Wednesday, December 29, 2021

ULASAN: RESIDENT EVIL 'WELCOME TO RACCOON CITY'



Seburuk-buruknya respon negatif akan 6 film sebelumnya, namun tak bisa dipungkiri jika franchise Resident Evil adalah salah satu franchise hollywood tersukses. Dari 6 film yang dirilis semuanya mendulang sukses secara pemasukan. jJdi ketika Resident Evil generasi Mila Jovovich selesai, hanya tinggal menunggu waktu saja franchise ini kembali ke layar lebar, terlebih gamenya sendiri juga masih melanjutkan sequel-sequel game bertema zombie ini. Berselang 5 tahun sejak Resident Evil: The Final Chapter, sekarang hadir film pertama dari generasi baru franchise ini dengan sub title "Welcome to Raccoon City"

Dibuka dengan pengenalan masa kecil karakter Chris dan Claire Redfield yang tinggal di panti asuhan, penonton dibawa memasuki Raccoon City tempat bermarkas dan uji coba ilmiah perusahaan korporat Umbrlella. Setelah itu waktu melompat ketika Chris (Robbie Amell) dan Claire (Kya Scodelario) sudah dewasa yang melarikan diri dari Raccoon City. Claire kembali ke kota tersebut untuk menemui kakaknya. Namun Claire kembali di waktu yang salah, tanpa dia ketahui malam ketika dia kembali adalah malam terakhir kota tersebut akan menjadi tempat bencana, di mana warga-warga kota yang terkontaminasi hasil limbah Umbrella berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dan esok pagi kota tersebut akan dibumihanguskan. Berpacu dengan waktu dalam usahanya untuk keluar kota, Claire menemukan rahasia busuk yang disembunyikan oleh Umbrella selama ini.

Untuk penonton yang memainkan game ini, sangat mudah untuk kita mengenali plot cerita dalam seri terbaru ini adalah gabungan plot cerita game pertama dan kedua. Dan itu sesuatu hal yang positif. Narasi cerita berjalan secara pararel dari dua lokasi berbeda untuk membagi dua plot cerita yang ada pada game adalah pilihan terbaik. Bagaiamana menekanakan cerita unsur horor sangat terasa, sesuatu hal yang tidak kita dapatkan pada Resident Evil sebelumnya yang menekanakan pada unsur actionnya.

Paruh pertama set-up plot cerita yang sebenarnya cukup rapi, entah kenapa pertengahan sampai akhir menjadi kedodoran, tidak konsisten, semuanya seakan terburu-buru. Terutama pengembangan karakternya. Yang sangat terlihat sangat kontras ya pengembangan karakter Albert Wesker (Tom Hopper )yang perubahan karakternya benar-benar aneh. Belum lagi final act-nya yang harusnya bisa sedikit menyelamatkan, hal itu juga tidak bisa dimakismalkan dengan baik. Efek dari semua itu ya ketika mid-credit scenennya muncul, penonton tidak merasakan antusiasnya lagi meskipun yang dimunculkan pada mid-credit scene itu karakter populer.

Resident Evil: Welcome to Raccoon City mempunyai set-up yang baik pada babak pertamanya yang sayangnya tidak bisa dipertahankan untuk babak kedua dan ketiganya. Sangat disayangkan, materi plot cerita sebenarnya sudah sangat mejanjikan, hanya saja tidak mampu dimaksimalkan yang berkibat film ini serba nanggung.

Overall: 6/10

Friday, December 24, 2021

ULASAN: CLIFFORD THE BIG RED DOG



Clifford the Big Red Dog sebuah film yang diangkat dari buku anak bejudul sama karya Norman Bridwell. Film yang mengetengahkan persahabatan seorang anak dengan anjingnya ini disutradarai oleh Walt Becker (Wild Hogs, Van Wilder) cukup menarik perhatian saat trailernya muncul. Selain temanya memang tentang keluarga, daya tarik filmnya ada pada visual Clifford itu sendiri. Anjing yang sangat besar berwarna merah yang sebelumnya pernah kita lihat lihat lewat film animasi.



Emily (Derby Camp) seorang anak yang bersekolah di salah satu institusi pendidikan elite New York, Emily yang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya kerap menjadi sasaran perundungan siswa-siswa lainnya. Segalanya berubah ketika Emily memulai perkenalannya dengan seekor anjing merah yang secara tidak sengaja terbawa dalam tasnya. Sejak itupun pertemanan mereka dimulai dan Emily memberinya dengan nama Clifford. 



Namun ternyata Clifford bukan anjing sembarangan. Dalam semalam, ia berubah menjadi anjing raksasa. Emily dan pamannya, Casey (Jack Whitehall), yang awalnya kesulitan mencoba beradaptasi dengan ukurannya. Namun permasalahan mulai muncul ketika fisik Clifford mulai menarik perhatian dunia luar, terutama  dengan Zac Tieran (Tony Hale), bos perusahaan bioteknologi LyfeGrow. Tieran menginginkan Clifford untuk ia jadikan objek penelitian. Emily dan Casey pun mulia bahu-membahu melindungi Clifford.


