Friday, May 30, 2014

ULASAN : EDGE OF TOMORROW





Perjuangan Tom Cruise belum berakhir di " War of The Worlds ". Setelah mengantarkan Justin Chatwin dan Dakota Fanning pada Ibu mereka, Tom Cruise memutuskan bergabung dengan militer dan menjadi tentara pengecut di " Edge Of Tomorrow ", lalu invasi alien ini diakhiri oleh Tom Cruise juga lewat film " Oblivion " yang sudah release terlebih dahulu setahun yang lalu...... TEEEEETTT. Maaf, maaf..., Edge Of Tomorrow sama sekali tidak ada hubungannya dengan 2 film Tom Cruise sebelumnya yang sebutkan diatas, saya hanya tidak tahan untuk menghubung-hubungkannya dengan 2 film tersebut. Kita kembali ke topik utama tulisan ini, kita membahas Edge Of Tomorrow.




Umur Tom Cruise boleh saja sudah menginjak setengah abad, tapi stamina dan tenaganya masih sanggup untuk membintangi film-film action yang menguras tenaga. Tahun 2013 lalu saja 2 film action yang dia bintangi ( Oblivion dan Jack Reacher ), dan termasuk Edge Of Tomorrow ini, film bergenre Sci-fi  berbalut action yang juga dibintangi oleh Emily Blunt ( Looper, Salmon Fishing in the Yemen ) dan di sutradarai Doug Liman, sutaradara yang sudah kita kenal lewat Bourne Identity dan Mr & Mrs. Smith.



Di masa depan yang tidak jauh dari sekarang, bumi di invasi oleh ras alien parasit yang bisa mengancam kelangsungan hidup manusia di bumi. Disaat yang bersamaan William salah perwira militer Amerika yang belum pernah terlibat dalam pertempuran sebelumnya, diberi tugas untuk berada digaris depan dalam sebuah pertempuran misi bunuh diri. Tewas dalam beberapa menit pertama di medan pertempuran, Cage menemukan dirinya terbangun satu hari sebelum misi bunuh diri tersebut dan mengulangi kejadian yang sama yang hanya diketahui oleh Cage sendiri dan hanya Rita Vrataski (Emily Blunt) yang mempercayai kejadian yang dialami oleh Cage. Bersama mereka mengulang kembali kejadian yang sama " Hidup, Mati, Ulangi Lagi " sambil mencari cara untuk bisa mengalahkan alien.



Premis cerita yang sangat menarik, tapi premis cerita seperti ini sudah sangat banyak dipakai oleh film-film lain sebelumnya ( Triangle, Source Code, Moon dan Groundhog Day ). Dan untunglah proyek film ini ditangani oleh Doug Liman, film yang diadaptasi dari novel All Is You Need Kill karya Hiroshi Sakurazaka ini mempadukan Groundhog Day bertemu  Aliens, hal yang tentunya belum pernah kita saksikan sebelumnya. Dan Doug Liman sendiri sudah bagaimana membuat film popcorn movie yang menarik dan sangat tepat memasang Tom Cruise sebagai pemeran utama dipasangkan dengan Emily Blunt yang akan lebih banyak lagi menjaring penonton ke bioskop.




Tom Cruise sepertinya sangat tahu film yang tepat buat dia, terlebih Edge Of Tomorrow yang sepanjang film mendapat porsi sepenuhnya isi film dan berbagi dengan Emily Blunt yang untuk pertama kalinya memerankan karakter wanita yang kuat ( Karakter Black Widow mungkin akan terlihat lebih bad ass lagi jika seandainya peran itu diambil oleh Emily Blunt ). Seperti halnya Source Code dan Triangle akan ada ada adegan berulang-ulang, begitu pula dengan Edge Of Tomorrow yang beresiko penonton akan merasa bosan, tetapi hal itu tidak akan terjadi karena Doug Liman menyisipkan komedi dalam film ini yang berhasil memancing tawa.



