Showing posts with label Review. Show all posts
Showing posts with label Review. Show all posts

Tuesday, September 9, 2025

REVIEW HIGHEST 2 LOWEST: REMAKE KARYA AKIRA KUROSAWA DENGAN VERSI STYLISH DI APPLE TV+

 


Sinopsis Highest 2 Lowest

Highest 2 Lowest atau disingkat H2L adalah kolaborasi ketiga antara sutradara Spike Lee dan aktor legendaris Denzel Washington, setelah Malcolm X dan He Got Game. Film ini merupakan remake dari karya klasik Akira Kurosawa High & Low, namun dengan sentuhan kekinian khas Spike Lee.

Cerita berfokus pada King (Denzel Washington), seorang petinggi label rekaman sukses. Suatu hari ia menerima kabar bahwa anaknya diculik. Namun setelah ditelusuri, yang diculik ternyata adalah anak sahabatnya, Paul (Jeffrey Wright), yang kebetulan mengenakan aksesori milik anak King. Meski salah sasaran, penculik tetap menuntut tebusan. King pun dihadapkan pada dilema: menyelamatkan anak sahabatnya atau melindungi karier dan reputasinya sendiri.

Sentuhan Spike Lee yang Kekinian

Spike Lee menghadirkan remake ini bukan sekadar menyalin isu kelas dari versi Kurosawa. Ia justru membawa tema baru tentang budaya Black Lives, mannerism, hingga pengaruh sosial media dan cancel culture. Nuansa hip-hop terasa kuat lewat hadirnya ikon musik seperti A$AP Rocky dan Ice Spice, bahkan ada beberapa adegan yang disusun ala video klip. Meski bagi sebagian penonton bisa terasa canggung, gimmick ini memberi warna unik yang membedakan H2L dari remake kebanyakan.

Kekuatan Teknis dan Musik

Scoring musik menjadi salah satu elemen paling menonjol. Spike Lee berani bermain dengan kontras: musik non-diegetic yang intens tiba-tiba berpindah ke musik live band (diegetic). Perpaduan ini membuat film berdurasi panjang tetap terasa dinamis dan tidak membosankan. Salah satu contohnya adalah adegan pengejaran ransel berisi uang yang berubah ritmenya lewat transisi musik latin.

Kelebihan Highest 2 Lowest

  • Interpretasi segar dari film klasik Kurosawa

  • Chemistry solid antara Denzel Washington dan Jeffrey Wright

  • Nuansa hip-hop yang jarang terlihat di genre crime-thriller

  • Musik dan scoring yang kreatif serta menghidupkan suasana

Kekurangan Highest 2 Lowest

  • Motivasi karakter utama (King) terasa kurang kuat, sehingga dilema awalnya agak melemahkan emotional impact

  • Elemen video klip bisa terasa awkward bagi sebagian penonton

  • Ceritanya masih segmented, tidak semua audiens akan nyambung dengan subteks budaya yang diangkat

Penampilan Aktor

Selain penampilan prima Denzel Washington, Jeffrey Wright hadir sebagai Paul dengan kualitas akting solid, mengingatkan kita pada kolaborasi mereka di The Manchurian Candidate (2004). A$AP Rocky juga menjadi sorotan, terutama dalam adegan long take intens bersama Denzel yang menunjukkan dirinya bisa berdiri sejajar di layar lebar.

Kesimpulan

Highest 2 Lowest adalah remake yang berani, segar, dan penuh warna khas Spike Lee. Film ini lebih dari sekadar crime-thriller; ia juga bicara tentang hustle culture, ego, dan keputusan sulit di puncak karier. Meski tidak semua orang akan mudah menerimanya, H2L tetap memberikan pengalaman menonton yang unik dan relevan.

Skor: 7,5/10
📺 Sudah bisa ditonton di Apple TV+

Thursday, September 4, 2025

REVIEW THE CONJURING: LAST RITES – PENUTUP FRANCHISE DENGAN SENTUHAN EMOSIONAL


Sebagai film pamungkas dari franchise The Conjuring, Last Rites mencoba menutup kisah panjang pasangan Ed dan Lorraine Warren dengan menggabungkan elemen horor supranatural dan drama keluarga. Namun, apakah penutup ini berhasil memenuhi ekspektasi para penggemar?

