Wednesday, November 22, 2023

REVIEW: IMMERSION



Takashi Shimizu adalah salah satu sutradara Jepang paling sukses, terkenal karena film horornya. Dia terkenal karena film horor "Ju-On" yang adalah hit blockbuster pada tahun 2002 dan menjadi nomor satu di AS dan dilanjutkan dengan beberapa sekuel. Bahkan dibuat ulang di Hollywood pada tahun 2004 dan dibintangi oleh Sarah Michelle Gellar. Film terakhirnya, “Suicide Forest Village”, ditayangkan pada tahun 2021. Kini ia hadir dengan film seram baru, “Immersion” yang menggabungkan antara teknologi dan folklore horor. Perpaduan teknologi dan horor bukan barang baru di kalangan sineas horor Jepang, Ring dan One Last Call merupakan contoh di mana teknologi video dan telepon seluler dipakai sebagai media menyebarkan teror oleh entitas supernatural. Di Film Immersion, Takeshi juga menggunakan teknologi VR sebagai medium horor yang akan menguji keberanian para penonton.


Di pulau kecil di selatan, terdapat laboratorium yang dijalankan oleh perusahaan startup teknologi untuk sebuah proyek bernama Shin-Sekai (yaitu Dunia Baru), tempat Tomohiko Kataoka, seorang programmer jenius ikut bergabung. Tomohiko bekerja pada pengembangan penelitian yang mengkolaborasikan kemajuan teknologi realitas virtual dan neurosience serta dengan tujuan dunia realitas neo-virtual yang mewujudkan kehidupan yang serupa dengan dunia nyata. Tomohiko mulai mengejar penelitian yang telah dikerjakan oleh programmer lain, Ide (Ayumi Ito), bersama anggota proyeknya yang lain. Di sana mereka telah menciptakan ruang virtual untuk seluruh pulau, dan mereka ingin Tomohiko menggunakan teknik canggihnya untuk menyempurnakan proyek tersebut. Namun, saat Tomohiko memakai kacamata VR dan memasuki dunia virtual, teror mengerikan dari Wanita misterius berbaju merah pun dimulai dan mengancam keselamatan seluruh tim VR.


Menyaksikan film ini membuat saya berpikir mengenai keanehan soal Perusahaan teknologi VR yang beroperasi di pulau terpencil, dari mana mereka bisa mendapatkan akses internet dengan kecepatan super tinggi dan daya listrik yang besar. Ini terlihat seperti sebuah anomali dalam film ini yang menimbulkan tanda tanya besar. Rahasia mengerikan yang disimpan pulau tersebut dijelaskan di paruh kedua film melalui dua untaian cerita. Pertama tentang mantan budak perempuan, Imajo, yang dikisahkan lewat flashback disiksa hingga mati oleh penduduk pulau, Imajo-lah yang mengutuk pulau itu. Kisah lainnya menyangkut seorang lelaki tua, Shigei. Dikisahkan karena masa lalu orang tuanya yang kelam, Orang-orang di pulau itu mengucilkan Shigei dan dia tumbuh menjadi seorang penyendiri, jauh dari orang-orang yang mengolok-oloknya. Kedua kisah ini kurang terjalin rapi sehingga masih membuat kita bingung apa hubungannya dengan kegiatan yang dilakukan oleh Tomohiko dan timnya. Imajo yang tampil sebagai glitch dan special effect di film ini masih terasa kasar di banyak adegan. Kekurangan lainnya adalah kurangnya pendalaman karakter baik karakter utama Tomohiko maupun rekan-rekannya sehingga mereka hanya sekedar lewat saja. Horornya cukup serius namun penggarapannya harusnya bisa lebih baik dari ini.


Immersion di atas kertas sebetulnya dapat menjadi kisah menarik yang memadukan ketegangan mengasyikkan antara teknologi modern dan bagaimana benturannya dengan cerita hantu kuno di suatu desa terpencil. Banyak plot hole dan background yang tidak self-explanatory membuat jalur ceritanya agak sulit untuk diikuti. Menurut saya Shimizu seharusnya tetap berfokus pada horor tradisional dan tidak bereksperimen dengan hal lain yang di luar spesialisasinya.








Subscribe to this Blog via Email :