Wednesday, August 31, 2016

ULASAN: DON'T BREATHE (2016)

​Setelah sedikit kecewa dengan Lights Out, baca reviewnya disini. Saya mencoba menonton film bergenre thriller, horror suspense, Don't Breathe.
Dimulai dari pinggiran kota Detroit yang cukup tak beruntung dari kota lainya di Amerika, tiga orang yang tampak masih remaja memiliki profesi sebagai pencuri rumahan. Rocky (Jane Levy) yang karena terpaksa harus mencuri sehingga ia dapat keluar dari lingkungan yang tidak baik bagi adiknya, pergi jauh dari ibu yang tidak memperhatikan mereka. Kemuadian ada Alex (Dylan Minnette), yang ayahnya memiliki perusahaan keamanan rumah dan memanfaatkannya mencuri kode alarm pelanggan untuk membantu Rocky, namun tampaknya Alex ada rasa suka kepada Rocky. Yang ketiga adalah pacar Rocky, Money(Daniel Zovatto), preman wannabe yang mementingkan uang dan ceroboh.
Ketiganya berangkat untuk merampok Veteran Buta yang diperankan Stephen Lang yang dikabarkan memiliki beberapa bundel uang tunai yang tersembunyi di rumahnya, hasil dari beberapa penyelesaian hukum beberapa waktu lalu. Ketika Alex mengungkapkan keengganannya merampok orang buta, Money mengatakan, "Hanya karena dia buta tidak berarti dia suci, bro.".
Kecerobohan mereka memilih rumah si Veteran Buta terbukti menjadi lawan yang lebih tangguh.
Well, dari adegan pembukaan, entah ini hal sembrono yang diberikan oleh sang sutradara Fede Alvarez memberikan spoiler karakter utama tidak akan mati untuk sebagian besar dari film berating R ini. Namun itu semua dibayar dengan ketegangan yang intens dan ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Beberapa adegan tidak seperti standar horor, tidak hanya intens, tapi sangat kreatif. Meskipun tidak seharusnya saya tersenyum di film horor yang tidak dimaksudkan untuk menjadi lucu.
Si Veteran Buta tidak memiliki kepekaan indra yang super atau ajaib. Dia pria biasa yang tidak membiarkan kebutaaan menghentikannya. Lang cukup hebat. Walaupun buta tapi sangat tangguh, sama halnya dengan karakternya di film Avatar, yang membuat Don't Breathe begitu mengerikan.
Tidak, film ini tidak akan menahan napas anda, tetapi film ini adalah nafas segar film thriller. Saya cukup mengapresiasi beberapa sutradara luar Amerika Serikat selain Fede Alvarez yang berkebangsaan Uruguay adalah sutradara The Shallows, Jaume Collet-Serra. Bisa baca reviewnya disini.
Dan seperti kebanyakan genre serupa, saya rasa akan film ini akan mendulang box office. Sehingga sekuel dapat saja mungkin terjadi.
Review oleh Pasko

Friday, August 26, 2016

ULASAN: FREE STATE OF JONES (2016)