Pada akhirnya Doug Liman sepertinya belajar banyak pada kegagalannya di popcorn movie sebelumnya ( Jumper ) bagaimana bisa menyajikan sebuah film yang sangat menarik untuk penonton maupun kritikus. Dengan ide cerita yang tidak baru Doug Liman masih bisa memberikan sesuatu yang baru pada Edge Of Tomorrow

Friday, May 23, 2014

ULASAN : X-MEN DAYS OF THE FUTURE PAST




" Bryan Singer is back ", setelah 2 film terakhir Bryan Singer ( Superman Returns dan Jack Te Giant Slayer ) kurang mendapat respon positif dari kritikus maupun penonton, Bryan membayar lunas dosa besarnya telah meninggalkan proyek X-men : The Last Stand demi Superman Retuns melalui film kelima franchise ini. Kekhawatiran para fanboy bahwa pondasi yang sudah sangat kuat dibangun oleh sutradara Matthew Vaugn pada Fisrt Class akan goyah dengan berpindahnya kursi sutradara pada Bryan Singer sama sekali tidak terbukti. Melalui X-men : Days Of Future Past, kita semua merasa sepakat jika Bryan Singer tercipta untuk X-men.




Konflik Days Of Future Past sendiri diadaptasi dari seri komik X-men berjudul sama tahun 1981 ketika di masa depan sebuah perang besar terjadi. Perang terhadap robot canggih pemburu mutantyang disebut Sentinel itu menelan korban bukan hanya dari pihak mutant, namun juga dari pihak manusia biasa. Pada awalnya Sentinel hanya memburu kaum mutant. Namun semuanya makin memburuk ketika Sentinel juga membunuh manusia biasa yang berkemungkinan memiliki keturunan mutant. Para mutant makin terdesak dalam melawan para Sentinel karena kemampuan robot tersebut untuk beradaptasi dalam melawan kekuatan masing- masing mutant. Untuk mencegah perang ini, mutant- mutant yang tersisa memutuskan untuk mengirim  Wolverine (Hugh Jackman) ke jiwanya di masa lalu dengan kemampuan yang dimiliki oleh Kitty Pryde/ Shadowcat (Ellen Page) untuk menghentikan Raven Darkholme/ Mystique (Jennifer Lawrence) membunuh Bolivar Trask (Peter Dinklage).



Bolivar Trask adalah pencetus ide pembuatan Sentinel. Dengan membunuh Trask, Mystique akan ditangkap dan akan dijadikan kelinci percobaan. Dari darah Mystique, penerus Trask akan mengambil DNA dan mempelajari kemampuannya dalam berubah wujud. Hal ini yang kemudian akan dipakai untuk menciptakan kemampuan Sentinel dalam beradaptasi. Di tahun 1970-an, Logan harus meminta bantuan kepada Charles Xavier/ Professor X muda (James McAvoy) dan Erik Lehnsherr/ Magneto muda (Michael Fassbender) untuk mencari dan mencegah pembunuhan itu terjadi.



Pemberitahuan untuk penggila film semua, pastikan anda udah menonton semua seri X-men sebelum menonton DoFP, karena sejak adegan pertama penonton akan langsung dibawa pada konflik cerita seakan tidak diberi waktu untuk bisa mencerna siapa saja mutant-mutant yang muncul. Setelah 15 menit awal tidak diberi nafas, barulah secara perlahan-lahan penonton akan terbawa pada alur cerita yang naskahnya dikerjakan oleh  John Byrne, Simon Kinberg, Matthew Vaughn, Jane Goldman bagaimana sedang terdesaknya sisa-sisa mutant dimasa depan dan harus mereka segera melakukan sesuatu. 


Setelah 14 tahun usia franchise dan untuk sesaat kita sedikit merasa skeptis bagaimana terlalu ambisius dan percaya dirinya Bryan Singerproyek DoFP ini dengan Assembe Cast-nya, ternyata Bryan Singer masih bisa memberikan sesuatu yang baru pada penonton yang membuat kita mengeluarkan kata " Damn....,bisa-bisanya ". Dan semuanya makin disempurnakan dengan penampilan para cast utama DoFP. Makin padunya hubungan frienemies antara James McAvoy dan Michael Fassbender yang sudah dibangun sejak First Class dan hal yang sama yang juga ditunjukan Patrick Stewart dan Ian Mckellen.