Plot: Judy Warren dan Kasus Cermin Berhantu


Cerita dalam The Conjuring: Last Rites terbagi menjadi dua plot utama. Pertama, fokus pada Judy Warren, putri pasangan Warren, yang kini beranjak dewasa dan hendak dilamar kekasihnya, Toby (Ben Hardy). Judy yang mewarisi kemampuan supranatural dari ibunya harus menghadapi masa lalu keluarga yang penuh misteri.

Di sisi lain, ada kasus keluarga Smurl di Pennsylvania yang diteror oleh sebuah cermin berhantu. Kedua jalur cerita ini disatukan melalui device horor berupa cermin tersebut, meski sayangnya porsi latar belakang keluarga Smurl kurang terpakai di bagian akhir film.

Karakter dan Dinamika Emosional

Salah satu kekuatan film ini justru terletak pada subplot Judy Warren. Trauma masa lalu yang menghantuinya berhasil memberi dimensi emosional baru dalam franchise ini. Kehadiran Toby pun menjadi penting karena ia mewakili sudut pandang penonton awam yang baru masuk ke dunia “legacy” keluarga Warren.

Ed Warren yang masih berjuang dengan penyakit jantung pasca peristiwa film ketiga juga menambah ketegangan di beberapa momen klimaks. Unsur personal inilah yang membuat film terasa lebih intim dibanding pendahulunya.

Elemen Horor: Masihkah Menakutkan?

Dari sisi horor, Last Rites bisa dibilang lebih ringan. Jumpscare tetap ada, tetapi tidak sevariatif film-film sebelumnya. Kengerian yang seharusnya jadi ciri khas The Conjuring malah tertutup oleh lapisan drama emosional.

Meski begitu, adegan klimaks tetap menyajikan ketegangan yang bikin ngilu, bahkan mengingatkan pada atmosfer Final Destination. Hanya saja, latar belakang teror arwah tidak digali dalam, sehingga efek horornya terasa kurang maksimal.

Kesimpulan: Penutup yang Lebih Emosional daripada Menyeramkan

Sebagai penutup franchise, The Conjuring: Last Rites memang tidak menyajikan kengerian yang maksimal, tetapi berhasil memberikan penghormatan pada perjalanan panjang keluarga Warren. Sentuhan emosional, hubungan Judy dengan orang tuanya, dan beberapa throwback jadi nilai tambah yang bisa memuaskan penggemar lama.

Rating: 7/10




Sunday, August 24, 2025

REVIEW HANYA NAMAMU DALAM DOAKU: PELAJARAN PENTING TENTANG KOMUNIKASI DALAM RUMAH TANGGA LEWAT DRAMA PENUH EMOSI


Sinemaku kembali menghadirkan drama penuh haru lewat karya Reka Wijaya berjudul Hanya Namamu Dalam Doaku. Film ini mengangkat tema penyakit langka ALS, sebuah kondisi yang pernah dialami ilmuwan Stephen Hawking dan sempat populer lewat fenomena Ice Bucket Challenge beberapa tahun silam. Dengan menggandeng Vino G. Bastian dan Nirina Zubir sebagai pemeran utama, film ini menyuguhkan performa akting yang solid dan penuh energi emosional.

Vino berperan sebagai Arga, seorang ayah sekaligus kepala keluarga yang didiagnosis ALS. Bukannya terbuka dengan keluarganya, Arga justru memilih menutupi penyakitnya demi melindungi mereka. Namun sikap bungkam ini justru memicu konflik, karena sang istri Hanggini (Nirina Zubir) mengira Arga berselingkuh dengan mantan kekasihnya, Marissa (Naysilla Mirdad), yang tiba-tiba hadir kembali dalam hidup mereka. Drama rumah tangga ini terasa semakin kompleks, terutama ketika putri mereka Nala (Anantya Kirama) ikut merasakan kebingungan atas dinamika keluarganya.

Film ini menyoroti pentingnya komunikasi dalam rumah tangga, sebuah pesan sederhana namun relevan bagi banyak pasangan. Meski masih menggunakan formula melodrama yang kadang terasa “sappy”, eksekusinya tetap berhasil menyentuh penonton berkat chemistry kuat antara Vino dan Nirina. Pertukaran emosi mereka sebagai pasangan suami istri terasa nyata, mulai dari adegan adu mulut hingga momen keheningan yang menyisakan luka batin.

