Thursday, June 26, 2014

ULASAN : THE FAULT IN OUR STARS




Saya merasa beruntung karena menikmati film ini tanpa harus terganggu oleh dorongan untuk membanding-bandingkannya dengan novel yang diadaptasikan. Tidak seperti ketika menyaksikan The Hunger Games untuk pertama kalinya, saya belum pernah membaca versi novel film ini sehingga bisa menerimanya sebagai tontonan yang membawa angin segar.



Mereka bilang kisah yang ditulis oleh pengarang John Green dalam novel populer ini begitu menyentuh hati menguras air mata. Tidak heran ketika tiap kali saya menemukan postingan teman soal novel ini di Facebook, selalu saja dibumbui emote icon yang manis-manis. Oh tentu saja, kisahnya mengenai percintaan remaja muda-mudi cantik dan rupawan dalam penghujung hidupnya melawan penyakit kanker. Siapa yang tidak akan merasakan serangan ninja mengiris bawang ketika mengikuti kisah yang gampang menggugah seperti ini?


Sekedar kembali mengingat, mungkin terdapat beberapa film yang pernah saya temukan sebelumnya yang juga mengisahkan perjuangan hidup orang-orang melawan penyakit kronis. Seperti The Diving Bell and The Butterfly yang begitu puitis menyakitkan, hingga My Sister's Keeper yang dilematis penuh kekeluargaan. Dan ketika selesai menyaksikan The Fault in Our Stars pada midnight show lalu, saya kembali merasakan suatu efek terbaik dari pengalaman menonton film yang tidak selalu saya dapatkan. Sebuah pikiran yang panjang, yang terus bergulir sejak perjalanan pulang dari bisokop hingga saat membuat tulisan ini, yang menyesatkan saya pada situasi antara mensyukuri hidup sekaligus merasa benci telah mengabaikan berbagai nikmat yang selama ini masih bisa saya rasakan. Terkadang mereka yang hidup dalam keterbatasan memang justru bisa lebih menghargai, lebih bersemangat dan menemukan berbagai keindahan dalam hidup.


Jalur utama film ini memang mengarah pada kisah percintaan anak remaja, tapi saya tidak mau membiarkan mata ini berkaca-kaca jika apa yang disuguhkan hanya sebatas itu. Saya mendapatkan film ini sebagai sebuah kisah ketidak-adilan dan kejamnya dunia, dunia yang tidak mengabulkan impianmu ketika melihat bintang jatuh. Kejam, namun dituturkan dengan manis, sangat manis, begitu manisnya hingga membuat senyuman tetap bisa terpancar dalam situasi duka yang gelap sekalipun. awh what a mix of feeling!


Bintang muda yang sedang naik daun Shailene Woodley dan Ansel Elgort bermain cakap dalam melakoni karakter masing-masing sebagai remaja Hazel Grace dan Augustus Waters yang sama-sama mengidap kanker. Mereka memang harus tampil bagus. Film ini begitu penuh diisi gelora cinta, rasa muak akan penyakit yang diderita, dan semangat juang yang terpancar dari mereka berdua. Hanya saja saya sempat memutar-bola-mata beberapa kali karena mereka ini kalau berbicara kadang puitis sekali, saling balas-membalas rangkaian kata-kata manis sehingga saya menjadi harus kembali menekan ekspektasi, hey ini hanya sebuah film! Tentu saja.


Satu lagi catatan penting yang menarik dari film ini adalah, apalagi kalau bukan jajaran soundtracknya. Dari sekian banyak lagu-lagu keren yang diputar di sepanjang film, hanya ada dua yang saya kenali. Menyenangkan ketika menyadari lagu yang kau gemari tiba-tiba diputar di sela-sela film. Pertama yaitu berjudul Simple As This oleh Jake Bugg yang langsung saya kenali dari gaya musik country dan vokal nya yang khas, kemudian satu lagi dari M83 dengan single Wait, oh jika ada kompilasi soundtrack film yang keren, band yang satu ini hampir selalu ada. Selebih nya saya tidak tau lagu siapa saja di film ini tapi banyak yang tidak kalah keren! Mari, digoogle......

Subscribe to this Blog via Email :