Pertama kali ​saya tertarik untuk menonton Free State of Jones dari waktu saya melihat trailer pertama film ini, adegan dimana terlihat anak-anak dilatih memegang senjata dan itu cukup keren! Sayapun beruntung bisa menonton Sneak Preview yang diadakan CGV*blitz karena film ini mulai tayang reguler tanggal 31 Agustus 2016 di Indonesia. Untuk diketahui saya belum pernah mendengar tentang Newton Knight, apalagi pemberontakan yang dia pimpin melawan Konfederasi di Jones County, Mississippi selama perang saudara Amerika Serikat.
Jadi cerita dalam film ini dimulai selama Perang Saudara, ketika Newton Knight yang diperankan oleh Matthew McConaughey, bertempur di sisi Konfederasi, menjadi desertir setelah kehilangan tragis dalam pertempuran. Disisi lain dia dan tentara lainnya marah atas peraturan Dua Puluh Negro yang memungkinkan pemilik budak dengan lebih dari 20 budak secara hukum dapat terbebas dari wajib militer. Dari situ banyak yang menjadi desertir dan Newton Knight menjadi pemimpinya. 
Lima belas menit pertama dari Free State of Jones adalah yang paling intens. Ross mencoba menempatkan penontonnya tepat di medan perang, dan itu berhasil. Kebrutalan mengerikan era perang sipil, lengkap dengan babi yang memakan usus seorang prajurit, tembakan senjata dan meriam dari prajurit yang berlumuran darah serta petugas medis yang kebingungan. Gary Ross kemudian memperlambat cerita dan entah kenapa memotong ke adegan yang terjadi 85 tahun kemudian di mana seorang pria diadili karena memiliki darah keturunan Afrika-Amerika yang telah menikah dengan seorang wanita kulit putih. Hal ini jelas dari awal orang itu adalah keturunan Knight, Davis (Brian Lee Franklin).
Tidak ada keraguan bahwa Newton Knight dan keluarganya atau Free State of Jones adalah subyek yang menarik, dan film ini menggambarkan semuanya dengan niat, tapi pembangunan cerita memiliki beberapa masalah. Gary Ross sang sutradara, mencoba untuk menempa satu cerita dengan unsur-unsur cerita yang sangat berbeda. Menambal sulam perang saudara, gerakan Free State of Jones, hak-hak sipil hingga berlanjut kehidupan Knight sampai keturunannya. Tampaknya Gary Ross terlalu banyak research dan memasukan apa yang dia dapatkan dalam film ini dan tidak fokus pada judul filmnya. Saya pikir film ini lebih cocok dijadikan dokumenter miniseri saja dengan durasi yang cukup melelahkan.
McConaughey selalu menjadi McConaughey dalam setiap peran-perannya. Disini dia terlihat otentik apalagi di credit title disugguhkan foto asli Newton Knight. 
Free State of Jones adalah kasus film sejarah yang aneh. Tekad Gary Ross untuk menyajikan tema perang sipil, perbudakan dan hak-hak sipil yang disajikan dalam film bisa menjadi referensi yang berbeda dalam film sejenis.
Review oleh Pasko

Wednesday, August 24, 2016

ULASAN: THE SECRET LIFE OF PETS (2016)

