Thursday, December 29, 2022

ULASAN: SHOTGUN WEDDING



Sebuah ungkapan 'usianya hanyalah angka' mungkin adalah motto hidup bagi Jennifer Lopez (J-Lo) . Bagaimana tidak, pada saat aktris lain yang mempunyai usia sama dengannya yang lebih banyak mendapat peran seorang ibu-ibu bahkan seorang nenek namun tidak berlaku untuk J-Lo. Di usianya yang menginjak 53 tahun masih dipercaya memainkan film romcom. Semua itu memang terbantu dengan penampilan fisiknya yang masih terjaga dan tidak terlihat seperti wanita usia sebayanya kebanyakan. Kali ini J-Lo kembali bermain dalam sebuah romcom dengan balutan action dan Josh Duhamel menjadi lawan mainnya.




Darcy (J-Lo) dan Tom (Josh Duhamel) sedang menghadapi jam-jam terakhir mereka sebagai lajang. Pada hari pernikahan yang diadakan di sebuah pulau terpencil harusnya menjadi momen paling berbahagia harus menjadi kacau karena perbedaan pendapat mereka yang mengancam batalnya upacara pernikahan. Seakan belum cukup, kekacauan di hari pernikahan ditambah dengan terjadinya sebuah perampokan dan penyanderaan di pesta pernikahan tersebutbut. Darcy dan Tom sekarang pada situasi tidak hanya terancam batalnya pernikahan, namun nyawa mereka dan para tamu undangan juga ikut terancam.



Dengan sebuah plot dan konflik Shotgun Wedding sebenarnya cukup klise dalam sebuah film bertema romcom. Seperti tidak mendapat restu orang terdekat, kembalinya sang mantan, hingga perbedaan pendapat yang justru timbul di hari pernikahan dan semua itu dapat dirangkum cukup solid oleh Jason Moore (Sutradara) dalam film Shotgun Wedding ini . Proses bagaimana Darcy dan Tom yang kembali mempertanyakan hubungan mereka dan proses mencari jawaban itu dengan bahu-membahu mencoba mengalahkan perompak menjadi sebuah keseruan dengan elemen-elemen romance yang berhasil disampaikan kepada penonton.




Semuanya didukung tidak hanya dengan kemistri dari J-Lo dan Josh Duhamel yang memang cukup kuat, tetapi juga pemeran-pemeran pendukungnya terutama Jennifer Coolidge yang lagi-lagi kembali mencuri perhatian setelah penampilannya di dua season serial The White Lotus.


Shotgun Wedding mungkin tidak mempunyai keistimewaan tertentu dalam plot cerita bertema romcom, namun film ini mampunya memberikan esensi sebuah kesenangan menonton film bertema romcom. Tidak istimewa tapi kamu akan sangat terhibur. Terlebih jika kamu membutuhkan tontonan ringan tanpa harus banyak berpikir.


Overall: 8/10







Monday, December 26, 2022

ULASAN: I WANNA DANCE WITH SOMEBODY



Jika ditanya kepada saya, biopik dari tokoh ranah apakah yang akan membuat orang paling tertarik menonton filmnya di bioskop? Saya akan menjawab tokoh dari ranah musik. Hal ini tentu saja sudah bisa ditebak dari pendengar dan musik bisa disetarakan dengan film itu sendiri. Di tahun 2022 ini dan secara spesifik penonton Indonesia disuguhi sebuah biopik yang epik dari Elvis. Dan akhir tahun ini kita disuguhi biopik dari penyanyi legendaris lainnya Whitney Houston yang diberi judul salah satu hit dari lagunya I Wanna Dance with Somebody (IWDWS).
 

Seperti halya film biopik pada umumnya, plot cerita dari IWDWS pun menceritakan perjalanan karier seorang Whitney Houston dari awal hingga ujung kariernya dengan bermacam-macam konflik yang tidak hanya masalah dalam kiprah musiknya, namun juga ksiruh masalah pribadinya dengan orang-orang terdekatnya. Selama 146 menit penonton akan dibawa jauh ke dalam glamor dan rentannya seorang Whitney Houston. 


