Monday, October 6, 2025

REVIEW NO OTHER CHOICE – THRILLER SATIR PEDAS DARI PARK CHAN WOOK

Sutradara legendaris Park Chan Wook kembali menunjukkan kelasnya lewat film terbaru berjudul “No Other Choice”, sebuah thriller satir yang membungkus kritik sosial dan ekonomi dalam bungkus komedi gelap khasnya. Ceritanya mengikuti Man-Su (Lee Byung Hun), seorang kepala keluarga yang tiba-tiba dipecat dari pekerjaannya. Tekanan ekonomi, desakan keluarga, serta ketakutan kehilangan aset membuat Man-Su perlahan kehilangan kendali. Dalam keputusasaan, ia mengambil langkah ekstrem: membunuh para pesaing yang berpotensi merebut posisinya.

Film ini tampil efisien namun kompleks. Park Chan Wook tidak bertele-tele dalam membangun ketegangan, tapi justru menaruh lapisan-lapisan makna dalam tiap adegan. Tone komedinya gelap, getir, sekaligus absurd—terutama saat Man-Su mencoba membunuh target pertamanya, Gu Bommu, di mana rangkaian peristiwa tragikomedi justru menimbulkan tawa getir. Kombinasi sound design dan dialog yang cerdas membuat sekuens ini menjadi salah satu momen paling memorable meski tak terlalu memengaruhi jalan cerita utama.

Secara visual, Park Chan Wook kembali menampilkan gaya sinematografi khasnya: transisi dissolving yang elegan, framing yang presisi, serta satu momen “magical shot” yang melibatkan bonsai dalam teknik shot-reverse shot penuh simbolisme menjelang klimaks. Adegan ini seolah mengungkap isi hati karakter tanpa sepatah dialog pun—sebuah signature Park yang sulit disaingi.

Performa Lee Byung Hun tak perlu diragukan. Ia memerankan Man-Su dengan emosi yang bergeser cepat—dari tenang, lucu, panik, hingga kembali datar—semuanya terasa natural. Namun, jangan lupakan Son Ye Jin sebagai sang istri. Karakter yang awalnya tampak polos ternyata menyimpan sisi manipulatif yang justru menjadi pemantik utama tindakan Man-Su. Chemistry dan dinamika keduanya menambah kedalaman psikologis film ini.

Diadaptasi dari novel karya Donald Westlake yang juga pernah difilmkan oleh Costa-Gavras dalam “The Ax”, versi Park Chan Wook memberikan tafsir baru. Ia tidak hanya berbicara soal “membunuh pesaing”, tetapi menyoroti keterpurukan manusia modern dalam sistem ekonomi yang menekan, serta bagaimana moral bisa terdistorsi oleh rasa takut kehilangan status. Ending-nya bahkan membuka ruang refleksi lebih luas daripada sekadar cerita kriminal.

No Other Choice adalah film yang kuat secara tema dan teknis, penuh sindiran tajam, serta relevan dengan situasi sosial saat ini. Park Chan Wook sekali lagi membuktikan bahwa ia masih “the GOAT” di ranah thriller satir.

Rating: 9/10

Sunday, October 5, 2025

REVIEW FILM: DIE, MY LOVE, POTRET KESEPIAN DAN KEGILAAN MANUSIA MODERN




Ketika Cinta, Psikosis, dan Realita Berkabut Jadi Satu

“DIE MY LOVE” bukan sekadar drama psikologis biasa. Film garapan Lynne Ramsay ini membawa penontonnya masuk ke dalam pusaran jiwa yang rapuh, penuh amarah, cinta, dan kehilangan arah. Jennifer Lawrence tampil luar biasa sebagai Grace, seorang perempuan dengan kondisi mental tak stabil yang sedang mengandung anak pertamanya. Sementara Robert Pattinson sebagai Jackson, suami yang sama-sama eksentrik, menjadi cermin bagi sisi manusia yang ingin menolong, tapi juga tidak benar-benar memahami apa yang sedang ia hadapi.

