua negara Mesir dan Inggris.


Di sebuah tempat di bawah tanah, terdapat dunia mumi. Ternyata, orang-orang yang sudah mati, dan dibalsem menjadi mumi, hidup lagi di dunia tersebut. Di sini, hidup seorang mantan sais bernama Thut. Karena sebuah kejadian, dia diharuskan menikahi Nefer, putri Firaun, seminggu kemudian. Untuk membuktikan bahwa dia calon yang cocok, Firaun memberinya cincin untuk dijaga sampai waktu pernikahan Nefer dan Thut tiba. Sayangnya, cincin tersebut dicuri oleh perampok makam bernama Lord Carnaby. Kini, Thut dibantu adiknya, Shekem, dan buaya peliharaannya serta Nefer harus berpacu dengan waktu menemukan cincin tersebut.


Dengan premis dunia setelah kematian sebenarnya memang cukup berat, namun belajar dari film produksi Pixar yang berjudul Coco bisa menyajikan premis yang cukup gelap menjadi sebuah tontonan yang ringan serta juga menghibur. Hal itu juga yang mungkin coba diaplikasikan oleh Mummies. Bahkan penyajian jauh lebih ringan lagi. Saking ringannya film ini memang seperti memang dikhususkan untuk anak-anak saja. Berbeda dengan Coco yang bisa dinikmati penonton anak-anaka dan orang dewasa sekalipun. Konflik yang diusungpun tidak bertele-tele. Tidak ada kosenkuensi tertentu seperti apa resiko ketika makhluk dari dunia kematian ke dunia orang hidup dan juga sebaliknya. Lagi-lagi semua disajikan dengan serngan mungkin.


Dari karakter-karakter yang mungkin cukup menarik perhatian ada pada Shekem dan buayanya. Ada potensi pada duo karakter ini menjadi ikonik. Namun sayangnya potensi itu tidak mampu dimaksimalkan dengan cukup baik. Naskah yang dihadirkan kurang bisa menggali elemen-elemen komedi dari situasi ataupun dialog di tengah-tengah cerita yang memang tidak ada yang istimewa. Satu-satunya kredit lebih ada pada lagu-lagu yang mengiringi plot cerita sepanjang durasi film.


Mummies sebuah film animasi yang tidak muluk-muluk. Menghadirkan isi cerita film seringan mungkin yang memang sangat mudah diikuti oleh anak-anak. Untuk penonton dewasa sendiri mungkin akan kebosanan selama menemani anak-anak atau adk, namun setidaknya masih bisa terhibur dengan dengan soundtracknya.

Overall: 5/10

Sunday, January 15, 2023

ULASAN: A MAN CALLED OTTO




Jika menyangkut nama Tom Hanks kita bisa memasukan nama aktor ini yang mempunyai branding kuat. Branding kuat yang dimaksud itu seperti apapun film yang dibintangi oleh Tom Hanks berarti itu film bagus. Termasuk film remake dari Swedia yang diadaptasi dari novel berjudul sama A Man Called Ove yang mengalami sedikit modifikasi judul untuk versi hollywood ini menjadi  A Man Called Otto ini. Film remake yang disutradarai oleh Marc Forster (The Kite Runner, World War Z)


Otto (Tom Hanks) lansia yang hidup sendirian dan pemarah yang merasa tidak punya tujuan hidup lagi. Kesepian yang dia rasakan membawanya ingin mengakhiri hidupnya. Percobaan bunuh dirinya yang sempurna terganggu oleh kedatangan tetangga barunya. Tetangga barunya adalah sepasang suami-istri, Marisol (Mariana Trvino) yang ceplas-ceplos, Tommy (Manuel Garcia-Rulfo) yang ceroboh, dengan dua puterinya dan calon bayi yang akan lahir. Dari yang menutup diri, Otto perlahan mulai membuka diri terhadap Marisol yang tidak henti-hentinya berupaya melibatkan Otto dalam setiap kegiatan keluarganya.
 


