Tuesday, January 26, 2016

ULASAN : SURAT DARI PRAHA


Hampir setahun setelah Filosofi Kopi, Visinema Pictures diawal tahun ini kembali hadir dengan film terbaru yang masih disuradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Dengan sebuah film yang dalam penggarapan naskahnya mencapai 2 tahun. Dengan hasil yang sudah diperlihatkan, sangat wajar kenapa untuk menyusun naskahnya bisa selama itu. Bekerjasama kembali dengan orang-orang yang sebagian besar ada di Filosfi Kopi, hadirlah Surat Dari Praha yang jauh terasa emosional dari film Angga Dwimas Sasongko sebelumnya.



Larasati (Julie Estelle) atas desakan keadaan terpaksa memenuhi wasiat ibunya, Sulastri (Widyawati Sofyan) untuk menhantarkan sebuah kotak dan sepucuk surat untuk Jaya (Tio Pakusadewo) di Praha.

Dibesarkan di tengah kehidupan keluarga yang tidak harmonis membuat hubungan Larasati dan ibunya tidak pernah benar-benar baik. Pertemuan dengan Jaya yang ternyata adalah mantan tunangan ibunya, seseorang yang gagal memenuhi janji untuk kembali puluhan tahun silam akibat perubahan situasi politik membuat Larasati mengetahui akar persoalan yang sebenarnya. Larasati menuding Jaya dan surat-surat yang pernah dikirimnya sebagai penyebab ketidakharmonisan keluarganya, situasi yang membawa akibat buruk bagi hidupnya. Jaya merasa tersudut dan terpaksa harus menjelaskan apa yang baginya telah ia ikhlaskan.



Cerita berkisah tentang kekuatan memaafkan dan upaya untuk berdamai dengan sisi gelap masa lalu. Terinspirasi dari kisah kehidupan para pelajar Indonesia di Praha yang tidak bisa kembali akibat perubahan situasi politik dalam negeri tahun 1966 dan dengan menjadikan karya musik Glenn Fredly sebagai salah satu elemen utama cerita.

Mampukah Jaya menjalani sisa hidupnya tanpa rasa bersalah dan apakah Larasati mampu kembali percaya bahwa cinta sejati itu ada?

Rasanya jarang melihat film Indonesia yang memiliki kekuatan pada penokohan karakter-karakter yang ada dalam ceritanya. Surat dari Praha tak hanya kuat dalam penokohan, tapi juga kuat dalam mengembangkannya. Masing-masing , baik Julie Estelle dan Tio Pakusadewo diberi ruang untung mengeksplorasi kapasitas aktingnya.



Mendengar bahwa latar belakang film ini adalah mengenai sejarah kelam Indonesia, khususnya PKI, awalanya akan membuatmu mengira bahwa film ini adalah film berat dengan pokok bahasannya mengenai politik dan sejarah. Tapi nyatanya Surat dari Praha lebih dari itu. Dibungkus dengan kemasan pop, Surat dari Praha berhasil hadir menjadi sajian yang manis dan indah.

Tak percuma, Angga dan Ipang menghabiskan waktu selama kurang lebih dua tahun untuk menggodok materi film ini. Dan cara Surat dari Praha bercerita sangatlah indah, film tak terburu-buru dalam bercerita dan mengembangkan tokohnya. Dialog-dialognya pun sebenarnya puitis tapi tak terjebak pada ranah membosankan ataupun cheesy.


Pada dasarnya Surat dari Praha adalah mengenai memaafkan,khususnya memaafkan diri sendiri, menerima diri sendiri. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa dua karakter utamanya memiliki penokohan yang kuat. Laras dan Jaya adalah dua kepribadian yang berbeda, berbeda jauh. Tapi menurut saya, mereka memiliki suatu kesamaan. Mereka adalah potret suatu kemarahan. Kemarahan yang berbeda. Kalian dapat melihat amarah itu dari tatapan mereka. Laras menunjukkan amarahnya dengan blak-blakan, sementara Jaya menunjukkannya lewat ketenangannya. Lewat amarah inilah mereka berbagi. Dan mereka saling berkaca satu sama lain.

Awalnya kesal melihat Julie dan Tio tak berbagi chemistry lewat tatapan mereka. Karena salah satu kunci dalam film drama adalah chemistry. Dan hal ini tak terlihat di awal film. Seiring berjalannya cerita, tersadarlah bahwa di awal film mereka bukannya tak berbagi chemistry, tapi justru itu membuktikan bahwa mereka adalah orang asing tak saling mengenal dan saling benci satu sama lain. Laras dan Jaya pada dasarnya sedang berbagi amarah di sana. Mereka pada dasarnya memiliki hubungan emosional yang dekat, yang bahkan dapat saling berkaca satu sama lain. Mereka berada di level yang sama untuk sama-sama belajar untuk memaafkan. Film ini menghadirkan sesuatu yg kontras. Kailan bisa melihat suatu amarah dari dua karakter utama ini. Tapi di sisi lain ada kehangatan di dalamnya.



Dan Widyawati adalah kartu as untuk film ini. Entah apa jadinya bila narasi di penghujung akhir film ini bukan beliau yang melakukannya. Brilliant performance.



Selain cerita dan akting, hal yang membuat film ini kuat adalah musiknya. Ah, selalu sulit untuk mengalamatkan sanjungan pada orang-orang yang berkerja di balik departemen musik. Karena saya tak begitu familiar dengan orang-orangnya. Sungguh, siapapun kalian yang bekerja di bagian ini di film ini, hasil jerih payah kaliah hebat sekali. Kalian tak hanya membawa mood penonton, tapi memberikan nyawa pada film ini. Dan khususnya pada penampilan Julie Estelle yang tak disangka memiliki suara yang indah. Sangat indah. Bahkan beberapa bagian yang mengalami puncak emosi adalah pada bagian-bagian ia menyanyi.


( By Annisa Nugraha )

Subscribe to this Blog via Email :