Thursday, July 4, 2019

ULASAN: PARASITE










Dua tahun berselang dari film terakhirnya Okja, Bong Joon-ho kembali menggebrak dunia perfilman lewat film terbarunya yang berjudul Parasite, film ini ditayangkan pertama kali di Festival film Cannes pada 21 Mei 2019, menyusul di Korea Selatan sendiri pada 30 Mei 2019 lalu. Film ini telah mendapat banyak sambutan positif dan merupakan satu-satunya film Korea Selatan pertama yang memenangkan penghargaan palem emas (Palme d’Or), penghargaan tertinggi di Festival Film Cannes, di tahun 2019 ini. Hingga artikel ini ditulis, film ini bertahan dengan rating 98% di Rotten Tomatoes. Jika film pemenang Palme D’Or tahun 2018 lalu, Shoplifter, cenderung bersifat satu dimensi dan setia pada genre drama maka Parasite terasa lebih superior karena mengusung genre dark comedy, drama, dan thriller yang semuanya dipadukan dengan sangat apik dalam cerita dan karakter-karakternya.



Parasite bercerita tentang Kim Ki- taek (Song Kang-ho), seorang ayah yang berprofesi sebagai supir pengangguran yang hidup bersama istrinya Choong Sook (Jang Hye-jin) dan kedua anak mereka yang berusia sepantaran anak kuliah, Ki-woo (Choi Woo-shik) dan Ki-jeong (Park So-Dam), yang menjalani keseharian mereka di ruangan semi-basement apartemen yang kumuh dan mencari penghasilan dengan melipat kotak pizza. Suatu hari Ki-woo dimintai tolong oleh temannya Min (Park Seo-joon) untuk menjadi guru Bahasa Inggris dari menggantikan dirinya mengajar seorang putri keluarga kaya raya karena ia akan kuliah di luar negeri dan harus fokus untuk ujian masuk. Ki-woo yang awalnya ragu lalu mengiyakan tawaran tersebut karena Min percaya akan keahlian Ki-woo yang sudah sering ikut wajib militer. Keesokan harinya Ki-woo mendatangi rumah keluarga Park yang putrinya diajar oleh Min, Ki-woo tampak terperangah ketika memasuki rumah keluarga tersebut yang sangat besar dan mewah. Ki-woo diterima oleh Nyonya Park (Jo Yeo-jeong) dan tanpa kesulitan berhasil membuktikan kepiawaiannya mengajar sang putri, Da-hye (Jeong-Ji-so) sehingga diterima. Sebelum berpamitan pulang, Ki-woo memandang lukisan di dinding yang dibuat oleh putra bungsu keluarga Park, Da-song (Jeong Hyun-joon) dan mendapat informasi bahwa nyonya Park memiliki pemikiran bahwa sang putra butuh guru seni yang dapat mengarahkan potensinya namun kesulitan menemukan pengajar yang sesuai. Melihat kesempatan itu Ki-woo segera mereferensikan guru seni yang menurutnya handal untuk melakukan tugas tersebut, guru seni tersebut dikatakan bernama Jessica yang tidak lain adalah adiknya Ki-jeong. Lewat bualan yang meyakinkan, nyonya Park segera meminta Ki-woo untuk membawa Jessica menemui dirinya. Tidak butuh waktu lama, Jessica pun berhasil diterima untuk menjadi guru seni Da-song. Proses invasi berantai lewat fitnah terstruktur ini pun berlanjut di mana Jessica berusaha mencari kesempatan untuk mengganti supir pribadi keluarga Park (Lee Sun-gyun) dengan sang ayah Ki-taek dan pembantu keluarga mereka Moon-kwang (Lee Jeung-Eun) dengan ibu mereka Choong Sook. Invasi mereka berhasil dan kini mereka sekeluarga hidup bekerja untuk keluarga Park tanpa keluarga Park mengetahui bahwa sebetulnya mereka saling mengenal satu sama lain. Akankah rencana mereka untuk hidup makmur berjalan dengan mulus atau bakal terbongkar oleh keluarga Park? Bagaimana taktik mereka agar rencana invasi ini tidak hancur berantakan? Premis inilah yang menjadi nafas dari cerita film Parasite yang dibawakan dengan sangat tidak biasa dan penuh kejutan di dalamnya.