Dengan materi adaptasi dari buku anak-anak, film ini disampaikan dengan seringan mungkin. Mulai dari dialog-dialog ataupun plot cerita dinarasikan tanpa memunculkan pertanyaan sekalipun. Kalaupun ada yang bisa menjadi pembahasan adalah isu bullying yang sempat disempat disinggung dalam film ini. namun itupun tidak terlalu kentara. Karena fokus film ini ada pada persahabatan Emily dan Clifford. Jack Whitehall yang mengisi bagian sisi komedi juga mampu mengundang banyak tawa, terutama pada porsi bagaimana karakternya berinteraksi dengan Clifford. Dengan visual Clifford yang keseluruhan film memamakai efek CGI tentunya hal ini membutuhkan effort tersendiri untuk para pemain  dalam berakting.


Secara keseluruhan untuk kamu yang sudah kenyang dengan film segala tema cerita, Clifford the Big Red Dog` mungkin tidak memberikan sesuatu yang istimewa dalam penyajian cerita. Karena yang dituju oleh film ini memang anak-anak. Jadi menontonnya dengan anak-anak atau adik-adik cara terbaik agar bisa menikmati film ini. Mengingatkan pada film-film keluarga yang kita tonton di masa liburan diyang tayang di tv swasta.

Overall: 7/10

Thursday, December 23, 2021

ULASAN: THE MATRIX "RESURRECTION"




Tren kembali menghidupkan sebuah franchise yang sudah selesai mungkin sudah tidak terhitung banyaknya. Menghidupkannya bisa dalam bentuk reboot, remake, prequel, spin-off ataupun sequel. Untuk kasus The Matrix, Lana Wachowski yang kali ini kembali menyutradarai tanpa tandemnya Lilly Wachowski, lebih memilih menempuh jalur sequel. Dengan sebuah penutup Revolutions yang rasanya sudah terasa pas dan tidak perlu ada sequel lagi, memang terlihat riskan jalan yang dipilih oleh Lana Wachowski. Namun tidak sedikit fans yang yang menyambut hadirnya film ini kembali setelah 18 tahun sejak rilis The Matrix: Revolutions.


Dibuka dengan sebuah simulasi penyergapan Trinity yang menjadi film pembuka The Matrix, kita akan dibawa pada Neo? Thomas Anderson/Neo (Keanu Reeves) yang ternyata masih terjebak dalam The Matrix. Hanya saja Neo tidak menyadarai itu. Bahkan segala hal yang pernah terjadi dan revolusi dengan pasukan pemberontak yang dia lakukan sebelumnya dalam ingatan Neo itu hanyalah sebuah konsep atau sebuah plot  cerita dalam game yang dia buat untuk sebuah perusahaan. Dan lalu plot cerita mengarah bagaimana Neo mendapatkan ingatannya kembali dan harus mengulanginya dari awal yang kali ini dia sendiri merasa tidak yakin dengan keberadaannya.


Dengan rasa penasaran dengan cerita yang akan ditampilkan, paruh pertama Resurrection bisa menyajikan sebuah komposisi plot cerita yang menarik. Mulai bagaimana Neo melanjutkan hidupnya dengan segala rutinitas dan digerogoti kecemasan dan depresi sampai akhirnya dia disadarkan dan kembali memunculkan pertanyaan "apa itu eksistensi?". Lalu paruh pertama yang menarik itu seolah menjadi sebuah monolog tanpa akhir karakter-karakternya yang mulai membuat saya bosan dan menguap. Setiap akhir act sebagian besar diisi oleh dialog-dialog sarat akan filsafat dengan diselingi sequence aksi dan pada kilmaks plot cerita jadi menggelikan ketika "Power of Love" menyelamatkan segalanya. Dengan 3 film yang kebetulan saya tonton persis sebelum nonton film ke-4 ini, Resurection sangat terasa kontras penurunannya.


Aksi adalah hal yang paling saya tunggu-tunggu dalam film ke-4 ini. Karena dalam 3 film sebelumnya porsi aksi adalah bagian terbaik franchise ini, yang bahkan sudah 22 tahun sejak The Matrix tayang ditonton pada saat ini masih memukau saya. Namun apa yang saya dapatkan? Lagi-lagi penurunan yang sangat kontras. Sudah porsi aksinya hanya seberapa, tetapi tidak dimaksimalkan. Tidak ada lagi duel keren layaknya duel Neo dengan kekuatan Superman-nya seperti yang kita lihat di Reloaded dan Revolutions. Bahkan aksi final act sekalipun tidak terlihat layaknya seperti film The Matrix.


Resurrection adalah sebuah film prolog/monolog panjang sebagai pembuka arc baru untuk frnachise ini. Mempunyai premis yang menjanjikan namun pengemasannya seperti terpisah dari The Matrix dalam segala hal yang membuat seri ke-4 membuat kita sudah berekspteasi akan kecewa berat pada akhirnya. Kita lihat, sampai mana franchise bisa berlanjut.

