Wednesday, July 31, 2019

ULASAN: ASTERIX 'THE SECRET OF THE MAGIC POTION'



Bagi para penggemar Asterix, Obelix, Getafix (Panoramix), dan para penduduk desa Galia, kehadiran film terbaru Asterix: The Secret of The Magic Potion merupakan hal yang paling dinantikan, setelah menunggu selama empat tahun, sejak kemunculan film Asterix yang terakhir (Asterix: The Mansions of The Gods) pada tahun 2014. Film animasi Asterix kali ini bercerita tentang rencana pensiunnya sang dukun desa, Getafix (diisi suara oleh Bernard Alane). Getafix yang berencana pensiun dan mencari pengganti, membuat seluruh penduduk desa menjadi resah, karena hanya Getafixlah dukun sakti yang menjamin keselematan desa. Hanya Getafix yang dapat membuat The Magic Potion, ramuan ajaib yang dapat membuat orang yang meminumnya dapat menjadi semacam Super Human atau manusia yang super sakti sehingga tidak bisa dikalahkan.



Getafix mencari dukun muda sebagai penggantinya dengan berkeliling negeri, didampingi oleh Asterix (diisi suara oleh Christian Clavier), Obelix (di-dubbing oleh Guillaume Briat), dan hampir seluruh pria di desanya, hanya Assurancetourix (diisi suara oleh Arnaud Léonard) yang ditinggal di desa bersama para wanita dan anak-anak. Hal ini diketahui oleh Julius Cesar (di-dubbing oleh Philippe Morier-Genoud), sang musuh utama penduduk desa Galia. Julius Cesar pun segera meminta pasukan Romawi untuk menyerbu Galia. Penduduk yang tinggal berusaha menyelamatkan desa mereka dengan melawan tentara Romawi menggunakan ramuan ajaib yang tersisa. Ramuan tersebut semakin tiris, sehingga hanya menunggu waktu, pasukan Romawi dapat menguasai Galia. Di sisi lain, perjalanan Getafix untuk mencari pengganti mendapatkan halangan dari musuh utamanya sejak muda, yaitu Demonix. Demonix berniat untuk menggantikan Getafix dan mendapatkan resep ramuan ajaib.



Berhasilkah Getafix mendapatkan pengganti? Berhasilkah pendudk Galia menyelamatkan desanya dari serbuan tentara Romawi? Atau Demonixlah yang sukses menjalankan niat jahatnya? Tonton selengkapnya film ini di bioskop mulai awal Agustus 2019.



Film Asterix; The Secret of The Magic Potion ini seharusnya tayang di Desember 2018, namun akhirnya bisa tayang di Indonesia dengan tertunda sekitar 8 bulan kemudian, jadi sayang sekali kalau tidak sampai ditonton. Sebagaimana film-film Asterix yang lain, kamu bisa menyaksikan kelucuan tingkah pola penduduk desa Galia. Kelucuan pada film kali ini salah satunya adalah ketika Assurancetourix sang penyanyi dengan suara yang bising harus memimpin desa. Kekacauan yang sudha pasti akan terjadi akan membuat kamu tertawa sampai sakit perut.



Film Asterix memang wajib ditonton oleh penggemar komiknya, namun bukan berarti penonton yang baru mengenal Asterix tidak dapat menikmati film ini. Anak-anakpun dapat menonton film ini dengan didampingi orang tua. Animasi pada film ini sangat menyenangkan mata, walau terlihat mirip dengan versi komiknya, tetapi sudah sukup real.

Overall: 8/10

(By Aisyah Syihab)

Sunday, July 28, 2019

ULASAN: MA












Nama Tate Taylor mencuat ke permukaan ketika dia melempar The Help ke publik yang laris secara tangga box office maupun di mata kritik. Film bertemakan rasisme itu bahkan mengantarkan ketiga aktrisnya ke perhelatan Oscar, dan nama Octavia Spencer melaju hingga sekarang tanpa henti. Spencer bahkan menang banyak saat ia memproduseri Green Book yang begitu sukses di lapangan. Spencer yang selama ini kita kenal dengan karakter baik-baiknya, di film bertajuk Ma ini, Spencer memutarbalikkan keklisean karakter yang seriang ia bawakan. Tidak ada Spencer yang suportif layaknya di Hidden Figures dan The Shape of Water.



Ma mengangkat tema pembalasan dendam akibat sakit hati atas korban bully di zaman sekolah. Octavia Spencer adalah Ma, yang dengan friendly mengajak sekumpulan anak-anak ‘bandel’ untuk berpesta di rubanah miliknya. Ma yang awalnya hanya menipu Maggie dan teman-temannya, lambat laun menghipnotis lebih banyak lagi remaja nakal untuk mabuk dan pesta di rumahnya. Klimaks muncul ketika tabir masa lalu mulai muncul dan melibatkan para pelaku bully termasuk Ibu Maggie.



Menonton film Ma, memori saya langsung menuju ke film Misery. Memakai pola yang sama, dengan Kathy Bates sebagai tonggak filmnya. Tanpa bermaksud membandingkan, bagi saya Ma sangat jauh untuk sekadar menyamai kualitas Misery. Spencer mungkin ingin membuktikan bila dia bukan aktor spesialis pendukung yang lemah lembut nan tegar, Ma adalah pembuktian yang pas. Kendati melihat Octavia Spencer menjadi jahat tidak serta merta meyakinkan saya, namun kejanggalan tersebut ditepiskan oleh Spencer. Kejahatan yang dirangkai ia mainkan dengan begitu ekspresif. Aktor lain yang menurut saya sangat mencuru perhatian adalah Juliette Lewis. Beliau berhasil mengemban tugas sebagai orang tua tunggal yang protektif.



Sebenarnya, membawa premis balas dendam bukanlah hal baru. Ma mengambil pola itu tanpa ada modifikasi yang terlalu signifikan. Alur Ma terkesan bertele-tele dan begitu timpang. Selain Ma sendiri, tidak ada karakter yang kuat secara penceritaan. Saya tidak bisa berempati ke para remaja atas kebodohan mereka sendiri. Karena apa, sebab mereka kembali mengulang kunjungan tersebut walaupun sudah diperingatkan sendiri oleh ancaman Ma. Sungguh sulit menoleransi naskah yang sangat tipis seperti ini. Belum lagi motif Ma membiarkan anaknya mendekam di rumah terlalu lemah untuk dijadikan kejutan di akhir film. Tapi, untuk film yang memang mengkhususkan dirinya berdiri di genre thriller, saya akui adegan pembantaian terakhir betul-betul mengejutkan dan sungguh berani bila saya melihat arah menuju ending sangat halus dan tidak ada kesan brutalnya.



Akhirnya Ma hanya menjadi pembuktian singkat dari Octavia Spencer walaupun secara keseluruhan film bisa dikatakan gagal membangun tensi dan meninggalkan kesan horor dengan cara sederhana. Tate Taylor adalah penanggungjawab tunggal membiarkan konklusi naskahnya berjalan seadanya.