Setahun yang lalu saya pernah menonton sebuah video YouTube, dimana seorang pengguna kamera aksi GoPro menempelkan kameranya pada anjing peliharaanya. Dalam video tersebuat si pemilik anjing berpikir apa yang hewan peliharaanya lakukan sepanjang hari sementara dia pergi? ​Bisa dilihat videonya disini. Mungkin itu yang melatar-belakangi ide pembuatan film animasi The Secret Life of Pets. Film animasi musim panas dari Universal terbaru yang berasal dari Illumination Entertainment, studio di balik seri Despicable Me dan Despicable Me 2. Dari garis sutradara Chris Renaud itulah gaya sama animasi super-glossy dengan lelucon lucu.
Hanya beberapa minggu yang lalu kita dibawa nostalgia dalam Finding Dory, dengan bobot cerita yang membuat penuh penonton dibioskop dan terharu tipikal film Pixar. The Secret Life of Pets tidak membuat kamu menangis, tapi itu membuat kamu malah tertawa begitu keras dan intens.
Ceritanya bermula suatu malam, si penyayang hewan, Katie pulang ke rumah dengan anjing lain bernama Duke (Eric Stonestreet) adalah seekor anjing yang cerewet bertubuh gempal. Max shock dan kecewa tidak biasanya terjadi dalam rutinitas sehari-harinya. Tak terima Max pun mencari akal untuk menyingkirkan Duke. Tapi kemudian mereka berdua malah berakhir terbuang dan harus bertahan hidup di lingkungan perkotaan. Mau tak mau mereka harus bergantung pada satu sama lain untuk kembali pulang. Sepanjang jalan, mereka berpapasan dengan kelompok bawah tanah dari barisan para mantan hewan peliharaan tunawisma yang dipimpin oleh kelinci gila tapi lucu bernama Snowball (Kevin Hart), yang bersikeras agara terwujud revolusi para hewan. Snowball ingin Max dan Duke bergabung dalam perang revolusi terhadap manusia, tetapi mereka malah dalam pilihan situasi yang sulit. Kejenakaan tingkah laku hewan-hewan ini pun terjadi di jalanan, selokan dan sungai di kota New York. 
Ya, tentu saja ini sama dengan Toy Story, hanya saja karakternya dari hewan-hewan. Kompleksitas narasi atau kekuatan emosional dari film Pixar mungkin tidak ditemukan difilm ini, tetapi The Secret Life of Lets akan memberikan berulang-ulang serangan tawa sehingga perut pun bisa kram. Menarik perhatian saya adalah tingkah laku para hewan walaupun diceritakan secara fabel, tapi porsi menggemaskan mereka sebagai hewan tetap pada perilakunya didunia nyata. Chris Renaud dan Yarrow Cheney yang duduk dalam penyutradaraan berhasil membawa kisah lucu yang menawan ini dapat menarik bagi anak-anak maupun orang dewasa, terutama pencinta binatang.
Para aktor juga berhasil mendefinisikan karakter dengan baik sehingga Louis CK, Eric Stonestreet, Kevin Hart, Steve Coogan, Jenny Slate, Ellie Kemper, Albert Brooks, Lake Bell, Dana Carvey, dan Hannibal Buress melakukan pekerjaan yang baik dengan tanpa memaksakan kepribadian mereka pada karakter hewan yang dialih suarakan.
Kualitas animasinya juga tampak lebih baik. Detail setiap bulu pun tampak nyata, sayang saya tidak menontonya dengan format 3D. Disney dan Pixar masih pada tingkat lain, tetapi mulai menjadi perdebatan terhadap kualitas daripada animasi, itu menurut pendapat saya. Entah mengapa saya lebih suka film ini daripada Finding Dory.
Pada akhirnya The Secret Life of Pets adalah jawaban untuk tontonan bersama keluarga atau dengan hewan peliharaan kamu. Atau mungkin mereka sudah menontonnya saat kamu sedang bekerja hari ini.
Review oleh Pasko

THE WINNING TEAM MILES FILMS HADIR DALAM FILM ATHIRAH


Setelah sukses besar dengan Ada Apa Dengan Cinta 2 tahun ini, Miles Films sudah mempersiapkan film terbarunya yang akan rilis dalam waktu dekat. Athirah, sebuah film adaptasi novel karya Alberthiene Endah dengan judul sama, cerita yang terinspirasi dari kisah nyata.


Athirah (Cut Mini) menggambarkan pergulatan seorang perempuan Bugis yang ingin mempertahankan keutuhan keluarganya saat ada perempuan lain memasuki kehidupan suaminya. Di saat yang sama, anak lelaki tertuanya yang masih remaja, Ucu (Christoffer Nelwan), mengalami kesulitan memahami Athirah dan konflik yang tengah terjadi di tengah keluarganya.


Bagi Miles Films, kisah Athirah menjadi cerita yang sangat menarik untuk diangkat ke layar lebar sebagai potret persoalan keluarga Indonesia di masa lalu yang masih banyak kita temui hari ini. Kisah ini menjadi lebih spesial ketika Athirah adalah sosok almarhum ibunda Jusuf Kalla, Wakil Presiden negara kita saat ini.


Sesuatu yang baru tentu saja akan bisa didapatkan oleh calon penonton lewat film ini. Karena meski Miles Films yang sudah sangat dikenal menghasilkan film-film dari pelosok Indonesia, inilah pertama kalinya Sulawesi Selatan menjadi setting cerita. Ditambah Sulawesi Selatan adalah provins tempat kelahiran sutrdara film ini yaitu Riri Riza yang mempunyai darah Bugis.


Film Athirah mengambil lokasi pengambilan gambarnya di Makassar. Sengkang dan Parepare. Miles Films mengikut-sertakan talenta-talenta dari Sulawesi Selatan untuk berpatisipasi dalam film ini. Mereka terlibat, baik di depan kamera sebagai aktor, maupun di balik layar sebagai kru produksi.