Sejak awal, Ramsay membangun atmosfer yang gelap dan emosional. Kehidupan pasangan ini digambarkan kasar, liar, dan penuh letupan emosi—dari adegan seks intens hingga tantrum yang meledak-ledak. Tapi di balik semua itu, ada rasa kesepian yang besar. Grace bukan hanya kehilangan kendali, tapi juga kehilangan cara untuk mengekspresikan dirinya. Keberadaan keluarga yang juga punya “riwayat serupa”—diperankan dengan kuat oleh Sissy Spacek dan Nick Nolte—menambah lapisan psikologis yang dalam.

Film ini juga mempermainkan persepsi realita dan ilusi, terutama lewat sekuens sureal yang melibatkan sosok misterius berhelm. Tidak semua hal dijelaskan secara gamblang—dan memang, Ramsay tak pernah ingin memberi semua jawaban. Jennifer Lawrence kembali menampilkan intensitas akting seperti dalam mother!, tapi kali ini dengan sentuhan yang lebih mentah dan tak terkontrol.

Meski kadang terasa terlalu panjang, ending-nya yang ambigu tetap meninggalkan kesan kuat. Ada rasa pahit yang melekat, seolah film ini ingin berkata bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan, dan tidak semua cinta mampu menyelamatkan seseorang dari dirinya sendiri.

DIE MY LOVE adalah perjalanan emosional yang tidak nyaman, tapi perlu. Film ini mengingatkan kita bahwa gangguan mental bukan sekadar kondisi, tapi juga perjuangan untuk tetap eksis di dunia yang terlalu bising untuk mendengar.

Rating: 7,5 / 10
Film yang liar, mengguncang, tapi juga penuh empati.

REVIEW FILM GOOD BOY, HOROR DARI SUDUT PANDANG SEEKOR ANJING YANG NGGAK BIASA!

 

Premis Unik dan Eksperimen Berani

“Yak, sodara-sodara…” — begitu kira-kira reaksi banyak penonton ketika tahu GOOD BOY menampilkan kisah horor dari sudut pandang seekor anjing!
Film debut dari Ben Leonberg ini awalnya viral sebelum rilis karena konsepnya yang terdengar aneh tapi menarik: horor yang dilihat langsung dari mata seekor hewan peliharaan. Dan ternyata, hasil akhirnya benar-benar segar sekaligus menyeramkan dengan cara yang berbeda dari film horor kebanyakan.

Ceritanya berpusat pada Indy, seekor anjing yang diwariskan turun-temurun di satu keluarga. Saat tiba di pemilik barunya, Indy diajak ke sebuah pondok terpencil yang belakangan diketahui ternyata “berpenghuni” sesuatu yang misterius. Dari sinilah ketegangan dimulai — dan kita, sebagai penonton, melihat semuanya lewat mata si Indy.

POV yang Bikin Tegang dan Menegangkan

Eksperimen paling menonjol dari GOOD BOY adalah cara sutradaranya mempertahankan POV (point of view) si anjing sepanjang film. Kamera diletakkan selevel dengan tinggi badan Indy, menghadirkan pengalaman visual yang sempit, terbatas, dan terkadang menyesakkan.
Efek claustrophobic ini justru jadi keunggulan utama film — membuat penonton merasa ikut “terjebak” dalam situasi yang sama dengan sang anjing.

Pendekatan ini juga menciptakan sensasi imersif yang jarang ditemukan di film horor lain. Penonton dibuat gelisah bukan hanya karena ancaman entitas misterius, tapi juga karena rasa khawatir terhadap keselamatan si Indy yang polos dan tak berdaya. It’s both scary and emotional.

Sound Design yang Efektif

Selain aspek visual, GOOD BOY juga menunjukkan perhatian besar pada sound design.
Setiap suara kecil — langkah kaki, gesekan pintu, desir angin — diperkuat sedemikian rupa hingga membangkitkan ketegangan dan menstimulasi pendengaran penonton.
Pendekatan ini membuat kita seolah benar-benar punya kepekaan seperti seekor anjing, yang dikenal mampu menangkap suara dengan frekuensi lebih tinggi dari manusia.

Menonton film ini di bioskop dengan sistem suara yang bagus jelas akan meningkatkan pengalaman secara signifikan. Setiap bisikan dan bunyi samar terasa lebih hidup dan bikin merinding.