Overall: 6/10

(By: ruttastratus)

Friday, July 26, 2019

ULASAN: DETECTIVE CONAN 'THE FIRST OF BLUE SAPHIRE



Detective Conan merupakan salah satu manga terlaris di dunia yang telah diadaptasi ke dalam film, seri anime, video games, bahkan di-crossover dengan serial lain, Lupin III. Penggemarnya sendiri di Indonesia cukup banyak karena statusnya yang terbilang veteran di dunia manga dan anime, tak heran jika film animasi terbarunya selalu dinantikan. Film Detective Conan: Fist of The Blue Sapphire (Metantei Konan: Konjō no Fisuto) merupakan film ke-23 dari Case Closed Series, yaitu film yang memiliki cerita original yang bukan merupakan adaptasi cerita dari manganya. Film Detective Conan yang termasuk Case Closed Series selalu dirilis setiap bulan April dimulai dari tahun 1997. Film Detective Conan yang terbaru ini dirilis di Jepang pada 12 April 2019 dan baru tayang resmi di Indonesia pada 24 Juli 2019, sementara film ini sudah tayang lebih dahulu di Singapura pada 13 Juni, dan Malaysia pada 26 Juni. Film ini merupakan kelanjutan dari film Detective Conan: Zero The Enforcer yang rilis pada 2018 lalu. Film ini juga merupakan Film Case Closed Series terakhir di era Heisei sebelum transisi kekaisaran Jepang yang juga terjadi di tahun 2019 ini. Film ini mendapat perolehan Box Office domestik di Jepang yang cukup fantastis yaitu ¥ 9,1 milliar pada 7 Juli 2019, menjadikannya salah satu dari 50 film terlaris sepanjang masa di Jepang bahkan sempat mengalahkan posisi Avengers: Endgame di posisi puncak Box Office Jepang selama beberapa minggu.



Dalam Film Fist of The Blue Sapphire ini diceritakan dengan prolog khas cerita Conan umumnya yaitu terjadinya kasus pembunuhan di Singapura yang disertai ledakan bom. Cerita berlanjut ke Conan yang ingin kembali menjadi Shinichi Kudo dengan berusaha membujuk Ai Haibara agar dapat pergi ke Singapura untuk menyaksikan pertandingan karate Kyogoku. Karena tidak dikabulkan akhirnya Conan pulang, tetapi dalam perjalanan pulang Conan tanpa diduga bertemu dengan Kaito Kid yang menyamar sebagai Ran. Conan dibuat tertidur dan kisah berikutnya menampilkan Conan sudah berada di Singapura. Setelah sadar, Conan kembali dikejutkan oleh pemandangan yang ia lihat, yaitu Ran bersama dengan seorang yang mirip Shinichi, saat itulah ia sadar selama ini ia telah terlibat dalam rencana Kaito Kid. Kaito Kid menjelaskan pada Conan bahwa ia sengaja menyelundupkan Conan ke Singapura untuk memecahkan kasus pembunuhan yang ada dalam adegan pembuka film ini. Kaito Kid membutuhkan bantuan Conan karena dirinya dituduh sebagai pembunuh akibat ada kartu dirinya tertinggal di lokasi kejadian. Conan akhirnya berura-pura sebagai turis Jepang bernama Arthur Hirai. Conan harus mematuhi Kid agar bisa pulang kembali ke Jepang karena ia pasti akan kena cekal akibat masuk ke Singapura lewat cara ‘diselundupkan’ oleh Kid. Kid tentu saja masih mengincar permata Blue Sapphire yang disematkan dalam sabuk juara karate yang akan diperebutkan di mana Kyogoku menjadi salah satu kontestan. Leon Lowe bertindak sebagai kepala firma keamanan yang disewa untuk mengamankan Blue Sapphire tersebut. 


Seiring berjalannya cerita, terjadi pembunuhan lain yang ternyata adalah jebakan Leon Lowe untuk Kaito Kid ketika akan mengambil Blue Sapphire dari brankas tempat penyimpanan sabuk juara. Hal ini membuat Kid menjadi tersangka. Akankah Conan dapat membantu Kid menguak kasus pembunuhan yang ada sekaligus membuktikan bahwa Kid tidak bersalah? Premis ini coba dibawakan dengan plot yang berlapis dan diselubungi teka-teki pembunuhan khas cerita Conan. Di Fist of Blue Sapphire ini, Chika Nagaoka duduk sebagai sutradara sementara naskah cerita dipegang oleh Takahiro Okura. Untuk Scoring musiknya ditangani kembali oleh Katsuo Ono. Lagu Tema yang berjudul “Blue Sapphire” dinyanyikan oleh vokalis Hiroomi Tosaka, yang juga merupakan vokalis grup vokal dan dance Sandaime J Soul Brothers. Para Seiyuu (voice cast) utamanya juga kembali dalam film ini, seperti Minami Takayama (Conan Edogawa), Wakana Yamazaki (Ran Mouri), Rikiya Koyama (Kogoro Mouri), dan Kappei Yamaguchi (Kaito Kid). Tampil juga seiyuu tamu, yaitu Ikusaburo Yamazaki (Leon Lowe), dan Makuyo Kiwakita (Rachel Cheong).



Film Conan ini menjadi satu-satunya film yang setting tempatnya berada Di luar Jepang, yaitu Singapura. Aoyama Gosho, sang kreator, mendapat ide memakai Singapura sebagai Latar tempat sehabis ia mengunjungi negara tersebut pada acara Singapore Writers Festival di tahun 2016 lalu. Alkisah Aoyama langsung memikirkan cerita tentang harta Karun terpendam Di dekat selat Malaka dan muncullah ide cerita Blue Sapphire ini. Chika langsung menghubungi Singapore Tourism Board untuk berdiskusi dan meminta sejumlah saran. Hal ini juga menjadi kelebihan film ini Karena menampilkan tempat-tempat dan suasana yang berbeda. Banyak landmark terkenal di Singapura ditampilkan persis mendekati aslinya, seperti patung Merlion, Marina Bay Sands, Maxwell Food Centre, dan Fountain of Wealth di Suntec City sehingga membuat Singapura dalam film ini terasa seperti Singapura dalam dunia nyata.



Selain itu, keistimewaan cerita dalam film ini dibanding film lainnya adalah Conan harus bekerja sama Dalam banyak hal dengan rivalnya Kaito Kid untuk menguak kasus pembunuhan. Selain itu film ini juga mempertemukan Kid dengan Kyogoku yang dalam serial komiknya memang pernah berduel. Kedua faktor ini tentu menjadi daya tarik utama film ini selain teka-teki pembunuhan yang harus dipecahkan. DalamDalam Fist of Blue Sapphire, Kita seakan sudah diberitahu siapa sebenernya tokoh antagonisnya, namun Leon Lowe digambarkan sebagai seorang ahli psikologi kriminal Yang cekatan dan sanggup menjebak Kid. Sangat seru melihat dinamika Conan dan Kid bahu-membahu dalam memecahkan misteri pembunuhan sekaligus menguak motif Leon. Namun di penghujung film Kita diberi twist yang cukup mengejutkan bahwa ada dalang intelektual lain di balik kekacauan yang terjadi di Marina Bay Sands. Dalam cerita ini juga terdapat kisah Kyogoku dan Sonoku yang juga menjadi benang merah cerita ini. Masing-masing karakter mendapat porsi dan waktu yang proportional untuk 



memperlihatkan aksi dan cerita pengembangan karakternya. Kid yang mendominasi adegan kejar-kejaran dan pencurian melawan polisi maupun bekerja Sama dengan Conan yang diselingi gaya komedi yang sukses membuat penonton terhibur, lalu Conan yang seperti biasa berusaha keras memecahkan kasus namun kadang terganggu akibat Kid yang menyamar sebagai Shinichi dan terus didekati Ran. Kyogoku digambarkan memiliki konflik batin dalam dirinya dan hubungannya dengan Sonoko serta perjuangannya untuk bangkit meraih kembali kepercayaan dirinya. Alur cerita berjalan cukup cepat dan diperlukan konsentrasi cukup tinggi agar dapat memahami penjelasan pemecahan misteri pembunuhan dan kenapa Leon melakukan itu semua. Ran dan Kogoro walau hanya tampil sebagai pendukung namun mampu memberikan warna tersendiri dan suasana komedi Di beberapa adegan. Penonton akan dibuat terhibur dengan aksi Kid yang terpaksa bermesraan dengan Ran Di kolam yang ada di atas Marina Bay Sands dan bagaimana situasi tersebut dihadapi Conan. Adegan final dalam film ini adalah sesuatu yang spektakuler dan sangat menegangkan karena melibatkan Marina Bay Sands dalam posisi terancam akan ditabrak kapal tanker di saat banyak orang berada di dalamnya. Kekurangan film ini hanya baik Conan maupun Kid dengan mudahnya dapat menyamar dan tidak dikenali padahal mereka tidak melakukan perubahan apapun pada wajah mereka. Namun nampaknya ini menjadi logika yang harus diterima oleh penonton. Penutup film ini menampilkan video beberapa lokasi di Singapura dengan lagu penutup Blue Sapphire menjadikan film ini begitu dekat dengan kita warga negara Asia Tenggara pada khususnya.



