Monday, July 28, 2025

REVIEW FANTASTIC FOUR: THE FIRST STEPS (2025) – AWAL BARU YANG FAMILIAR DALAM SEMESTA MCU


Film Fantastic Four: The First Steps akhirnya hadir sebagai entri terbaru dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Dengan membawa karakter klasik ke dalam dunia Earth-828, film ini menyajikan pendekatan yang berbeda dari tipikal film origin superhero. Alih-alih mengenalkan ulang siapa itu Reed Richards dan kawan-kawan, film ini mengandalkan familiarity—rasa kenal yang sudah dimiliki penonton terhadap keluarga superhero ini.

Bukan Sekadar Superpower, Tapi Tentang Keluarga dan Tanggung Jawab

Berbeda dengan film-film MCU sebelumnya, The First Steps menurunkan fokus dari aksi superpower dan lebih menyoroti dinamika keluarga. Di sini, Fantastic Four diposisikan sebagai simbol harapan bagi Bumi, dengan peran besar sebagai panutan. Hal ini menjadikan chemistry antarpemeran sebagai fondasi utama film ini. Dan untungnya, chemistry itu berhasil dibangun kuat.

Pedro Pascal sebagai Reed Richards tampil karismatik dan emosional, menampilkan konflik batin yang kompleks dengan ekspresi halus namun tajam. Vanessa Kirby (Sue Storm), Joseph Quinn (Johnny Storm), dan Ebon Moss-Bachrach (Ben Grimm/The Thing) melengkapi ensemble cast dengan performa yang meyakinkan sebagai sebuah keluarga yang sudah saling memahami kekuatan dan kelemahan satu sama lain.

Galactus & Silver Surfer: Ancaman Kosmik yang Mengintimidasi

Salah satu daya tarik utama film ini adalah kehadiran Galactus—villain raksasa yang sudah lama dinanti para penggemar Marvel. Meskipun tidak banyak tampil di layar, kehadirannya terasa mengintimidasi dan menegangkan sepanjang film. Visualisasinya sesuai harapan: megah, menyeramkan, dan mengancam.

Ketegangan makin meningkat saat Galactus mengincar anak dari Reed dan Sue, memicu pengejaran yang dipimpin oleh Shalla-Bal alias Silver Surfer (diperankan Julia Garner). Adegan-adegan penuh thrill dan ketegangan pun muncul dari titik ini, memperlihatkan sinergi teknologi dan kekuatan super yang dimiliki Fantastic Four dalam menghadapi ancaman luar angkasa.

Sentuhan Visual Retro-Futuristik & Musik yang Autentik

Salah satu aspek menonjol dari The First Steps adalah desain produksinya. Sentuhan retro-futuristik dari Kasra Farahani memberi warna berbeda yang membuat film ini terasa klasik namun tetap modern. Ada nuansa nostalgia dari film-film seperti Apollo 13, Space Cowboys, bahkan Interstellar yang terasa dalam beberapa adegan.

Pujian juga patut diberikan kepada Michael Giacchino untuk scoring musik tematik yang memberi nuansa vintage. Musiknya menyatu dengan estetika film, memberikan kesan otentik dan memperkuat atmosfer cerita.

Kesimpulan: Awal yang Solid untuk Fantastic Four di MCU

Meskipun konflik yang dihadirkan terasa personal dan skala ceritanya belum sebesar film Avengers, Fantastic Four: The First Steps berhasil menjadi pengantar yang solid. Film ini mengedepankan emosi dan dinamika keluarga ketimbang aksi besar-besaran, membuatnya terasa segar di tengah hiruk-pikuk film superhero saat ini.

Dengan 2 credit scene—meskipun MinGil pribadi menyarankan cukup tunggu yang pertama saja 😉—film ini pantas dinantikan kelanjutannya. Jika kamu penggemar Marvel dan penasaran dengan interpretasi baru Fantastic Four, film ini layak ditonton.

Rating: 8/10

MILES FILMS RILIS TRAILER FILM RANGGA & CINTA, REMAKE AADC? YANG DINANTI



Dalam konferensi pers di XXI Plaza Senayan, Jakarta, Miles Films resmi meluncurkan poster dan trailer film Rangga & Cinta, remake dari film legendaris Ada Apa Dengan Cinta? Poster ini menampilkan karakter Cinta (Leya Princy) dan Rangga (El Putra Sarira) dengan warna-warna khas namun dibalut sentuhan gradien baru yang memberikan nuansa segar dan nostalgic sekaligus.

Trailer berdurasi dua menit ini menjadi momen perkenalan lebih dalam terhadap para aktor muda berbakat yang sebagian besar merupakan wajah baru di dunia perfilman Indonesia. Selain memperlihatkan kemampuan akting, trailer juga menampilkan adegan menari dan bernyanyi, memperkuat kesan musikal dalam film Rangga & Cinta.