Overall: 5/10

Monday, December 20, 2021

ULASAN: RADIOACTIVE






Sebanyak apa yang saya tahu mengenai Marie Curie? Jujur, sebagian besar informasi yang saya tahu mengenai Marie Curie bukan berasal dari buku pelajaran, namun dari sitkom The Big Bang Theory. Nama Marie Curie cukup sering disinggung oleh salah satu karakter utamanya serial itu. Dari sana saya tahu jikalau Marie Curie seorang penemu yang juga sempat memenangkan nobel. Lalu sekarang hadir film biopiknya yang dibintangi oleh aktris yang tidak perlu diragukan lagi kualitas aktingnya yaitu Rosamund Pike dengan sutradara Marjane Satrapi (The Voices, Persepolis) dan naskahnya ditulis oleh Jack Thorne (Enola Holmes,Wonder)


Radioactive sendiri adalah biopik Marie Curie yang diadaptasi dari grafik novel Radioactive: Marie & Pierre Curie: A Tale of Love and Fallout karya Lauren Redniss. Dalam film ini kita akan mengikuti perjalanan hidup seorang Marie Curie yang tidak hanya dalam karier, namun juga sebagai istri dan ibu. Untuk film ini yang paling disorot adalah karier dari Marie Curie. 


Mempunyai bakat sebagai orang pintar dan jenius ternyata belum banyak cukup membantu Marie. Semua hal itu atas dasar karena dia wanita dan sering diremehkan oleh relasi-relasi sejawatnya. Sangat terlihat bagaimana plot dalam cerita mengarahkan diskriminasi terhadap wanita itu, terlebih saat marie Curie kesulitan mendapatkan tempat praktek. Lalu perkenalannya dengan Piere Curie membawa penonton pada tranformasi karakternya yang cukup sinis dan defensif pada pria menjadi berubah dan Rosamund Pike memerankan itu dengan sangat maksimal. Ekplorasi karakter yang dilakukan Rosamund Pike dengan karakter Marie adalah sajian terkuat dalam film ini.


Namun sayangnya, penampilan yang kuat tidak hanya dari Rosamud Pike, tetapi juga karakter-karakter pembantu lainnya tidak berjalan berbarengan dengan penyajian cerita. Alur cerita yang tidak ada fase naik-turun mungkin akan sedikit membuat kita menguap. Hal itu ditambah dengan informasi-informasi mengenai fisika atau kimia disampaikan membuat kening berkerut untuk kita penonton awam. Naskahnya tidak luwes akan hal penyampaian informasi itu. Bandingkan dengan The Imitation Game, yang juga sama-sama biopik Alan Turing, seorang matematikawan yang tidak hanya bisa membuat alur cerita yang menarik juga informasi-informasi mengenai teknis, rumus dan segala hal berhubungan dengan matematika dapat diserap dengan baik oleh penonton.


Radioactive sebuah sajian biopik yang memberikan penampilan akting yang luar biasa pada pemain-pemainnya. Namun butuh usaha kerasa untuk bisa fokus pada alur ceritanya. Terlebih untuk penonton yang tidak terbiasa dengan alur cerita yang sangat lambat. Sementara untuk penonton yang memang sangat menyukai kimia dan fisika, film ini mungkin akan menjadi film terfavorit yang kamu tonton tahun ini.

Overall: 6,5/10

Friday, December 17, 2021

BEKERJA SAMA DENGAN COWAY, CGV CINEMA MAKIN MEMANJAKAN PENONTON DENGAN NUANSA KENYAMANAN, FRESH, DAN PREMIUM



Ada yang terbaru dri CGV Cinema. Berkolaborasi dengan Coway, CGV Cinema menghadirkan Lounge dengan nuansa yang lebih terasa fresh  dan premium untuk para penontonnya. Terjadinya kerja sama antara CGV Cinemas dan Coway International Indonesia ini demi terjaganya keamanan dan kenyamanan untuk para penonton CGV di masa pandemi. Di masa pandemi ini, CGV Cinemas tidak berhenti berinovasi dan berkolaborasi. 


Fresh and Premium Experience itulah yang ingin coba diberikan oleh CGV Cinema untuk penontonnya. Berangkat dari kebutuhan akan lingkungan yang aman dan nyaman, tertanda mulai tanggal 15 Desember 2021 para penonton dapat menemukan produk Coway di setiap sudut ruangan Premium Lounge terbaru CGV, bahkan di dalam teater Gold Class dan Velvet Class, khususnya di CGV Grand Indonesia Jakarta Pusat dan Central Park, Jakarta Barat. Coway menempatkan produk Air Purifier (Pemurni Udara) dan Water Purifier (Pemurni Air) dengan tujuan untuk terus membantu melindungi kesehatan masyarakat, dan kali ini Coway ingin memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi para penonton bioskop. Coway sendiri adalah produk Air Purifier Coway dapat membantu memperbaiki sirkulasi udara dalam ruangan sehingga pecinta film bisa mendapatkan udara bersih bebas bahan polutan berbahaya seperti sisa bau gas, debu halus, jamur, bakteri hingga virus.


Selain itu, para penonton yang masih harus menunggu pintu teater dibuka bisa mengambil air minum dari Water Purifier Coway yang bebas logam berat dan bahan kontaminan lainnya. Pengunjung juga bisa mencoba menggunakan Air Purifier Coway, seperti mengubah mode pemurnian udara dari Automatic ke Turbo untuk pembersihan udara lebih cepat, atau dapat mengecek kualitas udara dalam ruangan dengan indikator PM2.5 di produk Tornado AP- 1520C sehingga pengunjung bisa tahu apakah udara yang mereka hirup sudah baik atau belum. Pengunjung juga bisa mencoba Water Purifier Coway, untuk memilih air dingin atau ambient, juga dapat memilih berapa liter air yang dibutuhkan dari mulai 250 ml, 500 ml, 1000 ml, sampai tak terbatas. Bahkan pengunjung bisa mengambil gambar estetik dan pastinya instagramable di Premiere Lounge CGV dan Coway.