Dalam Fist of Blue Sapphire terkandung pesan dualisme bahwa bela diri selain berfungsi melindungi orang yang Kita sayangi dan orang terdekat Kita namun apa Yang harus Kita lakukan jika Bela diri teesbut juga membahayakan orang yang menguasainya termasuk orang-orang yang disayangi. Dalam film ini juga terdapat penjelasan untuk hal tersebut. Film Fist of The Blue Sapphire ini adalah film animasi Conan terbaik karena dinamika cerita dan tokoh-tokohnya serta intrik yang menarik menjadikan film ini begitu asyik ditonton. Jangan lupa end credit scene untuk teaser film Detective Conan Di tahun 2020

Overall: 8/10

(By Camy Surjadi)  




ULASAN: UKA-UKA THE MOVIE





Uka-Uka merupakan segmen uji nyali dari acara Reality Show mistis yang cukup terkenal di tahun 2000-an berjudul Gentayangan, acara ini dibawakan oleh mendiang Torro Margens yang tayang di stasiun TPI. Acara ini senantiasa menampilkan penampakan-penampakan di setiap episodenya yang dilatarbelakangi oleh kisah mistis dari legenda urban atau kisah angker tempat lokasi syuting episodenya. Melihat kepopuleran acara tersebut maka Max Pictures mengangkat acara ini menjadi film layar lebar berjudul Uka – Uka The Movie: Nini Tulang dengan menampilkan Nini Tulang. Nini Tulang sendiri merupakan mitos atau cerita legenda daerah yang berwujud nenek tua dengan kondisi kaki sebelah putus akibat amputasi dan berjalan terseok-seok. Film ini diproduksi oleh rumah produksi Max Pictures dan disutradarai Ubay Fox. Ide film ini sebetulnya sudah ditawarkan cukup lama oleh produser sekaligus sutradara program Gentayangan, Harris D Cinnamon namun baru sekarang film ini bisa dirilis setelah menemukan formula yang pas dan didukung oleh para cast yang juga adalah pemeran pendukung di film Dilan agar bisa diterima di kalangan milenial. Film Uka – Uka The Movie: Nini Tulang ini akan rilis di seluruh bioskop Indonesia pada tanggal 25 Juli 2019 yang akan datang.



Mengusung genre horor-komedi, film ini bercerita tentang seorang mahasiswi, Selly (Steffy Zamora) yang mencoba ikut acara Uka-Uka dilatarbelakangi karena tantangan temannya Karin (Yoriko Angeline). Selly menerima tantangan tersebut karena dirinya tidak percaya hal-hal yang berhubungan dengan supranatural dan menganggap semua yang terjadi dalam acara Uka-Uka adalah rekayasa belaka. Meski Selly sudah dilarang oleh pacarnya Rama (Gusti Rayhan) tapi Selly tetap bersikeras untuk ikut karena dirinya ingin sekaligus membuktikan bahwa hantu itu tidak ada dan acara Uka-Uka tidak lebih dari settingan saja. Maka dengan ditemani Rama, Karin, pacar Karin, Doni (Debo Andryos), dan sahabat mereka, Eja (Reza Aditya), Selly bergegas menuju lokasi uji nyali yang sudah disiapkan tim Uka-Uka. Sebelum acara dimulai, tim acara Uka-Uka sudah berpesan untuk tidak mengucapkan kata terlarang yang menantang kehadiran Nini Tulang. Selly tidak menggubris larangan tersebut yang berakibat malah membawa Selly dan teman-temannya ke dunia astral. Akankah Selly berhasil menyelamatkan diri bersama teman-temannya dari teror Nini Tulang? Premis cerita yang ingin dibawakan film ini tetap berfokus pada tema horor dengan selipan komedi situasi sehingga nuansa mistis tetap terasa dominan dalam film ini. Mendiang Torro Margens yang sudah lekat dengan acara Gentayangan dan mendiang Saphira Indah juga turut bermain terakhir kali sebagai paranormal dalam film ini. Dari sisi cerita tidak ada yang baru karena alurnya simpel dan mudah ditebak namun alur cerita film ini tetap terjaga konsistensinya lewat penempatan adegan horor dan komedi yang pas dan bisa menjaga mood penonton. Adegan jump scare yang ditampilkan diletakkan di momen yang tepat sehingga cukup membuat kaget penonton. Film ini juga mencoba menampilkan sisi romantis antara Selly dan Rama namun tidak terlalu berhasil akibat chemistry yang terbangun kurang dapat dirasakan penonton. Komedi dalam film ini lebih kepada komedi situasi yang tercipta lewat dialog para pemainnya yang cukup berhasil memancing tawa dan mengurangi rasa tegang penonton ketika menonton.


Setting Goa Belanda cukup membantu terciptanya suasana angker dan horor dalam film ini walau dari sisi sinematografi tergolong biasa saja. Sebetulnya karakter Nini Tulang punya potensi untuk digali lebih mendalam tentang mengapa akhirnya dia mati gentayangan dan apa yang membuatnya membenci manusia ketimbang penjelasan lewat adegan flashback tanpa narasi sama sekali. Hal ini membuat penonton kurang terhubung dengan karakter Nini Tulang dan teror yang ditimbulkannya. Dari sisi pemain, ada beberapa momen yang memperlihatkan akting Gusti Rayhan maupun Steffi masih terlihat kaku dan canggung. Karakter Torro Margens juga kurang dimanfaatkan maksimal selain sebagai ikon acara Uka-Uka saja. Akting pemain lainnya cukup standar dan tidak begitu memorable. Kurangnya eksplorasi karakter juga membuat film ini kurang membekas di benak penonton.



Negeri kita punya banyak mitos dan legenda yang terkait supranatural yang tidak kalah dengan negara Asia lainnya seperti Jepang, Korea, maupun Thailand. Sebetulnya cerita film horor yang terinspirasi dari mitos urban sudah banyak dan menjadi komoditas utama horor di negeri kita namun sangat sedikit yang punya cerita mendalam dan berkualitas. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan cerita yang menarik dan tidak hanya mengandalkan efek kaget saja. Semoga sineas perfilman di negeri kita bisa lebih kreatif dalam mengembangkan cerita horor dan tidak memakai formula usang yang itu-itu saja.


