Monday, May 5, 2014

ULASAN : THE AMAZING SPIDER-MAN 2



Webb-head's back! Sudah dua tahun berlalu sejak perilisan 'The Amazing Spider-Man (2012)', dan sejak penayangannya, mulailah muncul tiga kubu yang memandang film ini secara bervariasi. Yang satu adalah para fans Raimi yang skeptis dengan visionnya. Mereka ini yang belum move on dengan trilogy pertamanya dan sibuk mengeluh kenapa Spider-Man mereka ini jangkung, tengil, pinter, dan dengan gampangnya menggaet gadis tercantik di sekolah. Sedikit yang bisa related dengan Peter Parker yang satu ini. Satu lagi merupakan kubu yang fair and square dengan visi Raimi dan juga menyukai interpretasi Peter Parker yang baru. Walau kontroversi seputar dirinya yang atletis sebelum mendapatkan Spider powers (Hey, it was Garfield's idea) ataupun personanya yang lebih ke hipster dibanding standard nerd (jaman Google gini, Peter masih pake Bing!), mereka tetap bisa melihat Peter sebagai relatable teenager yang emosional dan believable. Kubu ketiga: Nah, mereka ini purist comic book. Ada sedikit saja yang melenceng dari versi komiknya, mereka langsung ngomel kayak Gwen Stacy versi Amazing Fantasy. Dan kadang untuk menutup snobberish mereka sendiri, akusisi filmnya yang masih belum menjelaskan banyak hal langsung digunakan. Hey, ini kan franchise gede. Gak salah dong mensugesti plan sequels dari awal kalo udah yakin bakal sukses. Me? Gue suka dengan Andrew Garfield sejak ngeliat akting punknya di Boy A. Dan ketika berita casting Peter Parker diumumkan si director film yang ngegalauin jutaan jomblo itu, gue udah langsung yakin he's gonna brought the character justice. Maguire oke aja, tapi dia bukan bayangan yang gue dambakan sebaga si web-slinger. Toh interpretasi baru ini juga intrik banget dengan versi Ultimate Issuenya. Apalagi momen sewaktu Peter berargumen dengan Uncle Ben. That makes me a happy fan. Jadi walau filmnya yang lebih berfokus dengan romansa Peter-Gwen, that's fine. At its basic, Spider-Man memang kisah cowok hopeless romantic pengejar cinta yang dibaluti dengan layer superhero. Liat aja mantan gebetannya ada Liz, Betty, Gwen, Marcie, Black Cat, dan baru ke MJ. Karena itu, Peter Parker gampang related dan dicintai banyak pembaca. Walau kita sebenarnya gak layak merasa teridentifikasi (Heck, siapa yang punya IQ 250 ke atas?).





Just like Spidey, time has swung by too. Peter Parker/Spider-Man (Garfield) kini mencoba membagi waktunya sebagai seorang yang peduli dengan keselamatan masyarakat berikut juga sebagai remaja yang baru lulus dan lebih confident di dalam menjalani hubungannya dengan Gwen Stacy (Stone). Tapi dirinya yang selalu dihantui dengan janjinya kepada ayah Gwen (Leary) sebelum tewas membuat dia menjalani on-off relationship dengan Gwen. Kehadiran long lost friend, Harry Osborn (DeHaan), pun membuat Peter dilanda masalah kesetiaan pada sahabatnya dan juga sedikit penguakan rahasia dibalik misteri kematian orang tuanya. Belum lagi dengan pegawai OsCorp, Max Dillon (Foxx), yang sedikit mengingatkan saya dengan wota yang menggila setelah dilirik idolnya. Setelah diselamatkan Spidey, dia merasa dianggap dari isolitas sosialnya dan sedikit punya delusi yang mendekati level fanatik bahwa si Web-Head adalah sahabat setianya. Barulah ketika dia mengalami kecelakaan yang melibatkan gigitan banyak belut listrik dan merasa dikhianati oleh idol-nya sendiri, Max menjadi supervillain yang ditakuti karena kehadirannya selalu diiringi dubstep yang dipaksa mirip dengan theme songnya Michael Myers (killing, killing, Spider, Spider, paranoia, paranoia...).



