Wednesday, August 21, 2019

ULASAN: PERBURUAN



Malam Agustus yang tenang, udara keemasan, dan tak berembun bisa terasa sangat indah, hujan sudah lama tak menyapa ke Karawang. Perburuan adalah tentang peristiwa masa lalu menyedihkan di Jawa bagian Tengah, serta pertempuran yang terjadi di masa pendudukan Jepang. Terjadinya beriringan dengan Perang Dunia Kedua, sebelum Indonesia merdeka di Blora, tempat banyak peristiwa menarik terjadi. Hardo, lari atau mati. Tampak seperti penjelmaan syair, dongeng dan mimpi. Penonton bisa saja menyebut keputusan Hardo menyepi adalah aneh, tapi kita bisa sebut itu adalah eksentrik. Kisahnya sedih dan indah – dan tampak nyata. Kita sedang menyaksikan sebuah film tragedi.



Sejatinya saya menanti tanggal 15 Agustus 2019 untuk menyaksikan Bumi Manusia, sampai ambil cuti tahunan. Malah siang acara penuh, sore ketiduran sehingga menyisakan jam malam untuk menikmati adaptasi buku karya Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia paling malam selepas Isya, maka tak ada opsi yang lebih ideal selain menikmati Perburuan ketika jelang tengah malam.

Cerita merentang enam bulan dari tanggal 14 Februari 1945 sampai Proklamasi berkumandang, bahwa pasukan bentukan Jepang, PETA (Pembela Tanah Air) melakukan perlawanan. Adalah Shondanco Hardo (Adipati Dolken) dan kawan-kawan yang muak atas penjajahan ini. Misi kudeta mereka gagal, pasukan yang kocar-kacir itu melarikan diri ke hutan, sebagian akhirnya menyerah ke Jepang ketika utusan datang bahwa tak akan melakukan hukuman bagi pasukan yang mau kembali, janji memberi kemerdekaan secepatnya kembali digulir.



Raden Hardo adalah anak wedana, ia diburu Jepang karena berbahaya. Dipimpin Shidokan (Michael Kho) yang kejam, dengan kaki tangannya yang jua sahabat Hardo, Karmin (Khiva Ishak). Adegan kejar-tangkap di hutan disajikan dengan tensi lambat, ketika rasanya rasa frustasi muncul, si Jepang memutuskan menangkap orang-orang terdekatnya. Ningsih (Ayushita) tunangannya, ayahnya yang berkhianat yang memberitahu. Dan pada puncaknya, kita tahu semanis impian kemerdekaan, hal itu harus dibarengi dengan harga yang sangat mahal. Saat Si Jepang membuka mulut, seolah kata-katanya menjadi hukum.

Tautan kasih dengan Ningsih, sejatinya dituturkan dengan nada optimis nan kuat. Selama pelarian, di antara mereka terbentang jurang tak berdasar yang tak bisa diseberangi dan itu jelas adalah cinta. Hanya jembatan bernama kemerdekaanlah yang bisa menyatukan mereka. Hardo merindukan sang tunangan dengan segenap kesetian dan angan.



Alurnya maju terus secara linier, tak banyak tanya yang menggantung. Ada empat adegan bagus dalam Perburuan. Pertama ketika di kebun kala Hardo ngobrol sama daun lalu muncul pejabat baru dan mereka bercengkrama. Di tengah hamparan kebun jagung yang cantik dan rapuh menjelang subuh, di jalan setapak transpotasi desa tempat angin semilir mendesah, menghembus kencang lalu menyapu wajah mereka, selembut tanaman bunga sepatu, seakan dipenuhi gambaran indah nukilan ilustrasi kartu pos lokal yang sering kita terima kala itu dari kekasih yang jauh. Subuh itu indah dan tampak cokelat keemasan, kebun jagung dan tanah pertanian di belakangnya disirami cahaya merah dan bayang-bayang yang berpagutan, dengan suara jangkrik yang dijubelkan ke telinga. Ayo tenangkan diri, dan hitung sampai seratus sebelum adegan lain. Saya duduk tenang dan memulai hitung, tak sampai separuhnya, suara gerobak muncul dan mengakhirinya.




Kedua saat di kolong jembatan. Ketika para kere, para tuna wisma ini membunuh waktu dalam rumpian harap akan masa depan Indonesia, Hardo dan pelarian lain menyatu. Well, Tuhan mungkin akan lebih mendengarkan orang-orang teraniaya, kalau kita tidak mengganggu-Nya setiap saat. Sayangnya, malah disusupkan latar gelandang lain main wayang merusak kenikmatan. Seolah ada kelabu yang mengganggu.

Ketiga, pembacaan puisi dalam goa yang dimainkan dengan korek api dan senyum ngeri. Suara bagai dentingan harpa ditiup angin, dan mata yang memancarkan keabadian. Ketika batang api meredup dan kembali menyulut api lain, perenungan dengan jeda seperti ini selalu membuatku terpana. Hardo terlihat sangat sentimental dan romantis. Pernahkah kalian membaca cerita yang tak begitu adil? Kejadian lalu memang tak membunuhnya, tapi senyumnya telah mati. Namun Hardo seolah akan terus bercerita selama masih punya lidah untuk berujar, atau ‘seseorang’ untuk mendengar. Mendengarkan dia bercerita dengan korek api sesaat nyala sesaat kejap mati, sama asyiknya dengan mendengarkan seorang penyair menyenandungkan karyanya tepat di depanmu.