Wednesday, May 21, 2014

NONBAR X-MEN DAYS OF THE FUTURE PAST





Hai penggila film semuanyaaaa...., apa kabar ? semoga baik-baik semua. Yuk kita kopdar dan nonbar lagi yuk weekend ini dengan teman-teman penggila film yang lain. Dan nonbar kita kali ini adalah seri terbaru dari X-Men. Hayoooo ikut gabung dan kita diskusi tentang filmnya setelah acara. Untuk detail acara, cara untuk ikutan dan dimana langsung aja cek dibawah ini :


Event : Nonbar X-Men Days Of The Future Past

Waktu Acara : Minggu, 25 May 2014 , mulai jam 14.00 - Selesai

Lokasi : XXI Epicentrum, Jakarta Selatan

HTM : 35RB

Pendaftaran nonbar hanya akan dibuka sampai hari Sabtu, 24 May 2014, pkl 12.00 Siang

Untuk pendaftaran silahkan hubungi Pin BB 325898D5 ( Zul Guci ) or Whassaap and SMS 08811435344


KEEP CALM AND PROUD TO BE PENGGILA FILM !!!


Info lebih lanjut silahkan follow @penggilafilm

Sunday, May 18, 2014

OCEHAN SI GILA FILM : THE AMERICANS TV SERIES



Maybe contain SOP ILER, so be ALLERT!


Apa yang dapat dipikirkan apabila mendengar judul sebuah tv series berjudul The Americans? Jujur saya akan menganggap bahwa serial ini akan berbau sangat AmeRika, AmeRiki atau apalah itu nama sebuah negara. Saya pun menjadi skeptis sekali mendengar judulnya yang norak banget itu. Lalu saya cek posternya. Posternya sendiri bergaya ala poster film "Sin City" sedikit norak (seperti judulnya) dengan dominasi merah, hitam dan abu-abu tidak lupa ada Keri Russel dan Matthew Rhys yang memegang pistol lalu disilangkan di dada, seperti sebuah tanda penghormatan kepada negara. Kemudian saya cek di IMDB dan ternyata serial ini mengenai spy agen KGB yang menyamar sebagai rakyat AmeRika di negara AmeRika. Menarik, terlebih setting waktu pada masa perang dingin antara Uni Soviet dengan AmeRika. OK, saya memutuskan untuk menontonnya kalau sudah tayang.



Kemudian saya 'terglamour' dengan serial lain, saat serial ini release perdana di FX, saya saat itu sedang asik nonton Game of Thrones season 3, Mad Men season 6 (yang juga tayang di FX), Downton Abbey (di BBC AmeRika) juga Dexter season 7 (tayang juga di FX), Hannibal bahkan sampai sempat nonton Once Upon A Time (direkomendasikan oleh teman saya karena saya suka dengan dongeng Disney, tetapi ternyata serial ini benar-benar hueeeeeeeek banget buat saya). Saya pun melupakan The Americans.
Untungnya tahun lalu (sekitar bulan November), ada kakak sepupu saya, perempuan, yang demen banget dengan Korama (K-Drama) tiba-tiba nanyain, "udah pernah nonton The Americans belum?" Saya pun teringat lagi, dan saya juga ingat kalau mbak saya itu juga suka film atau serial yang berhubungan dengan 'spy' atau mata-mata, berkat saya cekoki ALIAS. Saya mengatakan belum, lalu diapun bercerita banyak dengan sedikit spoiler mengenai The Americans dan betapa dia jatuh cinta banget dengan Philip Jennings (Matthew Rhys). Untung saya agak sedikit toleran mengenai spoiler, dan justru karena spoiler itu yang membuat saya makin bertekad untuk menonton serial ini. Dan ternyata hasilnya........ KEREEEEEEEEEEEEEEEEEEEENNNNNNNNNNN!



Setelah ALIAS yang saya anggap serial tv mengenai mata-mata terbaik tamat di season 5, saya merasa kosong akan serial bagus mengenai 'spy intelligence'. Sampai sekarang saya merasa kalau serial tv hollywood sudah terkontaminasi dengan serial 'fantasy' yang berlebihan seakan para produser tidak mau pusing mikirin kehidupan realita, lalu mereka berpikir mari kita buat serial fantasy sehingga mempermudah menjelaskan segala macam aksi dan adegan yang ada. Atau mari kita perbanyak serial sci-fi atau 'post apocalyps' dengan cerita anak muda sebagai sasaran utama. OMG, saya selalu menganggap bahwa Sci-fi seharusnya memiliki jalan cerita yang rumit dan rigid, bukan malah membuat untuk mudah dijelaskan. Saya juga selalu menganggap bahwa fantasy dan sci-fi seharusnya sesuatu yang jarang bisa kita tonton karena membutuhkan daya kreatifitas yang sangat tinggi, karena kalau asal-asalan dibuat, 2 genre ini akan menjadi klise bahkan monoton dari segi cerita, sehingga saya sangat yakin menjadikan 2 genre ini menjadi tontonan yang trend adalah sesuatu yang salah kaprah.



