Friday, October 18, 2019

ULASAN: MALEFICENT 'MISTRESS OF EVIL'




Tidak mudah mendaur ulang kisah dongeng klasik menjadi suatu kisah baru yang menarik dengan persepektif yang berbeda namun Disney berhasil melakukannya melalui Maleficent. Disney berani mengambil risiko dengan menampilkan karakter penyihir jahat Maleficent menjadi tokoh utama dalam dongeng Putri Tidur Aurora dan mengambil perspektif cerita dari mata Maleficent sehingga menampilkan kisah yang benar-benar baru dan menarik hati para penggemarnya. Setelah sukses dengan film pertamanya yang meraup 758,5 juta USD di seluruh dunia wajar saja jika film ini sangat dinantikan sekuelnya. Maleficent (2014) merupakan film yang melambungkan nama Angelina Jolie kembali termasuk menjadikan film terlaris yang dibintanginya secara global hingga kini. Berselang 5 tahun dari film pendahulunya, sekuelnya diberi judul Maleficent: Mistress of Evil. Sebetulnya film ini direncanakan rilis pada musim panas 2020 namun Disney membuat kejutan pada Maret tahun ini dengan pengumuman bahwa filmnya akan rilis pada Oktober tahun ini. Untuk sekuelnya, Linda Woolverton kembali menulis screenplaynya bersama Micah Fitzerman-Blue dan Noah Harpster sedangkan untuk kursi Sutradara kali ini dipegang oleh Joachim Rønning (Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales). Di jajaran cast semua pemain dari film pertamanya seperti Angelina Jolie, Elle Fanning, Sam Riley, Imelda Staunton, Juno Temple, dan Lesley Manville kembali tampil dan ditambah dengan para cast baru di antaranya Harris Dickinson yang menggantikan Brenton Thwaites (Prince Philip), Chiwetel Ejiofor, Ed Skrein, dan Michelle Pfeiffer. Maleficent: Mistress of Evil dirilis di bioskop Indonesia pada 16 Oktober 2019 dan akan dirilis di bioskop AS pada 18 Oktober 2019.



Pada kisah kali ini diceritakan bahwa kehidupan Maleficent (Angelina Jolie) dan Aurora (Elle Fanning) di Moors berlangsung damai dan tentram hingga suatu hari Pangeran Philip (Harris Dickinson) memberi kejutan dengan melamar Aurora untuk menjadi istrinya. Walau awalnya ragu namun akhirnya Maleficent menerimanya setelah diyakinkan oleh Aurora bahwa pernikahan mereka akan menjadi awal penyatuan Kerajaan Manusia (Ulstead) dan Kerajaan Peri (Moors). Mereka berdua pun diundang untuk jamuan makan malam di Kerajaan Ulstead untuk bertemu keluarga Pangeran Philip. Namun tanpa disadari Philip, sang ibu Ratu Ingrith (Michelle Pfeiffer) memiliki rencana memulai peperangan antara bangsa manusia dan bangsa peri melalui perkawinan Philip dan Aurora. Dalam insiden jamuan makan malam, Maleficent dituduh sebagai penyebab Raja John (Robert Lindsay) jatuh sakit. Lambat laun dan akibat skema jahat dari Ratu Ingrith, Maleficent dan Aurora menemukan bahwa diri mereka berada dalam pihak yang saling berseteru. Aurora dihadapkan pada pilihan haruskah ia tetap percaya pada Maleficent atau berpihak pada keluarga Philip. Akankah Aurora dapat memulihkan hubungannya dengan Maleficent seperti sebelumnya dan bagaimana Aurora menghadapi Ratu Ingrith agar dapat tetap bersatu dengan pria yang dicintainya, Pangeran Philip. Dalam kisah kali ini hubungan Aurora dan Maleficent kembali diuji dan dalam perjalanan kisah ini Aurora akan menemukan sejumlah fakta dan kejadian yang tak terduga.



