Thursday, October 4, 2018

ULASAN: VENOM



Sebelum Spider-man akhirnya bergabung dengan Marvel Cinematic Universe (MCU), kita tahu Sony Pictures yang memegang hak cipta film untuk universe Spider-man sudah sangat ambisius untuk membangun universe Marvel sendiri dengan diawali The Amazing Spider-man yang dibintangi Andrew Garfield. Sekedar menyegarkan ingatan kembali, saat itu Sony Pictures sudah menyiapkan spin-off dari karakter universe Spider-man. Mulai dari Sinister Six, Black Cat dan termasuk Venom. Salah satu musuh bebuyutan Spidey. Tetapi kegagalan The Amazing Spider-man 2 merusak semua rencana itu yang akhirnya membuat Spider-man beralih ke MCU.



Bergabungnya Spider-man ke MCU sepertinya tidak menghentikan project ambisius Sony Pictures untuk bisa membuat film spin-off dari universe Spider-man. Bukan melanjutkan Sinister Six yang terlebih dahulu di gembar-gemborkan, tetapi Venom yang menerobos antrian. Karakter yang sudah direncanakan untuk dibuat film solo-nya sendiri sejak film Spider-man 3 tahun 2007 yang lalu.



Filmnya sendiri sudah memberi kejutan ketika nama Tom Hardy (Inception, Dunkirk) diumumkan sebagai pemeran Eddie Brock/Venom. Lalu ada Michelle Williams (Brokeback Mountain, Blue Valentine) sebagai love interest karakter utama dan Riz Ahmed (The Night Of, Star Wars: Rogue One). Lalu di kursi sutradara ada nama Ruben Fleischer yang dikenal lewat filmnya Zombieland.



Kekhawatiran Venom akan mengikuti jejak spin-off antihero seperti Cat Woman atau Suicide Squad yang hancur dalam hal plot cerita cukup membayang-bayangi. Tetapi untungnya hal itu tidak terjadi. Seperti halnya Batman Begins (2005) atau Hulk (2003) awalnya butuh kesabaran pada akhirnya kita bisa melihat Venom seutuhnya, tetapi hal itu dilakukan agar penonton bisa mengenali karakter dari Eddie Brock yang tidak pernah ada di film Spider-Man 3. Rasanya agak janggal menempatkan posisi Eddie Brock sebagai wartawan yang sangat ambisius untuk sebuah fakta kebenaran. Sangat berbeda dengan versi Topher Grace Eddie Brock digambarkan seorang oportunis dan sosiopat. Dan mengenai hal ini memang bisa mempengaruhi penilaian penonton secara keseluruhan mengenai filmnya.



Bagian terbaik dari film ini adalah disaat simbiot Venom menemukan kecocokan inangnya pada Eddie Brock. Interaksi dan komunikasi Eddie Brock dalam satu tubuh yang sama selama film berlangsung adalah nilai lebih yang memperkaya cerita. Cara berkomunikasi Eddie Brock dan Venom mengingatkan saya dengan Gollum dan Smeagol di Lord Of The Rings yang diperankan Andy Serkis.

Sangat pasnya porsi untuk Eddie Brock/Venom sayangnya tidak didukung dengan yang lain. Kehadiran Michelle Williams sebagai love interest seperti dipaksakan ada. Lalu ada villain utama Carlton Drake yang diperankan Riz Ahmed sebagai pengusaha kaya yang ambisius dengan motif yang sangat sering kita jumpai di film-film superhero lainnya. Karakter Carlton Drake baru benar-benar hidup setelah Riot muncul. Untungnya pertarungan final antara Venom dan Riot mampu membayar kekecewaan dengan terlalu sesuatu yang sangat direkomendasikan ditonton dengan audio-visual yang mendukung agar merasakan intens.



Spin-off Venom bermain dalam zona nyaman dengan plot ceritanya tidak ada yang istimewa. Menempatkan karakter Eddie Brock/Venom sebagai hero akan menumbuhkan ambiguitas dengan karakter Venom yang kita kenal selama ini. Film yang akan sangat menghiburmu jika tidak memasang ekspetasi yang macam-macam. Kunci film ini ada pada Tom Hardy yang membuat karakter Eddie Brock/Venom benar-benar hidup. Saya salah satu yang masih ingin menonton sequelnya dan mengharapkan Venom versi Tom Hardy ini bisa segera dipertemaukan dengan Spiderman versi Tom Holland.

Overall: 8/10

(By Zul Guci)

Subscribe to this Blog via Email :