Back to The Americans, serial ini sangat bagus dan keren karena premisnya yang memang dari awal sudah menarik perhatian. Bayangkan (sebagai perumpamaan) kalau kau adalah seorang agen mata-mata dari Malaysia yang diutus ke Indonesia dan menjadi keluarga normal di Indonesia sebagai 'cover' atas perbuatan kotor Malaysia di Indonesia. Lebih menariknya lagi, fokus cerita ke sebuah pasangan agen mata-mata antara kau dan wanita/pria pasanganmu yang harus terpaksa membangun sebuah keluarga, memiliki 2 anak dan sudah tinggal di Indonesia selama 15 tahun. Tentu selama waktu 15 tahun itu kau tidak mungkin tidak merasa ada perasaan suka bahkan cinta terhadap musuh negaramu, Indonesia, juga terhadap agen pasanganmu. Jangan lupa juga kau harus menjalankan misimu sebagai mata-mata untuk melancarkan semua misi dari pemerintahan Malaysia, kau harus menyamar, mencuri, bahkan sampai membunuh. Selain itu juga kau harus mengurus keluargamu (anak-anakmu) yang kau rahasiakan identitasmu, mereka juga makin berkembang dan makin mencintai Indonesia. Itulah yang dihadapi oleh Keri Russel dan Matthew Rhys setiap harinya dalam The Americans. Tentu kau akan dibantu oleh diplomat dan kedutaan besar Malaysia dan seorang 'penghubung' untuk menjalankan semua misi-misimu di Indonesia.



Serial ini begitu bagus dan kerennya karena bukan tipikal serial yang 1 episode habis 1 misi. Belum lagi ada kisah-kisah karakter yang lain yang juga menarik untuk diikuti, seperti tetanggamu yang ternyata seorang SIA (State Intelligence Agency, atau lebih dikenal dengan BIN, Badan Intelijen Negara) [kalau di series, kita mengenalnya sebagai FBI]. Juga kisah mata-mata di setiap lini, kubu bahkan dimana-mana. Kau juga akan mengetahui bahwa ada mata-mata dari negara lain yang juga tinggal di Indonesia.
Ok, cerita sudah sangat solid dengan alur yang cerita yang lambat tetapi sangat intens, memperlihatkan emosi-emosi para aktor yang bermain sangat ciamik. Hal ini membuktikan bahwa para pemain dalam serial ini sangat bagus memerankan karakternya masing-masing. Belum lagi mengenai setting lokasi, kostum, segala macam atribut bahkan sampai soundtrack-soundtrack yang terkenal di era 60-70an, membuat serial ini makin keren dan sangat apik sekali diikuti.





Saya bersyukur karena akhirnya saya bisa menyaksikan serial yang sudah saya nantikan semenjak tamatnya ALIAS. Saya bersyukur saya sedang menonton season 2 dari serial ini dan Rabu besok akan menjadi ending season 2 (for the record, season 2 makin bagus banget ceritanya!!!!). Saya bersyukur The Americans akan dilanjutkan ke season 3 tahun depan, walaupun dengan penonton yang terbatas (karena tidak seperti keluaran CBS, ABC, CWW atau Fox). Dan saya bersyukur karena saya bukanlah mata-mata dari Malaysia atau kedua orang tua saya ternyata bukan mata-mata dari Malaysia, karena kami sangat cinta Indonesia. Hehehe....



Setelah menonton serial ini, saya tidak tau, apakah saya makin benci dengan AmeRika, atau justru merasa kasihan. Karena akhirnya saya menyadari, bahwa mungkin AmeRika adalah negara yang paling banyak disusupi agen mata-mata dari seluruh dunia.
Very recommended series to watch!



NB : Sebenarnya banyak serial baru yang bagus, tetapi The Americans adalah yang paling saya minati untuk saya tulis. Hal ini karena saya suka genre-nya dan suka dengan 1 season yang hanya berisi 13 episode dengan cerita yang sangat intens. Terbukti saat ini serial AmeRika yang saya tonton yang lebih dari 13 episode per series hanyalah The Blacklist dan Arrow, bahkan The Walking Dead saya tinggalkan.
Keterangan foto: The Jennings, from Left - Right: Elizabenth Jenning (Keri Russel at her best act, give her awards please!), Henry Jenning (he so adorable, typical many parents will like him), Paige Jenning (oh GOD, I will wait for her mature looks, she so damn beauty) and Philip Jenning (maybe many women will fall in love with him, I'm sure!).

