Tuesday, August 21, 2018

ULASAN: THE DARKEST MINDS



Film dengan genre young-adult-post-apocalyptic event sebenarnya sudah melewati masa jayanya. Franchise semacam ini memanglah gambling, beberapa sanggup meraup untung, lainnya justru keok tak berlanjut. Pasalnya, menggerakkan pengisahan remaja bukanlah hal mudah, apalagi jika ditambahkan unsur heroik pemberontakan.



Tahun ini, dari 20th Century Fox mengeluarkan film adaptasi dari buku berjudul The Darkest Minds. Dimana penyakit yang disebut Idiopathic Acute Neurodegeneration (IAAN), menyerang seluruh remaja di Amerika, sebagian besar mengalami kematian dan sisanya yang masih dapat bertahan hidup mendapatkan kekuatan super. Pemerintah mengumpulkan dan memasukkan anak-anak ini ke dalam camp, memisahkan mereka berdasarkan tingkatan kekuatan mereka. Semakin berbahaya kekuatan mereka, semakin tinggi kemungkinan untuk dieliminasi. Ruby Daly (Amandla Stenberg) merupakan salah satu yang memiliki kekuatan super, bersama dengan timnya, Liam (harris Dickinson), Chubs (Skylan Brooks), dan Zu (Miya Cech), mencari perkumpulan kaum “berbeda” yang tersembunyi dari pemerintah. Di sisi lain Clancy Gray (Patrick Gibson), putra dari presiden, yang juga menderita penyakit tersebut, mampu untuk disembuhkan.



Sesungguhnya The Darkest Minds hanya memainkan segala unsur template young adult dan tidak menawarkan hal baru. Peran utama remaja? Cek. Perjalanan pencarian jati diri remaja? Cek. Gerakan pemerintah anti kelompok yang “berbeda”? Cek. Sekelompok pemberontak anti pemerintah? Cek. Karakter utama digadang-gadang sebagai ujung tombak perubahan, menjadi pahlawan harapan sejuta umat? Cek.



Perlu digarisbawahi bahwa kami tidak membaca bukunya. Entah memang dari sumber awalnya atau kemampuan tim penulis dalam membuat screenplay, The Darkest Minds meski memainkan unsur template, ia memiliki kendali bercerita yang menyenangkan untuk diikuti.

The Darkest Minds pelan-pelan membawa penonton menjelajahi perubahan yang membuat dunia dalam film ini porak poranda. Ia mengajak penonton melihat bahwa ketakutan itu dimiliki oleh dua sisi berseberangan, sang remaja pemilik kekuatan dan pemerintah. Bahwa remaja + power bukanlah kombinasi yang mudah untuk dikendalikan, terlebih jika kekuatan itu jatuh di tangan yang salah. Ada eksplorasi yang jarang tertuang untuk genre jenis ini, biasanya film-film sejenis akan langsung membuat pemerintah tanpa tedeng aling-aling mengecam dan memburu kaum “berbeda”. Tentu saja ini merupakan nilai plus bagi The Darkest Minds.



Ruby Daly selaku karakter utama, juga mengajak penonton menelusuri pergulatan batin seorang kaum “berbeda”, dimana kekuatan mereka justru mengintimidasi diri mereka sendiri. Penceritaan perjalanan pencarian jati diri Ruby dipahat dengan apik. Dimana dengan lembutnya diperlihatkan bahwa sang karakter berubah dari sosok yang menyembunyikan dirinya sendiri berubah menjadi Raja catur perpolitikan. Biasanya film-film sejenis akan langsung membuat sang karakter utama menjadi sosok messiah, pembawa revolusi, pembawa harapan. Di The Darkest Minds, menggunakan sosok antagonis dengan pantas. Ia tidak hanya digunakan sebagai musuh utama, tapi juga dijadikan alasan utama bagi sang protagonis utama mengalami titik balik.

Sebenarnya masih banyak hal yang akan lebih baik lagi dieksplorasi jika diadaptasi lewat Serial TV saja. The Darkest Minds jelas punya potensi. Tim penulis setidaknya tahu cara memainkan kisah remaja tanpa menjadi kekanakkan. Dan setidaknya setelah keluar dari bioskop, kita akan menginginkan sekuel lanjutannya.

(By Annisa Anugra)

Subscribe to this Blog via Email :