Para karakter dari semesta Ada Apa Dengan Cinta? seperti Alya, Milly, Maura, Karmen, hingga Mamet dan Borne muncul dalam interpretasi baru. Lagu ciptaan Melly Goeslaw kembali mengalun lewat suara Leya Princy dan El Putra Sarira, membawakan Suara Hati Seorang Kekasih, memperdalam nuansa emosional cerita.


Trailer ini juga memperkenalkan karakter baru bernama Limbong, yang dulunya diperankan mendiang Gito Rollies, kini dimainkan oleh Boris Bokir. Daftar lengkap pemeran utama film ini telah diumumkan, termasuk Jasmine Nadya, Kyandra Sembel, Katyana Mawira, Daniella Tumiwa, Rafly Altama, dan Rafi Sudirman.

Film Rangga & Cinta disutradarai Riri Riza dan diproduseri Mira Lesmana, dengan dukungan berbagai mitra dan sponsor seperti Surya Citra Media, Indomie, Popmie, Skintific, hingga Calla The Label. Film ini dijadwalkan tayang serentak di bioskop Indonesia mulai 2 Oktober 2025. Ikuti terus update terbaru melalui kanal resmi Miles Films.

Friday, July 18, 2025

REVIEW: I KNOW WHAT YOU DID LAST SUMMER 2025 – KEMBALI DENGAN TEROR, TAPI TERSEOK DENGAN NARASI

 


Mengusung warisan dari film legendaris tahun 1997, I Know What You Did Last Summer 2025 mencoba menghidupkan kembali teror sang pembunuh berkait dengan sentuhan era baru. Namun, apakah usaha ini berhasil memuaskan baik fans lama maupun penonton baru?

Cerita kali ini tetap berpusat pada sekelompok anak muda yang dihantui oleh kesalahan besar di musim panas lalu. Namun twist menarik muncul: penyebab tragedi yang memicu rentetan pembunuhan di versi 2025 ini bukan lagi tabrak lari seperti di versi klasik. Detailnya memang lebih baik kamu saksikan sendiri, tapi perubahannya cukup menyegarkan meski tak sepenuhnya mengguncang.

Sayangnya, film ini kerap terasa seperti pengalaman tabrak lari itu sendiri — mengejutkan, lalu bingung. Perpindahan antar adegan terasa loncat-loncat, kadang kehilangan kesinambungan. Ada nuansa bahwa beberapa adegan penting mungkin "hilang", entah karena suntingan sensor atau penyusunan cerita yang terburu-buru. Tone film pun berubah-ubah, membuat tensi yang sudah dibangun jadi kerap terputus.

Di sisi positif, adegan-adegan pembunuhan tetap brutal dan tidak berkompromi, memperlihatkan keberanian film ini dalam mengeksekusi momen-momen horor. Namun kehadiran karakter-klise seperti Danica (si pirang stereotip) justru membuat atmosfer jadi terasa outdated.

Satu sorotan yang mencuri perhatian adalah kehadiran Chase Sui Wonders sebagai pemeran utama perempuan. Ia memberikan energi segar dan karisma yang cukup menonjol dibanding karakter lainnya. Kembalinya wajah lama juga menyisipkan nostalgia yang menyenangkan, meski tidak cukup kuat untuk menyaingi keberhasilan reboot Scream beberapa tahun lalu.  Sebuah usaha yang niat, dengan beberapa momen intens yang menggigit, namun sayang dieksekusi dengan struktur naratif yang tak rapi.

Rating: 6/10

REVIEW FILM ASSALAMU'ALAIKUM BAITULLAH: DRAMA RELIGI YANG MENGHANTAM EMOSI SEJAK AWAL







Awalnya saya tidak terlalu tertarik untuk menonton film Assalamu’alaikum Baitullah (ASBA). Judulnya langsung memberi kesan sebagai film religi yang cenderung klise, dan saya memang sedang tidak mencari tontonan dengan tema seperti itu. Tapi ternyata, keputusan untuk tetap menontonnya justru jadi salah satu kejutan paling menyenangkan belakangan ini—karena film ini jauh di luar ekspektasi.

Secara garis besar, plot cerita ASBA’ mungkin terasa familiar jika kamu pernah menonton film-film drama religi atau romantis dengan elemen perjalanan batin. Tapi yang membuat film ini berbeda adalah penyajiannya yang sangat berani. Karakter utama kita langsung dihantam badai kehidupan sejak menit awal, dan puncak tensi emosionalnya justru hadir di awal film, bukan di babak ketiga seperti biasanya. Treatment ini mengingatkan saya pada film Queen (2013) dari Bollywood, di mana tokoh perempuan mengalami krisis besar dan harus menemukan dirinya kembali. Hal seperti ini masih jarang sekali ditemui di film-film Indonesia, dan kehadirannya di ASBA’ terasa menyegarkan.