Untuk film berdurasi 146 menit, film biopik ini mempunyai alur yang cukup cepat untuk memberi latar belakang Whitney Houston dari seorang penyanyi latar hingga menjadi penyanyi utama. Seolah tidak banyak yang bisa diceritakan masa-masa awal karier Whitney Houston dan ingin langsung menuju bagian utama film ini. Namun sayangnya ketika sudah mencapai bagian utama alur film menjadi lambat dan menjadi kebingungan dalam memvisualisasikan konflik dari Whitney Houston itu sendiri. Perpindahan dari konflik ke konflik lainnya seperti melihat potongan demi potongan puzzle yang tidak memberikan emosi yang dalam. Dari kaca mata saya yang memang tidak terlalu tahu-menahu mengenai seorang Whitney Houston perlahan juga mulai kehilangan ketertarikan pada tokoh tersebut karena gagal dalam mengeksekusi hal tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan Elvis yang sama-sama dari sudut pandang saya yang juga tidak mengetahui tokoh tersebut namun bisa memberi kedalaman plot cerita tapi juga bisa memberi kedalaman karakter sang tokoh yang membuat kita ingin mengenal lebih jauh.


Naomi Ackie yang memerankan Whitnye Houston sendiri sebenarnya sudah cukup bagus, namun sayangnya hanya bagus memerankan Whitney Houston sebagai performa. Ketika sudah menuju bagian konflik yang ada di ranah pribadi, Naomi Ackie tidak bisa memberikan kedalaman emosi pada karakternya. Satu-satunya yang saya suka dari akting Naomi Ackie di film ini selain dari performanya sebagai Whitney Houston adalah bagian hubungannya dengan produser Clive Davis yang diperankan oleh Stanley Tucci. Kemistri mereka berdua yang tidak hanya sebagai produser dan penyanyinya namun juga sebagai teman terasa pas.


Seperti yang sudah disinggung di atas, Naomi Ackie sangat bagus menampilkan Whitney Houston sebagai performa. Hal itu bisa kita lihat pada setiap scene karakternya menyanyikan lagu-lagunya. Mungkin memang terbantu dengan modd lagu tersebut, tetapi melihat Naomi Ackie selalu tampil bernergi pada setiap sequence ini. Layaknya saat kita menonton Bohemian Rhapsody atau Elvis, menonton sequence-sequence mereka menyakian lagu seperti nonton sebuah konser. Pengalaman menonton yang hanya kita dapatkan ketika menontonnya di bioskop.Sayangnya bagian terbaik dari film ini tidak bisa menutup celah atau minus yang cukup besar dari film ini.

Overall: 5/10

ULASAN:TUMBAL KANJENG IBLIS



Meski Sukses di genre drama, Visinema Pictures tidak patah semangat mencoba berinovasi di genre horror yang notabene adalah genre mainstream di Indonesia, total dengan film ini sudah ada 3 judul yaitu Tarian Lengger Maut, Jagat Arwah, dan yang terbaru Tumbal Kanjeng Iblis. Namun sayangnya hingga review ini dibuat belum ada satu pun yang di-treat dengan benar menurut saya. Desain posternya yang sangat khas horor Indo, tulisan berwarna merah disertai darah dan penampakan setan ditambah kata tumbal. Kesan awal yang kita dapatkan tentu ceritanya seputar pesugihan dibalut horrorTumbal Kanjeng Iblis disutradarai oleh Mizam Fadilah Ananda. Film ini dibintangi oleh Sheryl Sheinafia, Putri Ayudya, Miller Khan, Omar Daniel, Yunita Siregar, dan Teuku Rifnu Wikana. Tumbal Kanjeng Iblis dirilis berbarengan CTS 2 pada kamis 22 Desember