Selain itu, subplot menarik tentang “Masa Iddah” membuat alur film tidak terasa terburu-buru dan memberi ruang refleksi yang lebih dalam. Ge Pamungkas sebagai bagian dari pemeran pendukung juga tampil cukup mencuri perhatian, bahkan terasa lebih signifikan dibanding karakter Marissa yang diperankan Naysilla Mirdad.

Meski durasi film terasa bisa lebih ringkas, penutupnya berhasil memberikan kesan yang kuat. Dengan adegan bittersweet yang subtil tanpa harus bergantung pada dialog, Hanya Namamu Dalam Doaku meninggalkan pesan emosional yang membekas. Sebuah drama keluarga yang bukan hanya soal penyakit, tapi juga soal cinta, pengorbanan, dan komunikasi yang kerap terabaikan.

Rating: 7,5/10

Saturday, August 23, 2025

REVIEW DARAH NYAI: HOROR EKSPLORASI 80AN DENGAN BALAS DENDAM BRUTAL DAN FEMALE EMPOWERMENT


Azzam Fi Rullah kembali bikin kejutan. Walau kali ini ia hanya berperan sebagai penulis, gaya khasnya yang sering memberi homage pada film “esek-esek” horor Indonesia era 80-an tetap terasa kuat. Bersama sutradara Yusron Fuadi (Tengkorak), mereka menghadirkan Darah Nyai, sebuah tontonan yang sengaja diramu dengan atmosfer film B lawas: dari angle kamera, tone warna, hingga scoring musik keyboard yang bikin nostalgia ke era Febby Lawrence sampai Reynaldi.

Premisnya cukup menggigit: sepasang pengantin muda mendapati malam pertama mereka berubah jadi mimpi buruk ketika sang istri kerap mendapat penglihatan misterius. Rahasianya pun terkuak — sang istri dirasuki roh seorang Nyai yang dulunya dibunuh oleh sekelompok pemuda brengsek. Dari situlah perjalanan balas dendam dimulai, dengan tubuh sang istri sebagai medium pelampiasan dendam sang arwah.

Buat penonton yang doyan film vengeance & violent ala Kill Bill atau Hard Candy, Darah Nyai bakal jadi suguhan penuh gore yang over-the-top, intens, dan sering kali unintentionally funny tapi tetap menghibur. Perpaduan tema mistis tradisional dengan gaya modern terasa unik, apalagi dialog yang (sepertinya) banyak diimprovisasi menambah kesan raw. Kehadiran aktor senior seperti Djenar Maesa Ayu, Vony Anggraini, dan Yudi Ahmad Tadjudin, plus dukungan tokoh perfilman seperti Prof Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan di balik layar, memberi bobot lebih pada film ini.

Meski begitu, ada beberapa hal yang masih bisa diperbaiki, seperti teknis sound dialog yang kadang terlalu keras atau mendem, serta makeup yang terasa kurang maksimal. Namun, di balik kekurangannya, Darah Nyai berhasil menyampaikan gagasan kuat soal female empowerment lewat balas dendam brutal sang Nyai.

Secara keseluruhan, Darah Nyai jadi salah satu film indie lokal yang berani tampil beda dan berhasil rilis komersial. Harapannya, karya semacam ini makin sering muncul, tentunya dengan kurasi lebih matang sebelum tayang ke publik.

Rating: 7,5/10

REVIEW FILM MATERIALIST (2025) – DAKOTA JOHNSON, PEDRO PASCAL & CHRIS EVANS DALAM ROMANSA TENTANG CINTA DAN STATUS


Celine Song, yang sebelumnya sukses lewat Past Lives, kembali menghadirkan kisah romansa dengan sentuhan unik lewat film terbarunya, Materialist. Kali ini, Dakota Johnson tampil sebagai seorang “mak comblang” profesional yang mencarikan pasangan bagi para eksekutif muda. Namun, di balik profesinya yang unik, ia juga terjebak dalam dilema pribadi: memilih cinta lama yang penuh kenangan, atau sosok baru yang lebih ideal di atas kertas.