Premis yang diusung oleh A Man Called Otto memang slice of life sederhana karena tema cerita seperti Otto sudah pernah kita lihat sebelumnya seperti salah satu contohnya film animasi produksi Pixar berjudul Up. Namun bukannya itu esensi dari slife of life? Membawa hal-hal yang sederhana dan dekat dengan kaca mata penonton lalu memberikan efek yang kuat untuk dirasakan? Dan A Man Called Otto bisa menyampaikan hal-hal sederhana itu dengan kuat, sebuah esensi atau pesan penting yang ada dalam novel dan juga adaptasi versi Swedia. Meskipun kamu sudah membaca novel atau menonton versi Swedianya, alih-alih merasa bosan karena sudah tahu isi dari semua cerita, ketika versi hollywood ini seperti mengisi daya ulang dengaa rasa yang berbeda. Keputusan memberikan kursi sutrdara pada Marc Forster adalah keputusan tepat. Marc Forster sangat piawai bermain pada ranah ini. Finding Neverland dan The Kite Runner adalah bukti sahihnya bagaimana ampuhnya sentuhan drama sutradara ini. Selain itu isu yang diusung dalam film ini juga membawa isu kesehatan mental yang makin membuat film ini cukup relevan dengan sebagian besar kita.


Dari performa juga tidak perlu diragukan lagi kembali Tom Hanks memberikan penampilan yang kuat dan semua itu didukung dengan supporting karakter yang porsinya terasa pas. Hanya saja untuk yang sudah menonton versi Swedianya  sulit untuk tidak membandingkannya versi hollywood ini. Hal yang rasakan Otto terasa kurang menyebalkan dibandingkan dengan Ove yang sampai bisa membuat penonton kesal. Bukan karena penampilan Tom Hanks yang buruk, bukan. Hanya saja kharisma seorang Tom Hanks sebagai 'good-man' sudah melekat sangat kuat. Mungkin efek lebih dari karakter Otto akan lebih terasa buat kamu yang belum membaca novel ataupun menonton versi Swedianya.


Secara keseluruhan A Man Called Otto sebuah drama slice life yang masih bisa menggigit meskipun kamu sudah melahap novel ataupun menonton versi Swedianya.  

Overall: 8/10

Wednesday, January 11, 2023

ULASAN: PLANE


Jika memang seandainya Die Hard nantinya akan di reboot dengan karakter, nama Gerard Butler harusnya ada posisi paling atas untuk memerankan karakter John McClane. Lihat saja filmography-nya. Sebagian besar daftarnya berisi film dengan karakter-karakternya dalam situasi terjepit dan melakukan tindakan heroik yang epik. beberapa contoh judulnya seperti Angel Has Fallen trilogy, Geostorm, Greenland dan masih banyak judul lagi menampilkan karakter heroik di tengah-tengah situasi terjepit. Tidak terkecuali film berjudul Plane ini. Sebuah action-thriller seperti menggabungkan Con Air dengan Sully dalam satu film.

Kapten pilot Brodie Torrance (Gerard Butler) melakukan rutinitas  bersiap-siap melakukan penerbangan dari Singapura ke Tokyo di malam tahun baru. Pekerjaan yang harusnya mudah karena malam itu dia hanya membawa 14 penumpang dan 1 penumpan tambahan, Louis Gaspare (Mike Coulter) seorang tahanan berbahaya. Namun, karena cuaca yang buruk, pesawat terpaksa mendarat darurat di sebuah kepulauan di Filipina. Tanpa disangka-sangka, pulau tersebut ternyata dihuni oleh separatis dan milisi. Sebagai kapten, Torrance harus berusaha membawa pergi para penumpang dengan selamat sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk bekerjasama dengan sang tahanan berbahaya Louis Gaspare.


Film yang berjalan secara naratif ini memang tidak mempunyai plot cerita istimewa. Cerita lebih berfokus bagaimana Kapten Brodie memimpin semua awak dan penumpangnya untuk bertahan. Bahkan meskipun memberikan Brodie latar belakang seorang duda dan mempunyai putri yang menunggu di rumah, namun hampir tidak ada sama sekali porsi drama dalam film ini. Kelebihan dari Plane ada pada bagaimana berhasil membangun momen-momen situasi yang menegangkan dan membuat penontonpun ikutan merasan momen ketegangan tersebut. Lebih-lebih pada 30 menit terakhir filmnya yang benar-benar berhasil memberikan momen thrilling pada penonton. 


Untuk sequence actionnya juga cukup berhasil memberi keseruan tersendiri meskipun tidak terlalu luar biasa. Sepertinya memang tidak ingin terlalu mengumbar-umbar bagian action yang wah agar bagian terbaik 30 menit terakhir bisa tampil maksimal. Untuk penampilan para castnya sendiri juga tidak ada yang terlalu menonjol. Yang cukup menarik adalah bagaimana lebih kepada  bagaimana Brodie harus bekerjasama dengan sang tahanan Louis. Namun sayang bagian ini pun tidak terlalu dieksplorasi yang bisa mendapatkan feel buddy-movie yang kuat.


