Sunday, November 9, 2025

GANDHI FERNANDO DAN DIANDA SABRINA EKSPERIMEN DRAMA VERTIKAL “I LOVE YOU MY TEACHER”

 


Dua aktor muda berbakat, Gandhi Fernando dan Dianda Sabrina, dipertemukan dalam drama romantis terbaru berjudul I Love You My Teacher. Serial ini digarap oleh Creator Media dan Kuro Films, tayang eksklusif di My Telkomsel mulai 7 November 2025. Dengan durasi satu menit per episode dan total 20 episode, serial ini menjadi gebrakan baru di dunia konten digital Indonesia. Mengusung format vertikal yang mirip dengan video di media sosial seperti TikTok atau Instagram Reels, serial ini dirancang agar mudah dinikmati lewat layar ponsel, menghadirkan kisah emosional dan dekat dengan realita.

Format vertikal yang masih tergolong baru di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi tim produksi. Gandhi Fernando, yang juga terlibat dalam proses kreatif, menyebut bahwa membuat cerita berdurasi pendek namun tetap menarik membutuhkan strategi khusus. Setiap episode harus memiliki clickbait atau cliffhanger agar penonton terus mengikuti jalan cerita. Bersama sutradara Joel, Gandhi berupaya membuat penonton “hook” sejak episode awal karena durasi singkat membuat perhatian penonton sangat terbatas. Serial ini bukan sekadar kisah cinta antara guru dan murid, tetapi juga mencerminkan pergeseran cara masyarakat menikmati drama di era digital, di mana durasi singkat tetap bisa menyampaikan emosi dan kedalaman cerita.

Dalam I Love You My Teacher, Gandhi berperan sebagai Malik, seorang guru pengganti yang tanpa sengaja menjalin hubungan dengan Ana (Dianda Sabrina), muridnya sendiri. Hubungan mereka berkembang menjadi kisah rumit antara cinta, batas moral, dan perasaan bersalah. Dianda menilai cerita ini tidak hanya tentang romansa, tetapi juga tentang timing, boundaries, dan pemahaman emosional. Bagi Dianda, ini merupakan pengalaman pertamanya bermain di drama vertikal. Awalnya ia diajak Gandhi untuk membuat konten TikTok, namun proyek tersebut berkembang menjadi serial OTT berdurasi pendek yang disyuting kurang dari seminggu namun tetap padat secara emosional.

Proyek ini ternyata berawal dari ide iseng Gandhi yang kemudian berkembang menjadi karya serius. Ia menyadari potensi besar format vertikal dalam industri hiburan karena cocok dengan gaya konsumsi cepat generasi digital masa kini. Baik Gandhi maupun Dianda mengaku memiliki kepribadian berbeda dengan karakter mereka, namun chemistry kuat terbangun selama proses reading dan syuting. Melalui serial ini, keduanya tidak hanya menantang diri dalam format baru, tetapi juga menjadi bagian dari eksperimen kreatif dalam dunia drama digital Indonesia yang semakin dinamis.

KERJA SAMA MD ENTERTAINMENT DAN SINGAPORE TOURISM BOARD LAHIRKAN FILM AHLAN SINGAPORE


MD Entertainment, rumah produksi terbesar di Asia Tenggara, resmi mengumumkan film drama romantis terbarunya berjudul Ahlan Singapore. Film ini akan tayang di bioskop pada Februari 2026 di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam sebelum hadir di layanan streaming populer. Dibintangi Rebecca Klopper, Kiesha Alvaro, Ibrahim Risyad, Ferry Salim, Putri Ayudya, Alya Rohali, dan Emilat Morshedi, film ini mengisahkan perjalanan emosional seorang mahasiswa Indonesia di Singapura yang menghadapi cinta, keluarga, dan pencarian jati diri.

Proyek Ahlan Singapore merupakan hasil kerja sama antara MD Entertainment dan Singapore Tourism Board (STB), yang ditandai melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) selama dua tahun. Kolaborasi ini bertujuan memperkuat hubungan budaya antara Indonesia dan Singapura melalui dukungan STB terhadap produksi film serta eksplorasi konten kreatif lainnya. Selain memperkenalkan berbagai destinasi wisata, kerja sama ini juga diharapkan dapat meningkatkan minat wisatawan Indonesia ke Singapura sebagai pasar pengunjung terbesar di Asia Tenggara.