Overall : 6/10

(By Camy Surjadi)


Friday, July 19, 2019

ULASAN: THE LION KING



Disney dikenal lewat film animasinya yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang sanggup menyentuh siapapun yang menontonnya. Film animasi Disney memiliki nilai sentimental tersendiri bagi setiap keluarga karena nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Beberapa tahun belakangan, Disney gencar membuat ulang cerita animasi mereka yang terkenal ke versi live-action, sebut saja Beauty and The Beast, The Jungle Book, Dumbo, dan Aladdin adalah beberapa contoh di antaranya. Tujuannya selain untuk bernostalgia adalah untuk mempopulerkan kembali cerita-cerita tersebut ke generasi masa kini. The Lion King adalah salah satu film animasi Disney yang paling dikenal pada tahun ‘90an yang merupakan debut film animasi dengan cerita orisinal, bukan reinterpretasi dongeng atau mitos seperti cerita animasi Disney yang lain. Cerita The Lion King merupakan cerita yang paling berpengaruh terhadap budaya pop dan membantu Disney menciptakan film animasi dengan cerita-cerita yang lebih dewasa dan berkarakter. The Lion King juga telah menelurkan pertunjukan Broadway Musical bertajuk sama yang sukses dan piala Grammy dari lagu “Can You Feel The Love Tonight” yang tetap dikenang hingga sekarang. Di bulan Juli ini kita disuguhkan dengan film live-action The Lion King yang telah diriis di bioskop Indonesia pada 17 Juli 2019. Film The Lion King sendiri telah tayang di Hollywood pada 9 Juli 2019 yang lalu dan akan rilis serentak di US pada 19 Juli 2019. Disutradarai oleh Jon Favreau yang sukses lewat penyutradaraan film animasi live-action The Jungle Book dan dibintangi banyak bintang terkenal seperti Donald Glover, Beyonve Knowles, Seth Rogen dan Chiwetel Eijofor, jelas film ini menjadi film yang ditunggu-tunggu terlebih bagi penggemar setia Disney.



Film The Lion King bercerita tentang seorang singa muda, Simba (JD McCrary/ Donald Glover) yang dibesarkan sebagai pangeran dan pewaris tahta dari Pride Lands, suatu wilayah hutan di Afrika, yang dikuasai oleh ayahnya, raja Mufasa (James Earl Jones) yang arif dan bijaksana. Bersama temannya Nala (Shahadi Wright Joseph/ Beyonce Knowles-Carter) mereka sudah dipersiapkan sebagai raja dan ratu untuk memimpin di masa mendatang. Akan tetapi, tidak semua sependapat dan menyambut hal tersebut dengan baik, Scar (Chiwetel Ejiofor) yang merupakan saudara Mufasa, merasa iri dengan kehadiran Simba karena posisinya sebagai penerus tahta tergeser. Diam-diam Scar sudah merencanakan kudeta bersama dengan para Hyena yang merupakan musuh kawanan singa, Shenzi (Florence Kasumba), Kamari (Keegan-Michael Key), dan Azizi (Eric Andre). Scar menjalankan rencananya dengan membunuh Mufasa dan meyakinkan Simba bahwa ayahnya wafat akibat kelalaiannya, Simba yang dalam keadaan terpuruk melarikan diri dan lolos dari percobaan pembunuhan oleh Mufasa lewat para hyena. Simba lalu berkenalan dengan Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen) yang hidup jauh dari Pride Lands, Simba kecil tinggal bersama mereka hingga dewasa hingga suatu saat teman dari masa lalunya, Nala, muncul dan mencoba meyakinkan Simba untuk merebut kembali haknya dan mengatasi kekacauan yang terjadi di Pride Lands. Akankah Simba kembali berkumpul bersama keluarganya dan dapat menghadapi Scar yang kini telah menguasai Pride Lands? Demikianlah premis cerita The Lion King versi live action yang sama persis seperti cerita animasi aslinya, jika diperhatikan durasi untuk film ini lebih panjang setengah jam dibandingkan versi aslinya karena ingin lebih mengeksplorasi karakter Sarabi (Alfre Woodard) dan Nala. Dari sisi cerita, Favreau tidak ingin mengubah dan menciptakan kisah baru karena kisah aslinya sendiri sudah sangat bagus dan memiliki kedalaman emosi yang menyentuh. Favreau berkeinginan agar penonton baik yang sudah pernah menonton versi animasinya maupun generasi masa kini tetap merasakan emosi yang sama.



Sulit menonton film ini tanpa membandingkan dengan versi orisinalnya, jika versi aslinya merupakan animasi 2D yang menggambarkan nuansa Afrika yang penuh warna maka versi 2019 ini betul-betul menggunakan teknologi canggih abad ini untuk membuat semua karakternya seperti binatang asli yang benar-benar hidup dan dapat berbicara seperti di versi 1994. Tidak kurang dari 180 animator handal dipekerjakan untuk menggarap dan menjadikan lebih dari 86 spesies hewan yang mendiami Pride Lands nampak hidup dan memiliki visual yang sangat mengagumkan. Efek visual yang digunakan adalah teknik serupa seperti dalam film The Jungle Book, dalam teknik ini gerakan dan mimik dari hewan-hewan yang ada dalam film dilakukan oleh para aktor dengan teknik motion capture dan digabungkan dengan teknik VR/AR. Moving Picture Company adalah studio yang bertanggung jawab menangani efek visual film ini, yang juga menangani efek The Jungle Book. Hasil akhirnya seperti yang kita saksikan dalam film, semuanya nampak seperti ‘photo-realistic’ seakan menyerupai cuplikan yang terdapat di film dokumenter hewan dalam National Geographic atau Animal Planet baik dari interaksi hewan-hewan maupun visualisasi padang belantara Afrika yang meliputi padang rumput, gurun, dan bebatuan yang sangat mengagumkan. Selama menonton kita akan merasa takjub dan pasti mengalami flashback karena teringat dengan adegan dalam versi animasinya. Otak kita akan butuh waktu untuk memproses bahwa singa, jerapah, zebra, dan kuda nil yang kita lihat adalah hasil rekayasa CGI bukan hewan asli. Yang dilakukan Favreau lewat film ini adalah dia memfokuskan pada sisi realistis dari film ini dengan menampilkan hewan “hyper-realistic” yang dapat berlaku selayaknya hewan sungguhan namun memiliki mimik dan dapat menggerakkan mulutnya untuk berbicara. Ada keterbatasan dalam hewan-hewan dalam film ini yaitu mereka tidak dapat menampilkan emosi selayaknya manusia dan juga tidak bisa bertindak seperti versi animasinya yang membuat film orisinalnya tetap lebih unggul. Keterbatasan inilah yang perlu dijembatani dengan bantuan para voice cast untuk membuat film ini memiliki jiwa dan dinamis ketika ditonton.



Dari sisi voice cast, banyak talenta mumpuni yang sudah dipilih untuk memerankan karakter-karakter ikonik dalam film ini. Mufasa tetap diperankan oleh voice cast aslinya yaitu James Earl Jones dan ia tetap mampu menampilkan Mufasa sebagai raja berkharisma dan bijaksana, untuk Simba muda diperankan dengan baik oleh McCrary karena mampu menampilkan singa anak-anak yang sok tahu dan masih lugu secara proporsional, sementara Donald Glover tampil agak biasa dan kurang dimaksimalkan ketika mengisi suara Simba dewasa. Sisi komedi film ini ditampilkan dengan sangat baik oleh John Oliver, Billy Eichner, dan Seth Rogen sebagai Zazu, Timon, dan Pumba. Mereka mampu membawakan karakter dengan nuansa komedi yang hidup dan dinamis yang disesuaikan dengan masa sekarang. Chiwetel sebagai Scar tampil cukup meyakinkan tapi tidak cukup memorable untuk menggantikan Scar versi animasi yang sudah sangat lekat di ingatan.



Scoring musik dari film ini kembali ditangani Hans Zimmer seperti versi orisinalnya sedangkan untuk lagu-lagu soundtrack film ini kembali diaransemen ulang seperti “Circle of Life”, “Hakuna Matata”, “I Just Can’t Wait to be King”, dan “Can You Feel The Love Tonight”. Beyonce turut mengaransemen ulang lagu “Can You Feel the Love Tonight” bersama Elton John dan menampilkan lagu baru “Spirit”. Elton John dan John Rice sendiri turut menyumbangkan lagu baru ‘Never Too Late” untuk lagu bagian penutup film ini.



