“Aku Takopi, teman bahagiamu dari masa depan.”
Kalimat ini terdengar polos dan manis, namun menjadi ironi paling pahit dalam anime Takopi’s Original Sin. Dibungkus dalam artstyle yang tampak seperti tontonan anak-anak, anime ini justru membawa penonton menyelam ke dalam lautan luka batin, trauma keluarga, dan upaya absurd menemukan kebahagiaan di dunia yang bengkok.
Takopi adalah seekor alien gurita naif yang dikirim dari masa depan untuk menyebarkan kebahagiaan. Di Bumi, ia bertemu Shizuka Kuze—seorang gadis SMP yang tubuh dan jiwanya babak belur oleh lingkungan sekitarnya: keluarga yang retak, sekolah yang kejam, dan dunia yang tak peduli. Takopi, dengan segala gadget magis ala Doraemon, mencoba memperbaiki hidup Shizuka. Namun satu alat—yang mampu memutar balik waktu—justru menjadi pemantik dari serangkaian tragedi yang lebih dalam.
Takopi’s Original Sin tidak menyederhanakan penderitaan. Ia memperlihatkannya secara telanjang: bullying, kekerasan rumah tangga, hingga ide untuk mengakhiri hidup. Namun keberaniannya terletak pada bagaimana cerita ini tetap bergerak, membawa kita dari kepiluan menuju pengertian, dari kemarahan menuju pengampunan. Karakter-karakter seperti Marina yang dingin dan Azuma yang lemah tak berdaya menambah lapisan konflik emosional, menciptakan narasi yang jauh lebih besar dari sekadar “alien baik hati dan anak yang menderita.”
Meski hanya enam episode, anime ini terasa padat dan menghantui. Visualnya mungkin tidak megah, tapi justru kesederhanaannya membuat realita pahit terasa lebih menyentuh. Scoring-nya tidak berlebihan, tapi tahu kapan harus menusuk—dan kapan harus diam membiarkan kita merenung.
Twist cerita memang bisa terasa terlalu dramatis bagi sebagian penonton, tapi pada akhirnya semuanya terjalin rapi dalam konklusi yang menohok. Ini bukan sekadar tontonan, ini adalah pengalaman emosional. Dan setelah credit terakhir menghilang, perasaan itu tidak langsung pergi—ia tinggal, membekas, menyisakan tanya dan luka yang sulit dijelaskan.
Takopi’s Original Sin adalah pengingat bahwa dalam upaya mencari kebahagiaan, kita kadang harus menabrak batas yang paling menyakitkan. Tapi di situlah pelajaran sesungguhnya.
Rating: 9.5 / 10