Thursday, April 8, 2021

ULASAN: CHAOS WALKING




Pernah  ada masanya tren film-film bertema Dystopian Science Fiction yang diadaptasi   dari novel young adult (YA) sehingga akhirnya YA menjadi kategori khusus di perfilman Hollywood dan semua studio berlomba-lomba membuat franchise YA menjadi film blockbuster. Tren ini dimulaidi awal 2000-an dengan Franchise Harry Potter (2001-2011) dan Twilight Saga (2008-2012). Lalu di pertengahan 2010-2020 tren ini kembali naik dengan kemunculan film Hunger Games (Jennifer Lawrence) yang sukses dibuat hingga 4 film (2012-2015), diikuti The Maze Runner (2014-2016),The Divergent Series (2014-2017). (Untuk list lengkap film-film dalamkategori YA yang pernah tayang di bioskop dapat dilihat di sinihttps://www.indiewire.com/2015/11/ranked-every-ya-movie-franchise-since-harry-potter-104593/).

 


Cukup lama waktu berselang kini hadir film adaptasi novel YA “The Knive of Letting Go”karya Patrick Ness. Film ini cukup ditunggu kehadirannya karena dibintangi beberapa aktor papan atas seperti Daisy Ridley, Tom Holland, Mads Mikkelsen, dan Nick Jonas. Film ini sebetulnya sudah diumumkan pada tahun 2011, setelah berganti beberapa penulis dan Doug Liman (The Bourne Identity - 2002, Mr. and Ms. Smith - 2005, Edge of Tomorrow – 2014)diumumkan sebagai sutradara pada 2016 barulah film ini menemukan  titik terang. Awalnya direncanakan rilis pada 2019 namun karena screening test kurang memuaskan digeser hingga rilis di 2021 ini. Rilis perdana di Korea Selatan pada 24 Feb 2021 dan di US pada 5 Maret 2021, di Indonesia sendiri sudah dapat disaksikan di bioskop pada 7 Maret 2021.Secara box office film ini bisa dikatakan flop, karena hanya menghasilkan 20 juta dollar dari biaya produksi 100 juta dollar dan banyak mendapat review negative di Rotten Tomatoes (hingga artikel ini ditulis Chaos Walking hanya mendapat rating 23%).



Chaos Walking merupakan film adaptasi buku pertama dari trilogi novel karya Patrick Ness. Dalam film ini diceritakan Todd Hewitt (Tom Holland) yang tinggal di kota Prentisstown, yang lokasinya berada di planet New World dengan setting waktunya pada 2257 AD, di mana manusia sudah mencari tempat tinggal di luar bumi dan berhasil mendirikank oloni di planet tersebut. Todd telah dibesarkan dengan keyakinan bahwa Spackle (penduduk asli planet) telah membunuh semua wanita di planet itu. Di planet tersebut para pria mengalami fenomena “The Noise” – suatu kondisi yang menampilkan semua nurani/ pemikiran mereka secara gamblang mengakibatkan semua orang bisa saling mendengarkan pikiran dalam bentuk gambar, kata, dan suara. Prentisstown dipimpin oleh Walikota David Prentiss (Mads Mikkelsen), yang punya keahlian kemampuan untuk mengendalikan noise-nya, yang membuat dia tidak dikelilingi oleh kebisingan pemikiran pribadi. Walikota memiliki seorang anak lelaki yang ambisius, Davy Jr. (Nick Jonas) yang ceroboh dan selalu membuat onar.



Suatu hari Todd menemukan Viola (Daisy Ridley), seorang gadis misterius yang jatuh mendarat di planetnya. Kondisi semakin rumit ketika Todd bertemu dengan seorang perempuan bernama Viola (Daisy Ridley) yang ternyata jatuh terdampar di planet New World. Kedatangan Viola pun menimbulkan berbagai pertanyaan dan kebingungan karena ia tidak memiliki the Noise, yang belakangan diketahui bahwa wanita tidak mengalami fenomena The Noise di Planet New World. Kemunculan Viola menimbulkan konflik dengan walikota dan penduduk Prentisstown karena sang walikota menganggap kehadiran Viola adalah awal timbulnya masalah dan kekhawatiran bahwa koloni mereka akan terancam, konflik mulai bermunculan hingga membuat nyawa Viola dalam bahaya, melihat hal itu Todd berusaha menyelamatkan Viola. Apakah mereka berhasil kabur dari walikota dan penduduk Prentisstown? Apakah keputusan menyelamatkan Viola merupakan hal yang tepat? 



