Saturday, July 21, 2018

ULASAN: BUFFALO BOYS





Dendam, adalah berkeingan keras untuk membalas karena rasa marah atau benci. Setidaknya itulah motivasi awal Arana (TioPakusadewo) ketika membawa 2 keponakannya kembali ke tanah pertiwi. Dia membawa dendam kepada kompeni penjajah bernama Van Trach (Reinout Bussemaker) yang telah membunuh keluarga Arana, termasuk Sultan Hamzah (Mike Lucock), kakaknya sekaligus ayah bagi kedua keponakannya. Jamar (ArioBayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso) yang sudah lama hidup dalam perjuangan di dunia koboi Amerika harus cepat beradaptasi dengan kehidupan kolinial Belanda yang menjajah Indonesia, atas saran pamannya Arana.



Perjalanan pulang kampung menghantarkan mereka kesebuah desa yang sudah dikuasai oleh kolonial Belanda. Para penduduk diminta menanam opium alih alih menanam padi karena opium lebih menjual dan menguntungkan. Padahal yang lebih dibutuhkan penduduk desa tersebut adalah padi sebagai sumber pangan utama mereka. Kolonial Belanda tidak peduli dengan kesengsaraan penduduk desa dan tidak segan-segan menghukum langsung di depan umum bagi mereka yang tidak menuruti. Hukumannya adalah hukum gantung atau hukuman mati.



Tentu saja hal ini membuat Jamar dan Suwo berang, marah dengan kondisi tanah pertiwinya dalam kondisi penindasan seperti itu. Tetapi mereka selalu ingat pesan pamannya, untuk tidak mencolok dan beradaptasi, agar tidak ada yang tau siapa mereka sebenarnya. Di desa inilah mereka bertemu dengan sang bunga desa, Kiona (Pevita Pearce) anak dari kepala desa tersebut. Kiona sendiri bukanlah seorang perempuan yang takut akan penindasan kolonial Belanda, dia memiliki jiwa pejuang yang berbeda dari ayahnya sendiri (Donny Damara) yang lebih tunduk kepada kolonial Belanda.




Tiba-tiba datanglah para penjajah tersebut ke desa mereka. Kiona khawatir dengan keberadaan 2 kakak beradik tersebut bersama paman mereka, terlebih mengingat banyaknya pelanggaran yang dilakukan desa tersebut. Apa yang akan Jamar, Suwo dan Arana lakukan selanjutnya? Apakah mereka akan menyelamatkan kondisi desa tersebut ? Lalu bagaimana dengan dendam mereka terhadap Van Trach yang sudah menghancurkan keluarga mereka?Apakah mereka berhasil membalaskan dendam mereka?



Sejak promosi teaser, poster dan trailer dari film ini dirilis, Buffalo Boys sudah menawarkan nuansa yang berbeda dari film-film Indonesia kebanyakan. Mencampur adukan antara fantasy dan sejarah dengan balutan genre aksi adalah sesuatu hal yang jarang ditemui dari perfilman Indonesia. Apalagi ketika Mike Wiluan berani mengangkat sebuah tema Western (Cowboy) kedalam sebuah film aksi melawan penjajah Indonesia. Sangatlah berani tetapi mampu dibuat cult dan relevan dengan kondisi saat itu.

Hasilnya, dari segi visual, set produksi dan kostum, tidak salah apabila film ini memiliki biaya produksi yang sangat bombastis. Belum lagi beberapa senjata ternyata dibuat khusus untuk film ini, dikarenakan sebagai kebutuhan beberapa adegan aksi ala koboi. Tidak lupa dari segi bela diri yang lebih bersifat netral arahan dari ahli bela diri asal Thailand, Tony Jaa yang memang disengaja tidak memfokuskan dengan aksi bela diri khas Indonesia, seperti silat. Film ini memang mampu menyuguhkan sesuatu yang baru dan berani, jenis film Laga, Satay-Western yang berbeda dari film Satay-Western tahun lalu, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak.