Sekuel ini sebetulnya terwujud akibat performa film pertamanya yang begitu impresif dan didukung akting Jolie yang sangat kharismatik sebagai antihero Maleficent. Tugas film sekuelnya cukup berat karena bisa dikatakan cerita di film pertamanya dapat dianggap selesai, tim penulis harus menciptakan cerita baru yang menarik dan bukan cerita yang sengaja dibuat-buat tanpa memiliki makna seperti kebanyakan sekuel yang gagal. Namun setelah menyaksikan film ini, saya dan penonton dijamin akan merasa puas karena materi cerita yang dibawakan dalam sekuelnya cukup meningkat drastis dan lebih bagus dibandingkan film pertama yang lebih bersifat pengenalan saja. Dalam sekuelnya, Disney berani mengangkat konflik yang lebih dewasa dan tidak hanya berfokus pada satu konflik saja sehingga menjadikan cerita ini menarik untuk disimak hingga akhir film. Konflik yang kompleks antara keluarga, cinta, dan politik kerajaan menjadi fokus utama pada sekuel Maleficent kali ini. Walau cukup banyak hal yang ingin diangkat dan terlihat konflik geopolitik antara kerajaan Moors dan Ulstead cukup dominan dalam film ini namun untungnya tidak menutup inti cerita proses pemulihan kembali hubungan Aurora dan Maleficent. Jika dalam film pertamanya film didominasi oleh kehadiran Jolie sebagai Maleficent maka kemunculan tokoh Ratu Ingrith (Michelle Pfeiffer) sebagai sang ratu jahat yang ingin melenyapkan bangsa peri membuat dinamika film semakin menarik.



Babak pertama film diisi dengan komedi yang menarik ala film Meet The Parents di mana kita bisa melihat dua bintang kawakan, Jolie dan Pfeiffer beradu akting dengan sangat apik antara Ibu angkat dan calon mertua lalu dilanjutkan babak kedua menunjukkan dimulainya konflik lewat peperangan awal antara Maleficent dengan Ratu Ingrith sekaligus menunjukkan motif sebenarnya dari Ratu Ingrith namun karena pada bagian ini scenenya hampir gelap total maka agak sulit untuk menangkap keseruan dan ketegangan aksi yang ditampilkan. Pada babak final film ini barulah suguhan utama cerita ditampilkan secara total, kita akan melihat perang besar antara Maleficent dan Ratu Ingrith yang cukup bombastis untuk skala film Disney yang bernuansa negeri dongeng ini. Jika boleh dibandingkan hal ini cukup serupa antara Cersei “The Mad Queen” dengan Daenerys “Mother of Dragon” dalam seri Game of Thrones namun dengan level yang lebih ‘toned down’ karena rating film ini untuk semua umur. Sayangnya motif Ingrith begitu dendam terhadap para peri kurang begitu dieksplor secara mendetil dan hanya lewat narasi saja, penggunaan flashback ketika Ingrith masih kecil mungkin dapat membantu memperkaya cerita film ini. Faktor menarik lain yang diangkat dalam film adalah pengenalan pada bangsa peri serupa Maleficent yang dikenal dengan nama Dark Fey dan eksplorasi terhadap karakter Maleficent yang menjadikan cerita sekuel film ini makin kaya dan menarik. Terlebih dengan kejutan yang diselipkan pada akhir film yang akan membuat anda makin mnegagumi karakter Maleficent yang wajib anda saksikan sendiri.