Proses produksi film dimulai pada September 2025, mengambil lokasi di berbagai tempat ikonik dan tersembunyi di Singapura seperti Singapore Oceanarium yang baru dibuka dan Jewel Changi Airport. Kota ini semakin populer sebagai lokasi syuting internasional, dengan sejumlah produksi global sebelumnya seperti serial HACKS pemenang Emmy, dokumenter Formula 1: Drive to Survive, video musik Man in The Moon dari Coldplay, dan video spesial Your Love oleh JISOO yang turut memperlihatkan lanskap khas Singapura.

Singapura terus memperkuat daya tarik wisatanya melalui peningkatan konektivitas dan pembukaan berbagai atraksi baru seperti Minion Land di Universal Studios Singapore, Rainforest Wild Asia di Mandai, serta Disney Cruise Line’s Disney Adventure yang akan berlayar mulai Maret 2026. Menurut CEO MD Entertainment Manoj Punjabi, keragaman budaya dan kedekatan emosional Singapura dengan Indonesia menjadikannya latar yang ideal untuk film ini. Sementara itu, Terrence Voon dari STB menyebut kolaborasi ini sebagai kesempatan untuk menampilkan Singapura secara autentik kepada penonton di Indonesia dan Asia Tenggara melalui medium film.

Friday, October 31, 2025

DOPAMIN: CINTA, UANG, DAN BAHAYA DALAM SATU CERITA MENEGANGKAN


Film Dopamin menghadirkan Angga Yunanda dan Shenina Cinnamon sebagai pasangan muda Malik dan Alya dalam drama romantis penuh ketegangan. Disutradarai Teddy Soeria Atmadja dan diproduseri Chand Parwez Servia, film ini merupakan kolaborasi Starvision dan Karuna Pictures yang menggabungkan kisah cinta, krisis ekonomi, dan unsur survival di tengah dunia yang semakin kacau. Kisahnya menggambarkan bagaimana pasangan yang baru menikah ini harus berjuang menghadapi tekanan utang, kehilangan pekerjaan, dan konflik rumah tangga yang membuat hubungan mereka di ambang kehancuran.

Titik balik kehidupan Malik dan Alya dimulai saat seorang tamu asing datang ke rumah mereka setelah membantu Malik di jalan. Namun keesokan paginya, tamu itu ditemukan meninggal dunia, meninggalkan koper berisi uang dalam jumlah besar. Keberuntungan mendadak ini justru menyeret keduanya dalam pusaran bahaya dan ujian moral, membuat film Dopamin menjadi perpaduan antara drama emosional dan ketegangan survival yang menggigit.

Produser Chand Parwez Servia menyebut Dopamin sebagai karya yang berbeda dan penuh adrenalin, sekaligus persembahan spesial untuk 30 tahun Starvision. Setelah sukses dengan The Architecture of Love (TAOL), kolaborasinya dengan Teddy kali ini mengeksplorasi tema cinta dan ketahanan manusia di tengah tekanan hidup. Film ini mengajak penonton merasakan perjalanan batin Malik dan Alya, dan mempertanyakan: benarkah cinta bisa menjadi “obat bahagia” di dunia yang makin tidak waras?

Teddy Soeria Atmadja mengungkapkan bahwa Dopamin merupakan hasil eksplorasi panjang selama lima tahun. Awalnya film ini dirancang bernuansa thriller gelap, namun berkembang menjadi perpaduan lintas-genre yang tetap menegangkan tetapi emosional. Ia menegaskan bahwa inti Dopamin adalah kisah tentang perjuangan, cinta, dan kemanusiaan—sebuah cerita yang membuat penonton bisa berempati terhadap karakter-karakternya.

Bagi Angga Yunanda dan Shenina Cinnamon, peran mereka di Dopamin merefleksikan realitas banyak pasangan muda: naik turunnya hubungan, tekanan ekonomi, dan pentingnya komunikasi. Film ini menjadi cermin tentang bagaimana pasangan harus saling mendukung dan menemukan jalan keluar bersama. Dopamin juga mendapat sambutan hangat saat menjadi film penutup Jakarta Film Week 2025, meraih standing ovation dan pujian sebagai karya yang fresh, intens, dan menyenangkan.