Cerita The Lion King terinspirasi dari drama tragedi Hamlet karya Shakespeare dengan beberapa penyesuaian. Film Lion King memperkenalkan cerita konspirasi, pengkhianatan, dan keberanian berlatar kerajaan hewan yang dapat dianalogikan dengan manusia yang sangat ikonik. Versi animasinya dapat dianggap sebagai fabel karena menampilkan karakter hewan yang dapat berbicara dan menghadapi kondisi layaknya manusia. Dalam proses adaptasi ke versi live-action Disney memegang kendali atas hal yang diubah atau tetap sama seperti versi animasinya. Langkah ini tidak 100% berhasil karena banyak faktor yang terlibat untuk membuat penonton tetap antusias dan terhubung dengan ceritanya. Ambil contoh Dumbo yang rilis beberapa waktu lalu, Disney mengambil langkah untuk membuat versi live-actionnya lebih manusiawi dengan membuat karakter hewan dalam film tersebut tidak berbicara sama sekali, akibatnya film tersebut kehilangan esensi cerita dan karakter Dumbo yang sudah dikenal penonton. Dalam The Lion King usaha tersebut bisa dibilang kurang berhasil karena level emosional yang diciptakan tidak sedalam versi animasinya. Penonton masih merasa canggung untuk menerima hewan asli yang dapat berbicara dan memiliki emosi layaknya manusia. Namun dasar cerita yang kuat dan visual yang mengagumkan tetap membuat film ini menarik untuk diikuti.



Lewat The Lion King tersirat pesan bahwa keseimbangan alam akan rusak jika manusia serakah dan tidak menjaganya dengan baik, ini digambarkan lewat kepemimpinan Scar yang menggunakan prinsip kekuasaan dan kekerasan daripada kebijaksanaan. Pesan-pesan moral demikian banyak kita temukan dalam film Disney yang sangunp mengajarkan nilai-nilai baik kepada anak-anak maupun orang dewasa dengan tidak bersifat menggurui. Teknologi animasi yang berkembang pesat seperti yang kita saksikan dalam The Lion King sangat menjanjikan untuk masa depan perfilman. Teknologi ini selayaknya dimanfaatkan Disney dengan medium dan penyampaian cerita yang tepat lewat film-film orisinal di masa mendatang ketimbang mendaur ulang film animasinya dengan berbagai penyesuaian. Penonton termasuk saya masih percaya kalau Disney sanggup menciptakan keajaiban lewat film-filmnya.

Overall: 6,5/10

(By: Camy Surjadi)

Sunday, July 14, 2019

ULASAN: CRAWL




Film yang bercerita tentang petualangan manusia bertahan hidup dari bencana alam ataupun hewan predator selalu menarik karena keduanya merupakan kondisi yang sangat mungkin dialami oleh setiap individu tergantung lokasi di mana ia berada. Nah apa jadinya jika kedua aspek bahaya tersebut dipadukan menjadi satu dalam film, dalam hal ini ancaman buaya dan banjir sekaligus, hal inilah yang menjadi premis yang ingin dibawakan dalam film Crawl. 


Bergenre disaster-horror, Crawl sendiri bercerita soal seorang gadis bernama Haley Keller (Kaya Scodelario) yang berusaha mencari keberadaan ayahnya, Dave (Barry Pepper) setelah mendapat kabar dari kakak perempuannya Beth (Moryfydd Clark) bahwa ayah mereka mungkin berada dalam situasi berbahaya mengingat peringatan badai besar disertai banjir (Hurricane Level 5) sedang melanda Florida. Status evakuasi yang diumumkan pemerintah setempat membuat Haley bergegas menuju rumah masa kecil mereka tempat ayah mereka kemungkinan besar berada. Walau sudah ditetapkan larangan melintas menuju area yang akan dituju akibat kondisi badai besar yang makin memburuk, Haley tetap menerjang dengan fokus utama mencari dan menyelamatkan ayahnya. Sesampainya di rumah mereka, Haley akhirnya menemukan anjing mereka, Sugar dan ayahnya yang terluka parah di ruang bawah tanah. Bersamaan dengan itu banjir mulai memasuki rumah mereka, tetapi Haley akhirnya sadar bahwa banjir hanyalah masalah kecil dibanding dengan penemuan sekawanan buaya dari rawa yang sudah memasuki ruang bawah tanah mereka lewat gorong-gorong dan sedang mengintai mereka. Berpacu dengan waktu yang semakin terbatas, akankah Haley dan ayahnya bisa meloloskan diri dari banjir dan ancaman buaya-buaya yang kelihatannya mustahil tersebut? Film ini disutradarai oleh Alexandre Aja yang sudah dikenal lewat penyutradaraan film-film horor-thriller seperti The Hills Have Eyes (2006), Mirrors (2008), Piranha 3D (2010), dan Horns (2013). Sementara di kursi produser adalah Sam Raimi yang merilis film ini lewat Rumah Produksinya Ghost House Pictures.


Dibandingkan film-film sejenis yang mengusung bencana alam, Crawl memiliki kelebihan cerita dan kondisi yang lebih bisa diterima logika. Plotnya sederhana, peletakan adegan klimaksnya pas dan tidak berlebihan, pemakaian unsur konflik atau ancaman berlapis (banjir dan buaya) sukses membuat penonton terjaga sampai akhir film. Kekurangannya mungkin hanya pada pengembangan karakter yang kurang dan lebih berfokus kepada aksi Haley bersama ayahnya dalam upaya lolos dari maut. Untungnya suguhan aksi yang ditampilkan dalam film bisa menutupi kekurangan tersebut. Premis yang diusung Crawl memang memiliki magnet tersendiri, karena dari trailer penonton sudah diberi teaser gambaran bahaya yang dihadapi oleh tokoh protagonis sehingga membuat rasa penasaran di benak penonton. Suasana mencekam berhasil diciptakan lewat setting lokasi dan pencahayaan yang tepat. Haley sebagai tokoh protagonis senantiasa ditempatkan dalam posisi sulit dan terjebak sepanjang film namun selalu bisa menemukan solusi dengan cara yang masuk akal. Walau hampir semua sebagian besar film ini mengandalkan CGI namun situasi badai dan banjir digambarkan dengan cukup realistis, demikian pula dengan buaya yang ada dalam film ini. Adegan yang melibatkan buaya dalam film ini murni menggunakan CGI dan bukan animatronik dibantu efek praktikal dari para kru yang bertujuan agar pergerakan buaya benar-benar luwes dan menggambarkan interaksi antara para tokoh manusia dengan buaya secara utuh. Dengan mengusung gaya gore, efek luka yang dialami para pemain dalam film ini turut menambah level realisme dari film ini, seperti ketika tangan dan kaki Haley diterkam oleh buaya atau ketika Dave mengalami patah tulang demikian pula ketika para buaya menyerang polisi dan penduduk yang sedang merampok toko kelontong.



Kaya Scodelario, yang sudah kita kenal lewat trilogi The Maze Runner tampil meyakinkan sebagai Haley karakter gadis pemberani dan cekatan yang tidak mudah menyerah. Sementara Barry Pepper cenderung tampil biasa dan agak kurang dalam menciptakan chemistry antara ayah dan anak dengan Haley, hubungan antara mereka hanya ditampilkan lewat flashback dan interaksi Haley dengan kakaknya Beth. Dengan cerita yang hanya berfokus pada dua cast utama semestinya dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi karakter Haley dan Dave lebih mendalam misalnya dengan menampilkan cerita ketika mereka masih bersatu dalam satu keluarga bersama ibu mereka dan Beth ketimbang hanya menampilkan flashback dan mengandalkan penjelasan lewat dialog antara Haley dan Dave. Background Haley sebagai perenang yang ulung ditampilkan cukup baik namun seharusnya bisa lebih mengeksplor sisi lain yang menunjukkan Haley sebagai wanita mandiri dan tangguh karena ini bisa menjadi modal penting untuk memperkaya karakternya.