Film Athirah juga kembali mempertemukan duet Mira Lesmana dan Riri Riza ini dengan Salman Aristo yang juga menulis untuk skenario film Athirah. Ini merupakan reuni mereka pertama kalinya dalam produksi yang sama sejak Laskar Pelangi.tahun 2008 yang juga sangat mendulang sukses besar.


Juang Manyala, musisi asal Makassar dipercaya untuk menjadi penata musik film ini. Sedangkan OST film dipercayakan pada duo musisi yang sudah sangat dikenal dalam dunia musik indie Indonesia yaitu Endah dan Rhesa dengan lagu berjudul 'Ruang Bahagia'.

Yang pastinya kita akan sangat menunggu kehadiran film yang satu ini. Athirah sudah dijadwalkan tayang mulai 29 September 2016 di seluruh bioskop-bioskop Indonesia.











HEADSHOT OPTIMIS MENGIKUTI KESUKSESAN THE RAID DI TORONTO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL









Sebuah kabar gembira untuk Gila Fim pecinta film Indonesia. ‘Headshot’ film terbaru dari aktor laga Iko Uwais yang disutradarai oleh Mo Brothers akan diputar untuk pertama kalinya di Toronto International (TIFF) 2016. Headshot akan diputar di progra Midnight Madness yang sekaligus ini merupakan ajang Word Premiere film Headshot pada 9 September 2016 (maam waktu toronto).



TIFF merpakan festval film internasional yang didedikasikan bagi sinema internasional dan Kanada.. Tahun ini merupakan penyelenggaraan tahun ke-41. TIFF juga menjadi salah satu barometer festival film bergengsi di dunia. Tidak sekedar showcase bagi film-film komersial, tapi sifat kompetitifnya menjadi gengsi tersendiri bagi pemerima penghargaan dari TIFF. Dengan keikutan sertanya Headshot di festival ini, tentunya sangat berharap bisa mengulang cerita sukses The Raid tahun 2011 yang mendapat respon positif pada festival ini yang berimbas pada sineas-sineas maupun aktor yang terlibat di dalam filmnya seperti Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan.



Headshot merupakan produksi bersama Screenplay Productions dan Infnite Studios di bawah bendera produksi Screenplay Infinite Films. Ide awal produksi bermula dari keinginan membuat film laga yang sepenuhnya bisa digarap di fasilitas Infinite Studios, Batam. Memproduksi film di studio dengan fasilitas lengkap memungkinkan Headshot dikerjakan jauh lebih detil dan efisien. Lima bulan waktu dibutuhkan untuk proses produksi dan delapan bulan untuk menuntaskan pasca produksi.





Film laga ini merupakan karya kolaborasi antara dua sutradara, Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel yang sudah sangat dikenal karyanya yang sangat ekstrim untuk konten cerita seperti Rumah Dara dan Killers. Selain Iko Uwais, film ini juga dibintangi oleh Chelsea Islan, Julie Estelle dn Sunny Pang. Bagi Chelsea Islan sendiri ini merupakan film laga pertama yang pernah dibintanginya. Perpaduan pemain regional , distribusi secara global dan screening di festival film internasional, merupakan modal bagi Headshot menjadi film box office yang paling dnanti di tahun 2016 ini.

Wednesday, August 17, 2016

TRINITY, THE NEKAD TRAVELER, LEBIH DARI SEKEDAR FILM TRAVELING






“Kemana pun kaki melangkah, rumahku Indonesia”

Itulah tagline film terbaru produksi Tujuh Bintang Sinema (Air Mata Surga) berjudul ‘Trinity, The Nekad Traveler’. Film yang diangkat dari pengalaman tulisan blog Trinity yang berjudul naked-traveler. Film yang akan dbintangi oleh Maudy Ayunda, Rachel Amanda, Hamish Daud, Babe Cabita, Anggika Bolsterli, Cut Mini, Ayu Dewi, Farhan dan masih banyak lagi pemain yang sudah cukup akrab denga mata penonton yang ikut berpatisipas dalam film ini. Filmnya sendiri akan disutradara ole Rizal Mantovani yang sudah sangat kenyang dengan film-film yang sukses secara box office di Indonesia.