Wednesday, October 29, 2025

REZA RAHADIAN PERSEMBAHKAN PANGKU, TRIBUT TULUS UNTUK SEORANG IBU TUNGGAL





Film Pangku, debut penyutradaraan Reza Rahadian sekaligus film pertama dari rumah produksi Gambar Gerak, resmi tayang di bioskop Indonesia mulai 6 November 2025 setelah melakukan world premiere di Busan International Film Festival (BIFF) 2025. Film ini menyoroti perjuangan seorang ibu tunggal dengan pendekatan penceritaan sederhana namun membumi, yang mampu menyentuh berbagai kalangan penonton. Dengan latar kehidupan masyarakat pesisir Pantura, Pangku menyajikan kisah yang universal dan penuh empati.

Cerita berpusat pada Sartika (Claresta Taufan), seorang perempuan muda yang sedang hamil besar dan mencari pekerjaan. Takdir mempertemukannya dengan pasangan tua, Maya (Christine Hakim) dan Jaya (Jose Rizal Manua), yang kemudian menampung dan merawatnya. Sartika menjalani kehidupan baru, membesarkan anaknya Bayu (Shakeel Fauzi), hingga akhirnya bertemu dengan Hadi (Fedi Nuril), seorang sopir truk ikan yang menjadi cinta barunya. Reza Rahadian menggambarkan kehidupan seorang ibu tunggal dengan lembut dan jujur, terinspirasi dari pengalaman pribadinya tumbuh bersama sang ibu.

Dalam proses kreatifnya, Reza tidak hanya menulis naskah bersama Felix K. Nesi, tetapi juga menjadikan Pangku sebagai tribut untuk ibunya. Film ini diproduseri oleh Arya Ibrahim dan Gita Fara, dengan jajaran pemain pendukung seperti Christine Hakim, Claresta Taufan, Fedi Nuril, Jose Rizal Manua, Lukman Sardi, Happy Salma, hingga Devano Danendra. Menurut produser Gita Fara, Pangku adalah kisah bagi semua orang yang berjuang tanpa kemudahan dan harus terus bertahan meski hidup tak memberi banyak pilihan.

Aktor-aktris utamanya juga mencuri perhatian lewat penampilan autentik dan emosional. Claresta Taufan dan Christine Hakim meraih nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2025 untuk kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik dan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik. Claresta menyebut Pangku sebagai film yang jujur dan realistis, menggambarkan kehidupan di Pantura tanpa dilebih-lebihkan. Salah satu adegan menantang baginya adalah saat menarik gerobak dalam pengambilan one-shot di jalan berbatu yang membutuhkan 11 kali pengambilan gambar.

Selain aspek sinematografi dan akting, Pangku juga memperkuat emosinya lewat dua lagu ikonik: “Rayuan Perempuan Gila” dari Nadin Amizah dan versi rekaman ulang “Ibu” dari Iwan Fals. Film ini sukses meraih empat penghargaan di BIFF 2025 dan mendapatkan tujuh nominasi di FFI 2025, termasuk kategori Film Cerita Panjang Terbaik. Dengan narasi sederhana namun menyentuh, Pangku menjadi film yang hangat, tulus, dan autentik—sebuah refleksi mendalam tentang kasih ibu dan perjuangan hidup di tengah keterbatasan.

Monday, October 6, 2025

REVIEW NO OTHER CHOICE – THRILLER SATIR PEDAS DARI PARK CHAN WOOK

Sutradara legendaris Park Chan Wook kembali menunjukkan kelasnya lewat film terbaru berjudul “No Other Choice”, sebuah thriller satir yang membungkus kritik sosial dan ekonomi dalam bungkus komedi gelap khasnya. Ceritanya mengikuti Man-Su (Lee Byung Hun), seorang kepala keluarga yang tiba-tiba dipecat dari pekerjaannya. Tekanan ekonomi, desakan keluarga, serta ketakutan kehilangan aset membuat Man-Su perlahan kehilangan kendali. Dalam keputusasaan, ia mengambil langkah ekstrem: membunuh para pesaing yang berpotensi merebut posisinya.

Film ini tampil efisien namun kompleks. Park Chan Wook tidak bertele-tele dalam membangun ketegangan, tapi justru menaruh lapisan-lapisan makna dalam tiap adegan. Tone komedinya gelap, getir, sekaligus absurd—terutama saat Man-Su mencoba membunuh target pertamanya, Gu Bommu, di mana rangkaian peristiwa tragikomedi justru menimbulkan tawa getir. Kombinasi sound design dan dialog yang cerdas membuat sekuens ini menjadi salah satu momen paling memorable meski tak terlalu memengaruhi jalan cerita utama.