Coway sendiri telah dipercaya di Korea Selatan sejak 1989 dan menjadi produsen Air Purifier dan Water Purifier nomor 1 di Korea. Hal ini beriringan dengan perubahan kebiasaan masyarakat Indonesia yang dikarenakan pandemi Covid-19 di mana masyarakat mulai mengadopsi gaya hidup lebih sehat dan lebih bersih, karena itu Coway hadir untuk mendukung pola hidup sehat ini. Air Purifier Coway dilengkapi HEPA filter yang mampu menghilangkan debu halus tak kasat mata sampai ukuran 0,01 mikrometer, menangkap kontaminan seperti virus berukuran 0,05-0,5 mikrometer, sampai mikroorganisme berukuran 0,5 - 3 mikrometer. Water Purifier Coway memiliki kecanggihan RO Membrane (Reverse Osmosis), dapat menghilangkan kontaminan air, bahan kimia organik berbahaya, mikroba dan zat radioaktif. Sistem RO filter mampu menyaring partikel sampai 0,0005. Untuk penonton yang penasaran melihat secara langsung penampilan terbaru dari CGV Cinema ini, bisa lsngsung mengunjungi CGV Cinema Grand Indonesia atau CGV Cinema Central park Mall.








ULASAN: SPIDER-MAN "NO WAY HOME"



Sebuah penantian itu akhirnya juga. Hype yang sudah mulai terbentuk setahun yang lalu akhirnya mencapai puncaknya ketika filmnya akhirnya tayang. Tentu saja yang saya maksud Spider-Man: No Way Home. Bahkan saya yang bukan fans Spider-Man sekalipun akhirnya juga masuk pada arus hype film ini. Yang membuat kita sangat menantikan dan terbentuknya hype itu tentu saja konsep "mustiverse" yang diperkenalkan Marvel Studios yang juga menjadi ranah selanjutnya yang akan banyak disinggung dalam film-film Marvel Studios selanjutnya.

Melanjutkan apa yang sudah terjadi dalam pada event Spider-Man: Far From Home ketika akhirnya identitas Peter Parker (Tom Holland) sebagai Spider-Man terungkap. Sejak saat itu hidup Peter Parker tidak pernah sama lagi. Terungkapnya identitas itu tidak hanya berdampak pada Peter Parker sendiri, namun juga orang-orang terdekatnya. Mencoba jalan pintas, Peter meminta tolong kepada Doctor Strange (Benedicth Cumberbatch) agar bisa membantunya membuat orang-orang mengetahui identitasnya bisa melupakan dia adalah Spider-Man. Namun permintaan yang disanggupi oleh Doctor Strange itu tidak berjalan lancar yang berimbas mengundang musuh-musuh Spider-man dari semesta lain. 

Sejak trailernya muncul pertama kali rasanya hampir semua dari kita merasa sangat antusias dengan banyaknya villain yang akan muncul di seri ketiga Spider-man versi Tom Holland ini, namun di sisi lain juga muncul kekhawatiran jika kejadian pada Spider-Man 3(2007) dan juga The Amazing Spider-Man 2 (2014) kembali terulang. Dan di sini kejelian Jon Watts sebagai sutradara yang naskahnya ditulis oleh Chris McKenna dan Erik Sommers yang juga menulis naskah dua film Spider-Man sebelumnya. Secara hati-hati memunculkan satu-persatu karakter villain tanpa terasa dipaksakan. Bahkan dari dialog-dialog villain yang muncul, naskahnya memberikan informasi-informasi asal-usul villian untuk penonton yang tidak menonton 5 film Spider-Man sebelum Homecoming.

Menuju 3/4 durasi film, plot cerita makin membesar sampai akhirnya tiba pada sesuatu yang benar-benar ditunggu penonton. Ketika hal yang ditungu-tungu itu muncul, rasa penasaran dan hype itu terbayar dengan tuntas. Betapa kita sebagai penonton tidak diberi berhenti untuk meberikan kekaguman dan memberikan tepuk tangan sampai akhir film. Sebuah final act dengan sequence action terbaik yang pernah kita lihat. Jika Endgame memberikan kita sensasi rasa takjub, maka untuk No Way Home memberikan sensasi euforia nostalgia. Bukan konsep multiverse yang membuat film ini sangat terlihat luar biasa, bukan itu. Karena konsep multiverse sudah pernah kita lihat lewat Into the Spider-Verse. No Way Home jauh lebih besar dari itu yang tidak bsia saya gambarkan dalam bentuk tulisan. Kamu harus menontonnya sendiri.

Spider-Man No way Home memberikan jawaban ekspetasi penggemar. Mengabulkan semua keinginan  penggemar yang bahkan saat trailernya muncul hal itu masih terasa sangat mustahil yang sekaligus menutup lubang pada dua generasi film Spider-Man sebelum Homecoming. Untuk hal ini kita harus berterima kasih pada pihak studio yang bisa membuat apa yang tidak mungkin menjadi kenyataan dalam bentuk visual. Damn, I love movies.