Kenapa “naked”? Karena Trinity sering hanya traveling hanya bermodalkan nekad. Jadi ‘naked’ adalah plesetan dari nekad. Selain itu gaya penulisan Trinity yang jujur, menceritakan apa adanya yang dia alamidan lihat selama berpergian ke suatu daerah dan negara. Blog Trinity semakin populer, kini telah dibaca lebih dari 8,8 juta kali. Bahkan setelah diterbitkan dalam bentuk novel, penjualannya juga meroket hingga cetak ulang puluhan kali, dan sekarang telah terbit sebanyak 13 series.



Film yang skenarionya dikerjakan Rahabi Mandra dan Piu Syarif akan melakukan proses syuting selama dua bulan dan mengambil lokasi di tiga bagian negara yakni: Indonesia, Maladewadan Filipina.



Film ini akan menceritakan bagaimana Trinity (Maudy Ayunda) sebagai seorang karyawan sering menghadapi kendala terbatasnya jatah cuti, sehingga sering berbeda pendapat dengan atasan yang diperankan Ayu Dewi. Trinity juga harus memutar otak agar bisa liburan dengan budget hemat, namun tetap nyaman. Dilain pihak, Trinity yang keturuan Batak juga sering mendapat tekanan dari kedua orang tuanya (diperankan oleh Cut Mini dan Farhan) untuk segera serius memikirkan calon pendamping hidup. Lalu perjalanan Trinity mempertemukan dia dengan Paul (Hamish Daud), seorang pemuda yang juga memiliki hobi traveling dan fotografi.



Bagaimana proses Trinity hingga menjadi pionir travel-blogger dan travel writer yang sukses ?. Tunggu tanggal mainnya dan dapatkan jawabannya bisa didapatkan dalam filmnyan yang akan segera rilis.



Tuesday, August 16, 2016

ULASAN: LIGHTS OUT (2016)

Lights Out berasal dari jalur perakitan yang sama dengan film Insidious dan The Conjuring, diproduseri langsung oleh James Wan, yang telah membuat tren film genre horor terkemuka dekade ini. Itulah salah satu nilai jualnya.
Disamping itu, ketakutan akan gelap, merupakan fobia umum di seluruh lapisan masyarakat. Horor, dalam segala bentuk dan ukuran, sering berhasil dieksploitasi menjadi film. Ini adalah fondasi dari film pendek David F. Sandberg yang diangkat ke bioskop.
Lights Out dimulai ketika seorang anak dalam bahaya dan tampaknya tidak dalam ketakutan, tipikal cerita horor. Martin (Gabriel Bateman), yang baru-baru ini telah kehilangan ayahnya (Billy Burke) hidup di bawah asuhan ibunya yang memiliki gangguan jiwa, Sophie (Maria Bello). Sophie rentan terhadap perilaku tak menentu, berbicara sendiri. Tidak bisa tidur dan khawatir kewarasan ibunya, dia pun mengontak kakak tirinya Rebecca (Teresa Palmer), untuk mencari tempat tinggal sementara. Akhirnya, Rebecca, Martin, dan pacar Rebecca, Bret (Alexander DiPersia), ke rumah berhantu Sophie, yang tidak dilengkapi dengan pencahayaan yang diandalkan dan berurusan dengan entitas lain, bernama Diana.
Premis Lights Out adalah sesuatu yang saya takuti ketika masih kecil dan mungkin kebanyakan dari kita juga, dan sekarang mulai melupakan perasaan itu saat kita beranjak dewasa. Monster, dedemit atau apalah itu hanya keluar ketika gelap. Dalam ranah ini film Lights Out, aturan berlaku secara konkret. Selama ada sumber cahaya, setan, hantu atau keberadaan supranatural dibatasi. Tapi setelah senja keterbatasan itu tidak ada lagi.
Sosok Diana tidak mampu menjadi ikonik seperti Valak bahkan lebih mirip Mama dalam film yang diproduseri oleh Guillermo del Toro. Koneksi ke Sophie, serta tujuan akhir dan rencana untuk keluarga Sophie, terlihat terlalu simpel. Sophie memiliki satu juta kesempatan untuk membunuh Diana, jadi mengapa sekarang?
Setelah keluar dari bioskop yang gelap, ada beberapa pertanyaan yang mengganjal. Bagaimana Sophie mewujudkan Diana kembali ke dunia? Apa sebenarnya yang terjadi dengan ayah Rebecca? Mengapa kematian Paul diabaikan dalam cerita? Mengapa Diana begitu terobsesi dengan Sophie?
Scoring yang terbilang kurang membangkitkan bulu kuduk. Namun ​ada beberapa adegan yang membuat anda mungkin kaget, terutama ketika siluet Diana sekejap memdekat kearah layar, suasana menyeramkan terbangun dengan pengambilan gambar yang minim cahaya. 
Mudah-mudahan, Sandberg banyak mengambil beberapa trik dan belajar dari James Wan. Namun, Lights Out cukup menghibur, tidak buruk untuk debut pertama Sandberg. Jika kamu menyukai Ouija dan Mama, maka kami harus menikmati film ini.
Review oleh Pasko

