Wednesday, September 17, 2025

HOROR JEPANG DOLLHOUSE TAYANG SERENTAK DI BIOSKOP INDONESIA

Shinobu Yaguchi, sutradara Jepang yang dikenal lewat film drama dan komedi, untuk pertama kalinya menantang diri dengan genre horor lewat film DOLLHOUSE. Film ini dibintangi Masami Nagasawa, yang sebelumnya bekerja sama dengan Yaguchi dalam Wood Job! (2014). Berbeda dengan horor klise tentang boneka seram, Yaguchi menghadirkan pendekatan yang lebih mendalam dengan mengangkat ketakutan orang tua akan kehilangan anak, serta menyisipkan nuansa budaya dan religius khas Jepang.

Kisahnya berpusat pada pasangan Yoshie (Masami Nagasawa) dan Tadahiko (Koji Seto) yang kehilangan putri mereka, Mei. Dalam kesedihan, mereka menemukan boneka mirip Mei yang awalnya membawa rasa tenang. Namun, saat putri kedua mereka, Mai, mulai bermain dengan boneka tersebut, berbagai peristiwa aneh mulai menghantui keluarga. Boneka itu selalu kembali meski sudah dibuang, dan rumah mereka perlahan dipenuhi bisikan misterius yang menebar teror.

Film ini tayang perdana di Jepang pada 13 Juni 2025 dan meraih sambutan hangat, bahkan memenangkan Grand Prize sebagai Film Terbaik di Fantasporto International Festival 2025. DOLLHOUSE juga menuai pujian saat pemutaran di Far East Film Festival, Italia. Diproduksi TOHO Pictures dan didistribusikan Intersolusindo Film, DOLLHOUSE mulai tayang serentak di Indonesia pada 17 September 2025 di jaringan bioskop CGV, Cinepolis, Golden Theater, dan LTD9 Cinema.

DUA FILM INTERNASIONAL, SATU MISI: JOE TASLIM SUARAKAN PERLINDUNGAN ANAK


Aktor Indonesia Joe Taslim kembali menyapa media tanah air lewat acara “Kopi Darat bersama Joe Taslim” yang digagas oleh Lee Management. Dalam kesempatan itu, Joe berbagi kabar mengenai dua proyek internasional terbarunya, yaitu film The Furious yang tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) pada 6 September 2025, serta Mortal Kombat 2 yang dijadwalkan rilis global pada 15 Mei 2026.

The Furious mengisahkan perjuangan seorang pedagang sederhana bernama Konggu (Xie Miao) yang putrinya diculik jaringan perdagangan manusia. Joe berperan sebagai Navin, seorang jurnalis yang berubah menjadi pejuang demi menyelamatkan anak tersebut. Joe mengaku bangga dapat ikut serta dalam film ini, terlebih karena diputar perdana di program Midnight Madness TIFF, sebuah pengalaman berharga dalam karier internasionalnya.

Film ini menuai banyak pujian, dengan kritikus dan penonton menyebutnya sebagai karya yang mengingatkan pada film laga klasik Hong Kong. Kehadiran bintang-bintang Asia seperti Mo Tse, Jeeja Yanin, Yayan Ruhian, serta Joe Taslim sendiri menambah daya tarik. Dengan koreografi bela diri spektakuler, The Furious dianggap sebagai tontonan wajib bagi pecinta aksi laga.

Di balik layar, Joe juga memanfaatkan film ini untuk mengangkat isu penting: perdagangan anak. Ia menggandeng Plan International Indonesia untuk menggaungkan kampanye perlindungan anak dan perempuan. Joe menegaskan bahwa film baginya bukan sekadar hiburan, tetapi medium untuk menyuarakan realitas pahit child trafficking yang masih marak. Kolaborasinya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran publik dan mendesak penguatan perlindungan anak di Indonesia.