Plane sebuah action-thriller yang secara keseluruhan memnag tidak luar biasa, namun masih berhasil tampil menggigit. Menggabungkan elemen film bertema bencana dengan action menjadi keseruan tersendiri. Jika kamu tidak bereskpetasi muluk-muluk dan mencari hiburan yang menyenangkan, maka Plane adalah jawabannya.

Overall: 7/10

Friday, January 6, 2023

ULASAN: M3GAN



Keunikan film horor adalah bentuknya beragam dan genrenya bisa digabungkan dengan berbagai genre. Killer Doll movies adalah salah satu genre yang mengambil wujud boneka yang dirasuki roh jahat yang sanggup meneror dan membunuh para korbannya. Child’s Play (1988-2017) adalah salah satu contoh franchise Killer Doll movies terkenal yang sudah dibuat menjadi beberapa film dengan Chucky sebagai karakter boneka pembunuh paling dikenal. Annabelle (2014-2019) dan The Boy (2016 - 2020) adalah Killer Doll Movies di era modern. Berangkat dari ide bahwa belum banyak Killer Doll movies di luar sana timbul ide untuk menggabungkan teror killer doll dengan AI. Rata-rata film James Wan tidak menampilkan boneka yang bergerak tapi hanya sebagai medium horor maka di M3GAN ia mau mengeksplorasi hal tersebut. Anggapannya ini adalah Child’s Play digabungkan dengan Terminator. Film M3GAN bergenre horor fiksi ilmiah / Sci-fi horor yang disutradarai oleh Gerard Johnstone dengan skenario oleh Akela Cooper dan cerita oleh Cooper bersama James Wan. M3GAN dibintangi oleh Allison Williams (Girls – HBO Series), Violet McGraw (The Haunting of Hill House – Netflix Series), Ronny Chieng (Shang-Chi and The Legend of Ten RIngs), dan Brian Jordan Alvarez (Will and Grace – NBC Series). M3GAN diproduksi oleh Jason Blum dan James Wan di bawah bendera Blumhouse Productions dan Atomic Monster Productions, bersama Divide/Conquer. M3GAN ditayangkan perdana di Los Angeles pada 7 Desember 2022, dan akan dirilis secara teatrikal di Amerika Serikat pada 6 Januari 2023 oleh Universal Pictures bersamaan dengan Indonesia. Film ini sudah mendapat ulasan positif dari para kritikus, dengan pujian yang ditujukan pada humor dan satir sosial tentang AI.



M3GAN merupakan kepanjangan dari Model 3 Generative Android yang berupa boneka anak perempuan dilengkapi AI canggih yang diprogram untuk menjadi “pendamping” seorang anak dan “sekutu terhebat” orang tua. Dirancang oleh Gemma (Allison Williams), ahli robot perusahaan mainan yang brilian, FUNKI (Allison Williams kita kenal dari Get Out), M3GAN dapat mendengarkan, menonton, dan belajar. Dia dapat menjadi teman bermain, pelindung, dan guru untuk anak yang terikat dengannya. Gemma secara mendadak menjadi pengasuh keponakan yatim piatu berusia 8 tahun, Cady (Violet McGraw), Gemma tidak yakin dan belum siap menjadi orang tua asuh Cady. Di bawah tekanan yang kuat oleh David bosnya (Ronny Chieng) di tempat kerja untuk menghasilkan prototipe mainan baru, Gemma memutuskan untuk memasangkan prototipe M3GAN dengan Cady dalam upaya menyelesaikan kedua masalah tersebut—keputusan yang memiliki konsekuensi fatal yang tak terbayangkan. Saat M3GAN dan Cady mengembangkan ikatan yang sangat erat, Gemma semakin takut bahwa ciptaan yang dia ciptakan berubah menjadi berbahaya.