Dua tahun tidak mendengar kabar dari sang kakak yang kuliah di luar kota, Tia (Sheryl Sheinafia) mendapatkan bisikan konstan untuk mencari kakaknya atau bapaknya (Yusuf) meninggal. Berbekal selembar foto peninggalan sang kakaknya, Tia menelusuri jejak sang kakak yang membawanya pada sebuah kos-kosan penuh misteri dekat kampus kakaknya di USISI. Pasangan suami istri pemilik kos, Rosa (Putri Ayudya) dan Jefri (Miller Khan) menyambut Tia tetapi Tia curiga ada yang tidak beres di balik keramahan Rosa yang tidak biasa. Ada juga sosok pemuda misterius bernama Nathan (Omar Daniel) yang selalui memperingatinya untuk segera meninggalkan kos-kosan tersebut. Peristiwa ganjil terjadi secara bertubi-tubi di kos-kosan itu. Tia menjalin pertemanan dengan Nina (Yunita Siregar) karena Cuma mereka berdua penghuni kos wanita di kos itu. Semakin Tia berusaha mencari sang kakak, semakin ia mengalami teror yang menakutkan. Di balik semua itu ada kutukan dan sekte pemujaan sesat yang mengincar Tia.



Di perempat film ini semua masih terlihat oke tetapi setelah itu kekacauan dimulai hingga film selesai. Awalnya saya kira ini akan menjadi film investigasi berbalut misteri dan horor bertema sekte pemujaan, setelah ditonton saya bingung harus berkata apa. Film ini mencoba terlihat pinta tapi yang ada malah menjadi rumit dan kebingungan arah ceritanya mau ke mana. Harusnya cerita difokuskan pada kakak Tia yang hilang ini semakin melebar ke mana-mana seiring cerita berkembang. Unsur misterinya sudah kita tahu dari awal dan tertebak sebetulnya tapi film ini gagal memberikan kejutan dan esensi cerita. Background story tidak jelas, karakter penting tidak di-treat dengan baik dan ada tokoh-tokoh yang bingung kenapa mereka ditampilkan di cerita kalau esensinya tidak krusial. Sekte pemujaan yang jadi dalang di balik semua keanehan tidak dijelaskan dengan baik. Yang lebih mengejutkan lagi adalah endingnya yang waw koq begini jadinya.



Salah satu aspek yang patut disayangkan dari film ini adalah menyia-nyiakan kemampuan aktor dan aktris yang sudah didapuk jadi cast film Tumbal Kanjeng Iblis ini. Pemilihan aktor dan aktrisnya sudah oke sayang mereka tidak diberi naskah cerita yang benar. Putri Ayudya yang tampil gemilang di kafir di sini Nampak disia-siakan. Sheryl yang tampil total di film ini nampak mubazir. Tidak ada tokoh yang mengesankan sama sekali di film ini. Riset juga sepertinya kurang dilakukan, mengapa kos-kosan yang ada banyak org di pagi hari tapi di malam hari hanya Tia dan Nina saja. Kemunculan Omar Daniel juga tidak diberikan background yang jelas sehingga membuat penonton bingung. Terlebih penggunaan simbol music metal yang diasosiasikan dengan satanisme adalah salah satu hal fatal di film ini karena membuat stereotype yang seharusnya bisa dihindari. Lupakan character development dan dinamika karena hal itu tidak akan anda temui di film ini.