Untungnya, tensi tinggi di awal tidak membuat bagian selanjutnya kehilangan arah. Naskah, arahan sutradara, dan editing yang solid berhasil menjaga ritme emosi film tetap stabil meskipun intensitasnya lebih tenang. Saya tetap bisa merasakan pergolakan batin para karakter, terutama dari tokoh Amira yang diperankan oleh Michelle Ziudith. Kali ini, Michelle benar-benar bersinar. Karakter Amira dibuat kompleks, emosional, dan berlapis, membuatnya tampil dominan dibandingkan karakter lainnya—bukan karena yang lain buruk, tapi karena Amira memang ditulis dengan kedalaman lebih.

Satu-satunya kekurangan menurut saya adalah ketika cerita mulai berpindah ke setting Mekkah. Visual dan atmosfernya terasa agak berbeda dari bagian awal film di Indonesia, seolah ada sedikit ketidakkonsistenan dalam tone dan kualitas gambar. Tapi itu langsung termaafkan ketika muncul salah satu scene terbaik dari film ini: momen Amira mengelilingi Ka’bah. Adegan ini terasa begitu kuat secara emosional dan bisa memicu air mata—saya yakin banyak penonton akan merasakan hal yang sama.

Secara keseluruhan, Assalamu’alaikum Baitullah adalah film drama religi-romantis yang berani tampil beda. Ia tidak sekadar menyampaikan pesan spiritual, tapi juga menghadirkan cerita tentang perempuan, luka, dan pencarian makna hidup dengan cara yang lebih jujur dan emosional. Bagi saya, ini adalah salah satu film lokal yang layak diberi kesempatan lebih luas untuk ditonton oleh publik.

Rating: 8/10

REVIEW FILM: SORE: ISTRI DARI MASA DEPAN – PUISI VISUAL TENTANG CINTA DAN KOMITMEN

Sutradara Yandy Laurens kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam menyentuh sisi emosional penonton lewat film panjang terbarunya, SORE: Istri dari Masa Depan. Diangkat dari webseries kampanye produk kesehatan, film ini berhasil melompat jauh menjadi karya sinematik yang puitis, mengharukan, dan penuh kontemplasi. Ini bukan sekadar cerita cinta, tapi sebuah renungan tentang waktu, komitmen, dan arti kebersamaan dalam kehidupan berpasangan.

Meski kamu belum menonton versi webseries-nya, film ini tetap bisa dinikmati sepenuhnya. Namun, ada sedikit catatan: pastikan kamu dalam kondisi segar saat menonton. Kenapa? Karena SORE punya alur yang berjalan lambat dengan dialog bernada pelan—semuanya sengaja diatur untuk membangun atmosfer yang tenang namun menghantam batin di momen-momen krusial. Elemen waktu dan magical realism yang dipilih Yandy mungkin tidak masuk akal secara logika, tapi justru di situlah letak magisnya. Penonton diajak bukan untuk menganalisis, melainkan untuk merasakan.

Judulnya saja sudah menyiratkan unsur fiksi ilmiah dengan kata “Dari Masa Depan,” jadi jangan kaget kalau kamu menemukan repetisi adegan yang cukup sering. Tapi bersabarlah, karena setiap repetisi itu akan mengarah pada klimaks emosional yang sangat menggugah di akhir film. Dibanding karya Yandy sebelumnya seperti Satu Kata Tapi Penuh Makna (SakaTupo), film ini terasa lebih dewasa dan berani dalam eksplorasi emosinya. Walau sempat terasa berbelit di bagian tengah, semuanya akan terbayar tuntas di penghujung film.

Sheila Dara mencuri perhatian dengan performa terbaiknya sejauh ini—halus, dalam, dan penuh jiwa. Dion Wiyoko juga tampil solid meskipun karakternya tidak diberi ruang eksplorasi sebanyak Sheila. Keduanya tetap berhasil menghidupkan dinamika relasi yang kompleks namun menyentuh.

Kesimpulan

SORE: Istri dari Masa Depan adalah perpaduan magis antara seni bercerita dan perasaan manusia. Bukan film yang mengedepankan logika, melainkan rasa. Dan rasa itu, ditumpahkan habis-habisan dalam 90 menit yang tak akan mudah dilupakan.

🎬 Sudah tayang terbatas di bioskop. Jika ingin merasakannya langsung di layar lebar, segera tonton sebelum kehabisan kesempatan!

Rating: 9,5/10

Thursday, July 10, 2025

KITAB SIJJIN & ILLIYYIN: HOROR BARU DARI RAPI FILMS YANG PENUH BALAS DENDAM



Kitab Sijjin & Illiyyin adalah film horor terbaru produksi Rapi Films bersama Sky Media, Rhaya Flicks, Legacy Pictures, dan Narasi Semesta yang akan tayang di bioskop mulai 17 Juli 2025. Disutradarai oleh Hadrah Daeng Ratu dan diproduseri oleh Gope T. Samtani, film ini mengangkat kisah dua kitab pencatat amal perbuatan manusia: Sijjin untuk orang durhaka dan Illiyyin untuk orang saleh.

