Sebagai salah satu film yang membesarkan nama Sylvester Stallone dan film legendaris sepanjang masa tidak salah jika penikmat film bersorak ketika Sly mengumumkan sekuel Rambo yang digadang-gadang menjadi penutup Franchise dengan judul Rambo: Last Blood akan rilis, seraya mengingatkan kita akan judul pertama pembuka film Rambo yaitu 37 tahun yang lalu yaitu First Blood (1982). Kehadiran sekuel ini sempat disangsikan karena berita soal produksi film ini sempat on-off selepas film keempatnya di tahun 2008 hingga akhirnya pada Mei 2018 barulah terkonfirmasi bahwa film sekuel terakhir bergenre Action Thriller ini memasuki masa pra produksi. Film ini disutradarai oleh Adrian Grunberg (Wall Street: Money Never Sleeps, Apocalypto, Edge of Darkness) dengan Sylvester Stallone sebagai co-writer. Film ini dirilis di bioskop Indonesia pada 18 September 2019 dan akan dirilis di US pada 20 September 2019. Film ini dibintangi oleh Sylvester Stallone dan didukung oleh para cast yang didominasi oleh aktor/ aktris berkebangsaan Amerika Latin, diantaranya Paz Vega, Sergio Peris-Mencheta, Adriana Barraza, Yvette Monreal. Genie Kim, Joaquin Oslo, dan Oscar Jaenada.
Film Rambo tidak dapat dilepaskan dari kekerasan dan baku tembak mengingat latar belakang karakter John Rambo yang adalah veteran perang. Dalam kisah terakhirnya kali ini diceritakan Rambo telah hidup tenang (seperti yang kita lihat dalam cuplikan adegan penutup dalam Rambo IV) bersama putri angkatnya Gabriela (Yvette Monreal) dan bibi angkatnya Maria (Adriana Barraza) di rumahnya. Rambo menjalani kehidupannya mengurus peternakan dan membangun gua labirin lengkap dengan bunker tempat ia menyimpan segala memorabilia dan perlengkapan militernya. Namun kehidupan tenangnya terusik ketika mengetahui Gabriela pergi ke Meksiko karena mendengar kabar tentang ayah kandungnya telah ditemukan, benar saja Gabriela diculik oleh kelompok kartel di Meksiko untuk dijadikan wanita penghibur. Tidak butuh waktu lama Rambo segera melacak keberadaan putri angkatnya. Dalam pertemuan awalnya dengan para anggota kartel, Rambo mengalami kekalahan dan dirawat oleh seorang jurnalis independen Carmen Delgado (Paz Vega). Setelah pulih dari luka-luka serius yang dialaminya Rambo pun mempersiapkan diri untuk menyelamatkan Gabriela sekaligus membalas dendam terhadap kelompok kartel yang telah melakukan hal keji padanya dan Gabriela. Sekembalinya ke rumahnya di Arizona, Rambo memasang perangkap di seluruh penjuru rumah untuk menanti kehadiran kelompok kartel yang menuntut balas atas kematian salah satu anggota mereka Victor Martinez (Oscar Jaenada). Kelompok kartel tersebut tentunya tidak menyangka bahwa yang mereka hadapi adalah mesin perang yang telah ditempa berbagai konflik dan kekerasan yang tentunya tidak takut mati dan telah mempersiapkan ‘neraka’ untuk mereka.
Salah satu faktor kuat yang membuat penonton ingin menyaksikan kembali sekuel film Rambo adalah faktor nostalgia. Penonton ingin menyaksikan kembali sepak terjang John Rambo dan konflik apalagi yang dihadapinya di dunia yang semakin modern. Dalam sekuel Rambo yang digadang-gadang sebagai film terakhir ini, level kekerasan dan gory-nya tetap berada pada level sangat sadis tetapi dangkal dari segi cerita dan pengembangan karakter. Karakter Rambo di dalam film ini digambarkan tidak seagresif dalam film-film sebelumnya namun tetap mematikan berkat keahlian dan pengalaman perang yang dimilikinya. Untuk ceritanya sendiri mengambil inspirasi dari film Taken namun dengan pendekatan yang berbeda. Jika pada film-film sebelumnya petualangan Rambo selalu ditempatkan di negara dengan tingkat konflik tinggi (Vietnam, Afghanistan, Myanmar) maka di film Last Blood settingnya lebih ‘grounded’ karena konflik tersebut dimulai di Meksiko dan dibawa Rambo ke rumahnya yang berada di Arizona.