Menonton Tumbal Kanjeng Iblis seakan membuat kita sakit kepala dan bingung. Penonton seperti dianggap ‘bodoh’ dan tidak tahu film horror sehingga dijejali petunjuk-petunjuk yang pada akhirnya tidak jelas mau dibawa ke mana. Visinema sepertinya harus evaluasi dan belajar lagi bagaimana membuat kisah horror yang proper dan punya ciri khas jika memang mau mendulang sukses. Skrip cerita yang prematur bikin saya heran kenapa bisa sampai diapprove dan dijadikan film seperti yang sudah tayang di bioskop. Tiga Film sepertinya cukup untuk introspeksi dan menata ulang jika mau membuat genre horor lagi ke depannya. Lebih baik focus mengembangkan film Heist dan drama ketimbang memaksakan genre horror jika beluim siap.

Overall : 4/10

(By Camy Surjadi)










Friday, December 23, 2022

ULASAN: PUSS IN THE BOOTS 'THE LAST WISH'



Universe negeri dongeng Far-Far Away belum selesai. Meskipun cukup berjarak cukup lama yaitu 11 tahun dari film pertama, film sequel dari spin-off Shrek ini menjadi salah satu yang dinantikan di penghujung tahun ini. Terlebih memang di tahun ini, terutama untuk penonton Indonesia tidak banyak film animasi yang terlalu spesial tahun ini. Beberapa bahkan tidak bisa kita tonton di bioskop seperti Lightyear dan Strange World. Push in the Boots: The Last Wish mejanjikan sesuatu yang berbeda, selain memberikan rasa nostalgia pada penggemar origin filmnya, sequel ini juga memberikan nuansa baru pada visual yang belum ada di fim-film franchise Shrek sebelumnya.

Melanjutkan setelah kejadian film pertama, Puss in Boots (Antonio Banderas) melanjutkan petualangan solo dan liarnya yang sering berhadapan dengan maut. Sudah berkali-kali menantang bahaya Puss akhirnya harus menghadapai fakta bahwa dari sembilan nyawanya, kini hanya tersisa satu. Di tengah-tengah kekhawatiran itu, Puss juga harus melarikan diri dari seekor serigala yang dipanggil Wolf/Death (Wagner Moura) yang mengejarnya. Puss akhirnya memutuskan pensiun dan hidup sebagai kucing rumahan. Namun, saat mengetahui adanya Bintang Jatuh di dalam hutan angker yang bisa mengabulkan semua keinginan, Puss, dibantu secara bersyarat oleh Kitty Softpaws (Salma Hayek) dan Perrito (Harvey Guillen), mereka bertiga berusaha mencari bintang itu untuk meminta seluruh nyawanya yang telah hilang dikembalikan. Namun semua itu tentu tidak mudah. Tidak hanya mereka bertiga yang mengincar 'bintang jatuh' tersebut.


Layaknya seperti film-film franchise Shrek sebelumnya, sequel Puss in the Boots pun meiliki plot cerita yang mudah diikuti. Namun untuk sequel ini sendiri Paul Fisher dan Tommy Swerdlow yang menulis naskahnya menyelipkan unsur drama yang cukup kuat pada plot cerita. Tidak sekadar komikal dan komedi sepanjang film seperti yang pertama yang membuatnya cepat terlupakan. Unsur drama pada sequel ini terbaik setelah film Shrek kedua dari keseluruhan franchise Shrek. Yang menjadi daya lebih bagaimana Paul dan Tommy bisa membagi beberapa  porsi pendalaman karakter selain Puss yang kehilangan rasa percaya dirinya. Porsi keluarga Goldilocks dan Tiga Beruang dengan aksen britishnya salah satu yang menarik perhatian dalam film ini. Dan drama yang cukup kuat itu dikombinasikan dengan keseruan petualangan pencarian bintang jatuh itu sendiri dengan sebuah final act yang mengingatkan dengan sequence final act The Good, The Bad & The Ugly. 


Selain plot cerita, visual animasi Puss in the Boots: The Last Wish juga berbeda dengan franchise Shrek lainnya. Konsep animasi yang terinspirasi dari Spider-Man: Into the Spider-Verse yang sudah diaplikasikan oleh Dreamworks dan berhasil lewat The Bad Guys (2022) kembali dicoba pada sequel ini. Dan lagi-lagi berhasil. Memberi kesan uni pada saat menonton seperti membaca buku dongeng yang bergerak.