( By Ibnu Akbar )

Friday, May 16, 2014

ULASAN : GODZILLA 2014





Godzilla kembali mengamuk di Hollywood, setelah kemunculan pertama kalinya 16 tahun lalu di ranah Hollywood, Godzilla kembali dengan tone yang lebih gelap dibawah garapan sang sutradara Gareth Edwards ( Monsters ). Jadi ketika penggila film ingin menonton film terbaru Godzilla ini, lupakan Godzilla tahun 98 itu yang banyak mendapatkan respon negatif dari para kritikus maupun fanboy setia Godzilla meskipun filmnya sendiri masih meraup untung secara finansial ( Iya, saya mengaku jika saya salah satu orang yang cukup menikmati Godzilla versi Roland Emmerich itu ). Tidak seperti Godzilla versi Emmerich yang memasukan unsur komedi dalam filmnya, reboot versi Gareth Edwards tone yang dibawa lebih gelap.


( Bagi penggila film belum menonton film ini, paragraf berikutnya akan mengandung spoiler.  )

Di awal film kita sudah langsung dibawa menyaksikan melalui rangkuman dokumenter kemunculan pertama kali Godzilla tahun 1954 dan militer merahasiakan sebuah misi uji nuklir dari publik untuk memusnahkan Godzilla. Dan waktu melompat 45 tahun kemudian pada tahun 1999 , ilmuwan Daisuke Serizawa dan Vivienne Graham ( Ken Watanabe dan Sally Hawkins ) menemukan dua kepompong berbentuk polong dan kerangka besar di sebuah tambang di Filipina . Tak lama setelah itu di Janjira,tempat pengolahan nuklir dekat Tokyo , Jepang yang tiba-tiba diserang bencana gempa bumi , memicu krisis yang membunuh istri teknisi nuklir Joe Brody ( yang sangat baik dimainkan oleh Bryan Cranston ).




15 Tahun Kemudian....

Dihantui kejadian kecelakaan yang menewaskan sang istri, Joe Brody terobsesi pada gempa yang juga mempengaruhi hubungannya dengan anak tunggalnya Ford Brody ( Aaron Taylor-Johnson ) yang berkarier di bidang militer . Joe Brody merasa yakin bencana gempa yang menimpa pabrik pengembangan nuklir tempat dia bekerja 15 tahun lalu bukan diakibatkan oleh kecelakaan biasa, tapi ada sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya akan segera muncul dan yang pada akhirnya dugaan Joe Brody itu terbukti, dan sesuatu yang bisa dikatakan lebih dari kata buruk itu muncul kepermukaan dan mengancam jutaan nyawa manusia. 




Seperti yang sudah saya katakan diatas sebelumnya, lupakan segala hal yang sudah penggila film saksikan di Godzilla versi Emmerich, karena film ini yang dalam penggarapannya sendiri memakai pedekatan cerita dari film originalnya Gojira ( 1954 ). Gareth Edwards yang baru menyutradarai 1 film sebelum meyutradarai Godzilla ini sangat berhasil memaksimalkan semua kecanggihan efek visual saat ini yang akan memberikan efek merinding setiap bencana yang ditampilkan dalam film ini ( Oh yeah..., adegan Tsunami itu memang sangat mengerikan ). Dan tentu saja ketika satu persatu 3 makhluk raksasa utama dalam film ini muncul, sulit rasanya jika tidak memberika pujian pada tim Gareth Edwards yang sudah berhasil membuat penonton menahan nafas dan memerikan tepuk tangan dalam studio setiap kemunculan mereka bertiga.



