Friday, October 31, 2025

DOPAMIN: CINTA, UANG, DAN BAHAYA DALAM SATU CERITA MENEGANGKAN


Film Dopamin menghadirkan Angga Yunanda dan Shenina Cinnamon sebagai pasangan muda Malik dan Alya dalam drama romantis penuh ketegangan. Disutradarai Teddy Soeria Atmadja dan diproduseri Chand Parwez Servia, film ini merupakan kolaborasi Starvision dan Karuna Pictures yang menggabungkan kisah cinta, krisis ekonomi, dan unsur survival di tengah dunia yang semakin kacau. Kisahnya menggambarkan bagaimana pasangan yang baru menikah ini harus berjuang menghadapi tekanan utang, kehilangan pekerjaan, dan konflik rumah tangga yang membuat hubungan mereka di ambang kehancuran.

Titik balik kehidupan Malik dan Alya dimulai saat seorang tamu asing datang ke rumah mereka setelah membantu Malik di jalan. Namun keesokan paginya, tamu itu ditemukan meninggal dunia, meninggalkan koper berisi uang dalam jumlah besar. Keberuntungan mendadak ini justru menyeret keduanya dalam pusaran bahaya dan ujian moral, membuat film Dopamin menjadi perpaduan antara drama emosional dan ketegangan survival yang menggigit.

Produser Chand Parwez Servia menyebut Dopamin sebagai karya yang berbeda dan penuh adrenalin, sekaligus persembahan spesial untuk 30 tahun Starvision. Setelah sukses dengan The Architecture of Love (TAOL), kolaborasinya dengan Teddy kali ini mengeksplorasi tema cinta dan ketahanan manusia di tengah tekanan hidup. Film ini mengajak penonton merasakan perjalanan batin Malik dan Alya, dan mempertanyakan: benarkah cinta bisa menjadi “obat bahagia” di dunia yang makin tidak waras?

Teddy Soeria Atmadja mengungkapkan bahwa Dopamin merupakan hasil eksplorasi panjang selama lima tahun. Awalnya film ini dirancang bernuansa thriller gelap, namun berkembang menjadi perpaduan lintas-genre yang tetap menegangkan tetapi emosional. Ia menegaskan bahwa inti Dopamin adalah kisah tentang perjuangan, cinta, dan kemanusiaan—sebuah cerita yang membuat penonton bisa berempati terhadap karakter-karakternya.

Bagi Angga Yunanda dan Shenina Cinnamon, peran mereka di Dopamin merefleksikan realitas banyak pasangan muda: naik turunnya hubungan, tekanan ekonomi, dan pentingnya komunikasi. Film ini menjadi cermin tentang bagaimana pasangan harus saling mendukung dan menemukan jalan keluar bersama. Dopamin juga mendapat sambutan hangat saat menjadi film penutup Jakarta Film Week 2025, meraih standing ovation dan pujian sebagai karya yang fresh, intens, dan menyenangkan.

Wednesday, October 29, 2025

REZA RAHADIAN PERSEMBAHKAN PANGKU, TRIBUT TULUS UNTUK SEORANG IBU TUNGGAL





Film Pangku, debut penyutradaraan Reza Rahadian sekaligus film pertama dari rumah produksi Gambar Gerak, resmi tayang di bioskop Indonesia mulai 6 November 2025 setelah melakukan world premiere di Busan International Film Festival (BIFF) 2025. Film ini menyoroti perjuangan seorang ibu tunggal dengan pendekatan penceritaan sederhana namun membumi, yang mampu menyentuh berbagai kalangan penonton. Dengan latar kehidupan masyarakat pesisir Pantura, Pangku menyajikan kisah yang universal dan penuh empati.

Cerita berpusat pada Sartika (Claresta Taufan), seorang perempuan muda yang sedang hamil besar dan mencari pekerjaan. Takdir mempertemukannya dengan pasangan tua, Maya (Christine Hakim) dan Jaya (Jose Rizal Manua), yang kemudian menampung dan merawatnya. Sartika menjalani kehidupan baru, membesarkan anaknya Bayu (Shakeel Fauzi), hingga akhirnya bertemu dengan Hadi (Fedi Nuril), seorang sopir truk ikan yang menjadi cinta barunya. Reza Rahadian menggambarkan kehidupan seorang ibu tunggal dengan lembut dan jujur, terinspirasi dari pengalaman pribadinya tumbuh bersama sang ibu.