Alexander Aja nampaknya paham menciptakan momen-momen mencekam dan memacu adrenalin sepanjang film. Tone horor dipadukan dengan baik bersama aspek bencana dalam film. Penonton senantiasa diberi kejutan baru yang tidak berulang dalam momen-momen penting di film ini. Salah satu adegan klimaks ketika Haley berusaha melawan buaya dalam kamar mandi merupakan adegan yang paling seru dan menarik. Alexander Aja mahir membuat penonton percaya bahwa situasi yang sulit dan hampir mustahil tetap bisa diatasi oleh karakter protagonis dengan cara yang logis. Lewat film ini Alexander berupaya menampilkan dari dekat seperti apa rasanya bagi orang yang mengalami secara langsung berada dalam badai topan Hurricane Level 5 dan separah apa kerusakan yang ditimbulkan lewat perspektif Haley dan Dave. Unsur ancaman buaya hanyalah tambahan untuk membuat daya jual film ini meningkat.



Lewat film ini Alexander mengusung pesan bahwa skill bertahan hidup wajib dimiliki siapapun dan ini tercermin lewat karakter Haley sebagai wanita yang kuat, berani, dan tidak mudah menyerah serta Dave yang senantiasa mendukung Haley. Demikian pula dengan isu lingkungan seperti banjir dan badai topan yang mengajak kita untuk berempati bahwa kita wajib melindungi keluarga dan hal yang kita sayangi dengan sekuat tenaga. Film ini termasuk film yang kreatif dan seru untuk ditonton, karena memadukan dua hal yang belum pernah ada sebelumnya. Asalkan masuk akal, potensi kreatif film bergenre disaster masih sangat terbuka lebar.


Overall: 7/10
(By Camy Surjadi)


Monday, July 8, 2019

ULASAN: YESTERDAY




Tanpa perlu mencari tahu lebih banyak lagi, siapapun kamu yang menggemari lagu-lagu The Beatles pasti sudah merasa tertarik untuk menonton 'Yesterday' ketika melihat trailernya pertama kali. Terlebih premisnya cukup menarik dari yang ditampilkan. Apa yang terjadi jika The Beatles tidak pernah terlahir ? Tidak ada yang mengenal nama grup legendaris tersebut ataupun lagu-lagu mereka ? Masalahnya hanya kamu satu-satunya orang di muka bumi ini yang masih mengingat The Beatles dan lagu-lagunya. Premis cerita itulah yang ditawarkan oleh Yesterday yang judul filmnya sendiri diambil dari salah satu judul lagu The Beatles.



Jack Malik (Himesh Patel) adalah seorang musisi yang sedang berjuang mewujudkan mimpinya. Didampingi sahabat setia sekaligus manajernya Ellie (Lily James) yang selalu mendukungnya ditengah-tengah rasa pesimis karirnya pada musik berjalan ditempat. Jack bahkan berpikir ingin berhenti menjadi musisi. Hingga pada suatu malam kejadian tidak terduga terjadi. Sebuah kejadian misterius membuat Jack sebagai satu-satunya orang di dunia yang mengingat karya-karya The Beatles.


Menjadi satu-satunya orang di dunia yang mengingat jika The Beatles pernah ada membuat Jack memmanfaatkan situasi itu untuk menyanyikan lagu-lagu populer The Beatles dan mengaku menciptakan semua lagu itu. Situasi yang membuat Jack populer dalam waktu singkat. Tetapi segala tindakan Jack tersebut memiliki konsekuensi dimulai dari renggangnya hubungannya dengan Ellie yang mana orang satu-satunya memahami luar-dalam Jack dan lalu dikejar rasa bersalah karena mengaku-ngaku menciptakan semua lagu The Beatles yang dia nyanyikan. Begitulah garis besar plot cerita yang ada dalam Yesterday.


Auto fokus sudah penonton dapatkan sejak adegan pertama kita mengenal karakter Jack Malik. Lalu selanjutnya kepada adegan lainnya memperlihatkan kesulitan yang dihadapi oleh Jack dalam meniti karir musiknya dan semua semakin seru ketika seluruh penduduk dunia tidak pernah mengingat The Beatles dan lagu-lagunya pernah ada tanpa harus dijelaskan secara spesifik apa penyebab hal itu terjadi. Dan itu tidak terlalu masalah bagi penonton yang sudah masuk ke dalam cerita Yesterday.


Sayangnya sampai paruh pertama yang sudah menarik ini, film seperti berubah arah yang yang mengesankan Yesterday seperti film romcom kebanyakan. Alih-alih tetap memusatkan ceritanya pada Jack Malik dengan konflik batinnya yang sebenarnya sudah cukup menarik untuk menjadi satu film utuh. Sesuatu hal yang bisa merubah penilaian penonton mengenai filmnya.


Untungnya semua hal minus bisa terkikis dikarenakan faktor lain sampai durasi film berakhir. Faktor pertama dari beberapa pemeran pembantu yang cukup menarik perhatian, selain Lily James ada nama penyanyi Ed Sheeran yang menjadi dirinya sendiri yang beberapa kali memancing tawa penonton. Faktor kedua tentu saja lagu-lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh Himesh Patel sendiri yang membuat penonton mengerti kenapa Danny Boyle memakai aktor pendatang baru untuk memerankan Jack Malik. Sepanjang film ketika Jack Malik menyanyikan lagu-lagu The Beatles seraya penontonpun akan ikut bernyayi tanpa ada nada keberatan penonton yang ada duduk disampingmu.


Danny Boyle sepertinya ingin bersantai dengan cerita ringan dalam film terbarunya ini yang membuat kita tidak terlalu minus yang ada separuh terakhir film yang dirasakan penonton. Terakhir kita melihat Danny Boyle dalam film bertema ringan tahun 2004 lalu di film Millions.

Overall 7/10

(By Zul Guci)

Saturday, July 6, 2019

ULASAN: SPIDER-MAN 'FAR FROM HOME'



Sehabis perhelatan akbar para superhero dalam Avengers: Endgame yang masih sangat berbekas di ingatan kita film yang paling dinantikan sebagai penutup Marvel Cinematic Universe fase 3 di tahun ini adalah Spiderman: Far From Home, kembali disutradarai oleh Jon Watts dengan cast lama yang sebagian besar kembali bermain ditambah dengan beberapa pemain baru seperti Jake Gyllenhaal, JB Smoove, Angourie Rice, dan Colbie Smulders. Film ini dirilis di US pada 2 Juli 2019 disusul Indonesia pada 4 Juli 2019. Dengan jadwal rilis Film Marvel yang menargetkan 3 judul film dalam setahun maka film ini sekaligus merupakan film Marvel terakhir di tahun 2019 ini sebelum kita mulai memasuki MCU fase 4 yang sepertinya merupakan era baru yang akan berbeda. Hingga artikel ini ditulis, film ini mendapat rating 92% di Rotten Tomatoes sama dengan film pertamanya. Jika di film pertama kita lebih dikenalkan pada dinamika kehidupan Peter Parker dan peran barunya sebagai Spiderman, maka di film kedua semua dibuat lebih meningkat dari segi masalah yang dihadapi dan tanggung jawab Peter Parker sebagai superhero terkait dengan posisinya sebagai bagian dari Avenger.