Horor dengan Makna yang Dalam

Meski tetap menyediakan beberapa jumpscare yang efektif, GOOD BOY bukan sekadar tontonan pengaget.
Film ini menyimpan makna mendalam tentang keberlanjutan hidup, loyalitas, dan hubungan antara manusia dan hewan.
Melihat cerita dari kacamata anjing membuat pesan moralnya terasa lebih kuat dan menyentuh — seolah kita diajak memahami dunia dari perspektif yang selama ini kita abaikan.

Ben Leonberg berhasil memadukan rasa takut dan empati dalam satu pengalaman yang tidak biasa.
Setelah menonton, bukan cuma rasa tegang yang tersisa, tapi juga perenungan.

Kesimpulan

GOOD BOY adalah salah satu kejutan paling menyenangkan dari deretan film horor tahun ini.
Eksperimen visualnya berani, teknisnya matang, dan pesannya menyentuh.
Film ini menegaskan bahwa horor nggak selalu harus datang dari darah dan monster, tapi juga bisa dari cara pandang baru terhadap sesuatu yang sederhana — seekor anjing dan dunia di sekitarnya.

GOOD BOY akan dirilis secara reguler mulai tanggal 8 Oktober 2025 secara terbatas.
Kalau kamu penggemar horor yang mencari sesuatu yang beda, film ini wajib banget masuk daftar tontonmu.
Dan ingat: tonton di bioskop dengan sound system yang bagus biar pengalaman imersifnya maksimal.

Rating: 9/10

Tuesday, September 30, 2025

REVIEW CHAINSAW MAN THE MOVIE REZE ARC: MAPPA TAMPIL GILA-GILAAN DI LAYAR LEBAR


Absolute Anime Cinemaaaarggh!

MAPPA kembali memanjakan penggemar dengan film Chainsaw Man - Reze Arc, lanjutan canon dari serial animenya. Hasilnya? Sebuah pengalaman sinematik yang bukan hanya memuaskan dahaga fans CSM, tapi juga pecinta anime action secara umum.

Film ini mengadaptasi kisah Denji, pemuda polos yang berubah menjadi Chainsaw Man setelah bersatu dengan Pochita, iblis anjing kesayangannya. Kehidupan Denji yang penuh nafsu sederhana dan clueless romance mendadak berubah saat ia bertemu Reze, gadis ceria dan manis yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Kehadiran Reze yang memesona tentu membuat Denji klepek-klepek, meski di balik senyumannya tersimpan rahasia berbahaya.

Paruh pertama film terasa manis dan ringan, membawa penonton hanyut dalam godaan Reze layaknya Denji. MAPPA menyelipkan adegan mengejutkan yang cukup berani untuk ukuran film ber-rating 13+, seperti adegan semi-telanjang yang diakali dengan gaya seni unik, serta dosis brutalitas khas Chainsaw Man yang penuh darah dan mutilasi. Ketegangan mencapai puncak di paruh kedua dengan parade sakuga spektakuler: koreografi pertarungan yang gila-gilaan, transisi visual yang intens, dan setpiece megah yang benar-benar maksimal di layar lebar—apalagi jika disaksikan di IMAX. Meski demikian, penonton sensitif terhadap flashing light atau adegan bertransisi cepat mungkin akan merasa sedikit tidak nyaman.

Namun, Reze Arc bukan hanya tentang ledakan visual. Sentuhan emosional khas karya Tatsuki Fujimoto kembali terasa kuat. Karakter-karakter sekunder seperti Aki, Angel Devil, hingga Reze sendiri, mendapatkan ruang untuk menampilkan dilema batin mereka masing-masing. Dari kekhawatiran Aki akan sisa hidupnya, pergulatan Angel Devil soal makna keberadaan, hingga lapisan perasaan Reze yang tersembunyi di balik ledakan brutal. Semua berpuncak pada adegan akhir yang pahit sekaligus indah, meninggalkan penonton dengan rasa sesak namun penuh makna—sebuah ciri khas Fujimoto.

Pendek kata, Chainsaw Man - Reze Arc adalah tontonan wajib di bioskop. Sebuah pengalaman sinematik epik yang memadukan aksi brutal, visual spektakuler, dan emosi mendalam dalam satu paket. Tapi, jangan bawa adik atau anak kecil ya.

