Friday, November 1, 2019

ULASAN: LOVE FOR SALE 2


Saat Love for Sale terpuji di mata penonton, banyak yang merasa relatable dengan apa yang disampaikan. One man show yang dimainkan oleh Gading Marten sukses mengantarkan ke panggung Citra, kemenangan yang hingga saat ini belum dirasakan oleh bapaknya. Setelah melihat Gading di film itu, saya akhirnya teryakinkan kalau darah daging serta bakat Om Roy Marten digunakan oleh Gading pada tempatnya. Karakter Arini pun menjadi tenar, banyak yang memujanya, tetapi tak sedikit yang mengartikan karakter tersebut sebagai si perempuan 'jahanam'. Della Dartyan sekejab naik daun. Mengupas karakter Arini sungguh pelik, dengan tampilan sederhana, Arini mengemban tugas yang terlalu berat untuk dijalani. Love for Sale, dengan sangat hati-hati, membuat Arini menjadi salah satu karakter penting di perfilman Indonesia. Sederhananya lagi, bagi saya karakter Arini mampu menjadi tombak sebagai pemutar nasib dan pola pikir penggunanya.



Dirasa ada kemungkinan baru yang bisa diharapkan dari Arini, akhirnya Visinema memberikan dana segar untuk dibuatkan kelanjutannya. Masih dipegang Andibachtiar Yusuf sebagai sutradara, namun mengganti peran Gading ke Adipati Dolken sebagai 'user' selanjutnya. Dolken sebagai Ican, bujangan 32 tahun, dicecar tiada henti oleh ibunya untuk segera melepas masa lajang. Keinginan sang ibu untuk memiliki menantu 'baik-baik' sudah di ubun-ubun kepala. Si ibu tak puas dengan hasil pernikahan anak pertama dan ketiganya. Putus asa, Ican di sini akhirnya memanfaatkan jasa aplikasi kencan Love.inc. Bukan sulap bukan sihir, Arini sekejab muncul di depan rumah, tanda awal serangan bertubi-tubi untuk memenuhi kriteria keinginan Ican serta menaklukan hati sang calon mertua. Mengekor film pertama, lambat laun cinta bersemi di antara dua insan beda arah ini. Di saat semua sudah kembali ke poros, si wanita pun juga sudah mendekati tenggang waktu untuk mengakhiri asmara pahit tersebut.



Arini masih dimanfaatkan sebagai setan cinta yang siap pergi bila masa kadaluwarsa sudah dekat. Arini adalah setan cinta yang tidak diajarkan manajemen perusahaan untuk memiliki hati dan menetap di satu rasa. Arini adalah setan cinta yang secara lantang mendeklarasikan dirinya sebagai wanita kejam walaupun secara keseharian ditampilkan dengan sangat elok. Ican adalah korban pesakitan berikutnya. Pengulangan inilah yang tidak meninggalan kesan mewah untuk kedua kalinya bagi Arini. Walaupun pada akhir film penonton diberikan sekelebat adegan pelega pilu, tetap saja Love for Sale 2 hanya copypaste yang tidak ingin kehilangan fans-nya. Syukurlah, Della Dartyan tidak menurunkan kualitasnya, dan Adipati Dolken berhasil menunjukkan rasa sabar dan ikhlasnya lewat kekuatan akting yang dia punya. Yang sangat mengganggu bagi saya adalah Bastian Steel sebagai Buncun, adik Ican.



Ratna Riantiarno pun bermain cakap, hanya saja karakter Ibu di film ini sangat tidak mengayomi. Sebagai sosok wanita yang memegang teguh keagamaan, apa yang ditampilkan di layar tidak jauh hanyalah seorang Ibu yang takut anaknya membujang tua, bukan sosok Ibu yang ikhlas. Saya sangat tidak menyukai bagaimana film ini menopengi isi ceramahnya soal pernikahan dengan menggunakan adegan kematian. Begitu, saya menjadi kasihan dengan karakter bapak tetangga Ican yang saya pikir akan menjadi ekstra penghibur. Karakter tersebut hanya menjadi umpan kosong guna untuk menyantuni bahwa menikahlah atau kamu akan segera dijemput maut sebelum kamu duduk di pelaminan. Perkuliahan tadi disodorkan tepat saat sang tokoh tetangga tadi diceritakan meninggal. Kalau saya, kerabat dekat ada yang meninggal, saya akan ikut melayat, bukan malah lanjut ke kantor dan galau di halte memikirkan hasutan orang tua untuk segera menilah. Tidakkah aneh? Adegan itu menjadi pemicu utama saya semakin tidak begitu antusias dengan kelanjutan filmnya. Benar saja, sifat Ibu semakin menjadi dan banyak kesan sinis yang kurang beralasan. Ican tidak seperti Richard. Ican badung, gonta-ganit wanita dan diam-diam memulangkan mereka sebelum pagi, tetapi di sisi lain sangat menghargai Arini. Saya mungkin akan suka film ini bila kebadungannya juga dipraktikkan ke Arini sehingga keduanya memang hanyalah pasangan ranjang dan tidak bermain hati dan tetaplah demikian. Di kehidupan percintaan yang gagal akan selalu meninggalkan korban dan kali ini karakter Ibu juga ikut menjadi tumbal. Bisa jadi itu cambukan terbaik, dan tumbal akan semakin pedih bila Ican tidak menceritakan kebohongannya ke Ibu.



Saya suka cara film ini mengontrol gerak kameranya. Sangat efektif dan membangun momen. Long take di awal film pun menjadi perkenalan yang ampuh untuk menjelaskan kalau Love for Sale 2 akan dipenuhi dengan keseruan di ruang lingkup keluarga Ibu. Musiknya mengalun indah, walaupun kadang ada beberapa part malah menutupi suara aktor yang berdialog. Tidak mengganggu, tapi cukup terasa. Terakhir, bila Arini ingin ditunjukkan sisi humanisnya lewat film ini, jelas sekali tidak ada yang patut dibanggakan. Tidak seperti film pertama yang menghancurkan hati satu orang, di sekuelnya ini Arini selain mengecewakan pelanggan, juga meretakkan keinginan dan harapan seorang ibu yang sebelumnya sudah melihat masa depan anaknya di tangan seorang Arini. Pada akhirnya, Arini hanyalah sebuah contoh lelucon kecil yang terjadi pada kehidupan percintaan anak manusia. Musuh terberat bukanlah mengapa kita gagal menuju cinta yang membahagiakan, tetapi bagaimana cara mendapatkannya. Arini adalah umpan untuk yang salah, dan Arini sendiri (baca: aplikasi penyedia jasanya) adalah suatu kesalahan. Lalu, apakah wanita tetap selalu benar? Selamat menonton.

Overall: 5/10

(By Ruttastratus)

Subscribe to this Blog via Email :