Berbeda dengan animasi-animasi Disney beberapa tahun terakhir yang terlalu memaksakan menyelipkan pesan-pesan tertentu yang tidak terlalu berpengaruh pada isi cerita, Dreamworks masih konsisten dan fokus dengan menyajikan animasi yang menghibur dan kuat secara cerita. Setidaknya itu berhasil pada dua film terakhir mereka yang setiap menyebutkan judul kita akan mengingat isi ceritanya, alih-alih meributkan isu atau pesan yang tidak punya kolerasi pada isi cerita seperti bebebrapa film animasi Disney terakhir.

Overall: 9/10

ULASAN: CEK TOKO SEBELAH 2




6 tahun berselang dari film pertamanya akhirnya sekuel Cek Tokoh Sebelah keluar juga. Hal ini disebabkan salah satunya karena pandemik, Ernest bertindak sebagai penulis cerita dibantu istrinya Meira Anastasia, sutradara sekaligus pemain di film CTS 2. Meski sebagian besar cast di film pertama kembali memainkan peran yang sama, namun di film sekuel nya hadir sederet pemain baru. Beberapa pemain baru tersebut diantaranya Laura Basuki, Maya Hasan, dan Widuri Sasono. Ernest Prakasa, Dion Wiyoko, Adinia Wirasti, Chew Kin Wah, Adjis Doa Ibu, Awwe, Yusril Fahriza, Hernawan Yoga turut membintangi Kembali film CTS 2. CTS 2 tayang di bioskop hari kamis 22 Desember ini sebagai film keluarga penutup tahun persembahan Star Vision.



Film CTS erat dengan konflik keluarga maka di sekuel keduanya juga mengangkat cerita yang berhubungan dengan masalah keluarga kali ini isu status sosial dan berfokus kepada kedua anaknya yaitu Erwin dan Yohan. Erwin (Ernest Prakasa) sedang mengalami perjalanan kisah cinta dengan kekasih baru yang rencananya akan diamar yaitu Natalie (Laura Basuki). Namun, proses tersebut mengalami kerikil tajam akibat tentangan dari Ibu Natalie (Maya Hasan) kepada Erwin. Lalu ada juga kisah Yohan (Dion Wiyoko) bersama istrinya Ayu (Adinia Wirasti) yang dihadapkan dengan keinginan dari Koh Afuk untuk segera memiliki cucu. Bagaimana Erwin dan Yohan mengatasi masalah mereka ini lah yang coba ditawarkan lewat cerita film ini yang tentu saya simpan agar anda dapat menyaksikannya sendiri di bioskop.



Sebagai penonton yang sudah menyaksikan CTS 1 saya memiliki ekspektasi tertentu bahwa cerita yang kali ini dibawakan dalam sekuelnya harus lebih atau minimal sama berkesannya seperti di CTS 1. Namun pada sekuelnya saya tidak mendapatkan hal tersebut, film ini bisa dibilang mengangkat tema konflik keluarga yang umum dan dapat ditebak arahnya, konflik serupa dapat ditemukan di serial atau film lainnya. Ciri khas keluarga Erwin yang berlatar keluarga oriental dan dari garis keturunan Tionghoa masih ada tapi tidak meresap ke dalam “jiwa” film ini seperti di film pertamanya. Meski demikian, dari segi cerita yang disampaikan tergolong cukup rapi dan konflik- konfliknya sangat relate dengan pola hidup masyarakat di Indonesia. Alur cerita dan character developmentnya enak untuk diikuti dan dinamika konflik utama antara Erwin dan Natalie dan konflik Yohan dan Ayu tidak saling mendominasi. Penampilan para komika tidak semasif di film pertama dan adegan komedinya ada yang agak dipaksakan di beberapa adegan. Keputusan untuk lebih menonjolkan sisi drama ketimbang komedi kali ini buat saya masih sejalan dengan tema filmnya walau hal ini berdampak pada agak hilangnya ciri khas film ini. Film ini tidak buruk tetapi impresi yang diberikan ke saya tidak sekuat film pertamanya dan cenderung agak mudah dilupakan.