Jika kamu sudah menonton Monsters, karya dari Gareth Edwards sebelumnya, kamu juga akan merasakan ada hal yang sama yang dia bawa pada Godzilla, menggunakan sudut pandang keluarga ditengah bencana besar yang menimpa keluarga ini, 20 menit awal kita akan melihat dari sudut pandang Joe Brody dan Bryan Cranston sangat berhasil membawa penonton masuk dalam karakternya ( Percayalah, kamu tidak bisa untuk  ikut sedih jika melihat dia menangis entah itu sebagai Walter White ataupun sebagai Joe Brody, dia memang aktor hebat ). Setelah 20 menit, tongkat estafet perjalanan cerita film ini berpindah pada anak tunggalnya Ford Brody yang ingin segera kembali menemui istri Elle Brody ( Elizhabeth Olsen ) dan anaknya, yang sayang karakter yang dimainkan oleh Aaron Taylor-Johnson belum terlalu maksimal sebagai seorang suami ataupun sebagai seorang ayah. Dan setidaknya kekurangan yang ada dalam karakter-karakter ini bisa tertutupi dengan segala hal 3 makhluk raksasa utama kita, 2 makhluk yang disebut Muto, dan lalu tentu saja kemunculan Godzilla, dan juga bagaimana luar biasanya visual keadaan kota yang hancur efek dari pertarungan mereka bertiga yang membuat kita berdoa semoga mereka bertiga hanya ada dalam film saja.



Pada akhirnya, Godzilla versi terbaru ini adalah sebuah film yang sudah memenuhi syarat popcorn movie yang perlu saya sebutkan datang dan tonton saja, lupakan segala hal Amerikanisasi yang ada dalam film ini, hei....ini Hollywood. Sebuah film yang sangat dianjurkan untuk saksikan di layar bioskop untuk pertama kalinya.







Monday, May 5, 2014

ULASAN : THE AMAZING SPIDER-MAN 2



Webb-head's back! Sudah dua tahun berlalu sejak perilisan 'The Amazing Spider-Man (2012)', dan sejak penayangannya, mulailah muncul tiga kubu yang memandang film ini secara bervariasi. Yang satu adalah para fans Raimi yang skeptis dengan visionnya. Mereka ini yang belum move on dengan trilogy pertamanya dan sibuk mengeluh kenapa Spider-Man mereka ini jangkung, tengil, pinter, dan dengan gampangnya menggaet gadis tercantik di sekolah. Sedikit yang bisa related dengan Peter Parker yang satu ini. Satu lagi merupakan kubu yang fair and square dengan visi Raimi dan juga menyukai interpretasi Peter Parker yang baru. Walau kontroversi seputar dirinya yang atletis sebelum mendapatkan Spider powers (Hey, it was Garfield's idea) ataupun personanya yang lebih ke hipster dibanding standard nerd (jaman Google gini, Peter masih pake Bing!), mereka tetap bisa melihat Peter sebagai relatable teenager yang emosional dan believable. Kubu ketiga: Nah, mereka ini purist comic book. Ada sedikit saja yang melenceng dari versi komiknya, mereka langsung ngomel kayak Gwen Stacy versi Amazing Fantasy. Dan kadang untuk menutup snobberish mereka sendiri, akusisi filmnya yang masih belum menjelaskan banyak hal langsung digunakan. Hey, ini kan franchise gede. Gak salah dong mensugesti plan sequels dari awal kalo udah yakin bakal sukses. Me? Gue suka dengan Andrew Garfield sejak ngeliat akting punknya di Boy A. Dan ketika berita casting Peter Parker diumumkan si director film yang ngegalauin jutaan jomblo itu, gue udah langsung yakin he's gonna brought the character justice. Maguire oke aja, tapi dia bukan bayangan yang gue dambakan sebaga si web-slinger. Toh interpretasi baru ini juga intrik banget dengan versi Ultimate Issuenya. Apalagi momen sewaktu Peter berargumen dengan Uncle Ben. That makes me a happy fan. Jadi walau filmnya yang lebih berfokus dengan romansa Peter-Gwen, that's fine. At its basic, Spider-Man memang kisah cowok hopeless romantic pengejar cinta yang dibaluti dengan layer superhero. Liat aja mantan gebetannya ada Liz, Betty, Gwen, Marcie, Black Cat, dan baru ke MJ. Karena itu, Peter Parker gampang related dan dicintai banyak pembaca. Walau kita sebenarnya gak layak merasa teridentifikasi (Heck, siapa yang punya IQ 250 ke atas?).