Spiderman: Far From Home bercerita tentang adanya gangguan di sejumlah lokasi di Eropa oleh makhluk yang dinamakan The Elementals hasil penyelidikan Nick Fury (Samuel L Jackson) dan Maria Hill (Cobie Smulders) dan kemunculan Superhero misterius, Quentin Beck/ Mysterio (Jake Gyllenhall) yang tampaknya berada di pihak yang baik karena membantu melawan The Elementals. Melihat hal tersebut Nick Fury meminta bantuan Spiderman/ Peter Parker agar dapat membantu mengatasi masalah tersebut bersama Mysterio. Peter (Tom Holland) sendiri sebetulnya sedang ingin lepas sejenak dari tugas superhero karena ia dan teman-temannya Ned (Jacob Batalon), MJ (Zendaya), serta gengnya sedang menjalani liburan ke Eropa, tetapi akhirnya setuju untuk membantu Nick Fury dalam melawan The Elementals karena keberadaan The Elementals juga turut mengancam keselamatan teman-temannya dan penduduk sekitar. Akankah Peter berhasil mengatasi ancaman The Elementals, siapa dan apakah motif Mysterio dalam melawan The Elementals, serta berhasilkah Peter dalam menjalani dualisme hidupnya di antara teman-temannya dan sebagai superhero? Poin-poin inilah yang menjadi inti dari cerita sekuel film Spider-Man: Far From Home.





Jika di film pertama, hubungan Peter dan MJ tidak terlalu disorot tapi di film kali ini cukup mendapat porsi lebih banyak dan berhasil ditampilkan dengan baik dan tidak mengganggu keseluruhan cerita. Plot utamanya tetap terjaga dengan baik, selingan-selingan komedi khas remaja disematkan pada momen yang tepat dan membuat kita terhibur. Interaksi Peter dengan teman-temannya menjadi salah satu kelebihan film ini selain dari aksi utama Spider-Man dalam melawan karakter antagonis. Seperti film pertamanya, film ini juga menyimpan twist yang sebenarnya sudah bisa ditebak sejak dari trailer yang ditampilkan dan buat para pembaca setia Komik Spider-Man karena terkait dengan karakter Mysterio yang ternyata adalah dalang dari semuanya. Baru pada pertengahan film kita dibukakan pada masalah sesungguhnya dan fakta bahwa Mysterio adalah mantan pegawai Tony Stark yang sakit hati yang punya obsesi menjadi superhero sekaligus membalas dendam. Klimaks film ini adalah pertarungan antara Spider-Man dan Mysterio yang merupakan momen paling keren di film ini karena menyajikan trik Mysterio yang membuat Spider-Man cukup kewalahan, persis seperti di komiknya. CGI yang digunakan secara keseluruhan mampu menampilkan visualisasi aksi Spider-Man dan pertarungan antara Mysterio dan Spider-Man dengan sempurna dan sangat baik. Bukan Marvel namanya jika tidak memberikan kejutan, bagian akhir film ini memberikan kita kejutan yang sangat besar terhadap nasib Spider-Man yang harus kita tunggu setelah memasuki MCU fase 4 nanti.



Pilihan Marvel terhadap Tom Holland untuk menjadi karakter Peter Parker/ Spider-Man tidak mengecewakan, Tom merupakan representasi Spider-Man versi remaja yang kadang canggung dalam menyeimbangkan tanggung jawabnya sebagai siswa yang masih bersekolah dan superhero namun selalu punya harapan positif terhadap setiap masalah yang dihadapi. Tom Holland memerankan karakter Peter dengan sangat baik, emosinya sebagai remaja yang terkadang bingung dalam menempatkan prioritas diaktualisasikan dengan sangat baik dan membuat penonton sangat terhubung dengan karakternya. Hal tersebut terlihat setiap kali Peter dihadapkan pada posisi sulit antara memilih menjalani hidup normal dan menjalankan tugasnya sebagai superhero dalam beberapa kejadian dalam film seperti dipanggil tiba-tiba saat sedang dalam momen bersama MJ dan berbagai momen lain. Sebagai love interest Peter, Zendaya mampu menampilkan pesona yang unik dibanding karakter-karakter MJ di film Spider-Man sebelumnya dan itu terlihat dari interaksi dan chemistry mereka yang cukup membekas di pikiran dan hati kita. Ned dan Betty (Angourie Rice) juga sukses mencuri perhatian lewat interaksi mereka yang lucu sebagai sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Di sini kita juga diberikan interaksi lebih jauh antara Peter dan Bibi May (Marisa Tomei) dan Happy (Jon Favreau). Marisa Tomei benar-benar memberikan penampilan yang fresh dan hubungannya dengan Happy memberi warna tersendiri dalam dinamika film ini. Dari segi karakter antagonis, Mysterio yang diperankan Jake Gyllenhall tidak mengecewakan namun berada sedikit di bawah Michael Keaton dalam hal intimidasi. Jake Gyllenhall tampil meyakinkan sebagai con-artist yang membuat penonton awalnya percaya sampai momen yang menguak siapa sebenarnya Mysterio.





Jon Watts berhasil membawakan konsep Teen action-comedy ke dalam film sekuel Spider-Man ini dengan sangat baik. Dia tetap bisa membawa tone film remaja secara konsisten seperti di film pertamanya dan di film keduanya dia meningkatkannya dengan konflik khas remaja yang dialami oleh Peter Yang notabene juga adalah superhero. Aspek interaksi Peter dan teman-temannya digarap dengan detail dan mengena selayaknya remaja pada umumnya. Formula Yang digunakan Watts hampir mirip seperti di film pertama namun naskah Yang baik dan eksekusinya yang sempurna membuat film ini sukses dan berkesan bagi penonton. Watts menyajikan isu khas remaja seperti keegoisan terhadap diri sendiri dan apa artinya memikul tanggung jawab yang besar. Kita tahu jargon dibalik kekuatan Yang besar tersimpan tanggung jawab Yang besar selalu terngiang dalam tiap Film Spider-Man dan versi Spider-Man Yang baru pun melanjutkan pesan tersebut dengan impresif. Lewat film ini Jon Watts sekali lagi membuktikan kepada Kita kenapa Spider-Man adalah karakter Marvel yang paling digemari..

Overall : 8,5/10

(By Camy Surjadi)



Thursday, July 4, 2019

ULASAN: PARASITE










Dua tahun berselang dari film terakhirnya Okja, Bong Joon-ho kembali menggebrak dunia perfilman lewat film terbarunya yang berjudul Parasite, film ini ditayangkan pertama kali di Festival film Cannes pada 21 Mei 2019, menyusul di Korea Selatan sendiri pada 30 Mei 2019 lalu. Film ini telah mendapat banyak sambutan positif dan merupakan satu-satunya film Korea Selatan pertama yang memenangkan penghargaan palem emas (Palme d’Or), penghargaan tertinggi di Festival Film Cannes, di tahun 2019 ini. Hingga artikel ini ditulis, film ini bertahan dengan rating 98% di Rotten Tomatoes. Jika film pemenang Palme D’Or tahun 2018 lalu, Shoplifter, cenderung bersifat satu dimensi dan setia pada genre drama maka Parasite terasa lebih superior karena mengusung genre dark comedy, drama, dan thriller yang semuanya dipadukan dengan sangat apik dalam cerita dan karakter-karakternya.