Sementara itu, Mortal Kombat 2 akan menjadi ajang kembalinya Joe ke waralaba populer tersebut, kali ini sebagai Noob Saibot, wujud baru dari Sub-Zero yang tewas di film pertama. Karakter ikonik ini dikenal penggemar karena kekuatan bayangan yang menghadirkan adegan pertarungan intens. Dengan dua film internasional ini, Joe Taslim tidak hanya mempertegas kiprahnya di panggung dunia, tetapi juga menempatkan seni peran sebagai sarana untuk membawa suara isu-isu sosial ke ranah global.

Saturday, September 13, 2025

PREKUEL FILM ALI & RATU RATU QUEENS HADIR SEBAGAI SERIAL NETFLIX INDONESIA TERBARU



Netflix resmi meluncurkan Ratu Ratu Queens: The Series pada 12 September 2025, dengan konferensi pers yang digelar di Jakarta bersama para pemeran utama Nirina Zubir, Tika Panggabean, Happy Salma, dan Asri Welas. Serial ini diproduksi bersama Palari Films dengan Muhammad Zaidy (Eddy) sebagai showrunner, sutradara Lucky Kuswandi, serta penulis naskah Andri Cung. Mengambil latar delapan tahun sebelum film Ali & Ratu Ratu Queens (2021), cerita menyoroti kehidupan empat perempuan imigran asal Indonesia yang berusaha membangun kehidupan baru di Queens, New York.

Eddy menjelaskan bahwa ide awal proyek ini sebenarnya adalah membuat serial lebih dulu sebelum film Ali & Ratu Ratu Queens. Namun, pada saat itu mereka memutuskan untuk merilis filmnya terlebih dahulu. Setelah kesuksesan film di Netflix, banyak penonton yang penasaran dengan kisah keempat karakter tersebut. Hal inilah yang mendorong tim kreatif untuk kembali ke ide awal, mengeksplorasi lebih dalam kehidupan para perempuan diaspora Indonesia berusia 30–40 tahun yang jarang diceritakan di layar.

Sutradara Lucky Kuswandi menekankan bahwa kekuatan utama serial ini ada pada keberagaman karakter dan perjalanan emosional mereka. Ia mencontohkan, Chinta yang dalam film tampak tenang, di serial ini masih berjuang dengan pergolakan batin, sementara Ance ditampilkan lebih keras dengan latar belakang yang baru diungkap. Bagi penulis Andri Cung, keterlibatan dalam proyek ini sangat istimewa karena ia sendiri pernah menjadi diaspora dan banyak bertemu perempuan dengan kisah serupa. Riset langsung ke New York juga dilakukan untuk memastikan cerita tetap autentik.

Para pemeran pun berbagi pengalaman mereka. Nirina Zubir merasa beruntung bisa terlibat dalam cerita yang menggambarkan perempuan dewasa dengan segala problematikanya. Ia mengaitkan perannya dengan pengalamannya sendiri sebagai diaspora sejak kecil. Tika Panggabean menyebut karakternya sebagai ibu tunggal yang tegas namun penuh kasih. Sementara itu, Happy Salma memuji kekuatan perspektif perempuan dalam cerita ini, dan Asri Welas menyebut tokoh Biyah yang diperankannya sebagai sosok cuek namun merefleksikan kerasnya kehidupan imigran di New York.

Ratu Ratu Queens: The Series menghadirkan kisah persahabatan, perjuangan, dan kegigihan perempuan dalam balutan drama serta komedi yang menyentuh hati. Serial ini diharapkan dapat menghubungkan penonton, baik di Indonesia maupun dunia, dengan kisah diaspora yang penuh emosi dan relevansi. Eddy menutup konferensi pers dengan harapan agar penonton dapat merasa terhibur sekaligus tersentuh oleh perjalanan para karakter. Serial ini kini sudah bisa disaksikan eksklusif di Netflix.