Monday, August 15, 2016

ANGGA SASONGKO SIAP MENGGARAP FILM KOMEDI PERTAMANYA DI 'BUKAAN 8'



Baru saja selesai produksi Wonderful Life yang saat ini masuk meja editing, Visinema Pictures siap memproduksi film terbaru lainnya yang kali ini mengambil judul "Bukaan 8". Film yang akan disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko dan ditulis oleh Salman Aristo akan mengusung genre drama komedi. Bisa dibilang "Bukaan 8" adalah film bergenre komedi pertama yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko.



'Bukaan 8' merupakan kerjasama kedua kalinya Angga Sangsoko dengan Salman Aristo setelah 'Hari Untuk Amanda' beberapa tahun yang lalu. Ide cerita "Bukaan 8" sendiri muncul ketika ngobrol santai Angga dengan Chicco ketika menunggu kelahiran anak pertama anak Angga.



Selain Chicco Jericho yang berperan sebagai Alam, film ini juga dibintangi oleh Lala Karmela yang baru saja dinobatkan sebagai Pendatang Wanita Terbaru Terbaik dalam ajang Indonesia Box Office Movies Awards(IBOMA) 2016 sebagai Mia. Mereka juga akan beradu akting dengan pemain senior lainnya seperti Tyo Pakusadewo, Sarah Sechan dan Dayu Wijanto.







Film ini bercerita tentang suami isteri, Alam dan Mia yang tengah menghadapi kelahiran anak pertama mereka. Selama ini Alam dianggap sebagai laki-laki yang tidak bisa diandalkan oleh keluarga besar Mia. Alam berusaha membuktikan diri pada kelahiran anak pertamanya, bahwa dia adalah seorang suami impian. Salman Aristo mengungkapkan menuis "Bukaan 8" menjadi tantangan tersendiri untuk dirinya, " film ini bersetting cerita dalam satu hari dan fokus di satu lokasi yaitu rumah sakit, ini yang menjadi tantangan menarik buat saya sebagai penumis". Bukaan 8 rencananua akan siap ditayangkan di bioskop akhir tahun 2016.

Thursday, August 11, 2016

ULASAN: THE SHALLOWS (2016)