Seperti perilisan origin filmnya dulu, Marc Webb tahu betul bahwa kita sudah cukup kenyang dengan pendekatan comic book movie yang selalu serba suram dan gelap. Opening scene yang dibuka dengan fade-in-transition logo Spidey menuju sequence yang memperkenalkan karakter Giamatti, Webb jelas lebih percaya diri di dalam mempresentasikan sisi wise-cracking dari superhero kita yang satu ini. Banyolannya yang membuat kesal Giamatti ataupun seruannya di kala ayunannya yang terlihat asik di dalam POV unik membuat kita para fans Spidey membatin "That's the Spidey I know!". And man! Momen ketika Spidey menahan Aleksei Sytsevich aka. Rhino dengan jaringnya sembari menarik jeansnya yang memperlihatkan boxer bercetakan puluhan badak, diiringi dengan Spidey yang menyiulkan theme song classicnya, menikmati momen tadi. Priceless!





Dan seperti origin comics-nya, Webb lebih tertarik di dalam mengeksposisi bagaimana rasanya untuk seorang remaja menjadi superhero. And that I appreciate a lot. Alasan kenapa sulit sekali untuk merasa related dengan Maguire adalah karena sense of moral yang dihadirkan pamannya membuat dia mendadak menjadi dewasa. Garfield memberikan proses untuk transformasi tersebut, dimana dia dipaksa memilih untuk menjadi pahlawan New York atau ikut terbang ke London bersama kekasihnya (hey, there are crimes in London too!) sampai kita dibuat menangis sedih setelah menyaksikan momen tersuram di sepanjang sejarah komik, in this case Amazing Spider-Man issue #121. Bet Peter will changed a lot after that shocking moment.




Webb juga lebih tertarik dengan sisi fisika mengenai bagaimana objek meluncur ke udara dan perlahan turun dengan momentum yang bergerak pesat. Tidak usah tonton dalam 4DX untuk merasakan sense of weight, speed, and stretch selagi Spidey menembakkan web shooternya. We already felt it through the sense of framing. Richard Donner juga pernah mencemaskan hal ini di Superman: The Movie (1978) ketika beliau berusaha meyakinkan penonton bahwa Christopher Reeve memang bisa terbang. Tidak hanya kita dibawa ke dalam experience yang lebih selagi penonton dibawa keliling New York, Webb juga berhasil membuat kita lupa sadar mengenai keganjilan realisme akan kejeniusan remaja yang menciptakan web shooter, saking asiknya kita dibuaikan oleh ilmu dasar gravitasi bumi.




About the villains...



Jamie Foxx lumayan juga disini. Dengan sisiran seseram karakter Chris Bale di American Hustle dan attitude yang sesuai dengan nerd yang dikucilkan dunia, Foxx lumayan berhasil menjadi Max Dillon. Yang jelek disinipun adalah ketika Max sibuk ngomong sendiri, diiringi dengan theme song yang mirip dengan traditional scoring Downton Abbey ketika para maid membuat kekonyolan di depan tuan rumah mereka. That would be okay, andai saja jika tidak adanya bisik-bisik "paranoia, paranoia..." di tengah musik barusan. Bisikan tadi pun semakin ekstrim bunyinya dan terdengar seperti dubstep random begitu Max bertransformasi menjadi Electro, dengan musiknya yang kali ini ganti genre ke electric synth. Oke lah, adegan di power plant ketika Electro bouncing around seperti electric pinball itu keren juga. Tapi di Times Square sendiri? Dubstepnya mulai terdengar seperti bisikan setan. Transformasi Electro yang harusnya mengundang simpati (imagine, being bullied in front of public and cops!) malah terasa seperti two-dimensional-transformation karakter villain di kartun Spider-Man Minggu pagi 20 tahun lalu.