Angelina Jolie adalah salah satu faktor yang menyebabkan film Maleficent sukses karena dia merupakan aktris yang karismatik yang mampu membuat semua penonton berfokus padanya setiap kali ia tampil, serupa seperti Gal Gadot tampil sebagai Wonder Woman yang akan membuat kita terpana. Setiap kali Jolie muncul sebagai Maleficent dengan kulit putih pucat, tulang pipi yang tajam, yang mungkin sanggup memotong berlian, sorot mata hijau menyala, tanduk siganture, dan sayap hitam yang besar sulit untuk tidak terkesima. Maleficent 2 merupakan momen comeback Jolie di mana kita tahu kehidupan personalnya tidak begitu baik semenjak perceraiannya dengan Brad Pitt pada tahun 2016 dan semua tabloid cenderung memberitakan hal negatif terkait dirinya. Meihat penampilan Jolie yang tetap dominan dan kuat tentu akan membuat hati penggemarnya senang. Jolie termasuk aktris yang mampu mengubah naskah cerita yang biasa menjadi menarik (tengok saja film Salt dan Wanted). Pfeiffer juga tampil mengesankan sebagai ratu Ingrith yang manipulatif, baik di luar namun ternyata jahat dan intimidatif. Penampilannya sebagai ratu biasa membuat penonton tidak akan menyangka kalau dia punya rencana jahat yang keji terhadap para peri. Elle Fanning sebagai Aurora juga berperan sebagai penyeimbang karakter Maleficent yang penuh kebaikan namun lugu dan polos, perannya sebagai putri Aurora sangat cocok. Para pemeran pria dalam film ini bukanlah fokus utama karena film ini lebih memfokuskan pemeran wanitanya, sesuatu yang jarang dilakukan di Hollywood. Namun demikian, Harris Dickinson, Chiwetel Ejiofor (Conall), dan Ed Skrein (Borra) tetap mampu memberikan warna tersendiri dalam film ini. Karakter Chiwetel dan Ed Skrein tidak banyak dieksplorasi mungkin karena keterbatasan waktu, sesuatu yang cukup disayangkan.



Faktor “Wow” dalam film ini adalah penggunaan kostum-kostum yang digunakan terlihat lebih impresif dibandingkan dalam film pertama terutama oleh Jolie sebagai Maleficent dalam berbagai scene sangat mengagumkan dan ikonik, menonjolkan keanggunan sekaligus sisi misterius Maleficent. Begitupun kostum yang digunakan Pfeiffer sebagai ratu begitu elegan dan mewah mulai dari acara jamuan makan malam, pakaian sehari-hari sampai pada kostum perangnya, termasuk seluruh kostum yang dikenakan para anggota kerajaan mulai dari para prajurit sampai ke King John dan Prince Philip sungguh luar biasa pengerjaan dan detilnya. Joachim Rønning bersama timnya berhasil menciptakan negeri dongeng khususnya Kerajaan Moors yang penuh mahkluk dongeng seperti pohon yang hidup, para peri, jamur hidup dan berbagai keajaiban seperti di film pertamanya. Kali ini ditambah dengan pengenalan negeri Dark Elves yang sangat kaya warna dan latar belakang yang dihubungkan dengan karakter Maleficent. Bersama Geoff Zanelli yang pernah bekerja sama dengan Rønning dalam Pirates of Carribean, score musik yang dibawakan mampu menggiring kita untuk menyimak momen-momen penting dalam film terutama adegan perang kolosal yang menjadi puncak film ini. Penggunaan warna-warna cerah dan berani mewarnai sebagian besar setting tempat dan karakter film ini. Adegan paling menarik dan mencuri perhatian adalah adegan peperangan antara para peri yang dipimpin Maleficent dan para manusia yang dipimpin ratu Ingrith. Rønning mampu menggiring kita menjadi terkoneksi dalam konflik yang dimunculkan sejak awal cerita karena ceritanya yang solid dan ini ditampilkan lewat dampak yang terjadi pada bangsa peri dari penggunaan senjata rahasia yang dirancang oleh Ratu Ingrith bersama ilmuwan mirip goblin, Lickspittle (Warwick Davis).



Dalam film sekuelnya ini banyak poin – poin penting yang ingin disampaikan dan film ini berhasil karena pesannya begitu dekat dengan penonton seperti dalam film pertamanya. Ada Isu klasik mertua dan menantu serta ibu angkat yang jamak ditemui dalam kehidupan membina keluarga. Konflik politis kerajaan yang mungkin bisa dipandang sebagai pernikahan yang terkadang memiliki motif politis untuk penyatuan koalisi politik atau bisnis perusahaan. Selain itu film ini juga membawakan pesan untuk tidak menilai seseorang hanya dari penampilannya saja karena karakter yang ada dalam diri seseorang itulah yang lebih penting ketimbang penampilan luar. Lewat semua faktor yang digunakan secara tepat dan efektif sekaligus tetap ramah untuk ditonton semua usia, Maleficent: Mistress of Evil membuktikan bahwa film ini sukses melewati ujian menjadi film yang hanya sekedar lewat dan terlupakan.


Overall: 8,5/10

(By Camy Surjadi)

Subscribe to this Blog via Email :