Secara visual, Park Chan Wook kembali menampilkan gaya sinematografi khasnya: transisi dissolving yang elegan, framing yang presisi, serta satu momen “magical shot” yang melibatkan bonsai dalam teknik shot-reverse shot penuh simbolisme menjelang klimaks. Adegan ini seolah mengungkap isi hati karakter tanpa sepatah dialog pun—sebuah signature Park yang sulit disaingi.

Performa Lee Byung Hun tak perlu diragukan. Ia memerankan Man-Su dengan emosi yang bergeser cepat—dari tenang, lucu, panik, hingga kembali datar—semuanya terasa natural. Namun, jangan lupakan Son Ye Jin sebagai sang istri. Karakter yang awalnya tampak polos ternyata menyimpan sisi manipulatif yang justru menjadi pemantik utama tindakan Man-Su. Chemistry dan dinamika keduanya menambah kedalaman psikologis film ini.

Diadaptasi dari novel karya Donald Westlake yang juga pernah difilmkan oleh Costa-Gavras dalam “The Ax”, versi Park Chan Wook memberikan tafsir baru. Ia tidak hanya berbicara soal “membunuh pesaing”, tetapi menyoroti keterpurukan manusia modern dalam sistem ekonomi yang menekan, serta bagaimana moral bisa terdistorsi oleh rasa takut kehilangan status. Ending-nya bahkan membuka ruang refleksi lebih luas daripada sekadar cerita kriminal.

No Other Choice adalah film yang kuat secara tema dan teknis, penuh sindiran tajam, serta relevan dengan situasi sosial saat ini. Park Chan Wook sekali lagi membuktikan bahwa ia masih “the GOAT” di ranah thriller satir.

Rating: 9/10

Sunday, October 5, 2025

REVIEW FILM: DIE, MY LOVE, POTRET KESEPIAN DAN KEGILAAN MANUSIA MODERN




Ketika Cinta, Psikosis, dan Realita Berkabut Jadi Satu

“DIE MY LOVE” bukan sekadar drama psikologis biasa. Film garapan Lynne Ramsay ini membawa penontonnya masuk ke dalam pusaran jiwa yang rapuh, penuh amarah, cinta, dan kehilangan arah. Jennifer Lawrence tampil luar biasa sebagai Grace, seorang perempuan dengan kondisi mental tak stabil yang sedang mengandung anak pertamanya. Sementara Robert Pattinson sebagai Jackson, suami yang sama-sama eksentrik, menjadi cermin bagi sisi manusia yang ingin menolong, tapi juga tidak benar-benar memahami apa yang sedang ia hadapi.

Sejak awal, Ramsay membangun atmosfer yang gelap dan emosional. Kehidupan pasangan ini digambarkan kasar, liar, dan penuh letupan emosi—dari adegan seks intens hingga tantrum yang meledak-ledak. Tapi di balik semua itu, ada rasa kesepian yang besar. Grace bukan hanya kehilangan kendali, tapi juga kehilangan cara untuk mengekspresikan dirinya. Keberadaan keluarga yang juga punya “riwayat serupa”—diperankan dengan kuat oleh Sissy Spacek dan Nick Nolte—menambah lapisan psikologis yang dalam.

Film ini juga mempermainkan persepsi realita dan ilusi, terutama lewat sekuens sureal yang melibatkan sosok misterius berhelm. Tidak semua hal dijelaskan secara gamblang—dan memang, Ramsay tak pernah ingin memberi semua jawaban. Jennifer Lawrence kembali menampilkan intensitas akting seperti dalam mother!, tapi kali ini dengan sentuhan yang lebih mentah dan tak terkontrol.

Meski kadang terasa terlalu panjang, ending-nya yang ambigu tetap meninggalkan kesan kuat. Ada rasa pahit yang melekat, seolah film ini ingin berkata bahwa tidak semua luka bisa disembuhkan, dan tidak semua cinta mampu menyelamatkan seseorang dari dirinya sendiri.

DIE MY LOVE adalah perjalanan emosional yang tidak nyaman, tapi perlu. Film ini mengingatkan kita bahwa gangguan mental bukan sekadar kondisi, tapi juga perjuangan untuk tetap eksis di dunia yang terlalu bising untuk mendengar.