Overall: 9,5/10

Sunday, December 12, 2021

ULASAN: HOUSE OF GUCCI


Pada usianya yang sudah menginjak 84 tahun, semangat berkarya sutradara Ridley Scott sama sekali belum kendur. Itu bisa kita lihat di tahun 2021 ini dengan keterbatasan pergerakan ruang produksi karena pandemi, Ridley Scott masih bisa merilis 2 filmnya. Pertama The Last Duel Duel yang sayang tidak jadi tayang di bioskop-bioskop lokal kita dengan alasan tidak jelas. Lalu yang kedua House of Gucci, sebuah film dengan bergenre drama-kriminal yang diangkat dari kisah nyata tentang pembunuhan berencana pada tokoh ikon fashion dunia Maurizio Gucci.

Mengambil dari sudut pandang saya sebagai penonton yang awam dan tidak megikuti dunia fashion, yang tahu nama Gucci hanya sekadar sebagai nama brand untuk kalangan atas, daya tarik ingin menonton film yang bisa disebut biopik ini adalah karena nama Ridley Scott dan juga tema yang diangkat yaitu drama kriminal. Belum lagi para pemain yang terlibat dalam film ini sudah mempunyai nama besar. Mulai dari Adam Driver, Al Pacino, Jeremy Irons, Jared Leto dan penyanyi wanita yang menikmati karier aktingnya Lady Gaga.

Untuk penonton yang tertarik dengan tema film ini yang mengira akan disuguhi oleh plot intrik sebuah rencana pembunuhan seperti yang dipromosikan, mungkin akan banyak diuji kesabaran. Film yang yang berjalan cukup lambat ini tidak memusatkan ceritanya pada plot intrik tersebut, namun penonton akan di bawa ke dunia keluarga Gucci. Di awal kita akan mengikuti seorang wanita ambisius Patrizia Reggiani (Lady Gaga) untuk bisa mendapatkan hati Maurizio Gucci (Adam Driver) anak tunggal pewaris tahta kerajaan Gucci yang karakternya diperkenalkan sebagai pria kaku yang tidak tertarik dengan usaha keluarganya. Perlahan Maurizio berubah karena pengaruh Patrizia. Sepanajang film kita akan masuk dengan segala kemewahan keluarga Gucci hingga perseteruan dengan anggota keluarga Aldo (Al Pacino) dan Paolo Gucci (Jared leto) dalam hal memperebutkan kepemilikan perusahaan keluarga Gucci.

Seperti yang sudah disinggung di atas, alur cerita House of Gucci berjalan sangat lambat. Hampir tidak ada tempo naik-turun yang diberikan pada penonton. Durasi film selama 157 menit mutlak milik para pemain memerankan karakternya. Saking sangat datarnya pusat perhatian penonton akan teralih pada para pemain, untuk beberapa scene kita bisa melihat betapa tidak tersamar atau terlihat berusaha kerasnya Lady Gaga memerankan karakternya. Untungnya semua cast lain tidak memberikan celah itu pada penonton. Yang pada akhirnya jam terbang juga yang bicara, terutama Jared Leto yang memerankan Paolo Gucci yang terlihat sangat menonjol. Saya yakin banyak dari kita yang menonton masih tidak percaya itu Jared Leto saking sangat berbedanya dia di film ini.

Terlepas bagaimana dengan isi novel yang menjadi adaptasi film ini, House of Gucci merupakan sebuah film yang harus membuat kita sabar. Ya walaupun sabar di sini tidak terbayar oleh apapun sampai puncak klimaks, film ini seperti layaknya terlanjur membaca sebagian novel yang membosankan tapi kita tetap ingin tahu akhir dari cerita novel tersebut karena karakter-karakter dalam cerita ini cukup memikat kita.

Overall: 6/10

Tuesday, December 7, 2021

SETELAH KELILING FESTIVAL, FILM YUNI SIAP DISAKSIKAN PENONTON INDONESIA




Film YUNI yang disutradarai Kamila Andini akhirnya kembali ke Indonesia dan akan tayang di bioskop tanah air mulai 9 Desember 2021. Film ini ditulis oleh Kamila Andini dan Prima Rusdi, diproduseri oleh Ifa Isfansyah dan Chand Parwez Servia, dan diproduksi oleh Fourcolours Films dan Starvision bekerja sama dengan Akanga Film Asia (Singapura), Manny Films (Perancis), dengan dukungan pendanaan dari Aide Aux Cinémas Du Monde CNC Perancis, Infocomm Media Development Authority Singapura, Visions Sud Est Swiss, Program Pendukungan Film Indonesia untuk Distribusi Internasional Direktorat PMMB Kemendikbud Ristek Republik Indonesia, MPA APSA Academy Film Fund Australia, dan Purin Pictures Thailand.



