Saturday, August 17, 2019

ULASAN: BUMI MANUSIA




Saat kali pertama berita akan diangkatnya novel Bumi Manusia ke layar lebar, para pemuja Pram mengeluarkan respon kekhawatirannya karena bagi mereka biarlah novel terkemuka ini menjadi peninggalan sejarah dalam bentuk sastra. Masalah tidak usai di sana, setelah akhirnya Falcon memegang penuh hak produksinya dengan Hanung Bramantyo duduk di kursi sutradara, para pemuja Pram kembali kebakaran jenggot. Tidak berhenti sampai di sana, pemilihan Iqbaal Ramadhan sebagai Minke, para pemuja Pram memicingkan mata tanda kecemasan baru akan filmnya yang pada saat itu, syuting pun belum dimulai. Reaksi yang wajar untuk para fans yang cinta mati akan Bumi Manusia dan Pramoedya Ananta Toer pada khususnya, merasa was-was apakah saduran ini akan membawa kerusakan atau penghargaan terhadap bukunya.




Sederhananya, Bumi Manusia menceritakan Minke seorang pribumi yang jatuh hati ke Annelies, seorang gadis berdarah campuran dari seorang Belanda dan pribumi yaitu Hendra dan Nyai Ontosoroh, hasil dari jual beli yang nantinya akan diceritakan sendiri oleh filmnya. Lika-liku kehidupan di mana Indonesia belum berhak merdeka, segala sesuatu mulai dari edukasi dan hukum semua berlandaskan parlemen Belanda, dan pribumi tidak ada kuasa atas haknya. Begitupun untuk hal harta dan tahta. Minke harus bersikukuh membela Annalies mengatasnamakan cinta, di sisi lain dia hanyalah patung hidup di depan kekuasaan Belanda. Ontosoroh yang tak tinggal diam ingin bertarung mempertahankan kekayaan yang ia pupuk sendiri, mau tak mau harus tunduk di bawah kedigdayaan mereka.



Secara mengejutkan, dua tokoh yang diduga akan menjadi perusak konversi ini, Hanung Bramantyo dan Iqbaal Ramadhan, ternyata bisa membungkam mulut siapapun yang menaruh rasa pesimis terhadap mereka. Pemilihan Iqbaal ternyata sungguh jitu. Dengan image Dilan yang sudah melekat di dirinya, perombakan menjadi Minke menjadi tidak begitu sulit dan kentara. Pelafalan bahasa Belanda dan sikap percaya dirinya pun terbentuk dengan fasih. Iqbaal bukan satu-satunya aktor yang bermain bagus, hampir keseluruhan cast sungguh luar biasa, terkhusus Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh yang menggelagar di setiap adegan, dan Donny Damara yang memaksimalkan performanya walaupun bagian durasinya sedikit.



Semua dipikirkan matang-matang oleh Hanung dan tim. Kendati keotentikan sejarah pada saat itu masih bisa didebatkan, Hanung tetap tidak membiarkan hidangannya menjadi tidak sedap disantap. Production value begitu serius, tampak pemandangan yang begitu indah, dan bantuan musik yang begitu mengalun merdu. Satu poin yang ingin saya sanjung adalah di teritori penulisan naskahnya. Tidak ada satupun kalimat yang saya rasa sungguh berlebihan dan bergaya puitis. Semua berjalan natural dan sebagaimana mestinya. Bagian Minke dan Annelies saling memadu kasih di pelararan rumput juga ditampilkan sungguh indah dengan bujuk rayu khas Dilan yang tepat sasaran.



Memunculkan sosok sekarismatik namun lemah secara lapangan seperti karakter Nyai Ontosoroh gampang-gampang susah. Sebagai wanita tegar korban gundik peradaban Belanda, Ontosoroh di film ini tidak ditanggalkan begitu saja. Kalau Hanung dan tim tidak berhati-hati, Ontosoroh bisa jadi hanya karakter wanita patriotik sekali lewat yang akan mudah dilupakan. Namun, dengan polesan yang tajam dan berkat performa cemerlang Ine Febriyanti, Ontosoroh menjadi salah satu tokoh penting di film ini, dan bisa saja menjadi contoh ke depan bagaimana menghidupi karakter wanita kuat tanpa rasa takut dengan bentakan pria.



Sebagai penonton yang tidak membaca bukunya, dan hanya mendengar fakta bahwa Bumi Manusia adalah salah satu novel yang sulit dibawa ke ranah layar lebar. Dari sana saya bisa menyimpulkan bahwa tugas dan tanggung jawab Hanung memegang kendali novel ini sungguh sangat besar. Bagaimana ia harus menyenangkan produser membuat film yang ringan tapi penuh nilai positif, dan bagaimana ia bertaruh untuk menyenangkan hati para pembaca novel beserta penyanjung Pram. Bagi saya, Hanung sudah sangat berhasil minimal memenuhi salah satu tugasnya. Mungkin saja para pembaca tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dipaparkan di hadapan mereka, namun Hanung, sekali lagi, berhasil membawa sejarah menjadi suatu yang indah dan mudah ditangkap untuk kalangan anak muda yang belum mengenal bentuk karya sastranya.


Overall: 8/10

(By Ruttastratus)

Subscribe to this Blog via Email :