Rating: 7,5 / 10
Film yang liar, mengguncang, tapi juga penuh empati.

REVIEW FILM GOOD BOY, HOROR DARI SUDUT PANDANG SEEKOR ANJING YANG NGGAK BIASA!

 

Premis Unik dan Eksperimen Berani

“Yak, sodara-sodara…” — begitu kira-kira reaksi banyak penonton ketika tahu GOOD BOY menampilkan kisah horor dari sudut pandang seekor anjing!
Film debut dari Ben Leonberg ini awalnya viral sebelum rilis karena konsepnya yang terdengar aneh tapi menarik: horor yang dilihat langsung dari mata seekor hewan peliharaan. Dan ternyata, hasil akhirnya benar-benar segar sekaligus menyeramkan dengan cara yang berbeda dari film horor kebanyakan.

Ceritanya berpusat pada Indy, seekor anjing yang diwariskan turun-temurun di satu keluarga. Saat tiba di pemilik barunya, Indy diajak ke sebuah pondok terpencil yang belakangan diketahui ternyata “berpenghuni” sesuatu yang misterius. Dari sinilah ketegangan dimulai — dan kita, sebagai penonton, melihat semuanya lewat mata si Indy.

POV yang Bikin Tegang dan Menegangkan

Eksperimen paling menonjol dari GOOD BOY adalah cara sutradaranya mempertahankan POV (point of view) si anjing sepanjang film. Kamera diletakkan selevel dengan tinggi badan Indy, menghadirkan pengalaman visual yang sempit, terbatas, dan terkadang menyesakkan.
Efek claustrophobic ini justru jadi keunggulan utama film — membuat penonton merasa ikut “terjebak” dalam situasi yang sama dengan sang anjing.

Pendekatan ini juga menciptakan sensasi imersif yang jarang ditemukan di film horor lain. Penonton dibuat gelisah bukan hanya karena ancaman entitas misterius, tapi juga karena rasa khawatir terhadap keselamatan si Indy yang polos dan tak berdaya. It’s both scary and emotional.

Sound Design yang Efektif

Selain aspek visual, GOOD BOY juga menunjukkan perhatian besar pada sound design.
Setiap suara kecil — langkah kaki, gesekan pintu, desir angin — diperkuat sedemikian rupa hingga membangkitkan ketegangan dan menstimulasi pendengaran penonton.
Pendekatan ini membuat kita seolah benar-benar punya kepekaan seperti seekor anjing, yang dikenal mampu menangkap suara dengan frekuensi lebih tinggi dari manusia.

Menonton film ini di bioskop dengan sistem suara yang bagus jelas akan meningkatkan pengalaman secara signifikan. Setiap bisikan dan bunyi samar terasa lebih hidup dan bikin merinding.


Horor dengan Makna yang Dalam

Meski tetap menyediakan beberapa jumpscare yang efektif, GOOD BOY bukan sekadar tontonan pengaget.
Film ini menyimpan makna mendalam tentang keberlanjutan hidup, loyalitas, dan hubungan antara manusia dan hewan.
Melihat cerita dari kacamata anjing membuat pesan moralnya terasa lebih kuat dan menyentuh — seolah kita diajak memahami dunia dari perspektif yang selama ini kita abaikan.

Ben Leonberg berhasil memadukan rasa takut dan empati dalam satu pengalaman yang tidak biasa.
Setelah menonton, bukan cuma rasa tegang yang tersisa, tapi juga perenungan.

Kesimpulan

GOOD BOY adalah salah satu kejutan paling menyenangkan dari deretan film horor tahun ini.
Eksperimen visualnya berani, teknisnya matang, dan pesannya menyentuh.
Film ini menegaskan bahwa horor nggak selalu harus datang dari darah dan monster, tapi juga bisa dari cara pandang baru terhadap sesuatu yang sederhana — seekor anjing dan dunia di sekitarnya.

GOOD BOY akan dirilis secara reguler mulai tanggal 8 Oktober 2025 secara terbatas.
Kalau kamu penggemar horor yang mencari sesuatu yang beda, film ini wajib banget masuk daftar tontonmu.
Dan ingat: tonton di bioskop dengan sound system yang bagus biar pengalaman imersifnya maksimal.

Rating: 9/10