Rating: 9,5/10

REVIEW ALIEN EARTH: SAAT XENOMORPH BERTEMU PETER PAN & THE LOST BOYS




 

Alien Earth hadir sebagai entri terbaru dalam waralaba Alien, menghadirkan perpaduan elemen klasik dan tambahan “bumbu” baru yang memperkaya cerita. Selain isu perebutan aset dan kekuasaan antar korporat, serial ini tetap menjaga ciri khasnya: eksplorasi soal kemanusiaan melalui subplot android, cyborg, atau synth yang sudah menjadi signature franchise ini.

Cerita berfokus pada PRODIGY, korporasi yang berusaha menguasai sebuah kapal ekspedisi yang terdampar di Bumi. “Aset” yang mereka buru tentu saja adalah makhluk luar angkasa berbahaya yang mengancam manusia. Namun kali ini, variasi alien lebih beragam, tidak hanya Xenomorph atau Facehugger. Ada yang berbentuk seperti nyamuk hingga menyerupai tanaman kantung, bahkan hadir creature unik bernama The Eye yang memiliki karakter tersendiri.

Salah satu elemen paling menarik adalah peran synth, manusia buatan yang menjadi wadah bagi jiwa anak-anak yang telah meninggal. Kodrat mereka yang berada di antara manusia dan mesin, dipadukan dengan sifat kekanak-kanakan ala Peter Pan & The Lost Boys, menambah lapisan dramatis di luar teror Xenomorph. Porsi karakter dibagi dengan cukup seimbang, meski penonton awalnya harus menebak fungsi beberapa tokoh. Hilangnya kompas moral yang jelas juga membuat cerita lebih menantang: setiap karakter bisa melakukan apa saja, tanpa batasan hitam-putih.

Konflik korporasi yang ditanam sejak tiga episode awal sebenarnya menjanjikan, tetapi payoff di akhir justru lebih fokus pada pemberontakan para synth. Walau begitu, alurnya tetap menarik untuk diikuti. Bagi yang mengharapkan aksi brutal Xenomorph, mungkin harus bersabar karena serial ini banyak diisi dialog eksposisi tentang perebutan kekuasaan. Untungnya, kualitas akting para cast, termasuk Sydney Chandler (Wendy/Marcy), Samuel Blenkin (Boy), dan Babou Ceesay (Morrow), membuat tensi cerita tetap terjaga.

Secara keseluruhan, Alien Earth menutup delapan episodenya dengan cukup konklusif, meski masih menyisakan ruang untuk ekspansi cerita di masa depan. Serial ini menawarkan sesuatu yang segar untuk penggemar lama sekaligus bisa dinikmati penonton baru.

Rating: 7,5/10

DARI BUSAN KE INDONESIA, RANGGA & CINTA SIAP TEMUI PENONTON BIOSKOP

Film Rangga & Cinta akan segera tayang di bioskop Indonesia mulai 2 Oktober 2025, setelah melakukan pemutaran perdana di Busan International Film Festival 2025 dan mendapat sambutan positif. Diproduksi Miles Films, film ini disutradarai Riri Riza serta diproduseri Mira Lesmana, Nicholas Saputra, dan Toto Prasetyanto. Sebagai adaptasi dari film ikonik Ada Apa Dengan Cinta?, skenario ditulis ulang oleh Mira Lesmana bersama Titien Wattimena.

Dibintangi oleh Leya Princy sebagai Cinta dan El Putra Sarira sebagai Rangga, film ini juga menampilkan Jasmine Nadya, Kyandra Sembel, Katyana Mawira, Daniella Tumiwa, Rafly Altama, serta Rafi Sudirman. Latar ceritanya berada di Jakarta tahun 2001, menggambarkan kehidupan remaja SMA dengan nuansa awal 2000-an yang kental. Dari musik hingga gaya hidup, film ini menghadirkan pengalaman yang autentik dan dekat dengan penonton lintas generasi.