Seperti judulnya, film ini tidak sekadar tempelan. Materialist benar-benar mengupas esensi status dan materi dalam komitmen hubungan, baik secara tersirat maupun gamblang melalui dialog. Angle ini membuat film terasa berbeda dibanding romansa sejenis, bahkan dibanding karya Celine Song sebelumnya.

Akting para pemeran utama menjadi daya tarik tersendiri. Pedro Pascal memancarkan kharisma sebagai pria mapan ideal, namun tetap bisa menyentuh hati lewat sisi rapuhnya. Chris Evans, di sisi lain, memberikan tantangan tersendiri bagi penonton karena bayangan persona dan typecasting-nya masih terlalu kuat, sehingga agak sulit dipercaya sebagai aktor yang sedang berjuang. Meski begitu, chemistry-nya dengan Dakota Johnson tetap berjalan mulus dan meyakinkan.

Secara tematis, film ini menutup perdebatan tentang penting atau tidaknya status dan materi dalam hubungan dengan konklusi yang sengaja dibiarkan terbuka. Pilihan ini menimbulkan pro-kontra, tapi juga memberi ruang interpretasi bagi penonton. Dari sisi teknis, visual yang hangat dengan lanskap glamor New York, ditambah lighting lembut dan dialog intim, berhasil membangun atmosfer romantis yang cocok dinikmati bersama pasangan.

Rating: 7/10

Tuesday, August 19, 2025

REVIEW DEMON SLAYER - KIMETSU NO YAIBA THE MOVIE: INFINITY CASTLE- PART 1



Gilak! Wajib banget nonton di layar lebar dengan sound yang bikin merinding!

Sebagai pembaca manga, pengalaman menonton Demon Slayer: Infinity Castle Part 1 terasa penuh nostalgia sekaligus memacu adrenalin. Walaupun saya sudah tamat membaca manganya, menonton adaptasi layar lebarnya memberikan sensasi yang berbeda, terutama di momen epik pertarungan Shinobu vs Douma yang jadi salah satu highlight utama.

Film ini bukan recap atau kompilasi, melainkan langsung melanjutkan cerita dari arc Desa Pedang. Tiga pertarungan besar jadi fokus utama:

  • Shinobu vs Douma

  • Zenitsu vs Kaigaku

  • Tanjiro + Giyu vs Akaza

Visual & Animasi

Penggambaran Infinity Castle dengan teknik animasi 3D terasa megah dan benar-benar memberikan skala “tak terbatas” yang imersif. Walau saya menonton di bioskop reguler, efeknya sudah luar biasa—kebayang kalau menontonnya di IMAX, pasti jauh lebih epik.

Audio & Musik

Sound design jadi salah satu poin terkuat film ini. Benturan pedang, efek jurus, hingga scoring musik semuanya berpadu sempurna untuk membangun ketegangan di tiap sekuens pertarungan. Ufotable sekali lagi membuktikan kualitas mereka dalam menyajikan visual spektakuler yang selaras dengan audio yang memacu adrenalin.

Narasi & Tempo

Bagi non-manga reader, mungkin akan sedikit terganggu dengan adegan flashback yang disisipkan di tengah-tengah pertarungan karena tone-nya mendadak mellow. Tapi sebenarnya, bagian ini justru berfungsi sebagai jeda napas setelah aksi intens, sekaligus memberi ruang emosional pada karakter.

Durasi 135 menit terasa padat, dengan transisi antar-pertarungan yang rapat sehingga nyaris tidak ada momen membosankan. Film ini sukses mengadaptasi salah satu arc paling epik dengan cara yang proper, memuaskan fans lama sekaligus mudah diikuti penonton baru.

Catatan Kecil

Satu hal teknis yang agak mengganggu adalah subtitle yang kadang kalah terang dibanding adegan visualnya. Mungkin bisa lebih ditebalkan outline-nya agar lebih nyaman dibaca.

Kesimpulan

Demon Slayer: Infinity Castle Part 1 adalah tontonan wajib di bioskop. Jangan tunggu rilis streaming kalau ingin merasakan pengalaman audio-visual yang maksimal. Sebuah adaptasi penuh energi, emosional, dan memuaskan.

Rating: 9/10
Info tambahan: Part 2 dijadwalkan tayang dua tahun lagi—jadi siap-siap menunggu pertarungan berikutnya!