Dalam proses kreatifnya, Reza tidak hanya menulis naskah bersama Felix K. Nesi, tetapi juga menjadikan Pangku sebagai tribut untuk ibunya. Film ini diproduseri oleh Arya Ibrahim dan Gita Fara, dengan jajaran pemain pendukung seperti Christine Hakim, Claresta Taufan, Fedi Nuril, Jose Rizal Manua, Lukman Sardi, Happy Salma, hingga Devano Danendra. Menurut produser Gita Fara, Pangku adalah kisah bagi semua orang yang berjuang tanpa kemudahan dan harus terus bertahan meski hidup tak memberi banyak pilihan.

Aktor-aktris utamanya juga mencuri perhatian lewat penampilan autentik dan emosional. Claresta Taufan dan Christine Hakim meraih nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2025 untuk kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik dan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik. Claresta menyebut Pangku sebagai film yang jujur dan realistis, menggambarkan kehidupan di Pantura tanpa dilebih-lebihkan. Salah satu adegan menantang baginya adalah saat menarik gerobak dalam pengambilan one-shot di jalan berbatu yang membutuhkan 11 kali pengambilan gambar.

Selain aspek sinematografi dan akting, Pangku juga memperkuat emosinya lewat dua lagu ikonik: “Rayuan Perempuan Gila” dari Nadin Amizah dan versi rekaman ulang “Ibu” dari Iwan Fals. Film ini sukses meraih empat penghargaan di BIFF 2025 dan mendapatkan tujuh nominasi di FFI 2025, termasuk kategori Film Cerita Panjang Terbaik. Dengan narasi sederhana namun menyentuh, Pangku menjadi film yang hangat, tulus, dan autentik—sebuah refleksi mendalam tentang kasih ibu dan perjuangan hidup di tengah keterbatasan.

Monday, October 6, 2025

REVIEW NO OTHER CHOICE – THRILLER SATIR PEDAS DARI PARK CHAN WOOK

Sutradara legendaris Park Chan Wook kembali menunjukkan kelasnya lewat film terbaru berjudul “No Other Choice”, sebuah thriller satir yang membungkus kritik sosial dan ekonomi dalam bungkus komedi gelap khasnya. Ceritanya mengikuti Man-Su (Lee Byung Hun), seorang kepala keluarga yang tiba-tiba dipecat dari pekerjaannya. Tekanan ekonomi, desakan keluarga, serta ketakutan kehilangan aset membuat Man-Su perlahan kehilangan kendali. Dalam keputusasaan, ia mengambil langkah ekstrem: membunuh para pesaing yang berpotensi merebut posisinya.

Film ini tampil efisien namun kompleks. Park Chan Wook tidak bertele-tele dalam membangun ketegangan, tapi justru menaruh lapisan-lapisan makna dalam tiap adegan. Tone komedinya gelap, getir, sekaligus absurd—terutama saat Man-Su mencoba membunuh target pertamanya, Gu Bommu, di mana rangkaian peristiwa tragikomedi justru menimbulkan tawa getir. Kombinasi sound design dan dialog yang cerdas membuat sekuens ini menjadi salah satu momen paling memorable meski tak terlalu memengaruhi jalan cerita utama.

Secara visual, Park Chan Wook kembali menampilkan gaya sinematografi khasnya: transisi dissolving yang elegan, framing yang presisi, serta satu momen “magical shot” yang melibatkan bonsai dalam teknik shot-reverse shot penuh simbolisme menjelang klimaks. Adegan ini seolah mengungkap isi hati karakter tanpa sepatah dialog pun—sebuah signature Park yang sulit disaingi.

Performa Lee Byung Hun tak perlu diragukan. Ia memerankan Man-Su dengan emosi yang bergeser cepat—dari tenang, lucu, panik, hingga kembali datar—semuanya terasa natural. Namun, jangan lupakan Son Ye Jin sebagai sang istri. Karakter yang awalnya tampak polos ternyata menyimpan sisi manipulatif yang justru menjadi pemantik utama tindakan Man-Su. Chemistry dan dinamika keduanya menambah kedalaman psikologis film ini.

