Sunday, September 18, 2016

ULASAN: OPERATION CHROMITE



Apa yang diharapkan dari film perang? Action yang membuat napas tertahan, mata tidak sedikitpun menoleh ke arah yang lain dan suara teriakan semangat yang menggema penuh keyakinan. Lalu apa yang diharapkan dari menonton film Korea Selatan (disingkat Korea)? Karakterisasi pemain yang mendalam, ada adegan drama yang membuat penonton iba dan senang bahkan merasakan kesedihan dan kebahagiaan yang diberikan oleh karakter film dan visual indah atau scene alam yang menarik ala Korea. Apabila digabungkan film Korea dengan tema perang, apa yang penonton harapkan? Terlebih ada opa Liam Neeson yang bermain menambah cast penting dalam film berjudul Operation Chromite. Kita akan menyaksikan film perang yang thrilling dengan sentuhan ‘rasa’ manusiawi dari ciri khas film Korea. Apakah hal itu terjadi di film Operation Chromite?



Operation Chromite mengisahkan delapan tentara khusus Korean Liaison Office (KLO) yang dipimpin oleh Letnan Angkatan Laut Korea Selatan Jang Hak-soo ( Lee Jung-jae) yang menjalankan misi rahasia dengan menyamar sebagai bagian tentara Korea Utara.

Dengan mengusung rencana 'Operation X-ray', Jang Hak-soo beserta kawanannya yang terdiri atas Han Chae-seon, Seo Jin-cheol, Nam Ki-seong, Choi Seok-joong, Baeksan, Kim Hwa-young, dan Park Nam-cheol memiliki misi menyalakan mercusuar di garis pantai Pulau Palmido yang menandakan bahwa pantai Incheon steril dari pasukan Korea Utara. Apabila mercusuar telah dinyalakan, pasukan PBB yang dipimpin Jenderal Douglas MacArthur (Liam Neeson) pun siap mengambil alih posisi untuk berperang melawan Korea Utara menyelinap ke markas musuh yang dipimpin oleh Lim Gye-jin (Lee Beom-soo).

Premis cerita yang sangat menarik, apalagi Liam Neeson mendapatkan karakter Jendral MacArthur yang merupakan kunci suksesnya Battle of Incheon (10 – 15 September 1950) yang mampu merebut Seoul dari Korea Utara pada masa itu. Tetapi setelah menonton film ini, ternyata fokus dalam film ini adalah kisah spionase Jang Hak-soo dkk sebelum Battle Of Incheon dimulai.



Ya, spionase war drama Korean style. Menarik untuk diikuti, terutama paruh pertama film ini berlangsung. Bagi penggemar film aksi yang menuntut adanya adegan bak bik buk dar der dor, paruh pertama film ini akan terlihat cukup membosankan. Penonton akan disuguhkan rencana dari 8 anggota KLO untuk menyukseskan Operation X-ray bersama (agen) intelegen / mata-mata yang sebelumnya sudah ada di lokasi. Bagaimana Jang Hak-soo dkk mampu menyelinap masuk ke markas Lim Gye-jin yang terkenal skeptis dan kejam. Intrik –intrik yang menarik dengan dialog yang ok bagi spy film walaupun dengan bumbu rasa kekeluargaan yang membuat penonton jadi merasa iba dengan pasukan khusus KLO, ciri khas film Korea. Lee Jung-jae sebagai penggerak film berhasil dalam paruh film pertama ini, penonton jadi sedikit melupakan karakternya di film Assasination (bagi yang sudah menonton) yang bertema hampir sama dengan film ini. Tujuh karakter lain juga terasa menarik diikuti dengan perkenalan yang sederhana dan bagaimana mereka tergabung dalam misi heroic ini.

Paruh kedua, film ini menjadi brutal membabi buta, film yang penuh adegan aksi. Yap, inilah yang ditunggu oleh para penggemar film perang. Terlebih dengan teknik pengambilan gambar yang agak mirip dengan Bourne saga, sedikit ‘shaky cam’ saat adegan-adegan aksi. Tetapi kalau dalam film Bourne penonton jadi merasa ‘thrilling’ karena kekonsistenan Paul Greengrass dari awal film sampai film berakhir, berbeda dengan John H. Lee yang justru malah membuat penonton bingung dan akan timbul pertanyaan “ini yang tertembak pihak mana, Korsel atau Korut?” Rasa thrilling tersebut jadi tidak ‘kena’ ke penonton. Di bagian ini Lee Jung-jae akan berbagi chemistry dengan Jin Se-yun (berperan sebagai Han Jae-sun, seorang perawat) yang malah terlihat gagal, mungkin karena Jin Se-yun terlihat masih sangat muda dan usianya terpaut 20 tahun dengan Lee Jung-jae. Justru Lee Beom-soo yang menonjol, dia terlihat bengis (bahkan terhadap anak buahnya sendiri), dan tanpa ragu untuk membunuh para ‘pengkhianat’ dalam film ini.

