Thursday, November 4, 2021

ULASAN: LAST NIGHT IN SOHO



Salah satu film yang paing ditunggu-tunggu tahun ini Last Night in Soho akhirnya tayang juga. Nama Edgar Wright sang sutradara tentunya kenapa film ini sangat layak diantisipasi.  Sejak namanya melambung lewat "Cornetto Trilogy", semua film terbaru yang dia sutradarai akan otomatis masuk list film yang akan kita tonton. Semua itu karena dalam karya-karyanya Edgar Wright punya ciri khas dengan visi unik dalam bentuk visual dan plot cerita. Namun untuk Last Night in Soho Edgar Wright hadir dengan film terbaru yang cukup berbeda. Untuk pertama kalinya memasang wanita sebagai poros utama cerita dan genrenya pun juga sesuatu yang baru yaitu horor.

Last Night in Soho bercerita tentang Ellie Turner (Thomasin McKenzie), seorang mahasiswi perantauan di Kampus Mode London. Setelah tidak merasa cocok dengan teman satu kamar asramanya, Ellie memutuskan yang tinggal di sebuah kamar sewaan yang dimiliki oleh seorang wanita tua yang dipanggil Mrs. Collins (Diana Rigg) . Di kamar barunya itu Ellie mulai mengalami sesuatu yang tidak wajar. Di saat dia tertidur, dia bermimpi memasuki kota Soho tahun 1960-an dengan segala keglamorannya. Di sinilah, Ellie bertemu dengan gadis bernama Sandie (Anya Taylor Joy) yang bercita-cita menjadi penyanyi. Pengamatan Ellie pada Sandie pada saat dia tidur yang awalnya banyak memberi Ellie inspirasi untuk desain pakaian yang dia kerjakan perlahan berubah menjadi tekanan ketika Ellie makin terseret dalam dunia Sandie. Ambisi Sandie malah membawanya masuk ke dalam gelapnya dunia malam Soho dan melihat Sandie menjadi korban pembunuhan. Sesuatu yang terus meganggu Ellie. Dengan bermodal penglihatan yang dia lihat dalam mimpinya, Ellie berusaha untuk mencoba menangkap sang pembunuh berbeda generasi itu. Bisakah Ellie menangkap pembunuh tersebut? Jawaban yang bisa didapatkan dalam filmnya.

Edgar Wright sepertinya ingin mengeksplorasi lebih jauh lagi kemampuannya dalam menyutradarai sebuah film. Menyentuh hal-hal yang belum pernah ada di film-film dia sebelumnya. Tidak hanya dari sisi plot cerita, namun juga visualnya. Untuk Last Night in Soho visual adalah yang terlihat paling kontras atau menonjol. Terutama penggambaran tahun 60an di Soho yang penuh warna. Bisa dibilang untuk hal ini Edgar Wright berhasil memberikan sesuatu yang segar dalam karyanya.

Sementara untuk cerita, film ini cukup berhasil membangun secara pelan-pelan plot cerita yang menarik perhatian penuih penonton lewat karakter Ellie. Dari drama lalu berubah menjadi horor yang lagi-lagi ini benar-benar rasa yang baru dari Edgarr Wright. Ya walaupun untuk twist yang diselipkan, penonton sangat merasa mudah menebaknya, namun hal itu tidak mengurangi kepuasan kita menikmati filmnya. Mungkin untuk kamu yang menunggu adegan montase yang menjadi ciri khas sang sutradara, untuk kali ini kamu tidak akan menemukannya. Kemungkinan tidak adanya adegan montase itu karena memang terasa kurang pas untuk film sejenis Last Night in Soho. Jikapun ada persamaan Last Night in Soho sengan film-film Edgar Wright sebelumnya adalah media lagu yang ada dalam film. Seperti Baby Driver, komposisi lagu-lagu yang ada dalam film lebih dari sekadar soundtrack, namun juga sudah menjadi bagian elemen plot cerita.

Secara keseluruhan Last Night in Soho adalah sebuah eksplorasi dan improvisasi bagi Edgar Wright dalam berkarya. Dan hal itu cukup berhasil. Last Night in Soho juga disajikan sebagai tribut dan penghormatan untuk sang maestro horor Alfred Hitchcock. Dalam film ini kamu akan banyak menemukan adegan-adegan yang menjadi ciri khas sang sutradara tersebut.


Rating 8,5/10

Subscribe to this Blog via Email :