Melanjutkan saga "virus zombie" yang menggemparkan dunia sejak 28 Days Later, sutradara visioner Danny Boyle kembali menunjukkan tajinya lewat 28 Years Later. Film ini bukan hanya sebuah sekuel biasa, melainkan evolusi dari genre horor pasca-apokaliptik yang menggabungkan teror intens dengan drama emosional yang menyentuh.
Menggunakan rasio layar widescreen dan teknik sinematografi yang tidak biasa—termasuk pengambilan gambar dengan iPhone serta jump-cut agresif—28 Years Later menghadirkan atmosfer yang tidak nyaman dan mendebarkan. Gaya visual yang eksperimental ini menciptakan sensasi teror yang konstan, seakan-akan penonton sendiri sedang diburu oleh para zombie, atau yang dalam film ini disebut sebagai Alfa. Penggunaan angle miring dan close-up intens ke wajah para Alfa memperkuat nuansa klaustrofobik yang menyeramkan dan terkadang menjijikkan. Deretan jumpscare yang dieksekusi dengan presisi juga turut menambah adrenalin.
Namun kekuatan utama film ini justru terletak pada lapisan dramanya. Cerita berpusat pada Spike (Alfie Williams), seorang remaja yang hidup di tengah dunia yang telah hancur. Konflik internalnya dengan sang Ayah (diperankan oleh Aaron Taylor-Johnson) dan Ibunya yang mengalami gangguan mental (Jodie Comer) membentuk inti dari narasi coming of age yang gelap namun penuh makna. Meski akting Alfie Williams terkesan datar, tampaknya ini adalah pilihan artistik untuk memberikan kesan realisme yang menyatu dengan dunia suram di sekitarnya.
Dengan latar dunia yang depresif namun emosional, 28 Years Later berhasil memadukan horor, ketegangan, dan drama keluarga secara seimbang. Ini bukan sekadar film zombie penuh darah, tapi juga potret kehilangan dan harapan yang tersembunyi di balik kehancuran.
Sebagai informasi, film ini merupakan bagian pertama dari trilogi terbaru 28 Years Later. Film berikutnya berjudul The Bone Temple dan akan disutradarai oleh Nia DaCosta (The Marvels), menandai kelanjutan saga ini dengan pendekatan sutradara yang segar.
Rating: 8,5 / 10