Tuesday, September 9, 2025

SUKMA: PERTARUHAN BARU BAIM WONG DENGAN DERETAN BINTANG A-LIST INDONESIA



Film Sukma menjadi karya horor terbaru Baim Wong setelah kesuksesan debut penyutradaraannya lewat Lembayung (2024) yang meraih lebih dari 1,6 juta penonton. Tayang di bioskop mulai 11 September 2025, film ini menghadirkan kisah Arini (Luna Maya) dan keluarganya yang pindah ke sebuah kota kecil. Namun, kepindahan tersebut berubah menjadi mimpi buruk ketika mereka menemukan cermin kuno di sebuah ruang rahasia, yang kemudian memicu serangkaian teror. Kehadiran sosok misterius bernama Ibu Sri (Christine Hakim) semakin memperkuat atmosfer horor dalam film ini.

Baim Wong menyajikan horor yang tak sekadar mengandalkan jumpscare, tetapi juga mengangkat tema mendalam tentang kecantikan, keabadian, dan keresahan perempuan. Simbol cermin menjadi benang merah cerita yang memadukan teror dengan refleksi akan obsesi manusia terhadap kesempurnaan. Selain menyutradarai, Baim juga berperan sebagai produser dan penulis skenario bersama Ratih Kumala. Sukma menjadi film panjang ketiga produksi Tiger Wong Entertainment, dengan ambisi menggabungkan sisi komersial dan idealisme karya.

Deretan bintang papan atas ikut membintangi film ini, di antaranya Luna Maya, Christine Hakim, Oka Antara, Fedi Nuril, Krishna Keitaro, Kimberly Ryder, Anna Jobling, Asri Welas, Amanda Soekasah, Giovani Tobing, hingga dua putra Baim Wong, Kiano Tiger Wong dan Kenzo Eldrago Wong. Tantangan khusus diberikan kepada Luna Maya, yang diminta tampil tanpa tata rias demi mendalami karakternya. Bagi Luna, isu yang diangkat film ini terasa dekat dengan realitas perempuan di industri hiburan yang sering mendapat tekanan soal fisik dan usia.

Christine Hakim mengaku Sukma memberinya tantangan besar karena harus keluar dari zona nyaman, termasuk melakoni adegan laga dan syuting berat di gua. Ia menilai film ini sarat adegan mengejutkan yang akan meninggalkan kesan mendalam bagi penonton. Sementara itu, Oka Antara memuji Baim Wong yang menurutnya naik kelas dalam penyutradaraan dengan memanfaatkan cermin sebagai simbol teror yang filosofis.

Fedi Nuril, yang baru pertama kali terjun ke genre horor, juga mengaku tak butuh waktu lama untuk menerima tawaran proyek ini. Menurutnya, Baim Wong memiliki idealisme dan metode penyutradaraan yang khas. Dengan perpaduan kisah horor, simbolisme kuat, dan jajaran aktor berpengalaman, Sukma diharapkan menjadi salah satu film horor Indonesia yang paling menonjol pada 2025.

REVIEW HIGHEST 2 LOWEST: REMAKE KARYA AKIRA KUROSAWA DENGAN VERSI STYLISH DI APPLE TV+

 


Sinopsis Highest 2 Lowest

Highest 2 Lowest atau disingkat H2L adalah kolaborasi ketiga antara sutradara Spike Lee dan aktor legendaris Denzel Washington, setelah Malcolm X dan He Got Game. Film ini merupakan remake dari karya klasik Akira Kurosawa High & Low, namun dengan sentuhan kekinian khas Spike Lee.

Cerita berfokus pada King (Denzel Washington), seorang petinggi label rekaman sukses. Suatu hari ia menerima kabar bahwa anaknya diculik. Namun setelah ditelusuri, yang diculik ternyata adalah anak sahabatnya, Paul (Jeffrey Wright), yang kebetulan mengenakan aksesori milik anak King. Meski salah sasaran, penculik tetap menuntut tebusan. King pun dihadapkan pada dilema: menyelamatkan anak sahabatnya atau melindungi karier dan reputasinya sendiri.

