Thursday, September 19, 2019

ULASAN: PRETTY BOYS



Mengikuti perjalanan karir duo sahabat Vincent dan Desta sebagai presenter bagi saya begitu menyenangkan. Saya tidak cukup mengenal mereka saat menjadi anggota band Club 80's, justru image kekonyolan dan kekompakan mereka baru saya temui saat mereka menjadi host badung di acara MTV Bujang. Format program yang hadir tiap hari Kamis siang itu begitu apa adanya khas anak muda, yang saking kocaknya hingga mereka kelepasan bicara di mana dalam keadaan siaran live. Insiden tersebut hampir menggiring mereka ke penjara, diiringi dengan bungkusnya acara tersebut. Pendek cerita, mereka kembali membawakan acara khas banyolan dan lawakan segar mereka lewat Tonight Show yang tayang di Net TV. Rating melejit, meninggikan tingkat persahabatan mereka yang sepertinya tak akan lekang dikubur tanah. Ibarat kata, VinDest adalah satu kata, di mana ada Desta, di situ pula Vincent berada.



Katakanlah saya fans berat mereka. Hingga hingar bingar film Pretty Boys ini mempromosikan diri di dunia digital pun saya ikuti. Bagaimana kekompakan VinDest saat berada di depan kamera TV maupun pada saat menjual film ini sangat kental dan hangat walaupun cara mereka kadang tidak bisa diterima secara verbal oleh yang menontonnya. Pretty Boys bisa dibilang proyek ambisius mereka. Proyek yang mana pertama kalinya mempertemukan mereka di satu film layar lebar sebagai bintang utama. Pertama kalinya Tompi duduk di bangku sutradara. Mereka bahkan bilang tidak perduli dengan banyaknya karcis yang terjual asal visi dan misi film ini sampai dengan baik. Betul, proyek ini ambisius karena mereka dengan lantang mengisukan krisis yang tengah terjadi di pertelevisian Indonesia. TV nasional sudah tidak lagi 'sehat'. Hampir semua program memakai bumbu penyedap agar sajian mereka bisa dikonsumsi orang banyak. Pretty Boys berteriak akan akan hal itu.



VinDest di sini sebagai Anugrah dan Rahmat, sahabat dari kampung yang ke kota untuk mencoba peruntungan nasib. Tujuan mereka dari awal hanya satu, mereka ingin terkenal dan masuk TV. Cita-cita ini tercetus karena bagaimana mereka terkesima dengan Sony Tulung saat membawakan acara kuis Family 1000. Di sisi lain, Anugrah geram dengan sang ayah semakin membulatkan tekad mereka berjudi takdir di kerasnya kota. Momen terkenal akhirnya tercapai, namun tak luput juga problematika baru muncul dengan tumbuhnya kekacauan akan egoisme, penipuan, peliknya cinta segitiga, hingga harus kembali menerima kenyataan bahwa mereka hanyalah kerdil yang ditindih kemewahan duniawi. Mereka nyatanya tidak sanggup mengangkat beban seberat itu.



Saya sangat menyukai film ini. Mungkin, sekali lagi mungkin, karena saya begitu lekat dengan gaya berjenakanya VinDest. Alhasil apa yang mereka pertontonkan di sini sungguh menggelitik urat humoris saya. Tidak ada candaan yang tidak berhasil mereka lontarkan dan saya telan dengan puas hati. Kecerdikan mereka membawa teman-teman artis mereka sebagai pengisi film ini juga bisa dibilang jitu, karena mereka tidak perlu lagi mencari kemistri dan berkat ini semua aktor pendukung maupun kameo bermain pas porsi. Terlebih saat VinDest berkameo menjadi diri mereka sendiri. Tanpa mendiskreditkan Desta, menurut saya Vincent yang paling bersinar di sini. Kenapa? Karena Vincent mendapat bagian bermain drama yang cukup banyak ketimbang Desta. Vincent mensuskseskan tugasnya dengan baik. Adu argumen yang ia lalui bersama aktor kawakan semacam Roy Marten tidak boleh dipandang sebelah mata, karena haru biru dibawakan sangat baik. Dua pemain lagi yang menurut saya berjasa mengangkat jalannya drama film ini selain Roy Marten tadi, adalah Tora Sudiro. Peran singkatnya sebagai waria mengharumkan film ini lebih wangi lagi.



Mari bicara soal Tompi. Di debutnya ini, sang dokter yang juga penyanyi dan sekarang merambah ke dunia penyutradaraan, Tompi tidak hanya menyalurkan bakat fotografinya (saya dengar dia sedang menggeluti dunia fotografi), di sini dia juga mengeluarkan sisi humanis dan aktivisnya yang mungkin saja ia sulit menyuarakan di dunia nyata. Tompi, yang juga sebagai penyumbang ide cerita, membuat karya pertamanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Dia tidak hanya membalutkan dengan komedi, hubungan manusia dengan manusia lainnya ia perlihatkan dengan manis dan menyenangkan. Penataan kamera juga indah. Saya suka sekali adegan Vincent dan Tora Sudiro di rel kereta. Saya suka sekali adegan Desta sendirian di rumahnya. Ditangkap dengan cantik oleh mata kamera.



Pretty Boys adalah bukti bagaimana mereka yang terlibat di sini gerah dengan format acara televisi sekarang ini. Mereka tidak benci (karena mereka mencari makan juga dari TV), hanya saja TV seolah-olah menjeremuskan penonton menjadi manusia yang menerima mentah sebuah informasi dan hiburan. Betul sekali bahwa manusia rusak dari mana saja, tapi tidak bisa dipungkiri bila tayangan TV dewasa ini dibungkus begitu cantik tapi bobot isinya masih patut dibenahi. Pretty Boys adalah kilasan sederhana yang condong mengkritisi daripada menghibur. Syukurlah, keduanya berhasil bagi saya pribadi. Saya tidak akan lelah menonton TV di mana ada VinDest, saya tidak akan lelah menonton TV yang menurut saya menghibur, saya tidak akan lelah menonton TV. Bila akhirnya TV sekarang dilabeli sebagai perusak moral, kembali lagi ke ucapa yang sering didengungkan oleh VinDest 'apakah televisi menodai kita, atau malah kita yang menodai televisi'?


Selamat menonton.

Overall: 8/10

(By: Ruttastratus)

Subscribe to this Blog via Email :