Diadaptasi dari novel karya Donald Westlake yang juga pernah difilmkan oleh Costa-Gavras dalam “The Ax”, versi Park Chan Wook memberikan tafsir baru. Ia tidak hanya berbicara soal “membunuh pesaing”, tetapi menyoroti keterpurukan manusia modern dalam sistem ekonomi yang menekan, serta bagaimana moral bisa terdistorsi oleh rasa takut kehilangan status. Ending-nya bahkan membuka ruang refleksi lebih luas daripada sekadar cerita kriminal.

No Other Choice adalah film yang kuat secara tema dan teknis, penuh sindiran tajam, serta relevan dengan situasi sosial saat ini. Park Chan Wook sekali lagi membuktikan bahwa ia masih “the GOAT” di ranah thriller satir.

Rating: 9/10

Sunday, October 5, 2025

REVIEW FILM: DIE, MY LOVE, POTRET KESEPIAN DAN KEGILAAN MANUSIA MODERN




Ketika Cinta, Psikosis, dan Realita Berkabut Jadi Satu

“DIE MY LOVE” bukan sekadar drama psikologis biasa. Film garapan Lynne Ramsay ini membawa penontonnya masuk ke dalam pusaran jiwa yang rapuh, penuh amarah, cinta, dan kehilangan arah. Jennifer Lawrence tampil luar biasa sebagai Grace, seorang perempuan dengan kondisi mental tak stabil yang sedang mengandung anak pertamanya. Sementara Robert Pattinson sebagai Jackson, suami yang sama-sama eksentrik, menjadi cermin bagi sisi manusia yang ingin menolong, tapi juga tidak benar-benar memahami apa yang sedang ia hadapi.

Sejak awal, Ramsay membangun atmosfer yang gelap dan emosional. Kehidupan pasangan ini digambarkan kasar, liar, dan penuh letupan emosi—dari adegan seks intens hingga tantrum yang meledak-ledak. Tapi di balik semua itu, ada rasa kesepian yang besar. Grace bukan hanya kehilangan kendali, tapi juga kehilangan cara untuk mengekspresikan dirinya. Keberadaan keluarga yang juga punya “riwayat serupa”—diperankan dengan kuat oleh Sissy Spacek dan Nick Nolte—menambah lapisan psikologis yang dalam.

Film ini juga mempermainkan persepsi realita dan ilusi, terutama lewat sekuens sureal yang melibatkan sosok misterius berhelm. Tidak semua hal dijelaskan secara gamblang—dan memang, Ramsay tak pernah ingin memberi semua jawaban. Jennifer Lawrence kembali menampilkan intensitas akting seperti dalam mother!, tapi kali ini dengan sentuhan yang lebih mentah dan tak terkontrol.

Meski kadang terasa terlalu panjang, ending-nya yang ambigu tetap meninggalkan kesan kuat. Ada rasa pahit yang melekat, seolah film ini ingin berkata bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan, dan tidak semua cinta mampu menyelamatkan seseorang dari dirinya sendiri.

DIE MY LOVE adalah perjalanan emosional yang tidak nyaman, tapi perlu. Film ini mengingatkan kita bahwa gangguan mental bukan sekadar kondisi, tapi juga perjuangan untuk tetap eksis di dunia yang terlalu bising untuk mendengar.

Rating: 7,5 / 10
Film yang liar, mengguncang, tapi juga penuh empati.

REVIEW FILM GOOD BOY, HOROR DARI SUDUT PANDANG SEEKOR ANJING YANG NGGAK BIASA!

 

Premis Unik dan Eksperimen Berani

“Yak, sodara-sodara…” — begitu kira-kira reaksi banyak penonton ketika tahu GOOD BOY menampilkan kisah horor dari sudut pandang seekor anjing!
Film debut dari Ben Leonberg ini awalnya viral sebelum rilis karena konsepnya yang terdengar aneh tapi menarik: horor yang dilihat langsung dari mata seekor hewan peliharaan. Dan ternyata, hasil akhirnya benar-benar segar sekaligus menyeramkan dengan cara yang berbeda dari film horor kebanyakan.

Ceritanya berpusat pada Indy, seekor anjing yang diwariskan turun-temurun di satu keluarga. Saat tiba di pemilik barunya, Indy diajak ke sebuah pondok terpencil yang belakangan diketahui ternyata “berpenghuni” sesuatu yang misterius. Dari sinilah ketegangan dimulai — dan kita, sebagai penonton, melihat semuanya lewat mata si Indy.