Film dibuka dengan iklan chessy menampilkan mainan Purrpetual Pet buatan pabrik fiktif bernama Funki (yes seabsurd itu Namanya) yang berkeinginan mengalahkan Barbie dan Hasbro. David (Ronny Chieng) sang Bos meminta Gemma (Allison Williams) membuat mainan baru namun dengan biaya produksi yang lebih murah karena banyak competitor yang meniru mainan mereka. Gemma memiliki rencana mengembangkan boneka canggih M3GAN yang digadang-gadang bakal merajai pasar karena menggunakan AI yang belum pernah ada sebelumnya di pasar. Premis tersebut walau sedikit absurd but it works very well. Sebagai penonton kita sudah di-tease bagaimana film ini akan mengarah ke bencana tapi tetap kita dibuat penasaran akan ceritanya dan endingnya. Pada bagian pembukaan kita dikenalkan dengan karakter Cady (Violet McGraw) dan Gemma. Cerita bagaimana akhirnya Gemma harus mengasuh Cady dibuka dengan cukup baik walau sebetulnya backstory Cady bisa dibuat lebih dalam lewat flashback sepanjang film. Pengembangan cerita bagaimana M3GAN yang awalnya menunjukkan pengaruh ‘positif’ berjalan mulus seakan memberikan kita petunjuk tidak mungkin semua akan berjalan semulus dan seharmonis ini. Kejutan ketika M3GAN bertindak lewat algoritma AI nya untuk melindungi Cady dengan segala cara tidak kita sangka dan dari sini film mulai menarik dan membuat penonton berpikir teror segila apa yang bisa dilakukan M3GAN. Unsur Pop culture dan komedi diselipkan dengan pas di adegan film sejalan dengan isu parenting yang ingin diangkat (masalah screen time pemakaian gawai, bagaimana pola asuh orang tua seharusnya, tantangan orang tua di abad 21). Bahaya AI walau imajinatif namun memberikan gambaran bagaimana jika teknologi disalahgunakan. Penyelesaian film juga memuaskan untuk ukuran film seperti ini karena cukup reasonable. James Wan dan Cooper berhasil membuat naskah cerita yang fresh namun tetap memiliki horor signature khas James Wan.



Keistimewaan film ini tentu ada pada karakter boneka android M3GAN yang Nampak realistis sekaligus creepy. M3GAN adalah kombinasi dari aktor manusia, VFX, animatronik dan boneka yang bersinergi menampilkan ikon horor baru. Dengan cekatan Johnstone mampu berkolaborasi dengan para pakar yang sudah memiliki nama di tiap disiplin tersebut sehingga membuat M3GAN bagai karakter manusia yang hidup bukan hanya sekedar boneka. Yang membuat film ini lebih menarik ada beberapa shot yang menggunakan aktor manusia (Amie Donald). Perusahaan Animatronic Morot juga berkontribusi membuat versi M3GAN untuk close-up shot. Setting lokasi untuk M3GAN tidak banyak memiliki keistimewaan namun yang paling menarik adalah bagaimana perusahaan mainan FUNKI direalisasikan mulai dari perusahaan, karyawan-karyawannya, bahkan iklan komersial yang memang sengaja dibuat cringe namun believeable. Lobi perusahaan Funki mengambil lokasi di Auckland University of Technology. Dari sisi akting, Allison dan Violet mampu menampilkan peran mereka dengan baik dan berimbang sesuai porsi mereka serta membawa dinamika yang baik sepanjang film. Karakter lain sebagai karakter pendukung tidak terlalu menonjol ataupun istimewa.



M3GAN merupakan contoh film yang dieksekusi dengan baik mulai dari ide hingga dituangkan ke dalam adegan film. Satir sosial yang ingin disampaikan dapat ditampilkan dengan pas dan mengena. Film ini akan sangat baik ditonton oleh para orang tua yang memiliki anak yang dibesarkan di era digital sekarang ini karena menggambarkan dengan cukup akurat bagaimana parenting di abad 21 yang berkutat dengan gawai dan tablet. Gerard Johnstone adalah sutradara yang dalam situasi real-life sangat memahami buruknya teknologi dan media sosial bila tidak digunakan dengan efektif karena istrinya adalah konsultan teknologi. Bahaya sisi gelap AI digambarkan Johnstone dengan proporsi yang wajar dan sangat relate dengan isu di masyarakat sekarang ini. Dari perspektif keluarga dan parenting, Johnstone mampu mengangkat isu bahwa membesarkan anak itu tidak mudah dan butuh tanggung jawab besar yang dia tunjukkan lewat penggambaran jika kita membiarkan anak terlalu terikat pada teknologi.



Overall: 7.5/10
(By Camy Surjadi)