Apa saja film tentang hiu pembunuh pasti akan dibandingkan dengan film tersohor Jaws-nya Steven Spielberg. Tapi The Shallows, di mana Blake Lively yang dipermainkan oleh hiu dekat pantai Meksiko yang indah, berani untuk membayangi para film blockbuster musim panas Hollywood, dan menurut saya film ini cukup berhasil. Ditulis oleh penulis skenario Anthony Jaswinski dan diarahkan dengan cukup menegangkan oleh Jaume Collet-Serra (Run All Night, Orphan), dan sentuhan cinematografi oleh Flavio Martinez Labiano.
Blake Lively (Green Lantern, Savages) menampilkan 87 menit hampir sepenuhnya dirinya sendiri, tanpa dibantu aktor pendukung terkenal, hanya beberapa pemeran lainya sebagai pendukung cerita. Yang paling umum di antaranya adalah si burung camar, Steven (mungkin terinspirasi dengan nama kondang sutradara Jaws). Nancy (Blake Lively) yang putus sekolah kedokteran membawanya ke pantai Meksiko dimana tempat ibunya sering berselancar sebelum mengandung Nancy. Berkabung atas kepergian ibunya, Nancy pun ketempat tersebut dan sedikit pencarian jiwa menghantarkanya ke surga dunia itu.
Nancy membuat kesalahan dengan berenang keluar untuk mendapatkan salah satu ombak terakhir, dan menyadari dia menuju ke tengah perairan pada saat makan siang hiu putih besar. Si predator puncak merasa terganggu akhirnya menyerang Nancy, dia pun terluka akibat serangan itu. Yang pada akhirnya berenang ke sebuah karang batu besar.
Disini film mulai melambat meskipun, gelombang tinggi ketegangan dipertahankan sepanjang film. Nancy mencoba beberapa kali untuk berenang ketempat yang lebih aman. Disamping itu beberapa unsur lain termasuk beberapa orang, burung camar, ubur-ubur, karang menyengat, bangkai ikan paus yang mengambang, dan kamera GoPro, tapi film ini menolak untuk terganggu oleh salah satu dari mereka. Laser-berfokus pada membangun ketegangan dan ketakutan, film ini hampir tidak tertarik ke backstory karakter protagonisnya, apalagi detail sekunder. Tidak, pada dasarnya ini menunjukkan seorang wanita yang lincah dan punya banyak akal, dengan emosi yang cukup dan jumlah yang sesuai untuk membuat sebuah ketegangan dalam film. 
Sekali lagi Collet-Serra ahli membuat kita terengah-engah melalui semua itu, memberikan sebuah film kelas B yang cukup sederhana yang didukung oleh cimatografi yang mumpuni yang dapat berenang kompetitif dengan atraksi utama diantara film-film musim panas Hollywood lainya.
Review oleh Pasko

PERJALANAN FESTIVAL FILM INDONESIA 2016 RESMI DIMULAI





Sejak dimulainya pada tahun 1955, Festival Film Indonesia (FFI) diadakan sebagai ajang kebudayaan lewat media film, kita belajar untuk mengetahui kualitas seni budaya kita. Film, tak dapat dipungkiri, adalah sebuah bentuk imaji seni yang sangat bisa diakses banyak orang, memukau penonton, sebelum akhirnya menginspirasi.



FFI tahun mendukung penuh akan pentingnya film sebagai sebuah warisan budaya. Dukungan dana negara masih sangat jauh dari cukup untuk melestarikan aset warisan budaya berupa film-film klasik Indonesia yang banyak tidak terawat. Oleh karenanya, inisiatif independen seperti yang dilakukan SA Films untuk merostorasi fim Tiga Dara, patutlah menjadi sorotan dan didukung dengan baik.



FFI 2016 memberikan penekanan terkait dengan sejarah: peluncuran yang dilakukan di Metropole, gedung bioskop klasik yang dilestarikan hingga sekarang. Malam puncak penghargaan FFI 2016 nanti pun akan dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki, tempat bersejarah terkait kesenian dan kebudayaan bangsa Indonesia.





FFI 2016 akan memulai aktvitasnya melalui pendaftaran film di semua kategori yang akan dibuka Agustus 2016. Pendaftaran ini akan menjangkau lebih banyak lagi komunitas film diseluruh Indonesia untuk menjaring film-film yang berkualitas. Penjuian sendiri akan dimulai pada 24 September 2016. Penjurian ini melibatkan seluruh pekerja film dari berbagai kalangan, melalui seluruh asosiasi film yang ada.


Pengumuman nominasi akan dilakukan pada 14 oktober 2016 di Lamoda, Plaza Indonesia. Khusus untuk film-film non-bioskop, film-film yang terpilih menjadi unggulan atau nominasi Piala Citra FFI 2016 akan diputar di berbagai komunitas serta tempat pemutaran alternatif sebelum acara malam puncak. Malam puncak penghargaan FFI sendiri akan dilakukan pada 10 November 2016 di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki.