Sentuhan Spike Lee yang Kekinian

Spike Lee menghadirkan remake ini bukan sekadar menyalin isu kelas dari versi Kurosawa. Ia justru membawa tema baru tentang budaya Black Lives, mannerism, hingga pengaruh sosial media dan cancel culture. Nuansa hip-hop terasa kuat lewat hadirnya ikon musik seperti A$AP Rocky dan Ice Spice, bahkan ada beberapa adegan yang disusun ala video klip. Meski bagi sebagian penonton bisa terasa canggung, gimmick ini memberi warna unik yang membedakan H2L dari remake kebanyakan.

Kekuatan Teknis dan Musik

Scoring musik menjadi salah satu elemen paling menonjol. Spike Lee berani bermain dengan kontras: musik non-diegetic yang intens tiba-tiba berpindah ke musik live band (diegetic). Perpaduan ini membuat film berdurasi panjang tetap terasa dinamis dan tidak membosankan. Salah satu contohnya adalah adegan pengejaran ransel berisi uang yang berubah ritmenya lewat transisi musik latin.

Kelebihan Highest 2 Lowest

  • Interpretasi segar dari film klasik Kurosawa

  • Chemistry solid antara Denzel Washington dan Jeffrey Wright

  • Nuansa hip-hop yang jarang terlihat di genre crime-thriller

  • Musik dan scoring yang kreatif serta menghidupkan suasana

Kekurangan Highest 2 Lowest

  • Motivasi karakter utama (King) terasa kurang kuat, sehingga dilema awalnya agak melemahkan emotional impact

  • Elemen video klip bisa terasa awkward bagi sebagian penonton

  • Ceritanya masih segmented, tidak semua audiens akan nyambung dengan subteks budaya yang diangkat

Penampilan Aktor

Selain penampilan prima Denzel Washington, Jeffrey Wright hadir sebagai Paul dengan kualitas akting solid, mengingatkan kita pada kolaborasi mereka di The Manchurian Candidate (2004). A$AP Rocky juga menjadi sorotan, terutama dalam adegan long take intens bersama Denzel yang menunjukkan dirinya bisa berdiri sejajar di layar lebar.

Kesimpulan

Highest 2 Lowest adalah remake yang berani, segar, dan penuh warna khas Spike Lee. Film ini lebih dari sekadar crime-thriller; ia juga bicara tentang hustle culture, ego, dan keputusan sulit di puncak karier. Meski tidak semua orang akan mudah menerimanya, H2L tetap memberikan pengalaman menonton yang unik dan relevan.

Skor: 7,5/10
📺 Sudah bisa ditonton di Apple TV+

Thursday, September 4, 2025

REVIEW THE CONJURING: LAST RITES – PENUTUP FRANCHISE DENGAN SENTUHAN EMOSIONAL


Sebagai film pamungkas dari franchise The Conjuring, Last Rites mencoba menutup kisah panjang pasangan Ed dan Lorraine Warren dengan menggabungkan elemen horor supranatural dan drama keluarga. Namun, apakah penutup ini berhasil memenuhi ekspektasi para penggemar?

Plot: Judy Warren dan Kasus Cermin Berhantu


Cerita dalam The Conjuring: Last Rites terbagi menjadi dua plot utama. Pertama, fokus pada Judy Warren, putri pasangan Warren, yang kini beranjak dewasa dan hendak dilamar kekasihnya, Toby (Ben Hardy). Judy yang mewarisi kemampuan supranatural dari ibunya harus menghadapi masa lalu keluarga yang penuh misteri.

Di sisi lain, ada kasus keluarga Smurl di Pennsylvania yang diteror oleh sebuah cermin berhantu. Kedua jalur cerita ini disatukan melalui device horor berupa cermin tersebut, meski sayangnya porsi latar belakang keluarga Smurl kurang terpakai di bagian akhir film.

Karakter dan Dinamika Emosional

Salah satu kekuatan film ini justru terletak pada subplot Judy Warren. Trauma masa lalu yang menghantuinya berhasil memberi dimensi emosional baru dalam franchise ini. Kehadiran Toby pun menjadi penting karena ia mewakili sudut pandang penonton awam yang baru masuk ke dunia “legacy” keluarga Warren.