Just like Spidey, time has swung by too. Peter Parker/Spider-Man (Garfield) kini mencoba membagi waktunya sebagai seorang yang peduli dengan keselamatan masyarakat berikut juga sebagai remaja yang baru lulus dan lebih confident di dalam menjalani hubungannya dengan Gwen Stacy (Stone). Tapi dirinya yang selalu dihantui dengan janjinya kepada ayah Gwen (Leary) sebelum tewas membuat dia menjalani on-off relationship dengan Gwen. Kehadiran long lost friend, Harry Osborn (DeHaan), pun membuat Peter dilanda masalah kesetiaan pada sahabatnya dan juga sedikit penguakan rahasia dibalik misteri kematian orang tuanya. Belum lagi dengan pegawai OsCorp, Max Dillon (Foxx), yang sedikit mengingatkan saya dengan wota yang menggila setelah dilirik idolnya. Setelah diselamatkan Spidey, dia merasa dianggap dari isolitas sosialnya dan sedikit punya delusi yang mendekati level fanatik bahwa si Web-Head adalah sahabat setianya. Barulah ketika dia mengalami kecelakaan yang melibatkan gigitan banyak belut listrik dan merasa dikhianati oleh idol-nya sendiri, Max menjadi supervillain yang ditakuti karena kehadirannya selalu diiringi dubstep yang dipaksa mirip dengan theme songnya Michael Myers (killing, killing, Spider, Spider, paranoia, paranoia...).



Seperti perilisan origin filmnya dulu, Marc Webb tahu betul bahwa kita sudah cukup kenyang dengan pendekatan comic book movie yang selalu serba suram dan gelap. Opening scene yang dibuka dengan fade-in-transition logo Spidey menuju sequence yang memperkenalkan karakter Giamatti, Webb jelas lebih percaya diri di dalam mempresentasikan sisi wise-cracking dari superhero kita yang satu ini. Banyolannya yang membuat kesal Giamatti ataupun seruannya di kala ayunannya yang terlihat asik di dalam POV unik membuat kita para fans Spidey membatin "That's the Spidey I know!". And man! Momen ketika Spidey menahan Aleksei Sytsevich aka. Rhino dengan jaringnya sembari menarik jeansnya yang memperlihatkan boxer bercetakan puluhan badak, diiringi dengan Spidey yang menyiulkan theme song classicnya, menikmati momen tadi. Priceless!





Dan seperti origin comics-nya, Webb lebih tertarik di dalam mengeksposisi bagaimana rasanya untuk seorang remaja menjadi superhero. And that I appreciate a lot. Alasan kenapa sulit sekali untuk merasa related dengan Maguire adalah karena sense of moral yang dihadirkan pamannya membuat dia mendadak menjadi dewasa. Garfield memberikan proses untuk transformasi tersebut, dimana dia dipaksa memilih untuk menjadi pahlawan New York atau ikut terbang ke London bersama kekasihnya (hey, there are crimes in London too!) sampai kita dibuat menangis sedih setelah menyaksikan momen tersuram di sepanjang sejarah komik, in this case Amazing Spider-Man issue #121. Bet Peter will changed a lot after that shocking moment.




Webb juga lebih tertarik dengan sisi fisika mengenai bagaimana objek meluncur ke udara dan perlahan turun dengan momentum yang bergerak pesat. Tidak usah tonton dalam 4DX untuk merasakan sense of weight, speed, and stretch selagi Spidey menembakkan web shooternya. We already felt it through the sense of framing. Richard Donner juga pernah mencemaskan hal ini di Superman: The Movie (1978) ketika beliau berusaha meyakinkan penonton bahwa Christopher Reeve memang bisa terbang. Tidak hanya kita dibawa ke dalam experience yang lebih selagi penonton dibawa keliling New York, Webb juga berhasil membuat kita lupa sadar mengenai keganjilan realisme akan kejeniusan remaja yang menciptakan web shooter, saking asiknya kita dibuaikan oleh ilmu dasar gravitasi bumi.




About the villains...



Jamie Foxx lumayan juga disini. Dengan sisiran seseram karakter Chris Bale di American Hustle dan attitude yang sesuai dengan nerd yang dikucilkan dunia, Foxx lumayan berhasil menjadi Max Dillon. Yang jelek disinipun adalah ketika Max sibuk ngomong sendiri, diiringi dengan theme song yang mirip dengan traditional scoring Downton Abbey ketika para maid membuat kekonyolan di depan tuan rumah mereka. That would be okay, andai saja jika tidak adanya bisik-bisik "paranoia, paranoia..." di tengah musik barusan. Bisikan tadi pun semakin ekstrim bunyinya dan terdengar seperti dubstep random begitu Max bertransformasi menjadi Electro, dengan musiknya yang kali ini ganti genre ke electric synth. Oke lah, adegan di power plant ketika Electro bouncing around seperti electric pinball itu keren juga. Tapi di Times Square sendiri? Dubstepnya mulai terdengar seperti bisikan setan. Transformasi Electro yang harusnya mengundang simpati (imagine, being bullied in front of public and cops!) malah terasa seperti two-dimensional-transformation karakter villain di kartun Spider-Man Minggu pagi 20 tahun lalu.



