Disney dikenal lewat film animasinya yang memiliki nilai-nilai kehidupan yang sanggup menyentuh siapapun yang menontonnya. Film animasi Disney memiliki nilai sentimental tersendiri bagi setiap keluarga karena nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Beberapa tahun belakangan, Disney gencar membuat ulang cerita animasi mereka yang terkenal ke versi live-action, sebut saja Beauty and The Beast, The Jungle Book, Dumbo, dan Aladdin adalah beberapa contoh di antaranya. Tujuannya selain untuk bernostalgia adalah untuk mempopulerkan kembali cerita-cerita tersebut ke generasi masa kini. The Lion King adalah salah satu film animasi Disney yang paling dikenal pada tahun ‘90an yang merupakan debut film animasi dengan cerita orisinal, bukan reinterpretasi dongeng atau mitos seperti cerita animasi Disney yang lain. Cerita The Lion King merupakan cerita yang paling berpengaruh terhadap budaya pop dan membantu Disney menciptakan film animasi dengan cerita-cerita yang lebih dewasa dan berkarakter. The Lion King juga telah menelurkan pertunjukan Broadway Musical bertajuk sama yang sukses dan piala Grammy dari lagu “Can You Feel The Love Tonight” yang tetap dikenang hingga sekarang. Di bulan Juli ini kita disuguhkan dengan film live-action The Lion King yang telah diriis di bioskop Indonesia pada 17 Juli 2019. Film The Lion King sendiri telah tayang di Hollywood pada 9 Juli 2019 yang lalu dan akan rilis serentak di US pada 19 Juli 2019. Disutradarai oleh Jon Favreau yang sukses lewat penyutradaraan film animasi live-action The Jungle Book dan dibintangi banyak bintang terkenal seperti Donald Glover, Beyonve Knowles, Seth Rogen dan Chiwetel Eijofor, jelas film ini menjadi film yang ditunggu-tunggu terlebih bagi penggemar setia Disney.
Film The Lion King bercerita tentang seorang singa muda, Simba (JD McCrary/ Donald Glover) yang dibesarkan sebagai pangeran dan pewaris tahta dari Pride Lands, suatu wilayah hutan di Afrika, yang dikuasai oleh ayahnya, raja Mufasa (James Earl Jones) yang arif dan bijaksana. Bersama temannya Nala (Shahadi Wright Joseph/ Beyonce Knowles-Carter) mereka sudah dipersiapkan sebagai raja dan ratu untuk memimpin di masa mendatang. Akan tetapi, tidak semua sependapat dan menyambut hal tersebut dengan baik, Scar (Chiwetel Ejiofor) yang merupakan saudara Mufasa, merasa iri dengan kehadiran Simba karena posisinya sebagai penerus tahta tergeser. Diam-diam Scar sudah merencanakan kudeta bersama dengan para Hyena yang merupakan musuh kawanan singa, Shenzi (Florence Kasumba), Kamari (Keegan-Michael Key), dan Azizi (Eric Andre). Scar menjalankan rencananya dengan membunuh Mufasa dan meyakinkan Simba bahwa ayahnya wafat akibat kelalaiannya, Simba yang dalam keadaan terpuruk melarikan diri dan lolos dari percobaan pembunuhan oleh Mufasa lewat para hyena. Simba lalu berkenalan dengan Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen) yang hidup jauh dari Pride Lands, Simba kecil tinggal bersama mereka hingga dewasa hingga suatu saat teman dari masa lalunya, Nala, muncul dan mencoba meyakinkan Simba untuk merebut kembali haknya dan mengatasi kekacauan yang terjadi di Pride Lands. Akankah Simba kembali berkumpul bersama keluarganya dan dapat menghadapi Scar yang kini telah menguasai Pride Lands? Demikianlah premis cerita The Lion King versi live action yang sama persis seperti cerita animasi aslinya, jika diperhatikan durasi untuk film ini lebih panjang setengah jam dibandingkan versi aslinya karena ingin lebih mengeksplorasi karakter Sarabi (Alfre Woodard) dan Nala. Dari sisi cerita, Favreau tidak ingin mengubah dan menciptakan kisah baru karena kisah aslinya sendiri sudah sangat bagus dan memiliki kedalaman emosi yang menyentuh. Favreau berkeinginan agar penonton baik yang sudah pernah menonton versi animasinya maupun generasi masa kini tetap merasakan emosi yang sama.
