Tuesday, December 29, 2015

ULASAN : NGENEST









Beberapa tahun terakhir dan mungkin dalam beberapa tahun kedepan, ada resep ampuh yang sangat mujarab untuk ramuan bagaimana membuat film komedi yang dijamin akan menguntungkan dalam hal finansial rumah produksinya. Pakai saja alumni Comic stand up comedy yang beberapa tahun belakangan sangat digandrugi oleh penonton Indonesia. Meski statusnya bisa digeneralisasikan sebagai komedian, tetapi perlahan para comic ini bisa menggeser keberadaan pelawak dalam industri perfilman Indonesia dalam posisi teratas yang tentunya dalam film bergenre komedi. Semuanya berawal dari “ Comic 8 “ di tahun 2014lalu yang sangat sukses besar yang lalu diikuti sequelnya tahun ini Casino Kings Part 1 yang juga sukses besar .Yup, sebelum Comic 8 meledak memang sudah ada beberapa comic yang terjun ke ranah layar lebar, tapi bisa dibilang lewat Comic 8 lah para Comic ini makin laris jasanya dipakai oleh rumah produksi. Dan kali ini Ernest Prakasa, yang mengikuti jejak Kemal Palevi dan Raditya Dika yang menyutradarai dan membintangi filmnya sendiri yang berjudul “ Ngenest “.



Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) tidak pernah memilih bagaimana ia dilahirkan. Tapi nasib menentukan, ia terlahir di sebuah keluarga Cina. Tumbuh besar di masa Orde Baru dimana diskriminasi terhadap etnis Cina masih begitu kental. Bullying menjadi makanan sehari-hari. Ia pun berupaya untuk berbaur dengan teman-teman pribuminya, meski ditentang oleh sahabat karibnya, Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey). Sayangnya berbagai upaya yang ia lakukan tidak juga berhasil, hingga Ernest sampai pada kesimpulan bahwa cara terbaik untuk bisa membaur dengan sempurna adalah dengan menikahi seorang perempuan pribumi.




Ketika kuliah di Bandung, Ernest berkenalan dengan Meira (Lala Karmela). Meski melalui tentangan dari Papa Meira (Budi Dalton), tapi akhirnya mereka berpacaran. Dan kemudian menikah, dengan adat Cina demi membahagiakan Papa dan Mama Ernest (Ferry Salim dan Olga Lidya)



Berhasil menikah dengan perempuan pribumi ternyata tidak menyelesaikan pergumulan Ernest. Ia mulai dirundung ketakutan, bagaimana jika kelak anaknya terlahir dengan penampilan fisik persis dirinya? Lalu harus mengalami derita bullying persis dirinya? Ketakutan ini membuat Ernest menunda-nunda untuk memiliki anak.



Sesuatu yang baru, itulah yang bisa didapatkan dalam film ini, tema isu ras yang biasanya kita temui dalam genre film yang serius ditampilkan dengan gaya komedi, itu adalah sesuatu yang baru untuk penonton Indonesia yang mana hampir sepanjang film mengocok perut penonton menertawakan sebuah ironi yang sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Langkah berani Starvision menyerahkan kursi sutradara kepada Ernest juga bukan keputusan sembarangan meskipun pengalaman Ernest masih bisa terbilang minim di perfilman Indonesia. Tapi kepercayaan Starvision mampu dibayar dengan hasil yang memuaskan oleh Ernest yang sangat leluasa dalam mengeksplorasi potensi dari para pemain utamanya, bahkan penampilan Kevin Anggara dan Brandon Salim yang memerankan Ernest dan Patrick remaja dengan porsi seperempat isi film tetapi mampu memberikan nyawa dalam film ini. Debut Lala Karmela yang lebih kita kenal sebagai penyanyipun dapat mengisi porsi dengan sangat baik. Tentu saja “ Ngenest “ tidak terlepas dari minus, selain seperempat akhir film sudah sangat klise, beberapa adegan terasa sangat dragging, terlebih dengan kemunculan karakter Koh Hengky terasa sangat dipaksakan untuk ditampilkan.





“ Ngenest “ adalah flm komedi yang tampil dengan tema sensitif tanpa harus terbawa sensi untuk penontonnya. Sebuah tontonan yang sangat manis untuk penutup akhir tahun ini di bioskop.

Subscribe to this Blog via Email :