Ed Warren yang masih berjuang dengan penyakit jantung pasca peristiwa film ketiga juga menambah ketegangan di beberapa momen klimaks. Unsur personal inilah yang membuat film terasa lebih intim dibanding pendahulunya.

Elemen Horor: Masihkah Menakutkan?

Dari sisi horor, Last Rites bisa dibilang lebih ringan. Jumpscare tetap ada, tetapi tidak sevariatif film-film sebelumnya. Kengerian yang seharusnya jadi ciri khas The Conjuring malah tertutup oleh lapisan drama emosional.

Meski begitu, adegan klimaks tetap menyajikan ketegangan yang bikin ngilu, bahkan mengingatkan pada atmosfer Final Destination. Hanya saja, latar belakang teror arwah tidak digali dalam, sehingga efek horornya terasa kurang maksimal.

Kesimpulan: Penutup yang Lebih Emosional daripada Menyeramkan

Sebagai penutup franchise, The Conjuring: Last Rites memang tidak menyajikan kengerian yang maksimal, tetapi berhasil memberikan penghormatan pada perjalanan panjang keluarga Warren. Sentuhan emosional, hubungan Judy dengan orang tuanya, dan beberapa throwback jadi nilai tambah yang bisa memuaskan penggemar lama.

Rating: 7/10




Sunday, August 24, 2025

REVIEW HANYA NAMAMU DALAM DOAKU: PELAJARAN PENTING TENTANG KOMUNIKASI DALAM RUMAH TANGGA LEWAT DRAMA PENUH EMOSI


Sinemaku kembali menghadirkan drama penuh haru lewat karya Reka Wijaya berjudul Hanya Namamu Dalam Doaku. Film ini mengangkat tema penyakit langka ALS, sebuah kondisi yang pernah dialami ilmuwan Stephen Hawking dan sempat populer lewat fenomena Ice Bucket Challenge beberapa tahun silam. Dengan menggandeng Vino G. Bastian dan Nirina Zubir sebagai pemeran utama, film ini menyuguhkan performa akting yang solid dan penuh energi emosional.

Vino berperan sebagai Arga, seorang ayah sekaligus kepala keluarga yang didiagnosis ALS. Bukannya terbuka dengan keluarganya, Arga justru memilih menutupi penyakitnya demi melindungi mereka. Namun sikap bungkam ini justru memicu konflik, karena sang istri Hanggini (Nirina Zubir) mengira Arga berselingkuh dengan mantan kekasihnya, Marissa (Naysilla Mirdad), yang tiba-tiba hadir kembali dalam hidup mereka. Drama rumah tangga ini terasa semakin kompleks, terutama ketika putri mereka Nala (Anantya Kirama) ikut merasakan kebingungan atas dinamika keluarganya.

Film ini menyoroti pentingnya komunikasi dalam rumah tangga, sebuah pesan sederhana namun relevan bagi banyak pasangan. Meski masih menggunakan formula melodrama yang kadang terasa “sappy”, eksekusinya tetap berhasil menyentuh penonton berkat chemistry kuat antara Vino dan Nirina. Pertukaran emosi mereka sebagai pasangan suami istri terasa nyata, mulai dari adegan adu mulut hingga momen keheningan yang menyisakan luka batin.

Selain itu, subplot menarik tentang “Masa Iddah” membuat alur film tidak terasa terburu-buru dan memberi ruang refleksi yang lebih dalam. Ge Pamungkas sebagai bagian dari pemeran pendukung juga tampil cukup mencuri perhatian, bahkan terasa lebih signifikan dibanding karakter Marissa yang diperankan Naysilla Mirdad.

Meski durasi film terasa bisa lebih ringkas, penutupnya berhasil memberikan kesan yang kuat. Dengan adegan bittersweet yang subtil tanpa harus bergantung pada dialog, Hanya Namamu Dalam Doaku meninggalkan pesan emosional yang membekas. Sebuah drama keluarga yang bukan hanya soal penyakit, tapi juga soal cinta, pengorbanan, dan komunikasi yang kerap terabaikan.

Rating: 7,5/10