Film YUNI berkisah tentang Yuni, seorang gadis remaja cerdas dengan impian besar untuk kuliah. Ketika dua pria yang hampir tidak dikenalnya datang melamar, ia menolak lamaran mereka. Penolakan itu memicu gosip tentang mitos bahwa seorang perempuan yang menolak tiga lamaran tidak akan pernah menikah. Tekanan semakin meningkat ketika pria ketiga melamarnya, dan Yuni harus memilih antara mempercayai mitos atau mengejar impiannya. Film YUNI diperankan oleh Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Marissa Anita, Asmara Abigail, Muhammad Khan, Nazla Thoyib, Neneng Risma, Vania Aurell, Boah Sartika, Anne Yasmine, Toto ST. Radik, Mian Tiara, Ayu Laksmi, dan Sekar Sari.



Film kolaborasi Fourcolours Films dan Starvision ini telah diputar di berbagai festival film internasional dan mendapatkan nominasi, termasuk 14 nominasi Piala Citra di Festival Film Indonesia 2021 dan nominasi Achievement in Directing di Asia Pacific Screen Awards. Selain itu, film YUNI telah memenangkan beberapa penghargaan, antara lain Platform Prize di Toronto International Film Festival 2021, Snow Leopard untuk Aktris Terbaik di Asian World Film Festival 2021, Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik, dan Silver Hanoman di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2021.



Ifa Isfansyah, produser film YUNI mengungkapkan kegembiraannya atas penayangan film YUNI di bioskop, karena kerja sama antara Fourcolours Films dan Starvision merupakan kerja sama yang sudah ia nantikan sejak lama. “Senang sekali bahwa akhirnya kolaborasi yang sudah saya tunggu antara Fourcolours Films dengan Starvision akhirnya bisa diksaksikan secara luas oleh penonton Indonesia. Film adalah kerja kolaboratif. Dengan kerja sama ini, semoga membuka kemungkinan-kemungkinan film Indonesia semakin mempunyai keberagaman bentuk dan mudah diakses oleh penontonnya. Masyarakat sering memberi label dan membuat garis tegas antara ‘FIlm Festival’ dan ‘Film Komersial’ yang justru merugikan film itu sendiri. Film baik adalah film yang mampu menyentuh penontonnya. Untuk itu saya berharap dengan kerja sama ini, film YUNI akan semakin mudah ditonton agar apa yang disuarakan di film YUNI tersampaikan”.



Menurut Chand Parwez Servia, produser Starvision, “Starvision selalu menampilkan film yang baik secara kualitas, pesan, dan bisa ditonton secara luas oleh masyarakat. Film YUNI memiliki.seluruh potensi untuk menjadi tontonan favorit remaja dan keluarga. YUNI adalah karya istimewa yang menghadirkan hiburan sehat, bukan sekadar menonton lalu melupakannya. Namun, menonton dan mengusik untuk membawanya ke ruang diskusi pribadi, juga keluarga. Film yang sangat penting untuk ditonton di saat menghabiskan waktu berkualitas dengan orang-orang tersayang”.



Kamila Andini selaku sutradara film YUNI tidak sabar menanti penayangan film YUNI di Indonesia, “Senang sekali bisa menayangkan film yang memang dibuat untuk bioskop, setelah apa yang terjadi selama pandemi dan juga setelah film ini ditayangkan di negara lain. Film ini saya buat untuk Indonesia, dan tidak ada hal yang lebih membahagiakan daripada merayakannya di Indonesia. Cerita YUNI dimulai dari sebuah percakapan sederhana dengan seorang ibu, dan cerita ini telah berkembang menjadi cerita yang membebaskan diri. Semoga cerita ini bisa menjadi refleksi kita semua”.










Saturday, December 4, 2021

LAUNCHING TRAILER TEKA-TEKI TIKA, MENJAWAB JIKA FILMNYA BUKANLAH KNIVES OUT WANNABE


Bisa dibilang saya salah satu orang yang ada pada kubu jika Teka-Teki Tika sangat terlihat Knives Out wannabe dari semua materi promo dan teaser yang yang sudah dirilis. Ya hal itu tidak bisa dihindarkan, karena vibe warna dan latar belakang cerita tentang sebuah keluarga sangat mengingatkan dengan Knives Out. Namun seteleh menonton trailernya pada saat launching trailernya yang didadkan oleh Starvision, asumsi saya langsung berubah. Asumsi sebelumnya jika film Teka-Teki Tika adalah Knives Out wannabe jadi hilang.



Setelah pemutaran trailer acara berlanjut pada bagian tanya jawab. Mengenai asal ide cerita, pendapat Ernes Prakasa sebagai sutradara mengenai filmnya disama-samakan dnegan Knives Out sampai cerita kesulitan produksi filmnya di masa pandemi. Ide cerita sendiri Ernest mengatakan berasal dari keresahannya pada masyarakat Indonesia yang sangat mudah memaafkan korupsi dibandingkan tindakan kriminal lain. Padahal korupsi merugikan orang banyak. Mengenai kenapa bisa korupsi tetapi latar belakang ceritanya keluarga harus coba ditonton sendiri. Sedangkan untuk mengenai kemiripan dengan Knives Out, Ernest bisa menegaskan isi film akan menjawab semuanya nanti.


Setidaknya dari trailer yang kita tonton sudha sedikit menjawab keraguan kalau Teka-Teki Tika adalah film yang berdasarkan ide original. Film yang diintangi oleh Sheila Dara, Morgan Oey, Dion Wiyoko, Ferry Salim, Eriska Rein, Jenny Zhang, dan Tansri Kemala, film ini akan tayang serentak di bioskop nasional pada 23 Desember.