POV yang Bikin Tegang dan Menegangkan

Eksperimen paling menonjol dari GOOD BOY adalah cara sutradaranya mempertahankan POV (point of view) si anjing sepanjang film. Kamera diletakkan selevel dengan tinggi badan Indy, menghadirkan pengalaman visual yang sempit, terbatas, dan terkadang menyesakkan.
Efek claustrophobic ini justru jadi keunggulan utama film — membuat penonton merasa ikut “terjebak” dalam situasi yang sama dengan sang anjing.

Pendekatan ini juga menciptakan sensasi imersif yang jarang ditemukan di film horor lain. Penonton dibuat gelisah bukan hanya karena ancaman entitas misterius, tapi juga karena rasa khawatir terhadap keselamatan si Indy yang polos dan tak berdaya. It’s both scary and emotional.

Sound Design yang Efektif

Selain aspek visual, GOOD BOY juga menunjukkan perhatian besar pada sound design.
Setiap suara kecil — langkah kaki, gesekan pintu, desir angin — diperkuat sedemikian rupa hingga membangkitkan ketegangan dan menstimulasi pendengaran penonton.
Pendekatan ini membuat kita seolah benar-benar punya kepekaan seperti seekor anjing, yang dikenal mampu menangkap suara dengan frekuensi lebih tinggi dari manusia.

Menonton film ini di bioskop dengan sistem suara yang bagus jelas akan meningkatkan pengalaman secara signifikan. Setiap bisikan dan bunyi samar terasa lebih hidup dan bikin merinding.


Horor dengan Makna yang Dalam

Meski tetap menyediakan beberapa jumpscare yang efektif, GOOD BOY bukan sekadar tontonan pengaget.
Film ini menyimpan makna mendalam tentang keberlanjutan hidup, loyalitas, dan hubungan antara manusia dan hewan.
Melihat cerita dari kacamata anjing membuat pesan moralnya terasa lebih kuat dan menyentuh — seolah kita diajak memahami dunia dari perspektif yang selama ini kita abaikan.

Ben Leonberg berhasil memadukan rasa takut dan empati dalam satu pengalaman yang tidak biasa.
Setelah menonton, bukan cuma rasa tegang yang tersisa, tapi juga perenungan.

Kesimpulan

GOOD BOY adalah salah satu kejutan paling menyenangkan dari deretan film horor tahun ini.
Eksperimen visualnya berani, teknisnya matang, dan pesannya menyentuh.
Film ini menegaskan bahwa horor nggak selalu harus datang dari darah dan monster, tapi juga bisa dari cara pandang baru terhadap sesuatu yang sederhana — seekor anjing dan dunia di sekitarnya.

GOOD BOY akan dirilis secara reguler mulai tanggal 8 Oktober 2025 secara terbatas.
Kalau kamu penggemar horor yang mencari sesuatu yang beda, film ini wajib banget masuk daftar tontonmu.
Dan ingat: tonton di bioskop dengan sound system yang bagus biar pengalaman imersifnya maksimal.

Rating: 9/10

Tuesday, September 30, 2025

REVIEW CHAINSAW MAN THE MOVIE REZE ARC: MAPPA TAMPIL GILA-GILAAN DI LAYAR LEBAR


Absolute Anime Cinemaaaarggh!

MAPPA kembali memanjakan penggemar dengan film Chainsaw Man - Reze Arc, lanjutan canon dari serial animenya. Hasilnya? Sebuah pengalaman sinematik yang bukan hanya memuaskan dahaga fans CSM, tapi juga pecinta anime action secara umum.

Film ini mengadaptasi kisah Denji, pemuda polos yang berubah menjadi Chainsaw Man setelah bersatu dengan Pochita, iblis anjing kesayangannya. Kehidupan Denji yang penuh nafsu sederhana dan clueless romance mendadak berubah saat ia bertemu Reze, gadis ceria dan manis yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Kehadiran Reze yang memesona tentu membuat Denji klepek-klepek, meski di balik senyumannya tersimpan rahasia berbahaya.