Talking about Harry Osborn, James Franco sudah siap kita lupakan folks! Setelah dibuat kagum di dalam menunjukkan karakternya yang tidak stabil via Chronicle, Dane DeHaan sudah sangat cocok sebagai anak orang kaya sombong dan chemistry-nya dengan Garfield paska berjumpa pertama kalinya itu terasa tidak dibuat-buat. They're like great bros of adorable childhood here! Sayangnya, filmnya yang sudah padat dengan banyak hal mungkin akan membuat penonton kurang peduli dengan karakter Harry yang sudah begitu superb-nya diperankan DeHaan.



Mungkin Rhino sedikit tidak berguna disini, mengingat dia diperkenalkan sekitar empat menit lamanya dan final fightnya dengan Spider-Man pun diakhiri seperti karakter Underminer di The Incredibles. But me thinks the audience protests too much. Rhino di film ini hanyalah sebatas plot device yang akan terarah ke spin-off Sinister Six ataupun sequel Spidey in the near future. Dan juga sebagai salah satu plot device yang mempresentasikan salah satu adegan yang mengharukan (Hey, Spider-Man...) dan juga menggambarkan pesan akan pentingnya menjadi hero, walaupun kita akan kehilangan banyak hal in the end. Siapapun juga bisa menjadi pahlawan, even a kid. And man! That little scene brought me in tears again. So yeah, Rhino sebagai plot device lebih bekerja dibanding sebagai karakter. Jangan lupa bahwa Rhino ini adalah musuh Spidey yang paling blo'on, karena itu dia yang paling sering dibully Spidey melalui sense of humornya. Kehadirannya pun bisa dianggap small time di jajaran villain Spider-Man yang lain, sehingga bagian ini bisa dimaafkan.



Last but not least.



Um, before you continue, please notice this is a moment of massive spoilers. You sure to continue?























I'm serious man. Unless you were born in the 1970's.























Okay, you asked for it!





















Gwen Stacy! Melalui film pertamanya, kita dibuat suka dengan chemistry Stone dan Garfield yang sudah sangat adorable itu (move over, Kirsten Dunst!). Dan tentunya rasa suka ini yang akan membuat kita tidak rela menyaksikan nasib Gwen, entah itu akan berakhir di film ini atau di sekuelnya. Gwen di versi Amazing Spider-Man issues digambarkan sebagai sosok yang gue sendiri tidak relakan sebagai kekasih Peter. Walau dia cantik dan pintar, namun sedikit small-minded, manja, and a Daddy's girl. Versi Ultimate issues pun tidak membantu. Pintar bagi Webb untuk membuat kita menyukai Gwen yang selalu berargumen dengan inteligensi Peter, selaku prestasinya sebagai Midtown's best and brightest. Karakternya pun bukan juga tidak sekedar damsel in distress yang selalu teriak minta ditolong. Gwen juga punya peran besar di dalam mengalahkan Electro. And thanks for her, the news of two plane crashes were cancelled. Sayangnya, bagian setelahnya itu yang akan membuat kita terharu, berkaca-kaca, ataupun menangis diam for the loss of Peter. I hate that "Snap!" sound.




The Amazing Spider-Man 2 mungkin bukan tipe blockbuster idaman mayoritas. Yang berusia sembilan tahun akan merengek ke mamanya "Spider-Man nya manaa??", yang ingin dibuai akan set pieces luar biasa akan mengeluh "Kok sebentar doang? Meh!", yang masih belum move on dari Raimi pun akan nyebelin kita dengan same old argument "Duh, kangen Tobey nih...". Seperti kata kapten Stacy sebelum dia menutup hayat, this Spidey is gonna make a lot of enemies. Don't worry, Garfield. You are that Spider guy! Dengan Webb yang menutup filmnya dengan moralitas yang biasa dikupas di universe Spider-Man seputar benar/salah, tanggung jawab, pengorbanan, dan harapan, senang sekali melihat film ini diakhiri dengan idealitas buku komiknya sendiri.









And please! Spider-Man was supposed to be cheesy and corny. Siapapun yang membandingkan film ini dengan Batman & Robin jelas tidak tahu menahu mengenai si Web-Head.




( By Bahana Damayana )