Dibandingkan film pertamanya, setting tempat kali ini lebih luas dan beragam, syuting juga dilakukan di Bali sebagai lokasi pernikahan Erwin dan Natalie. Penampilan yang dibawakan oleh para cast di film ini merupakan kekuatan dan keistimewaan film ini. Chemistry di antara mereka dibawakan dengan nyata dan baik seperti antara Yohan dan Erwin sebagai kakak-adik, Yohan dan Ayu sebagai suami istri dengan problematikanya serta hubungan Koh Afuk dengan anak-anaknya. Emosi yang ditampilkan mereka dapat dirasakan oleh penonton lewat konflik yang diceritakan sehingga pesan yang ingin disampaikan juga sukses. Maya Hasan sebagai Agnes, Ibu Natalie tampil apik sebagai ibu mertua yang hanya memandang status dan overprotektif terhadap anaknya. Walau Laura dan Maya tampil sebagai cast baru di CTS 2 namun hubungan ibu-anak yang complicated dan penuh tekanan dapat dibawakan dengan baik. Porsi kemunculan para pemain juga pas baik antara para pemain utama dan pendukung.



CTS 2 walau temanya sudah sering diangkat namun kekuatannya ada pada sisi emosional dan konflik yang berhasil dibawakan dengan baik oleh para castnya terutama Adinia Wirasti, Laura Basuki, Dion Wiyoko, dan Maya Hasan. Film Garapan Ernest ini saya anggap tetap dapat dinikmati sebagai film keluarga penutup tahun untuk merefleksikan bagaimana seharusnya kehidupan berkeluarga baik untuk yang akan menikah maupun sudah menikah. Walau ciri khasnya tidak terlalu menonjol lagi seperti di CTS 1 tapi penonton akan tetap dapat berempati dan belajar dari isu yang jamak di keluarga pada umumnya yang ingin disampaikan di film ini bahwa orang tua harus membiarkan anak-anak dan belajar percaya pada pilihan mereka dalam hidup.



Overall: 7/10

(By Camy Surjadi)










Saturday, December 10, 2022

ULASAN: COME BACK HOME



Film Baru Donnie Yen biasanya selalu ditunggu dan dia juga terkenal senang bereksperimen dengan genre baru. Kali ini dia tampil sebagai tokoh protagonis yang bukan jago bela diri. Ekspektasi penonton tentu tinggi untuk tiap-tiap filmnya seperti saya. Come Back Home (judul awalnya Polar Search and Rescue) adalah film survival drama yang berfokus pada keluarga yang disutradarai oleh Law Chi Leung (yang juga bertindak sebagai penulis naskah). Donnie Yen menjadi produser selain bintang utama. Come Back Home didukung cast seperti Han Zue, Jia Bing, Tang Xu, Hou Tian Lai, Lin Chen Ha, Hu Ming dan Xu Guang Yu. Come Back Home tayang perdana di China pada 3 Oktober 2022 dan sudah tayang di bioskop Indonesia sejak 7 Desember lalu.



Pada musim dingin, sekelompok keluarga dari Shenzhen berkendara ke Gunung Changbai di timur laut. Awalnya perjalanan itu menyenangkan, namun karena ulah sang ayah A De (Donnie Yen) yang emosional, bocah laki-laki Lele (Yuan Jinhui) berusia 8 tahun itu menjadi tersesat akibat ditinggalkan karena ingin memberikan ganjaran atas kenakalannya. A De dan istrinya Xuan (Cecilia Han) mencari bantuan dari pihak berwenang setempat, operasi pencarian dan penyelamatan segera diluncurkan. Waktu penyelamatan emas (48 jam) telah berlalu, tetapi anak tersebut belum ditemukan. Akankah keajaiban hidup terjadi?



