Friday, November 1, 2013

ULASAN : CARRIE




Setiap muncul kabar Hollywood bakal membuat remake film legendaris klasik, tidak bisa dipungkiri, hal pertama yang biasa terlintas di kepala ini adalah umpatan meh yang diikuti rasa skeptis akan fenomena 'daur ulang' yang cenderung mencerminkan minimmnya ide kreasi baru yang segar. Mungkin kita bisa menoleransi itu sebagai kesempatan bagi para pelaku sinema masa kini yang memiliki visi dan interpretasinya sendiri dalam menyajikan kisah yang sama, namun sayang, tidak jarang di antaranya yang malah menghasilkan film-film yang dinilai keberadaannya tidak perlu, mengganggu, bahkan ada yang sampai merusak imej film pendahulunya.



Kini kita menemukan kisah Carrie si gadis kuper berkemampuan telekinesis karangan Stephen King kembali ditayangkan di layar lebar. Kisah ini sudah pernah difilmkan pada tahun 1976 lalu dan sampai sekarang masih dianggap salah satu film horror terbaik. Dalam remake ini, film disutradarai oleh Kimberly Peirce yang memasang bintang remaja favorit banyak kalangan Chloe Grace Moretz dan aktris senior Julianne Moore. Sudah cukup menjanjikan? Ya, paling tidak itulah yang membuat saya bersemangat ketika pertama kali mengetahui proyek pembuatan film ini. Namun tetap saja, sebuah penilaian memang perlu ditahan dulu sampai setelah kita sudah menyaksikan filmnya langsung.




Carrie White (Moretz), adalah gadis yang hidup terkekang dalam tekanan ibunya Margaret White (Moore) yang sangat religius. Ia harus menjalani masa-masa remaja yang berat, dikucilkan, dibully, dan kesepian. Seperti yang sudah sangat sering diangkat, setiap mereka yang dibully di seklolah, akan selalu berbalik menajdi seorang yang superior, demikian pula dengan Carrie yang bahkan pada menit-menit awal film pun kita sudah dapat mengetahui pada akhirnya ia akan memberi balasan yang besar karena diperlakukan sangat buruk.



Kisah-kisah Stephen King memang memiliki cakupan yang lebih dari sebuah fantasi. Ia kerap menuangkan elemen religi yang begitu kental, termasuk dalam kisah Carrie. Kehidupan ibu-anak Margaret dan Carrie White diliputi oleh interpretasi ajaran agama yang diterapkan sangat keras dan ekstrim. Penerapan ajaran seperti ini memang bisa memberi intimidasi psikologis bagi penonton, mengakibatkan efek yang lebih menyeramkan daripada beberapa adegan berdarah yang cukup banyak ditampilkan film. Sehingga dalam hal ini, patutlah jika kita berterima kasih kepada Julianne Moore yang menjadi poros kemirisan cerita. Ia menjadi seorang ibu yang menyita rasa prihatin karena ketidak berdayaannya namun sekaligus ditakuti karena tindakan yang didorong oleh pahamnya yang ekstrimis. Agak berat ketika saya harus mengatakan, ternyata bukan Chloe Grace Moretz lah yang menegakkan film ini, meskipun ia memiliki kesempatan yang besar sebagai karakter utama. Kesalahan terletak pada casting itu sendiri. Ia memang keren ketika "bermain darah" dalam dua film Kick Ass. Di saat namanya terpilih untuk memerankan seorang gadis innocent yang menyimpan potensi mengerikan, saya memberinya harapan. Namun belakangan ternyata harus saya sadari bahwa perawakannya terlalu unyu dan tidak memiliki siratan misterius yang kelam, ini adalah sebuahmiscast!



Tampil terlalu lemah, begitulah. Menonton film ini hanya membangkitkan kembali ingatan pada berbagai skenario yang sudah-sudah, tampak beberapa improvisasi namun itu tidak cukup berani sehingga menjadi terlalu usang untuk sajian cerita film di zaman sekarang. Apabila itu ditujukan agar tetap setia kepada cerita aslinya lalu untuk apa film adaptasi novel yang juga sekaligus remake sebuah film ini dibuat jika mereka tidak menyediakan sesuatu yangt benar-benar segar, inovatif, dan baru?


( By Arief Noor Iffandy )

Subscribe to this Blog via Email :