Usaha sutradara untuk memainkan intrik politik (dibawakan oleh Liam Neeson) dengan unsur perang dan rasa kekeluargaan untuk menarik simpati penonton tampaknya cukup gagal. Aksi spionase di awal film menjadi sumber ketegangan cerita tetapi dengan seiring perjalanan cerita, dengan ditambahnya bumbu-bumbu, film ini menjadi melodrama perang yang biasa saja. Adegan spionase awal ibaratnya hanya pemanis belaka. Plus adegan aksi shaky cam yang sedikit mengganggu membuat film ini menjadi film uji coba bagi sutradara. Padahal sebelumnya John H. Lee cukup sukses membuat film perang Into The Gunfire dengan setting tahun yang sama 1950 dan perang yang sama antara Korea Selatan dan Korea Utara. Into the Gunfire menyajikan kisah perang tanpa bumbu yang terlalu banyak tetapi dengan ciri khas melodrama Korea dengan pengembangan karakter yang sangat kuat dari Kwon Sang-woo dan Cha Seung-won.



Nah karakter, pengembangan karakter yang mandek yang membuat film ini terasa hambar. Keutamaan dari film Korea adalah karakterisasi yang mendalam dan bagaimana mereka menggiring cerita dan mengjungkirbalikan penonton. Walaupun film ini dimainkan oleh aktor Korea papan atas, tetapi mereka hanya bermampu bermain baik dengan mengikuti naskah dengan pattern yang sama berulang-ulang. Awalnya para karakter hero ini terlihat menarik, tetapi lama-kelamaan menjadi sederhana dan tidak menimbulkan kesan kehilangan setelah mereka gugur di medan perang. Ditambah penonton sangat berharap dari Liam Neeson yang malah hanya tempelan saja dengan naskah yang ‘corny’. Bahkan ada kecenderungan bahwa Liam Neeson sering ini tidak berada dalam satu set lokasi dengan para aktor Korea (bahkan mungkin tidak pernah). Permainan camerawork yang cukup baik untuk mengatasi hal ini.

Kekurangan yang lainnya adalah visual CGI yang masih agak kasar dan tidak ada scenery indah ala Korean Movie. Sinematografi sudah oke saat kondisi drama dengan set lokasi yang cukup wah, tetapi masih sangat kurang untuk visual aksi, CGI dan terutama minus shot-shot pemandangan yang menggambarkan situasi film. Mungkin karena film ini bukan film Hollywood dengan budget tinggi, atau justru karena budgetnya sudah tersedot untuk membayar Liam Neeson jadi sutradara melupakan masalah sinematografi terutama untuk memperhalus CGI. Padahal ada banyak adegan yang memerlukan CGI tetapi sebenarnya tidak krusial dan kalau dihilangkan juga tidak mengganggu cerita.

Pada akhirnya kebalikan dari jargon yang sering disebut Lim Gye-jin, bahwa “Ideology is thicker than Blood”. Film ini lebih mementingkan ideologi untuk menggabungkan banyak unsur dan intrik, tetapi lupa akan darah kesuksesan (dari segi kualitas) film Korea pada umumnya, karakter, naskah yang tidak repetitive dan sinematografi indah yang membuat penonton sedikit merasa nyaman. Memang film ini sukses di Korea Selatan sana karena Liam Neeson menjadi salah satu magnet dalam film ini, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa unsur film Korea yang hilang. Bahkan bagaimana cara memanfaatkan Liam Neeson tidak dimaksimalkan dalam film ini. Memaksimalkan ciri khas film Korea yang sudah ada dan menghilangkan tambahan-tambahan yang tidak perlu. Akan membuat film ini lebih menarik diikuti. Darah itu lebih kental daripada Ideologi.



Rate: 3/5


(By Ibnu Akbar)




Subscribe to this Blog via Email :