Selama 109 menit durasi film ini,tenaga film ini cuma ada di seperempat awal film sisanya seakan terjun bebas dan ditutup dengan konklusi yang tidak memuaskan sama sekali. Introduksi karakter dan konflik sudah baik di awal tetapi tensinya terus menurun bahkan saat adegan klimaks di sinilah masalah terbesar muncul. Konflik sekaligus twist terbesar film ini (akan tersingkap jawaban  tentang mengapa tidak ada wanita di planet New World) seakan mengecoh penonton yang sebenarnya sudah dapat ditebak dari awal film tapi tanpa kejelasan yang menjawab secara gamblang, penonton masih disuruh membayangkan sendiri.Padahal adanya adegan flashback masa-masa kehidupan awal koloni di Prentisstown sewaktu para wanita masih hidup akan cukup membantu. Humor yang disisipkan juga tidak banyak membantu memperkaya cerita, terlebih dialog-dialog yang repetitif dan agak membosankan. Fenomena The Noise adalah satu-satunya hal menarik dalam film ini yang gagal dimanfaatkan dengan optimal dan kreatif sehingga hasil akhirnya film ini jadi seperti film kejar-kejaran antara karakter protagonis dan antagonis saja. Konklusinya pun terkesan buru-buru dan dipaksakan sehingga kita yang menonton mungkin mengernyitkan dahi koq bisa penyelesaiannya semudah itu?(Seakan penulisnya ingin cepat-cepat selesai dan malas berpikir lagi)



Dalam hal cast yang terlibat  semuanya termasuk aktor dan aktris kelas A (A-list casts) yang sudah tidak perlu diragukan kualitasnya karena kita sudah sering melihat mereka tampil di film-film blockbuster. Akan tetapi di film ini mereka sepert idisia-siakan dan terjebak dalam plot cerita yang buruk. Chemistry Tom Holland dan Daisy Ridley dalam cerita ini terasa hambar dan kurang greget apalagi dengan tidak adanya adegan romance sama sekali di film ini. Nick Jonas yang tampil sebagai anak walikota bahkan tidak penting dan bisa ditiadakan saja karakternya karena tidak akan mengganggu esensi cerita. Mads Mikkelsen termasuk aktor kharismatik yang perannya sebagai villain di film ini sangat tidak menarik penceritaan karakternya hanya di awal-awal saja kita diberi harapan bahwa ia bisa menjadi villain yang mengancam dan akan membawa kesulitan untuk Todd. Akan tetapi, seiring cerita menuju akhir karakter Mads menjadi tidak menarik dan tidak memiliki tujuan serta kharisma yang diamiliki di awal cerita. Karakter Todd dan Viola tidak dieksplorasi sama sekali dan cukup membingungkan bagaimana akhirnya Viola bisa mempercayai Todd.



Sinematografi dan efek visual film inicukup memanjakan mata, terlebih setting tempatnya yang banyak berlatarkan alam. Efek Noise yang dimiliki tiap orang ditampilkan secara unik yang sebetulnya menarik jika bisa dieksplorasi lebih jauh  terlebih pada karakter Todd dan Walikota. Karakter Todd kurang  dijelaskan bagaimana akhirnya dia bisamenguasai Noisenya demikian dengan background story sang walikota yang menjelaskan bagaimana ia bisa menjadi mahir mengendalikan noisenya.



Chaos Walking sebetulnya memiliki potensi untuk meneruskan tren genre YA menjadi film yang sukses secara box office namun interpretasi kedalam adaptasi filmnya tergolong payah dan merusak esensi cerita aslinya. Hal ini sepertinya terjadi karena naskahnya mengalami banyak revisi oleh beberapa penulis (Charlie Kaufman, Jamie Linden, John Lee Hancock, Gary Spinelli, Lindsey Beer, Christopher Ford, dan Ness sendiri).Esensi ceritanya sebetulnya ingin menyampaikan berbagai konflik yang dihadapi seorang remaja yang sedang menuju kedewasaan, ketidaksiapan seseorang akan hal-hal dan info baru yang belum pernah dihadapi yang terkadang menyebabkan kebingungan. Bertolak belakang dengan filmnya, novelnya sendiri telah memenangkan hampir semua kategori penghargaan fiksi anak bergengsi di Inggris, di antaranya Guardian Award pada tahun2008, James Tiptree, Jr. Award, dan Costa Children's Book Award. Buku ketiganya, Monsters of Men memenangkan Medali Carnegie ditahun 2011. Ceritanya dipuji karena penceritaan tema-tema seperti politik gender, perang, dan konflik moral antara yang baik dan yang jahat yang disajikan dengan gaya penceritaan yang cepatd an membuat penasaran untuk diikuti. Awal yang kurang baik ini membuat genre YA sepertinya bakal sulit untuk bisa populer kembali. Cukup berisiko bagi para produser dan studio film untuk menggarap film segmentasi YA karena penonton di usia ini akan beralih menjadi orang dewasa dalam kurun waktu yang relatif cepat serta karakter tiap generasi sangat ditentukan oleh periode  waktu/ dekade film itu dirilis. Naskah yang prematur dan kecenderungan untuk tidak digarap serius membuat banyakjudul film adaptasi novel YA yang akhirnya gagal dan terlupakan, sayangnya Chaos Walking termasuk ke dalam kategori tersebut.


Overall: 5.5/10

(By Camy Surjadi)




















Subscribe to this Blog via Email :