Bagian awal film ini memfokuskan pada hubungan Rambo dan putri angkatnya Gabriela yang tujuannya untuk membangun emosi dan kedekatan penonton terhadap kedua karakter ini. Bagian ini boleh dibilang cukup berhasil sehingga penonton akan merasakan efek sentimental terhadap nasib karakter Gabriela dalam perjalanan film ini. Selebihnya penonton akan disuguhkan terhadap aksi brutal dan gore yang memang menjadi keahlian Rambo dalam menghabisi musuh-musuhnya. 30 menit terakhir dalam film menjadi momen gemilang dalam film ini yang bakal memuaskan penonton karena betul-betul menonjolkan gaya khas Rambo, yang kali ini mengubah ladang peternakan dan gua labirin di awal film menjadi jebakan mematikan. Dari segi pace, film ini terasa kurang bertenaga di bagian akhirnya walau didominasi kekerasan karena level konfliknya dipusatkan di bagian tengah film (hal ini terkait erat dengan nasib Gabriela) sehingga bagian final film ini betul-betul berfungsi sebagai penyelesaian saja. Dalam wawancara, Stallone sendiri bercerita bahwa untuk level gore dalam film ini dia tidak mau setengah-setengah karena ia ingin menunjukkan apa akibat yang terjadi ketika peluru kaliber besar ditembakkan ke kepala, bagaimana jebakan mematikan dapat membunuh seketika. Untuk pertama kalinya dalam film Rambo, kita akan melihat gambaran Rambo yang menjalani kehidupan tenang sebagai koboi yang merasakan kedamaian walau hanya sejenak saja di awal film. Juga untuk end credit film ini tidak boleh dilewatkan karena menyajikan flashback adegan-adegan dari film Rambo pertama.
Walau cast film ini didominasi aktor/aktris Amerika Latin, bahkan dialognya pun sebagian besar juga memakai dialog bahasa Spanyol namun kualitas akting mereka tidak diragukan. Stallone di usianya yang menginjak 73 tahun tetap tampil prima dan mengintimidasi lawan-lawannya. Stallone tetap lincah dan gesit dalam beraksi melawan penjahat dan menggunakan senjata-senjata andalannya baik pisau komando, busur, maupun senjata api. Yvette Monreal yang sekilas seperti perpaduan Penelope Cruz dan Ariana Grande cukup mencuri perhatian dan mampu menciptakan chemistry yang baik dalam hubungan sebagai ayah-anak dengan Stallone lewat kepolosannya. Sayangnya karakter penyebab munculnya konflik dalam film ini, sang ayah Miguel yang diperankan Marco de la O, kurang dieksplorasi dan sekedar lewat saja. Padahal jika background karakternya lebih dijelaskan akan lebih menarik. Paz Vega lewat karakter Carmen sang jurnalis juga terbilang dangkal padahal karakternya menarik jika dapat diberi cerita lebih mendalam. Aktris senior Adriana Barazza cukup berkesan dalam film ini sebagai pengasuh Gabriella sekaligus sebagai sosok orang kepercayaan yang dekat dengan Rambo. Untuk karakter antagonis, Martinez bersaudara (Hugo dan Victor) yang diperankan Sergio Peris-Mencheta dan Óscar Jaenada cukup meyakinkan sebagai bos kartel yang keji walau sesekali mereka nampak kartunis. Walau gembong kartel ini memiliki banyak penjahat namun tidak ada yang menonjol selain Martinez bersaudara. Eksplorasi karakter Martinez bersaudara juga cukup minim dalam film ini, sesuatu yang juga cukup disayangkan.
Melalui Rambo: Last Blood, Grunberg sebetulnya mencoba mengangkat isu perdagangan manusia dan potret kartel di Meksiko secara spesifik yang masih merajalela hingga saat ini. Jika di film digambarkan bahwa para kartel seakan tidak tersentuh hukum dan terkenal keji, memang demikian adanya. Banyak kasus penculikan wanita yang dijadikan objek perdagangan manusia tidak tuntas dan lenyap begitu saja tanpa ada penyelesaian yang memuaskan. Yang dilakukan Rambo dalam membasmi kelompok kartel merupakan bentuk protes terhadap sistem hukum yang seakan tidak dapat ‘menyentuh’ dan membereskan sepak terjang para kartel karena memang pada kenyataannya 42 dari 50 kota dengan tingkat kejahatan tertinggi semuanya berada di negara Amerika Latin. Dalam film kali ini yang lebih sentimentil, penonton juga diberi gambaran bagaimana jika hal buruk tersebut menimpa orang yang kita sayangi. Secara kultural boleh dibilang film ini cukup mendiskreditkan penduduk Amerika Latin karena dalam film negara yang berbatasan dengan US ini digambarkan macam “wasteland” dengan tingkat kriminal tinggi dan tidak ada satu pun hal baik padahal tidak demikian karena masih ada kota-kota di Amerika Latin yang aman dan ramai dikunjungi wisatawan. Semua karakter penduduk Meksiko cenderung digambarkan dengan stereotipe negatif sebagai kriminal yang berbahaya. Penggambaran ini perlu disikapi dengan bijak oleh penonton dan tidak diterima bulat-bulat sebagai fakta. Apa yang terjadi dalam film Rambo sepatutnya memberi penonton kewaspadaan sekaligus menimbulkan kesadaran pada semua elemen hukum untuk mengambil langkah efektif dalam menghentikan teror tidak berkesudahan tersebut.
Overall: 7/10
(By Camy Surjadi)