Durasi 1 jam 42 menit terasa menyiksa Ketika menyaksikan film ini, ekspektasi saya Ketika menonton adalah aksi penyelamatan yang heroik dan hebat bukan film drama keluarga yang slow burning dan tidak jelas arahnya seperti di film ini. Ada beberapa hal fatal di film ini selain itu impresi yang ingin dicapai oleh sang sutradara juga tidak jelas. Bagian pertama yang terpenting di bagian Introduksi seharusnya berfokus ke pengenalan A De, kedua anak, dan istrinya namun malah sekedarnya saja sehingga kita ga bisa relate sama kedekatan A De dengan istri terlebih anaknya Lele yang diceritakan hilang yang akan jadi focus di sisa film ini. Di bagian kedua lah permasalahan ini dimulai, konfliknya sangat melelahkan dan bertele-tele, tujuannya mungkin menciptakan situasi sedekat mungkin dengan realita tapi yang ada malah bikin Lelah. Mulai dari sifat A De dan istrinya yang tidak bijaksana sama sekali dan cenderung egois, konflik terus menerus dengan ketua tim SAR dan para relawan, serta aksi penyelamatan yang tidak terstruktur dengan baik. Konfliknya makin dieskalasi dengan adanya campur tangan media yang mendiskreditkan A De sebagai ayah yang kurang bertanggung jawab. Hal ini diperparah dengan adanya plot layer bencana alam yang entah tujuannya apa, menambah dramatis tentu bukan malah membuat cerita jadi melenceng. Hingga penghujung cerita sang anak yang hilang baru diceritakan kondisinya yang padahal bisa dibuat lebih baik.



Karakter ceritanya tidak ada yang menonjol sama sekali akibat plot yang tidak terstruktur dengan rapi. Setting tempat bersalju dan idenya sudah baik namun eksekusinya jauh dari kata bagus Perjuangan mencari sang anak yang hilang malah tertutupi dengan layer plot lain yang membuat kita tidak fokus dengan esensi ceritanya. Come Back Home sebagai film bertema survival rescue sukses bikin kesal dan bete ketimbang mendidik ataupun membuat penonton berefleksi. Film ini punya potensi mengangkat isu yang biasa dialami ketika ada anggota keluarga yang terjebak dalam bencana di antara tim SAR dan media. Alih-alih mencapai tujuan tersebut, hasil akhirnya malah menyimpang jauh. Tidak ada pesan yang disampaikan yang sepertinya mengena ke penonton akibat skenarionya yang tidak koheren ini. Donnie Yen sepertinya lebih cocok di film-film aksi ketimbang drama keluarga seperti ini.


Overall : 5/10

(By Camy Surjadi)








Friday, December 2, 2022

ULASAN: VIOLENT NIGHT




Momen Natal biasanya dikaitkan dengan film-film yang kekeluargaan dan penuh kehangatan, namun terkadang ada film dengan tema nyeleneh yang muncul di setiap tahunnya. Anda pernah membayangkan bagaimana jika Die Hard, Home Alone, dan John Wick dimash-up? Violent Night lah jawabannya. Violent Night adalah film Natal action-comedy Amerika tahun 2022 yang disutradarai oleh Tommy Wirkola (Hansel & Gretel: Witch Hunters – 2013) dan ditulis oleh Pat Casey dan Josh Miller. Film ini dibintangi David Harbour sebagai pemeran utama (Black Widow –2021) dan didukung cast seperti John Leguizamo, Cam Gigandet, Alex Hassell, Alexis Louder, Leah Brady, Edi Patterson, dan Beverly D'Angelo. Violent Night tayang perdana di New York Comic Con pada 7 Oktober 2022.