Kisahnya mengikuti perjalanan Cinta, siswi populer yang hidupnya berubah setelah bertemu Rangga, cowok misterius yang membuatnya bimbang antara persahabatan dan cinta pertamanya. Konflik semakin dalam saat sebuah kejadian menimpa sahabat Cinta, memaksanya memilih jalan yang akan menentukan hidupnya. Film ini menekankan nilai cinta dalam berbagai bentuk—antara pasangan, keluarga, sahabat, hingga cinta pada diri sendiri.

Sutradara Riri Riza menegaskan bahwa film ini dirancang untuk menyentuh kedalaman emosional penonton, sementara Mira Lesmana menyoroti semangat kolaborasi ratusan kru dalam mewujudkan produksi ini. Nicholas Saputra turut menambahkan harapannya agar film ini mampu membangkitkan energi muda dan mendapat tempat istimewa di hati masyarakat.

Para pemain pun menyambut gembira perilisan film ini, termasuk Leya Princy dan El Putra Sarira yang berharap penonton bisa merasakan kembali masa remaja penuh cerita manis. Didukung oleh brand seperti Compass, Indofood, Skintific, dan Amar Bank, Rangga & Cinta hadir sebagai The Rebirth of Ada Apa Dengan Cinta? yang siap menghibur sekaligus memberikan pengalaman sinematik penuh nostalgia.

Friday, September 26, 2025

TUKAR TAKDIR: TRAGEDI PESAWAT JADI DRAMA PENUH LUKA DAN HARAPAN

 


Tukar Takdir, film drama petaka pesawat terbaru, siap tayang di bioskop mulai 2 Oktober 2025. Dibintangi Nicholas Saputra, Marsha Timothy, dan Adhisty Zara, film ini mengisahkan tragedi pesawat Jakarta Airways 79 dengan 132 korban meninggal. Nicholas Saputra berperan sebagai satu-satunya penumpang yang selamat, menjadikannya pusat dari kisah penuh duka, amarah, dan perjalanan berdamai dengan takdir. Film ini merupakan kolaborasi Starvision, Cinesurya, dan Legacy Pictures, serta diadaptasi dari novel laris karya Valiant Budi.

Ditulis dan disutradarai Mouly Surya, Tukar Takdir menghadirkan ketegangan emosional sekaligus investigasi penyebab tragedi. Rawa (Nicholas Saputra), seorang programmer IT, selamat dari kecelakaan karena bertukar kursi dengan Raldi (Teddy Syach), suami dari Dita (Marsha Timothy). Pertemuan Rawa dan Dita memunculkan konflik emosional, karena Dita mempertanyakan mengapa suaminya harus meninggal sementara Rawa tetap hidup.

Selain itu, Rawa juga bertemu Zahra (Adhisty Zara), putri dari pilot pesawat yang turut menjadi korban. Rawa, Dita, dan Zahra dipersatukan oleh duka yang sama, namun masing-masing berusaha menemukan jalan untuk berdamai dengan kehilangan mereka. Hubungan ketiganya berkembang di tengah luka batin, simpati, dan rasa saling menopang dalam menghadapi trauma.

Mouly Surya menekankan bahwa film ini tidak hanya menyuguhkan visual dramatis dari sebuah kecelakaan pesawat, tetapi juga perjalanan emosional para korban yang ditinggalkan. Dengan dukungan jajaran pemain seperti Meriam Bellina, Marcella Zalianty, Roy Sungkono, Hannah Al Rashid, hingga Ringgo Agus Rahman, film ini menjanjikan dinamika yang kaya. Produser Chand Parwez Servia menyebut film ini sebagai genre baru yang belum pernah dieksplorasi di perfilman Indonesia, sekaligus refleksi bagaimana manusia menghadapi duka dan takdir.

Bagi para pemeran, Tukar Takdir menjadi pengalaman istimewa. Nicholas Saputra menyiapkan fisiknya agar sesuai dengan karakter Rawa, sementara Marsha Timothy mengaku perannya sebagai Dita memberi tantangan emosional yang mendalam. Adhisty Zara pun menghadirkan lapisan emosional kompleks lewat tokoh Zahra, anak yang berusaha menutupi kehilangan di balik senyuman. Dengan penyutradaraan matang, sinematografi kuat, serta riset mendalam, film ini siap membawa penonton pada pengalaman emosional yang intens sekaligus menyentuh hati.