Wednesday, August 10, 2016

HASIL RESTORASI 4K TIGA DARA SUDAH BISA DINIKMATI DI LAYAR BIOSKOP







Film Tiga Dara, salah sati film legendaris Indonesia yang pertama kali dirilis pada tahun 1956, sudah berhasil direstorasi dan dapat kembali dinikmati di bioskop-bioskop Indonesia mulai 11 Agustus 2016 dengan kualitas gambar dan suara yang lebih tajam, bersih dan jernih. Film Tiga Dara adalah sebuah film drama musikal karya Usmar Ismail, bapak perfilman Indonesia.



Film ini menceritakan tentang tiga saudara perempuan, yaitu Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya) dan Neni (Indriati Iskak). Sepeninggal ibu mereka, ketiganya hifup bersama ayah mereka, Sukandar (Hassan Sanusi) dan nenek mereka (Fifi Young) di Jakarta. Nene mereka tak henti-hentinya mencarikan jodoh untuk mereka. Sampai suatu ketika, semuanya dilanda asmara di saat yang bersamaan, sehingga terjadilah kekacauan yang jenaka di antara mereka.



Film Tiga Dara sangat sukses secara komersil dan ditayangkan selama 8 minggu berturut-turut diseluruh Indonesia dan menjadikannya sebagai film Indonesia terlaris pada masanya. Tidak hanya sukses secara komersil, film ini menjadi trend-setter sosial dan budaya yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia pada masa itu. Musik dalam film ini sendiri dibuat oleh komposer legendaris Saiful Bahri, Oetjin Nrhasjim dan Ismail Marzuki. Jadi tak heran film ini memenangkan penghargaan Piala Citra untuk kategori Tata Musik Terbaik pada FFI 1960.



Pada awalnya, inisiatif untuk untuk melakukan penyelamatan film Tiga Dara pertama kali dilakukan oleh pemerintah Belanda, melalui EYE Museum di Amsterdam, pada tahun 2011. Namun karena krisis ekonomi yang melanda Eropa saat itu, proses restorasi pu tertunda, dan pihak EYE Museum tidak dapat memberikan kepastian waktu mulainya restorasi. Karena ketidakpastian tersebut, dan khawatr kondisi fisik film akan semakin buruk dengan seiring perjalanan waktu, pihak SA Films mulai melakukan pembicaraandengan EYE Museum mengenai kemungkinan pengambilalihan proses restorasi film Tiga Dara. Melalui diskusi dan negosiasi yang panjang akhirnya disepakati bahwa SA Films akan mengambil alih proses restorasi dan pihak EYE Museum kembali mengirimkan materi asli seluloid film Tiga Dara yang saat itu berada di Amsterdam kembali ke Indonesia.



Total waktu pekerjaan restorasi , termasuk persiapan dan penyelesaian akhir, memakan waktu 17 bulan. Berdasarkan rekomendasi dan hasil analisa teknis tim PT. Render Digital Indonesia dan keinginan untuk memberikan hasil terbaik, diputuskan bahwa film Tiga Dara akan direstorasi dalam format 4K, format resolusi tertinggi yang secara teknis yang secara teknis dapat dilakukan di Indonesia. Tidak saja menjadi film Indonesia pertama yang direstorasi pada format 4K, film Tiga Dara juga menjadi film fil hasil restorasi 4K pertama di Asia yang disiarkan kepada publik.



Dengan hasil restorasi pada resolusi 4K, penonton akan disuguhkan sebuah pengalaman baru dalam menikmati film Tiga Dara. Gambar dan suara yang lebih tajam, bersih dengan detil yang lebih lengkap, yang bahkan tidak terlihat pada restorasi sebelum 4K.



So, masih pikir panjang untuk menonton film ini ?, yang pasti akan sangat sayang melewatkan pengalaman menonton di bioskop salah satu film legendaris ini. Terlebih jika kamu belum pernh menonton sebelumnya. Karena cerita dalam film ini masih sangat relevan dengan keadaan sekarang meskipun sudah 60 tahun usia film ini. Tiga Dara versi restorasi 4K ini sudah mulai bisa Gila Film lainnya tonton di bioskop mulai tanggal 11 Agustus 2016.