Walau tema yang diusung awalnya terkesan biasa tapi film ini memiliki gaya penceritaan yang sangat unik karena mampu menarik cerita ini jauh berkembang di luar pemikiran penonton. Seiring berjalannya cerita genre film juga ikut berubah mengikuti ceritanya, hal ini lah yang membuat kita sebagai penonton terkejut dan penasaran akan seperti apa akhir ceritanya. Bagian awal film ini yang tadinya bersifat komedi berubah menjadi thriller dan perlahan berubah menjadi drama tragedi di bagian konklusinya. Hebatnya “genre switching” ini berjalan mulus dan berhasil menggiring kita terbenam dalam cerita yang dibawakan. Di pertengahan film ini, kita disajikan dengan kejutan yang tidak disangka yang berhubungan dengan ruang bawah tanah (bunker) yang dimiliki keluarga Park. Faktor inilah yang memicu genre switching dan membuat film ini semakin menarik. Bong Joon-ho sangat piawai dalam membuat cerita dan mengarahkan fokus penonton, detil cerita dikupas secara perlahan seiring berjalannya film. Sedikit kesalahan dalam timing dan susunan cerita akan membuat cerita film ini berantakan karena film ini tidak bermain dalam genre tunggal. Plot dan subplot dipadukan dengan baik dan tidak tumpang tindih dalam film ini. Tokoh-tokoh utama senantiasa dihadapkan pada masalah dan kemalangan yang tidak terduga sehingga membuat penonton merasa gemas. Detil-detil yang kita kira tidak berarti dan hanya simbolisme ternyata menyumbang peran penting dalam perjalanan cerita sehingga akhir cerita yang berujung tragedi.





Song Kang-ho sebagai aktor yang sudah langganan berkolaborasi dalam sebagian besar film Bong Joon-ho sangat cocok berperan sebagai ayah di sini, demikian pula aktor dan aktris yang berperan sebagai Ki-woo dan Ki-jeong serta ibu mereka Choong Sok, semuanya memerankan karakter mereka dengan pas dan punya pesona masing-masing. Demikian pula nyonya Park yang paranoid dan naif serta Tuan Park (Lee Sun-kyun )sebagai kepala keluarga yang karismatik namun agak sombong. Karakter Ki-woo dan keluarganya berada di area abu-abu dan bukan sebagai antagonis, lewat kehidupan mereka yang miris dan dalam kemiskinan kita bersimpati terhadap mereka, ketika mereka berhasil mendapat kesempatan untuk mengubah nasib mereka, penonton ikut dalam kegembiraan mereka dan terhubung dengan mereka. Penonton dibuat lebih berpihak ke keluarga Ki-woo dibandingkan keluarga Park yang notabene adalah korban di film ini. Gaya komedi yang dipilih alih-alih dramatisasi berlebihan dalam menceritakan keseharian hidup keluarga Ki-woo turut menyumbang faktor plus film ini. Ketika film berjalan, kita menyadari bahwa sistem tatanan sosial yang menciptakan kesenjangan antara keluarga miskin dan sangat kaya adalah faktor antagonis di film ini



Sinematografi film ini terjamin secara visual berkat kepiawaian Hong Kyung-pyo, salah satu sinematografer korea terbaik saat ini yang dikenal lewat film The Wailing (2016) dan Burning (2018) yang menuai pujian dari para kritikus dan masuk nominasi film terbaik Cannes. Kita bisa melihat dari tone dan warna film ini yang indah dan soft namun mampu menampilkan kekuatan adegan dan cerita yang ingin disampaikan dari film ini.



Bong Joon-ho sebetulnya ingin menyampaikan isu kesenjangan sosial dan kemiskinan sistematis yang dialami di berbagai tempat bahkan di negara maju sekalipun dan ketidakberdayaan pemerintah dalam mencari solusi yang efektif sehingga berujung pada celah sosial-ekonomi yang ekstrem yang direpresentasikan lewat keluarga Park dan keluarga Ki-Taek. Ketika menonton, kita sebagai penduduk Jakarta pun tidak sulit untuk merefleksikan keadaan yang sama di kota kita sendiri dan di berbagai pelosok wilayah indonesia. Selain isu kesenjangan sosial, sentilan masalah sosial yang dialami oleh keluarga menengah ke atas pun turut digambarkan dengan sindiran yang jenaka namun mengena lewat tingkah polah keluarga Park. Isu konflik antara Korut dan Korsel pun tidak lupa disematkan lewat ruang bawah tanah yang dimiliki tanah keluarga Park sebagai sindiran terselubung.



Film ini membuktikan bahwa ide cerita sederhana yang kreatif namun fresh mampu menarik penonton, tidak perlu ide cerita yang rumit dan dramatisasi berlebihan. Bong Joon-ho sekali lagi membuktikan kepiawaiannya dalam menyajikan cerita yang penuh kejutan dan keajaiban tetapi tetap menohok isu-isu sosial kemanusiaan.


Overall: 9,5/10

(By Camy Surjadi)


Subscribe to this Blog via Email :