Friday, September 27, 2019

ULASAN: DANUR 3 'SUNYARURI'




Berbicara film horor Indonesia tidak akan cukup barang sehari. Kemunculan Jelangkung di era bangkitnya perfilman kita membawa angin segar dan seakan menjadi gerbang pembuka. Hanya sebentar, horor akhirnya menjadi komoditas utama para produser untuk menjaring penonton dan mengeruk pundi uang sebanyak-banyaknya. Bukan hanya karena film horor laris di pasaran, tetapi juga pembuatan film horor (asal jadi) dibuat dalam tempo yang singkat. Mesin penghasil uang ini hingga sekarang pasti hadir setiap bulannya di bioskop. Danur adalah contoh kecil. Berawal di tahun 2017, Danur sukses mendata dirinya sebagai salah satu film terlaris di tahun itu. Awi Suryadi dan tim tersenyum lebar, dan kehadiran Prilly Latuconsina betul sekali memboyong para fans untuk menonton filmnya. Berulang ke 2018, lagi-lagi Danur 2 memenuhi gedung bioskop dan kembali menggembungkan kantong rekening para pembuatnya.



Hadirlah Danur 3, Risa (Prilly) masih menjadi tokoh sentral dengan kelima teman hantu ciliknya. Tinggal berdua bersama adiknya, Risa yang seorang novelis berada di titik geram dengan mereka karena selalu berulah terutama pada saat teman Risa sedang berkumpul di rumahnya. Emosi membuncah saat Prilly akhirnya ingin mereka pergi, secara kebetulan di detik itu juga kelima hantu cilik tadi dijegal oleh hantu lainnya yang akan diceritakan pada akhir film. Ya betul, film ini secara berani memberikan twist ending, padahal bobot cerita awal untuk mengarah ke ending-pun masih butuh digodok lagi agar matang dan tidak antiklimaks seperti yang ada di filmnya saat ini. Motif antagonis terlalu lemah untuk menanam dendam dan menjadi alasan utama ia bersikap seperti itu. Karakter Risa tidak diupayakan menjadi sedikit lebih maju dari dua seri sebelumnya, padahal Risa pintar tetapi tetap saja hal-hal bodoh yang memicu tragedi tetap dilakukan. Ini belum terhitung adegan-adegan konyol khas film horor di mana mereka mendekati sumber onar yang pasti nantinya akan merugikan diri mereka sendiri.



Sulit untuk menyukai film ini bila tidak ada dukungan teknis yang lumayan berjasa di film ini. Pergerakan kamera saat menampilkan momen-momen menyeramkan dan aba-aba untuk adegan menakutkan bisa dibilang cukup efektif. Jumpscare juga ada beberapa yang tepat sasaran, terutama adegan Risa dengan baskom penadah bocor hujan. Bayangkan, bila hal-hal kecil yang saya sebutkan tadi juga nihil, saya tidak menjamin akan menghibahkan waktu saya untuk menulis review ini. Saya menyukai personaliti Prilly Latuconsina, berharap akan lebih baik dari Danur 1 dan 2, saya kembali berjudi waktu untuk melihat perubahan apa yang disuguhkan Prilly dan Danur 3-nya. Alih-alih pengembangan karakter dan cerita, yang saya dapatkan Prilly tetap si Risa yang kikuk dan bingung mau melakukan apa padahal insight ini sudah ia terima sejak dulu kala. Terakhir saya menonton Prilly di sebuah proyek film adalah Matt & Mou yang tak lebih baik dari film ini. Sangat disayangkan, karena Prilly memiliki potensi besar untuk mengasah aktingnya lebih lagi.



Tapi tenang, Prilly bukan satu-satunya yang bermain buruk. Ingat antagonis yang saya singgung di atas tadi? Antagonis itu diperankan dengan sangat lemah. Sudah tidak ada motif, tidak ada nyawa pula. Make-up hantu-hantuan di film ini berbicara jauh lebih banyak daripada akting mereka berdua di adegan puncak. Belum lagi aktor yang menjadi kekasihnya Risa, dan yang paling kasihan adalah karakter tempelan teman kerja pacarnya Risa yang diarahkan untuk menjadi sumber kekacauan dan dituding akan menjadi puncak permasalahan. Semua terlihat kosong secara naskah, dan terlihat monoton di depan layar.



Produk laris amat sayang dihentikan begitu saja. Dengan tambahan 3 di ujung judul, ada harapan film Danur 3 adalah seri terakhir. Namun, mengingat penonton membludak di hari pertama perilisannya, bukan tidak mungkin akan ada Danur 4, 5, dan seterusnya hingga penurunan pada angka jumlah penonton. Tidak ada yang salah dalam berjualan, karena produsen hanya ingin barang dagangannya laku. Namun, ibarat makanan, apakah yang dijual itu sehat untuk pembeli, apakah ada value tinggi yang tidak akan timbul rasa penyesalan setelah membeli barang tersebut, dan apakah akan terus-terusan melempar makanan setengah jadi. Kadang produsen tidak berpikir hingga ke perut dan otak konsumen. Selagi sehat secara komersil, esensi sebuah film itu sendiri akan dipatahkan begitu saja. Saya berharap sekali pola murahan seperti ini diputuskan mata rantainya. Saya diam sejenak, dan berpikir kembali. Pola seperti inilah yang masih digemari dan berbondong-bondong dicari penonton saat memilih film di depan loket. Simalakama. Selamat menonton.


Overall: 4/10
(By: ruttastratus)

Subscribe to this Blog via Email :