Production Value yang tidak main-main ini memang sudah direncanakan untuk kebutuhan film-film berkelas internasional dan tentunya bisa diterima secara universal. “Sangat penting bagi kami untuk menegaskan eksistensi film Indonesia di forum Internasional, seperti Buffalo Boys sekarang dan Headshot ada tahun 2016 lalu. Dengan sambutan dan apresiasi penonton internasional yang luar biasa, kami yakin Buffalo Boys tidak sulit diterima penonton film Indonesia. Kami berharap penonton suka,” kata Executive Producer Buffalo Boys, Wicky V Olindo.

Menurut Mike Wiluan, kisah dengan latar belakang penjajahan Belanda di Indonesia ini mengingatkan kita, terutama para Millenials dan Generasi Z, bagaimana sejarah kita penuh dengan tantangan dan ketidakadilan serta bagaimana kita sebagai rakyat bisa melawan. Baginya, cerita yang menggabungkan dua kultur berbeda (East meet West) merupakan kesempatan yang unik untuk memperkenalkan suatu dunia baru yang penuh dengan kesempatan untuk cerita-cerita lainnya.

Jika dilihat dari kematangan bagaimana membangun set lokasi dan set produksi yang mengagumkan lalu bagaimana dilihat dari kematangan dari segi naskah dan penokohan? Harus diakui, inilah kelemahan terbesar dari film ini. Ide cerita sudah memberikan angin penyegaran yang positif mengenai perlawanan terhadap penjajah di era konialisme Belanda dengan menggabungkan fiksi koboi yang datang ke Indonesia. Tetapi pengeksekusian mengenai jalan cerita, naskah yang terkesan memaksa dan pendalaman karakter yang sangat minim, membuat dasar dari sebuah film ini sangatlah kuranga. Kurang pas dan hanya diberikan ala kadarnya.

Contohnya adalah penokohan Jamar yang hanya kita ketahui dia adalah seseorang yang phobia terhadap kalajengking, atau Kiona yang tidak beralasan kenapa tiba-tiba dia menunggangi kerbau sambil memanah alih-alih menunggangi kuda. Kiona hanya menjadi pemanis bagi Suwo dan pengantar bagi Suwodan Jamar untuk menghadapi kolonial Belanda. Lalu dengan Suwo yang sedikit diberikan kesempatan untuk memperdalam karakternya, yang ternyata lembut demi memenangkan hati Kiona, tetapi juga mengakui sering diremehkan oleh abang dan pamannya, bahkan masih sering dianggap kurang ‘Pria’ bagi mereka. Bahkan pendalaman karakter tampaknya lebih baik tergambarkan dari kisah Buffalo Boys versi komik yang dapat diakses via COMICO.



Ada juga beberapa plot yang tidak cocok dan bisa dianggap plot hole dari kurang dalamnya cerita yang dibangun. Seperti apa alasannya mereka harus ke Amerika? Perpindahan motivasi Arana ke Indonesia setelah bertemu dengan Seruni. Belum lagi ketika Arana meminta kepada keponakannya untuk membaur dan beradaptasi dengan penduduk lokal, lalu kenapa mereka masih dengan kostum yang sangat asing bagi penduduk lokal. Banyaknya kejanggalan membuat film ini jadi terasa begitu lama walaupun hanya dengan durasi 102 jam. Ditambah lagi beberapa percakapan yang terasa kaku sekali. Film ini jadi menyia-nyiakan segala kematangan yang sudah di-setting untuk produksi dan lokasi.

Mike Wiluan seperti tidak belajar dari kesuksesan Headshot, hanya cukup dengan cerita yang sederhana lalu kental dengan adegan aksi yang brutal dan membabi-buta sudah mampu memuaskan penonton Indonesia. Jika saja kisah film ini dieksekusi dan diperdalam oleh Mike Wiluan dan tim lebih matang lagi, pasti kisah ini bisa menjadi sebuah film cult dan akan diingat terus layaknya film Sukiyaki Western Django(2007) atau The Good, The Bad & The Weird (2008).


(By Ibnu Akbar)









Subscribe to this Blog via Email :