Talking about Harry Osborn, James Franco sudah siap kita lupakan folks! Setelah dibuat kagum di dalam menunjukkan karakternya yang tidak stabil via Chronicle, Dane DeHaan sudah sangat cocok sebagai anak orang kaya sombong dan chemistry-nya dengan Garfield paska berjumpa pertama kalinya itu terasa tidak dibuat-buat. They're like great bros of adorable childhood here! Sayangnya, filmnya yang sudah padat dengan banyak hal mungkin akan membuat penonton kurang peduli dengan karakter Harry yang sudah begitu superb-nya diperankan DeHaan.



Mungkin Rhino sedikit tidak berguna disini, mengingat dia diperkenalkan sekitar empat menit lamanya dan final fightnya dengan Spider-Man pun diakhiri seperti karakter Underminer di The Incredibles. But me thinks the audience protests too much. Rhino di film ini hanyalah sebatas plot device yang akan terarah ke spin-off Sinister Six ataupun sequel Spidey in the near future. Dan juga sebagai salah satu plot device yang mempresentasikan salah satu adegan yang mengharukan (Hey, Spider-Man...) dan juga menggambarkan pesan akan pentingnya menjadi hero, walaupun kita akan kehilangan banyak hal in the end. Siapapun juga bisa menjadi pahlawan, even a kid. And man! That little scene brought me in tears again. So yeah, Rhino sebagai plot device lebih bekerja dibanding sebagai karakter. Jangan lupa bahwa Rhino ini adalah musuh Spidey yang paling blo'on, karena itu dia yang paling sering dibully Spidey melalui sense of humornya. Kehadirannya pun bisa dianggap small time di jajaran villain Spider-Man yang lain, sehingga bagian ini bisa dimaafkan.



Last but not least.



Um, before you continue, please notice this is a moment of massive spoilers. You sure to continue?























I'm serious man. Unless you were born in the 1970's.























Okay, you asked for it!





















Gwen Stacy! Melalui film pertamanya, kita dibuat suka dengan chemistry Stone dan Garfield yang sudah sangat adorable itu (move over, Kirsten Dunst!). Dan tentunya rasa suka ini yang akan membuat kita tidak rela menyaksikan nasib Gwen, entah itu akan berakhir di film ini atau di sekuelnya. Gwen di versi Amazing Spider-Man issues digambarkan sebagai sosok yang gue sendiri tidak relakan sebagai kekasih Peter. Walau dia cantik dan pintar, namun sedikit small-minded, manja, and a Daddy's girl. Versi Ultimate issues pun tidak membantu. Pintar bagi Webb untuk membuat kita menyukai Gwen yang selalu berargumen dengan inteligensi Peter, selaku prestasinya sebagai Midtown's best and brightest. Karakternya pun bukan juga tidak sekedar damsel in distress yang selalu teriak minta ditolong. Gwen juga punya peran besar di dalam mengalahkan Electro. And thanks for her, the news of two plane crashes were cancelled. Sayangnya, bagian setelahnya itu yang akan membuat kita terharu, berkaca-kaca, ataupun menangis diam for the loss of Peter. I hate that "Snap!" sound.




The Amazing Spider-Man 2 mungkin bukan tipe blockbuster idaman mayoritas. Yang berusia sembilan tahun akan merengek ke mamanya "Spider-Man nya manaa??", yang ingin dibuai akan set pieces luar biasa akan mengeluh "Kok sebentar doang? Meh!", yang masih belum move on dari Raimi pun akan nyebelin kita dengan same old argument "Duh, kangen Tobey nih...". Seperti kata kapten Stacy sebelum dia menutup hayat, this Spidey is gonna make a lot of enemies. Don't worry, Garfield. You are that Spider guy! Dengan Webb yang menutup filmnya dengan moralitas yang biasa dikupas di universe Spider-Man seputar benar/salah, tanggung jawab, pengorbanan, dan harapan, senang sekali melihat film ini diakhiri dengan idealitas buku komiknya sendiri.









And please! Spider-Man was supposed to be cheesy and corny. Siapapun yang membandingkan film ini dengan Batman & Robin jelas tidak tahu menahu mengenai si Web-Head.




( By Bahana Damayana )

Subscribe to this Blog via Email :