Keempat dan ini yang terbaik, adalah saat pertemuan ayah-anak dalam gubuk di malam hari dengan penggambaran aneh. Gubuk tua itu dengan rahasia yang tersamarkan dirajut, diambil gambar dari langit-langit, dialog menawan tersaji. Nada-nada emas dalam suara mereka disusupi ketakutan dan permohonan. Saat itu bulan belum muncul, tapi cahayanya malah memperburuk keadaan. Bayang-bayang yang sebelumnya bergeming kini bergerak dan menari-nari saat angin malam meniup dahan dan ranting.



Sejatinya memang ini adalah kisah menanti kebebasan. Oh mengerikan sekali, rasanya jika kau hanya bisa menunggu dan seolah tak bisa melakukan apapun. Seandainya Hardo tak bisa bermain puisi, pasti rasanya waktu berjalan bergitu lambat. Keyakinan bahwa Sangkakala keruntuhan Nippon akan berbunyi suatu hari nanti. Kekalahan Jepang itu, awalnya terasa mustahil karena Belanda yang menancapkan belenggu selama ratusan tahun saja bisa disepak dalam waktu singkat, mereka tak percaya, maka rasanya wajar ada gemetar ketakutan menyelingkupi. Namun selama ada kehidupan maka harapan selalu ada.

Perjalanan di hutan dalam pelarian yang indah melewati dunia hijau, dahan-dahan berbisik, pohon trembesi beraroma asam, serta petak-petak sinar matahari yang menyusup ke bawah rimbunan pepohonan. Saya sejatinya berharap akan banyak adegan sunyi di dalamnya, harapan itu hanya sedikit terkabul. Hutan asing yang menawarkan pesona liar, samar dan tak bernama membalutnya bagai pakaian. Suara jangkrik yang seharusnya dominan, semilir angin yang menempa wajah. Di hutan, Hardo memikirkan tanah air (dengan menggenggam tanah), berkhayal bahwa suatu hari nanti dia akan memiliki umur panjang dan menyaksikan bumi merdeka, memiliki rumah mungil yang nyaman di lembah bersama Ningsih guna hidup bersama.

Penerungan yang dikitari itu tampak sentimental. Sekali lagi, waktu terasa lama saat kau sedang menunggu. Tempo mengiris udara dengan derik jangkrik bersahut-sahutan, makhluk lain pasti sudah lari saat itu juga seandainya ada tempat yang dituju, tapi tak ada tempat lain, di sekeliling Hardo hanya ada kebun gelap, tanah basah dan sapaan sunyi.

Sayangnya, semua itu runtuh oleh skoring. Sial, jelek banget iringan Purwacaraka, merusak mood. Saat sedang asyik merenung, mencoba menikmati keintiman dengan keheningan, musik dimunculkan di waktu tak tepat. Dan suara alat musiknya itu kontinu, duh! Sulit sekali menjelaskan makian yang pas untuk disampaikan, mungkin gabungan antara momen khidmat dan riuh lalu tepok jidat. Alamak.

Ketika film usai, rasanya ingin segera menikmati angin pagi. Dengan kepulan kopi duduk nyaman di teras, hanya gumam “Ayo kita ke kebun jagung dan menunggu, saya pengen ngobrol sama daun.” Lalu bercerita, rerumputan menulis jejak langkah kepergiannya dengan tetesan embun, di atas lembah serta bukit menggantung asap biru tebal, seakan alam sedang memuja altar dalam hutan. Jangkrik bernyanyi sisa semalam, suaranya merdu. Perlahan, matahari menggelincir naik di tengah awan gelap kelabu berubah menjadi bayang-bayang ungu dan merah garang di pagi itu. Enggak muncul rintik kok, Karawang masih kemarau di Agustus tandus. Memang, ada banyak hal yang tidak kumengerti.

Endingnya khas novel Pram. Saya sudah membaca empat buku beliau, Bumi Manusia yang getir, Midah yang berakhir tragis, Gadis Pantai yang menyesakkan dan Perawan Dalam Cengkraman Militer (bukan sepenuhnya tulisan Pram). Letusan itu, sejatinya tak sepenuhnya membuatku terlalu terkejut, sayang ditampilkan buruk, seolah itu adalah adegan tambahan bloppers, dalam credit title film-film Jackie Chan. Setelah usai rasanya ingin protes, mengapa? Yah, hal semacam ini memang mungkin, dan saya dilanda kengerian baru yang sebelumnya tak terpikirkan.



Bukankah merdeka adalah kata yang indah? Sangat ekspresif, M.E.R.D.E.KA. sambil mengepalkan tangan ke atas penuh antusias. Dan terasa damailah seluruh tanah yang berbunga dan segar ini, serta damailah hati kecil kami.

Terberkatilah hati sepimu Hardo, kau benar-benar manusia hebat.

Overall: 6/10

(By Lazione Budy)

Subscribe to this Blog via Email :