Friday, December 3, 2021

ULASAN: RAGING FIRE



Setelah tampil dalam 2 film yang kurang perform di box office yaitu Enter the Fat Dragon dan Mulan, kali ini Donnie Yen muncul membintangi film laga terbaru berjudul Raging Fire yang bisa dibilang sudah jadi trade mark dirinya di kancah perfilman Asia. Namanya pun sudah jadi jaminan kalau film ini akan sarat adegan aksi dan koreografi pertarungan yang seru. Temanya pun lagi-lagi menyorot dunia kepolisian Hong Kong, suatu hal yang jamak untuk film-film keluaran negara metropolis di Asia tersebut. Film ini disutradarai Benny Chan, seorang sutradara kawakan yang sudah banyak menyutradarai film -film hit seperti New Police Story (2004); Shaolin (2011), dan The White Storm (2013). Sayangnya Benny Chan sudah meninggal akibat penyakit kanker nasofaringeal pada tahun 2020 lalu. Selain Donnie Yen, Nicholas Tse juga didapuk sebagai pemeran utama antagonis dalam film ini. Kedua cast yang sangat kuat dan karismatik ini tentunya menjadi daya tarik yang sayang untuk dilewatkan.

  


Untuk akting, tidak diragukan Nicholas Tse dan Donnie Yen sama-sama mengeluarkan kemampuan terbaiknya di film ini. Nicholas Tse mampu memerankan Ngo sebagai mantan polisi yang berubah menjadi penjahat yang bengis akibat perlakuan tidak adil dan dendam terhadap institusi penegak hukum yang dianggapnya tidak membelanya di saat dia sedang dalam posisi yang tidak menguntungkan. Donnie Yen dalam memerankan sosok Zhang mampu menampilkan sosok polisi lurus dan berintegritas tetapi ini sudah sering kita lihat di film-filmnya yang serupa dan memang dia punya posisi kuat untuk karakter semacam ini. Jika dibandingkan antara keduanya, karakter Nicholas Tse terlihat lebih memiliki kedalaman dan dimensi tersendiri yang menambah poin cerita film. Film ini praktis hanya berfokus pada Donnie Yen dan Nicholas Tse, yang lain hanya muncul sebagai karakter pendukung saja untuk mengisi cerita karena tidak ada yang menonjol, tentunya membuat penonton lebih mudah juga untuk mengingat ceritanya.



Zhang, seorang polisi yang saleh dan berbakat yang telah memecahkan banyak kasus. Ngo, yang pernah menjadi polisi muda yang menjanjikan di bawah sayap Zhang. Sebuah insiden malang membawa Ngo ke penjara beberapa tahun lalu. Setelah dibebaskan, Ngo menjadi pria yang pahit dan penuh kebencian yang bertekad untuk menghancurkan semua orang yang telah menganiaya dia



Cheung Sung-bong (Donnie Yen) adalah petugas Unit Kejahatan Regional yang bekerja di garis depan selama bertahun-tahun dan memecahkan banyak kasus besar. Namun, ia dicap sebagai orang buangan karena karakternya yang sangat lurus yang lambat laun hal ini memengaruhi kariernya, tetapi anak didiknya, Yau Kong-ngo (Nicholas Tse), menghormatinya sebagai perwira yang baik meskipun Yau tidak sepenuhnya setuju dengan gaya Cheung yang terlalu keras dan terkadang mengambil jalan pintas. Namun, takdir tiba-tiba membawa mereka ke jalan yang berbeda dan menempatkan mereka sebagai rival antara satu sama lain.




Menonton film ini serasa menyaksikan nostalgia film aksi kepolisian HK era 90-an karya Ringo Lam dan Johnnie To namun bedanya sekarang suasana dan teknologi sudah serba modern. Mulai dari tema inti soal kesetiaan dalam kelompok baik di sisi penegak hukum maupun penjahat, kebrutalan penjahat yang di luar nalar, dan plot cerita sederhana yang agak bertele-tele padahal konklusinya bisa dibuat lebih cepat.



Dengan durasi 126 menit, film ini bisa dikatakan full action dan hampir tidak memberi ruang untuk bernapas. Dari awal kita sudah diperkenalkan dengan tokoh Zhang sebagai polisi jagoan yang dihormati rekan setimnya dan Ngo sebagai karakter antagonis. Seiring film berjalan kita diberikan cerita background masing-masing karakter yang menjelaskan mengapa mereka bisa berada pada posisi yang sekarang. Porsi drama film ini digarap dengan baik dan tidak berlebihan walau terkadang terlalu bertele-tele.