Paruh pertama film terasa manis dan ringan, membawa penonton hanyut dalam godaan Reze layaknya Denji. MAPPA menyelipkan adegan mengejutkan yang cukup berani untuk ukuran film ber-rating 13+, seperti adegan semi-telanjang yang diakali dengan gaya seni unik, serta dosis brutalitas khas Chainsaw Man yang penuh darah dan mutilasi. Ketegangan mencapai puncak di paruh kedua dengan parade sakuga spektakuler: koreografi pertarungan yang gila-gilaan, transisi visual yang intens, dan setpiece megah yang benar-benar maksimal di layar lebar—apalagi jika disaksikan di IMAX. Meski demikian, penonton sensitif terhadap flashing light atau adegan bertransisi cepat mungkin akan merasa sedikit tidak nyaman.

Namun, Reze Arc bukan hanya tentang ledakan visual. Sentuhan emosional khas karya Tatsuki Fujimoto kembali terasa kuat. Karakter-karakter sekunder seperti Aki, Angel Devil, hingga Reze sendiri, mendapatkan ruang untuk menampilkan dilema batin mereka masing-masing. Dari kekhawatiran Aki akan sisa hidupnya, pergulatan Angel Devil soal makna keberadaan, hingga lapisan perasaan Reze yang tersembunyi di balik ledakan brutal. Semua berpuncak pada adegan akhir yang pahit sekaligus indah, meninggalkan penonton dengan rasa sesak namun penuh makna—sebuah ciri khas Fujimoto.

Pendek kata, Chainsaw Man - Reze Arc adalah tontonan wajib di bioskop. Sebuah pengalaman sinematik epik yang memadukan aksi brutal, visual spektakuler, dan emosi mendalam dalam satu paket. Tapi, jangan bawa adik atau anak kecil ya.

Rating: 9,5/10

REVIEW ALIEN EARTH: SAAT XENOMORPH BERTEMU PETER PAN & THE LOST BOYS




 

Alien Earth hadir sebagai entri terbaru dalam waralaba Alien, menghadirkan perpaduan elemen klasik dan tambahan “bumbu” baru yang memperkaya cerita. Selain isu perebutan aset dan kekuasaan antar korporat, serial ini tetap menjaga ciri khasnya: eksplorasi soal kemanusiaan melalui subplot android, cyborg, atau synth yang sudah menjadi signature franchise ini.

Cerita berfokus pada PRODIGY, korporasi yang berusaha menguasai sebuah kapal ekspedisi yang terdampar di Bumi. “Aset” yang mereka buru tentu saja adalah makhluk luar angkasa berbahaya yang mengancam manusia. Namun kali ini, variasi alien lebih beragam, tidak hanya Xenomorph atau Facehugger. Ada yang berbentuk seperti nyamuk hingga menyerupai tanaman kantung, bahkan hadir creature unik bernama The Eye yang memiliki karakter tersendiri.

Salah satu elemen paling menarik adalah peran synth, manusia buatan yang menjadi wadah bagi jiwa anak-anak yang telah meninggal. Kodrat mereka yang berada di antara manusia dan mesin, dipadukan dengan sifat kekanak-kanakan ala Peter Pan & The Lost Boys, menambah lapisan dramatis di luar teror Xenomorph. Porsi karakter dibagi dengan cukup seimbang, meski penonton awalnya harus menebak fungsi beberapa tokoh. Hilangnya kompas moral yang jelas juga membuat cerita lebih menantang: setiap karakter bisa melakukan apa saja, tanpa batasan hitam-putih.

Konflik korporasi yang ditanam sejak tiga episode awal sebenarnya menjanjikan, tetapi payoff di akhir justru lebih fokus pada pemberontakan para synth. Walau begitu, alurnya tetap menarik untuk diikuti. Bagi yang mengharapkan aksi brutal Xenomorph, mungkin harus bersabar karena serial ini banyak diisi dialog eksposisi tentang perebutan kekuasaan. Untungnya, kualitas akting para cast, termasuk Sydney Chandler (Wendy/Marcy), Samuel Blenkin (Boy), dan Babou Ceesay (Morrow), membuat tensi cerita tetap terjaga.

Secara keseluruhan, Alien Earth menutup delapan episodenya dengan cukup konklusif, meski masih menyisakan ruang untuk ekspansi cerita di masa depan. Serial ini menawarkan sesuatu yang segar untuk penggemar lama sekaligus bisa dinikmati penonton baru.

Rating: 7,5/10