Parasite bercerita tentang Kim Ki- taek (Song Kang-ho), seorang ayah yang berprofesi sebagai supir pengangguran yang hidup bersama istrinya Choong Sook (Jang Hye-jin) dan kedua anak mereka yang berusia sepantaran anak kuliah, Ki-woo (Choi Woo-shik) dan Ki-jeong (Park So-Dam), yang menjalani keseharian mereka di ruangan semi-basement apartemen yang kumuh dan mencari penghasilan dengan melipat kotak pizza. Suatu hari Ki-woo dimintai tolong oleh temannya Min (Park Seo-joon) untuk menjadi guru Bahasa Inggris dari menggantikan dirinya mengajar seorang putri keluarga kaya raya karena ia akan kuliah di luar negeri dan harus fokus untuk ujian masuk. Ki-woo yang awalnya ragu lalu mengiyakan tawaran tersebut karena Min percaya akan keahlian Ki-woo yang sudah sering ikut wajib militer. Keesokan harinya Ki-woo mendatangi rumah keluarga Park yang putrinya diajar oleh Min, Ki-woo tampak terperangah ketika memasuki rumah keluarga tersebut yang sangat besar dan mewah. Ki-woo diterima oleh Nyonya Park (Jo Yeo-jeong) dan tanpa kesulitan berhasil membuktikan kepiawaiannya mengajar sang putri, Da-hye (Jeong-Ji-so) sehingga diterima. Sebelum berpamitan pulang, Ki-woo memandang lukisan di dinding yang dibuat oleh putra bungsu keluarga Park, Da-song (Jeong Hyun-joon) dan mendapat informasi bahwa nyonya Park memiliki pemikiran bahwa sang putra butuh guru seni yang dapat mengarahkan potensinya namun kesulitan menemukan pengajar yang sesuai. Melihat kesempatan itu Ki-woo segera mereferensikan guru seni yang menurutnya handal untuk melakukan tugas tersebut, guru seni tersebut dikatakan bernama Jessica yang tidak lain adalah adiknya Ki-jeong. Lewat bualan yang meyakinkan, nyonya Park segera meminta Ki-woo untuk membawa Jessica menemui dirinya. Tidak butuh waktu lama, Jessica pun berhasil diterima untuk menjadi guru seni Da-song. Proses invasi berantai lewat fitnah terstruktur ini pun berlanjut di mana Jessica berusaha mencari kesempatan untuk mengganti supir pribadi keluarga Park (Lee Sun-gyun) dengan sang ayah Ki-taek dan pembantu keluarga mereka Moon-kwang (Lee Jeung-Eun) dengan ibu mereka Choong Sook. Invasi mereka berhasil dan kini mereka sekeluarga hidup bekerja untuk keluarga Park tanpa keluarga Park mengetahui bahwa sebetulnya mereka saling mengenal satu sama lain. Akankah rencana mereka untuk hidup makmur berjalan dengan mulus atau bakal terbongkar oleh keluarga Park? Bagaimana taktik mereka agar rencana invasi ini tidak hancur berantakan? Premis inilah yang menjadi nafas dari cerita film Parasite yang dibawakan dengan sangat tidak biasa dan penuh kejutan di dalamnya.



Walau tema yang diusung awalnya terkesan biasa tapi film ini memiliki gaya penceritaan yang sangat unik karena mampu menarik cerita ini jauh berkembang di luar pemikiran penonton. Seiring berjalannya cerita genre film juga ikut berubah mengikuti ceritanya, hal ini lah yang membuat kita sebagai penonton terkejut dan penasaran akan seperti apa akhir ceritanya. Bagian awal film ini yang tadinya bersifat komedi berubah menjadi thriller dan perlahan berubah menjadi drama tragedi di bagian konklusinya. Hebatnya “genre switching” ini berjalan mulus dan berhasil menggiring kita terbenam dalam cerita yang dibawakan. Di pertengahan film ini, kita disajikan dengan kejutan yang tidak disangka yang berhubungan dengan ruang bawah tanah (bunker) yang dimiliki keluarga Park. Faktor inilah yang memicu genre switching dan membuat film ini semakin menarik. Bong Joon-ho sangat piawai dalam membuat cerita dan mengarahkan fokus penonton, detil cerita dikupas secara perlahan seiring berjalannya film. Sedikit kesalahan dalam timing dan susunan cerita akan membuat cerita film ini berantakan karena film ini tidak bermain dalam genre tunggal. Plot dan subplot dipadukan dengan baik dan tidak tumpang tindih dalam film ini. Tokoh-tokoh utama senantiasa dihadapkan pada masalah dan kemalangan yang tidak terduga sehingga membuat penonton merasa gemas. Detil-detil yang kita kira tidak berarti dan hanya simbolisme ternyata menyumbang peran penting dalam perjalanan cerita sehingga akhir cerita yang berujung tragedi.





Song Kang-ho sebagai aktor yang sudah langganan berkolaborasi dalam sebagian besar film Bong Joon-ho sangat cocok berperan sebagai ayah di sini, demikian pula aktor dan aktris yang berperan sebagai Ki-woo dan Ki-jeong serta ibu mereka Choong Sok, semuanya memerankan karakter mereka dengan pas dan punya pesona masing-masing. Demikian pula nyonya Park yang paranoid dan naif serta Tuan Park (Lee Sun-kyun )sebagai kepala keluarga yang karismatik namun agak sombong. Karakter Ki-woo dan keluarganya berada di area abu-abu dan bukan sebagai antagonis, lewat kehidupan mereka yang miris dan dalam kemiskinan kita bersimpati terhadap mereka, ketika mereka berhasil mendapat kesempatan untuk mengubah nasib mereka, penonton ikut dalam kegembiraan mereka dan terhubung dengan mereka. Penonton dibuat lebih berpihak ke keluarga Ki-woo dibandingkan keluarga Park yang notabene adalah korban di film ini. Gaya komedi yang dipilih alih-alih dramatisasi berlebihan dalam menceritakan keseharian hidup keluarga Ki-woo turut menyumbang faktor plus film ini. Ketika film berjalan, kita menyadari bahwa sistem tatanan sosial yang menciptakan kesenjangan antara keluarga miskin dan sangat kaya adalah faktor antagonis di film ini



Sinematografi film ini terjamin secara visual berkat kepiawaian Hong Kyung-pyo, salah satu sinematografer korea terbaik saat ini yang dikenal lewat film The Wailing (2016) dan Burning (2018) yang menuai pujian dari para kritikus dan masuk nominasi film terbaik Cannes. Kita bisa melihat dari tone dan warna film ini yang indah dan soft namun mampu menampilkan kekuatan adegan dan cerita yang ingin disampaikan dari film ini.



Bong Joon-ho sebetulnya ingin menyampaikan isu kesenjangan sosial dan kemiskinan sistematis yang dialami di berbagai tempat bahkan di negara maju sekalipun dan ketidakberdayaan pemerintah dalam mencari solusi yang efektif sehingga berujung pada celah sosial-ekonomi yang ekstrem yang direpresentasikan lewat keluarga Park dan keluarga Ki-Taek. Ketika menonton, kita sebagai penduduk Jakarta pun tidak sulit untuk merefleksikan keadaan yang sama di kota kita sendiri dan di berbagai pelosok wilayah indonesia. Selain isu kesenjangan sosial, sentilan masalah sosial yang dialami oleh keluarga menengah ke atas pun turut digambarkan dengan sindiran yang jenaka namun mengena lewat tingkah polah keluarga Park. Isu konflik antara Korut dan Korsel pun tidak lupa disematkan lewat ruang bawah tanah yang dimiliki tanah keluarga Park sebagai sindiran terselubung.



Film ini membuktikan bahwa ide cerita sederhana yang kreatif namun fresh mampu menarik penonton, tidak perlu ide cerita yang rumit dan dramatisasi berlebihan. Bong Joon-ho sekali lagi membuktikan kepiawaiannya dalam menyajikan cerita yang penuh kejutan dan keajaiban tetapi tetap menohok isu-isu sosial kemanusiaan.


Overall: 9,5/10

(By Camy Surjadi)