Sejak semula penonton sudah diperlihatkan bahwa Ngo dan kelompoknya adalah penjahat dengan level yang sangat serius dan berbahaya lewat modus operandi yang keji dan brutal dalam melakukan kejahatan. Adegan aksi dan perkelahian yang jadi jualan utama di film ini dijamin tidak akan mengecewakan walau Sebagian besar tidak masuk akal karena Zhang tidak mengalami luka yang fatal dan seperti memiliki stamina seorang manusia super, tipikal film-film Donnie Yen. Overall film ini cukup straightforward dan tidak ada twist, penonton tinggal mengikuti saja. Adegan aksi tembak-tembakan massal yang sebetulnya overdramatis menarik untuk disimak terlebih adegan perkelahian puncak antara Zhang dan Ngo yang sudah ditunggu-tunggu


Media film termasuk salah satu media kritik untuk mengkritisi penguasa yang berwenang atau aparatur negara. Kita melihat di film ini pun isu internal kepolisian secara gamblang diekspos tanpa basa-basi bahkan logo dan kantor kepolisian diperlihatkan dengan jelas. Hal-hal tersebut ketika dibawakan dalam film membuat penonton relate dengan situasi yang terjadi sekaligus memperlihatkan bahwa penyimpangan pun dapat terjadi pada kalangan internal penegak hukum. Akan tetapi, hal ini bertolak belakang dengan Indonesia di mana aparat penegak hukum harus tampil sempurna tanpa cela dalam setiap film. Padahal dengan mengangkat isu-isu yang nyata, Indonesia dapat lebih mengeksplorasi tema-tema yang belum pernah diangkat sebelumnya. Nampaknya negara ini harus mulai belajar dari negara-negara Asia lain dalam keberanian mengangkat isu-isu hukum, nasional, dan keamanan ke dalam film.





Overall : 7.5/10

(By Camy Surjadi)















Wednesday, December 1, 2021

ULASAN: GHOSTBUSTERS 'AFTERLIFE'


Saya bisa dibilang salah satu yang tumbuh dengan menonton versi 2 original film pertama Ghostbusters. Lalu juga sempat mengikuti serial animasinya. Hanya saja saya juga bisa dibilang termasuk salah satu bukan fans berat franchise ini. Menontonnya hanya sekadar hiburan lewat. Jadi ketika kabar franchise ini mengalami reboot dengan versi yang sangat berbeda tahun 2016 dan lalu sekarang sequel dari 2 film pertama dengan cast utama yang berubah tidak memberikan dampak seperti fans original yang terbelah menjadi dua. Tim yang menerima dengan baik versi terbaru dan juga sebaliknya. Dan saya salah satu penonton yang sangat terhibur dengan Ghostbusters tahun 2016 yang sayangnya tidak disambut baik dari segi pemasukan meskipun review dari kritikus yang didapat filmnya juga sangat baik. Sekarang dengan nafas yang kembali baru, Ghostbusters melanjutkan franchisenya. Kali ini bukan bergantung pada pria atau wanita dewasa yang memegang pondasi cerita, namun dua anak-anak dan dua remaja melanjutkan tugas untuk memberantas hantu-hantu yang mengancam dunia.

Sebuah terobosan baru dalam karier Jason Reitman sebagai sutradara yang sebelumnya lebih kita kenal lewat film-filmnya dengan karakter krisis eksistensi, ketidakpuasan pada diri (Tully, Up in the Air) atau isu sosial (Thank You for Smoking). Kali ini Jason Reitman melanjutkan universe yang sudah dibangun sang ayah Ivan Reitman lewat sebuah sequel dari dua film pertama yang hadir dengan nafas baru. Diawali dengan sebuah prolog yang cukup misterius, Jason Reitman yang sudah mengetahui persis universe franchise ini langsung menuju memperkenalkan pada tokoh-tokoh utamanya yang pada 10 menit pertama kita sudah tertarik pada karakter-karakternya, terutama Phoebe Spengler (McKenna Grace). Anak berusia 12 tahun yang mmepunyai kesulitan bersosialisasi dan harus beradaptasi dengan lingkungan baru di rumah kakeknya yang meninggal.

Lewat karakter Phoebe kita akan dibawa memasuki universe Ghostbusters versi baru ini dan bertemu dengan karakter-karakter lainnya dimulai dari guru musim panasnya Gary Grooberson (Paul Rudd), serta teman sebaya barunya yang dipanggil Podcast (Kim Logan) yang sampai akhir film kita tidak mengetahui nama aslinya. Podcast satu-satunya orang yang bisa memahami humor Phoebe. Paruh pertama dengan segala pengenalan karakter-karakternya adalah hal yang paling menarik buat saya. Jason Reitman yang juga menulis naskah film ini bersama Gil Kenan terlihat sangat bersenang-senang pada bagian ini. 3 karakter dari Phoebe, Podcast dan Grooberson sangat menarik perhatian yang banyak memancing tawa dengan bermacam-macam joke sarkasme-nya.

Instesitas yang makin naik seiring konflik utama plot cerita muncul yang awalnya cukup terjaga sayangnya tidak bisa dipertahankan dibagian 30 menit terakhir, terutama bagian final act-nya. Walaupun maksudnya ingin memberikan fans service dengan memunculkan karakter-karakter originalnya, namun elemen nostalgia terkesan dipaksakan. Hal itu sampai berdampak pada Paul Rudd yang karakternya sudah dibangun dari awal, di 30 menit terakhir porsinya tidak lagi terlihat sebagai karakter utama. Penampilannya terasa tidak maksimal saat sequence final act-nya. 

Seperti versi tahun 2016, Ghostbusters: Afterlife masih sangat menghibur penonton. Kemajuan teknologi makin membantu menambah keseruan sequence actionnya. Paruh pertama adalah bagian terbaik dari seri ini yang sayangnya tidak dapat atau ditutup dengan seimbang oleh final actnya.


Rating: 7/10