Cerita berpusat pada Yuli (Yunita Siregar), seorang perempuan baik yang berubah drastis karena serangkaian musibah dalam hidupnya. Dituduh anak selingkuhan dan diperlakukan seperti pembantu oleh keluarga Ambar (Djenar Maesa Ayu), Yuli akhirnya meminta bantuan dukun untuk membalaskan dendamnya lewat santet yang sangat mematikan.

Yuli harus melakukan ritual dalam waktu seminggu dengan memasukkan nama-nama target ke dalam mayat baru. Target santet tersebut adalah Laras (Dinda Kanyadewi), Rudi (Tarra Budiman), Dean (Sulthan Hamonangan), dan Tika (Kawai Labiba). Pertanyaannya, apakah dendam Yuli akan berhasil terbalaskan?

Yunita Siregar mengungkapkan rasa syukurnya bisa memerankan karakter Yuli yang kompleks, sekaligus memenuhi keinginannya bekerja sama dengan Rapi Films dan sutradara Hadrah Daeng Ratu. Ia berharap film ini bisa memberikan pesan moral sekaligus diterima luas oleh penonton.

Sutradara Hadrah Daeng Ratu menjanjikan horor yang lebih lokal dan membumi, dengan banyak adegan intens dan sinematografi menegangkan. Produser Eksekutif Sunil G. Samtani menambahkan bahwa film ini merupakan IP baru yang diharapkan bisa menyegarkan pasar horor Indonesia. Jangan lewatkan penayangannya mulai 17 Juli 2025.

REVIEW: SUPERMAN (2025) VERSI JAMES GUNN YANG LEBIH GROUNDED DAN BERANI AMBIL RISIKO



Film SUPERMAN terbaru arahan James Gunn akhirnya tayang, dan hasilnya jauh dari ekspektasi standar superhero klasik. Gunn membuka film ini dengan langkah berani—memperlihatkan Superman yang kalah. Sebuah pernyataan langsung bahwa kita akan melihat sisi berbeda dari sang Man of Steel.

David Corenswet sebagai Superman: Lebih Manusia, Lebih Dekat

Dalam film ini, David Corenswet tampil sebagai Superman yang lebih grounded. Karakternya tidak lagi sekadar alien penyelamat, melainkan sosok yang sudah berbaur dengan kehidupan manusia, menjadi figur publik yang dituntut sempurna dan selalu menjadi panutan. Pilihan ini membuat Superman 2025 terasa lebih manusiawi dan relevan secara emosional.

Cerita Penuh Aksi dan Humor Khas James Gunn

Dengan ritme cerita yang cepat dan padat dialog, James Gunn menyajikan narasi yang langsung menghantam penonton. Ia tidak lagi repot menjelaskan siapa Superman—melainkan langsung mengajak penonton menikmati gaya khasnya: aksi penuh energi, musik eksentrik, dan humor yang terkadang lucu, terkadang membingungkan.

Film ini jelas menyasar penonton yang sudah familiar dengan dunia DC baru. Humor internal ala YTTA Universe mungkin terasa membingungkan bagi penonton kasual, dan konflik yang tumpang tindih membuat beberapa bagian cerita terasa padat dan sulit diikuti.

Sinematografi Epik Tapi Bisa Bikin Pusing

Camerawork dalam SUPERMAN 2025 juga sangat khas. Banyak adegan dirancang untuk terlihat epik dan intens. Namun, bagi penonton yang sensitif terhadap gerakan kamera cepat, film ini berpotensi memicu motion sickness. Sebuah hal yang perlu dicatat sebelum menonton di layar lebar.

Konflik Politik Fiksi dengan Makna Nyata

Salah satu elemen cerita yang patut diapresiasi adalah konflik antara dua negara fiktif: Boravia dan Jarhanpur. Meski imajinatif, konflik ini punya nuansa geopolitik yang sangat terasa. Dalam konteks saat ini, banyak penonton menangkapnya sebagai representasi konflik Israel–Palestina, disampaikan secara halus namun cukup menyentil.

Kesimpulan: Superman 2025 Bukan untuk Semua, Tapi Layak Dicoba

SUPERMAN versi James Gunn adalah film superhero yang berbeda. Berani, penuh warna, dan mengangkat sisi manusia dari tokoh ikonik. Meski tidak sempurna dan mungkin tidak cocok untuk semua orang, film ini tetap layak ditonton—terutama bagi mereka yang menginginkan pendekatan baru dalam dunia film superhero DC.