Friday, September 30, 2022

ULASAN: SMILE





Mental Health merupakan hal penting yang dicari banyak orang di jaman serba canggih ini akibat arus informasi dan interaksi social media yang terlalu berlebihan dibandingkan dekade sebelumnya. Apa jadinya jika suatu film mengangkat hal terpenting dalam interaksi sosial manusia menjadi tema horor? Smile merupakan film bergenre supernatural psychological thriller yang mengambil setting dunia psikiatri medis (atau lebih kita kenal dengan Kesehatan Jiwa kalau di Indo) yang siap membuat anda ‘terguncang’ secara psikologis. Smile disutradarai oleh Parker Finn sebagai debut film layar lebar pertamanya berdasarkan film pendeknya tahun 2020 “Laura Hasn't Slept”. Film ini dibintangi oleh Sosie Bacon, Jessie T. Usher, Kyle Gallner, Caitlin Stasey, Kal Penn, dan Rob Morgan. Smile ditayangkan secara premier di acara Fantastic Fest (US) pada 22 September 2022.



Diceritakan bahwa setelah menyaksikan kejadian traumatis yang aneh yang melibatkan kematian seorang pasien yang tersenyum, Dr. Rose Cotter (Sosie Bacon) mulai mengalami kejadian menakutkan yang tidak bisa dia jelaskan. Saat teror yang luar biasa perlahan mulai mengambil alih hidupnya dan Kesehatan mentalnya, Rose kembali harus menghadapi masa lalunya yang kelam sambil berusaha memecahkan misteri teror yang mengerikan yang mengancam nyawanya. Akankah Rose mampu bertahan hidup dari situasi baru yang mengerikan? Jawabannya harus anda saksikan sendiri dengan menonton film ini yang menurut saya serasa membuat anda mengalami sensasi panic attack dari awal hingga akhir. Tidak disarankan menonton film ini jika anda sedang mengalami stress atau ada masalah yang sedang dialami.



Durasi 115 menit film ini benar-benar dimanfaatkan dengan sangat baik, inti film soal trauma dan mental health menjadi jiwa dan nyawa film ini dari awal hngga akhir. Pada bagian awal kita diperkenalkan dengan dr. Rose Cotter dan lingkungan RS tempat ia bekerja, keluarganya, dan secara perlahan kita dibukakan mengenai kehidupan pribadinya yang ternyata memiliki masa lalu kelam. Tidak butuh waktu lama untuk membuat kita simpatik dengan karakternya. Lalu setelah itu penonton mulai dibawa kepada adegan pembuka horor traumatis yang bisa dibilang efeknya sangat disturbing dan membekas tapi efektif memancing rasa penasaran penonton atas apa sebenernya yang terjadi. Sesudah itu di bagian kedua kita akan dibawa dalam proses kegilaan yang dialami Rose akibat kejadian di awal. Perlahan-lahan misteri film ini mulai dibukakan seiring penyelidikan yang  dilakukan Rose dan jika anda pernah menyaksikan film The Ring (The Grudge untuk versi AS), The Shining maka tema yang melingkupi adalah seputar kutukan yang menyebar dari satu orang ke orang yang lain. Perjuangan Rose mencari penyebab dan cara mengatasi kutukan dieksplorasi di bagian kedua ini dan kehadiran Joel memberikan dinamika menarik sehingga penonton tidak bosan. Penggunaan jumpscare benar-benar digunakan pada momen yang tepat dan walau beberapa kali dilakukan tapi ini tidak masalah karena penting untuk jalan cerita. Sampai di bagian konklusinya penonton baru akan mendapat jawaban bagaimana nasib Rose dan Joel dalam perjuangannya melawan terror yang mengejar mereka.




Sosie memiliki performance yang kuat sebagai dr. Rose karakter utama film ini. Dia mampu membuat penonton bersimpati lewat penjiwaan karakter yang diperankannya sebagai dokter psikiatri yang terguncang mentalnya dan memiliki pengalaman masa lalu yang traumatis. Para cast yang terlibat bisa dikatakan semuanya menampilkan dinamika yang baik, Kyle Gallner yang memerankan mantan pacar Sosie yang juga polisi tampil meyakinkan. Jessie T Usher dalam perannya sebagai Trevor tunangan Sosie yang agak kurang menurut saya karena chemistry yang ditampilkan tidak begitu mengena serta tidak terlalu dieksplor banyak. Di luar itu supporting cast lain sudah menampilkan performa sesuai porsinya. Sinematografi film ini yang menampilkan kesan ‘dreamy’ dan distorsi terbalik atas dan bawah (banyak adegan yang menampilkan camera movement yang berputar 180 derajat) dan efek scoring tanpa music dan hanya berupa sound-sound yang mengganggu dan menimbulkan anxiety memperkuat vibe horror film ini. Semua adegan representasi horror di film ini menggunakan practical effects untuk menampilkan kesan real dan visceral. Tom Woodruff Jr didapuk untuk mengerjakan setiap adegan horror (Tom sudah dikenal lewat karyanya di It, Aliens, dan Terminator). Untuk scoring, Komposer peraih Emmy® Cristobal Tapia de Veer (“The White Lotus”) yang bertugas menciptakan sound di film ini sehingga terasa memiliki karakter unik untuk film Smile ini.



Smile akan memberikan pengalaman menonton yang membekas di benak penonton karena premisnya yang sederhana tapi dijadikan paradoks bagaimana ekspresi senyuman bisa menjadi hal yang begitu menghantui, traumatis, dan ‘disturbing’ sepanjang film. Plot cerita yang dibangun solid serta scoring music semuanya benar-benar mendukung kesatuan film ini menjadi utuh. Menonton film ini seakan mampu membuat kita berempati bagaimana rasanya memiliki pengalaman traumatis yang menghantui dan seakan membuat kita terjebak antara kenyataan dan halusinasi. Finn berhasil menyuguhkan horor psikologis yang bukan sekedar mengandalkan jumpscare, semua elemen baik dari cast, surrounding, visual dimanfaatkan dengan maksimal sehingga memberikan suguhan horror yang cukup fresh dan memiliki ciri khusus. Berkaca dari Smile, karya Finn berikutnya patut untuk ditunggu.


Overall: 8/10


(By Camy Surjadi)










Subscribe to this Blog via Email :