Fokus Violent Night adalah kejahatan yang terjadi di rumah keluarga Lightstone, yang merupakan keluarga kaya, di malam natal. Sekelompok tentara bayaran di bawah pimpinan Mr. Scrooge (John Leguizamo) menginvasi kompleks rumah dan menyandera semua penghuni di dalamnya. Namun mereka tidak mengira di malam itu mereka dihadapkan dengan Santa Claus (David Harbour) yang kebetulan sedang ada di rumah itu untuk mengantarkan hadiah natal. Ia memergoki mereka dan dengan sekuat tenaga berusaha menyelamatkan keluarga tersebut. Film ini akan menampilkan sisi Santa Claus yang berbeda dari yang biasa dinarasikan dan kita dengar selama ini.




Tidak perlu berlama-lama mengenalkan karakter Santa Claus/ Sinterklas (David Harbour) yang memang sudah kita kenal namun di sini kita langsung dibawa melihat aktivitas ‘normal’ sebagai sinterklas di malam Natal. Lalu kita diperkenalkan karakter keluarga Lightstone yang berpusat pada Trudy Lightstone (Leah Brady) dan anggota keluarga lainnya yang sangat unik, ada sang Nenek Gertrude Lightstone (Beverly D’Angelo), Alva (Edi Patterson) dan Morgan Lightstone (Cam Gigandet) yang nyentrik. Jason Lightstone (Alex Hassell) dan Linda Matthews (Alexis Louder) sebagai orang tua Trudy yang sudah bercerai namun hadir di acara Natal supaya Trudy bisa merasakan kehangatan Bersama. Overall menonton film ini memang terasa seperti menonton Die Hard di mana sang sinterklas yang menjadi tokoh protagonist menyelamatkan sang keluarga lightstone dari penyanderaan. Dalam perjalanannya banyak unsur Home Alone, yang mungkin menyandang gelar film paling sering diputar di hari Natal, yang dimunculkan dalam adegan-adegan di film. Menonton film ini memang untuk refreshing saja karena tidak ada misteri/ twist rumit, alurnya simple dan mudah diikuti. Ada keluarga kaya disandera kelompok tentara bayaran yang jahat dan diselamatkan oleh sang sinterklas. Faktor yang menarik di sini tentu sang sinterklas dengan pendekatan yang sangat berbeda yang menurut saya mampu membuat penonton tetap menonton hingga selesai. Ketimbang memilih solusi yang lebih “ramah” (this is not Disney movie), solusi yang ditawarkan di sini adalah versi sinterklas yang brutal dan tidak segan menangani para penjahat dengan menghabisi mereka. Ada momen-momen menarik dan porsi komedinya juga pas (komedi yang dimaksud di sini adalah Dark Comedy sesuai rating film ini). Kekurangannya adalah backstory Sinterklas yang tidak dijelaskan dan karakter-karakter keluarga lightstone yang mudah dilupakan karena kurangnya eksplorasi. Film berdurasi 112 menit ini cocok buat para penonton yang mencari film yang unik walau mungkin tidak cocok untuk semua orang.




Violent Night sebagai film berating R sepertinya tidak begitu cocok sebagai film keluarga karena banyak kata makian dan adegan kekerasan yang brutal. This movie is like another side of Santa atau jika kita pake istilah MCU “What if …”. Christmas Spiritnya tetap ada di mana disisipkan bahwa keajaiban Natal datang tanpa kita duga dan bisa dalam bentuk apapun. Selain itu sepertinya tidak ada pesan lain yang berarti, Tommy Wirkola mengajak kita merasakan keseruan sajian ceritanya yang agak nyeleneh dan tidak monoton tapi memang menandakan movie siganturenya.Film-film nyeleneh seperti ini cocok untuk melepas kejenuhan sesaat dari film-film bertema berat.



Overall: 7/10

(By Camy Surjadi)