Sulit menonton film ini tanpa membandingkan dengan versi orisinalnya, jika versi aslinya merupakan animasi 2D yang menggambarkan nuansa Afrika yang penuh warna maka versi 2019 ini betul-betul menggunakan teknologi canggih abad ini untuk membuat semua karakternya seperti binatang asli yang benar-benar hidup dan dapat berbicara seperti di versi 1994. Tidak kurang dari 180 animator handal dipekerjakan untuk menggarap dan menjadikan lebih dari 86 spesies hewan yang mendiami Pride Lands nampak hidup dan memiliki visual yang sangat mengagumkan. Efek visual yang digunakan adalah teknik serupa seperti dalam film The Jungle Book, dalam teknik ini gerakan dan mimik dari hewan-hewan yang ada dalam film dilakukan oleh para aktor dengan teknik motion capture dan digabungkan dengan teknik VR/AR. Moving Picture Company adalah studio yang bertanggung jawab menangani efek visual film ini, yang juga menangani efek The Jungle Book. Hasil akhirnya seperti yang kita saksikan dalam film, semuanya nampak seperti ‘photo-realistic’ seakan menyerupai cuplikan yang terdapat di film dokumenter hewan dalam National Geographic atau Animal Planet baik dari interaksi hewan-hewan maupun visualisasi padang belantara Afrika yang meliputi padang rumput, gurun, dan bebatuan yang sangat mengagumkan. Selama menonton kita akan merasa takjub dan pasti mengalami flashback karena teringat dengan adegan dalam versi animasinya. Otak kita akan butuh waktu untuk memproses bahwa singa, jerapah, zebra, dan kuda nil yang kita lihat adalah hasil rekayasa CGI bukan hewan asli. Yang dilakukan Favreau lewat film ini adalah dia memfokuskan pada sisi realistis dari film ini dengan menampilkan hewan “hyper-realistic” yang dapat berlaku selayaknya hewan sungguhan namun memiliki mimik dan dapat menggerakkan mulutnya untuk berbicara. Ada keterbatasan dalam hewan-hewan dalam film ini yaitu mereka tidak dapat menampilkan emosi selayaknya manusia dan juga tidak bisa bertindak seperti versi animasinya yang membuat film orisinalnya tetap lebih unggul. Keterbatasan inilah yang perlu dijembatani dengan bantuan para voice cast untuk membuat film ini memiliki jiwa dan dinamis ketika ditonton.
Dari sisi voice cast, banyak talenta mumpuni yang sudah dipilih untuk memerankan karakter-karakter ikonik dalam film ini. Mufasa tetap diperankan oleh voice cast aslinya yaitu James Earl Jones dan ia tetap mampu menampilkan Mufasa sebagai raja berkharisma dan bijaksana, untuk Simba muda diperankan dengan baik oleh McCrary karena mampu menampilkan singa anak-anak yang sok tahu dan masih lugu secara proporsional, sementara Donald Glover tampil agak biasa dan kurang dimaksimalkan ketika mengisi suara Simba dewasa. Sisi komedi film ini ditampilkan dengan sangat baik oleh John Oliver, Billy Eichner, dan Seth Rogen sebagai Zazu, Timon, dan Pumba. Mereka mampu membawakan karakter dengan nuansa komedi yang hidup dan dinamis yang disesuaikan dengan masa sekarang. Chiwetel sebagai Scar tampil cukup meyakinkan tapi tidak cukup memorable untuk menggantikan Scar versi animasi yang sudah sangat lekat di ingatan.
Scoring musik dari film ini kembali ditangani Hans Zimmer seperti versi orisinalnya sedangkan untuk lagu-lagu soundtrack film ini kembali diaransemen ulang seperti “Circle of Life”, “Hakuna Matata”, “I Just Can’t Wait to be King”, dan “Can You Feel The Love Tonight”. Beyonce turut mengaransemen ulang lagu “Can You Feel the Love Tonight” bersama Elton John dan menampilkan lagu baru “Spirit”. Elton John dan John Rice sendiri turut menyumbangkan lagu baru ‘Never Too Late” untuk lagu bagian penutup film ini.
Cerita The Lion King terinspirasi dari drama tragedi Hamlet karya Shakespeare dengan beberapa penyesuaian. Film Lion King memperkenalkan cerita konspirasi, pengkhianatan, dan keberanian berlatar kerajaan hewan yang dapat dianalogikan dengan manusia yang sangat ikonik. Versi animasinya dapat dianggap sebagai fabel karena menampilkan karakter hewan yang dapat berbicara dan menghadapi kondisi layaknya manusia. Dalam proses adaptasi ke versi live-action Disney memegang kendali atas hal yang diubah atau tetap sama seperti versi animasinya. Langkah ini tidak 100% berhasil karena banyak faktor yang terlibat untuk membuat penonton tetap antusias dan terhubung dengan ceritanya. Ambil contoh Dumbo yang rilis beberapa waktu lalu, Disney mengambil langkah untuk membuat versi live-actionnya lebih manusiawi dengan membuat karakter hewan dalam film tersebut tidak berbicara sama sekali, akibatnya film tersebut kehilangan esensi cerita dan karakter Dumbo yang sudah dikenal penonton. Dalam The Lion King usaha tersebut bisa dibilang kurang berhasil karena level emosional yang diciptakan tidak sedalam versi animasinya. Penonton masih merasa canggung untuk menerima hewan asli yang dapat berbicara dan memiliki emosi layaknya manusia. Namun dasar cerita yang kuat dan visual yang mengagumkan tetap membuat film ini menarik untuk diikuti.
Lewat The Lion King tersirat pesan bahwa keseimbangan alam akan rusak jika manusia serakah dan tidak menjaganya dengan baik, ini digambarkan lewat kepemimpinan Scar yang menggunakan prinsip kekuasaan dan kekerasan daripada kebijaksanaan. Pesan-pesan moral demikian banyak kita temukan dalam film Disney yang sangunp mengajarkan nilai-nilai baik kepada anak-anak maupun orang dewasa dengan tidak bersifat menggurui. Teknologi animasi yang berkembang pesat seperti yang kita saksikan dalam The Lion King sangat menjanjikan untuk masa depan perfilman. Teknologi ini selayaknya dimanfaatkan Disney dengan medium dan penyampaian cerita yang tepat lewat film-film orisinal di masa mendatang ketimbang mendaur ulang film animasinya dengan berbagai penyesuaian. Penonton termasuk saya masih percaya kalau Disney sanggup menciptakan keajaiban lewat film-filmnya.
Overall: 6,5/10
(By: Camy Surjadi)