Sunday, August 24, 2025

REVIEW HANYA NAMAMU DALAM DOAKU: PELAJARAN PENTING TENTANG KOMUNIKASI DALAM RUMAH TANGGA LEWAT DRAMA PENUH EMOSI


Sinemaku kembali menghadirkan drama penuh haru lewat karya Reka Wijaya berjudul Hanya Namamu Dalam Doaku. Film ini mengangkat tema penyakit langka ALS, sebuah kondisi yang pernah dialami ilmuwan Stephen Hawking dan sempat populer lewat fenomena Ice Bucket Challenge beberapa tahun silam. Dengan menggandeng Vino G. Bastian dan Nirina Zubir sebagai pemeran utama, film ini menyuguhkan performa akting yang solid dan penuh energi emosional.

Vino berperan sebagai Arga, seorang ayah sekaligus kepala keluarga yang didiagnosis ALS. Bukannya terbuka dengan keluarganya, Arga justru memilih menutupi penyakitnya demi melindungi mereka. Namun sikap bungkam ini justru memicu konflik, karena sang istri Hanggini (Nirina Zubir) mengira Arga berselingkuh dengan mantan kekasihnya, Marissa (Naysilla Mirdad), yang tiba-tiba hadir kembali dalam hidup mereka. Drama rumah tangga ini terasa semakin kompleks, terutama ketika putri mereka Nala (Anantya Kirama) ikut merasakan kebingungan atas dinamika keluarganya.

Film ini menyoroti pentingnya komunikasi dalam rumah tangga, sebuah pesan sederhana namun relevan bagi banyak pasangan. Meski masih menggunakan formula melodrama yang kadang terasa “sappy”, eksekusinya tetap berhasil menyentuh penonton berkat chemistry kuat antara Vino dan Nirina. Pertukaran emosi mereka sebagai pasangan suami istri terasa nyata, mulai dari adegan adu mulut hingga momen keheningan yang menyisakan luka batin.

Selain itu, subplot menarik tentang “Masa Iddah” membuat alur film tidak terasa terburu-buru dan memberi ruang refleksi yang lebih dalam. Ge Pamungkas sebagai bagian dari pemeran pendukung juga tampil cukup mencuri perhatian, bahkan terasa lebih signifikan dibanding karakter Marissa yang diperankan Naysilla Mirdad.

Meski durasi film terasa bisa lebih ringkas, penutupnya berhasil memberikan kesan yang kuat. Dengan adegan bittersweet yang subtil tanpa harus bergantung pada dialog, Hanya Namamu Dalam Doaku meninggalkan pesan emosional yang membekas. Sebuah drama keluarga yang bukan hanya soal penyakit, tapi juga soal cinta, pengorbanan, dan komunikasi yang kerap terabaikan.

Rating: 7,5/10

Saturday, August 23, 2025

REVIEW DARAH NYAI: HOROR EKSPLORASI 80AN DENGAN BALAS DENDAM BRUTAL DAN FEMALE EMPOWERMENT


Azzam Fi Rullah kembali bikin kejutan. Walau kali ini ia hanya berperan sebagai penulis, gaya khasnya yang sering memberi homage pada film “esek-esek” horor Indonesia era 80-an tetap terasa kuat. Bersama sutradara Yusron Fuadi (Tengkorak), mereka menghadirkan Darah Nyai, sebuah tontonan yang sengaja diramu dengan atmosfer film B lawas: dari angle kamera, tone warna, hingga scoring musik keyboard yang bikin nostalgia ke era Febby Lawrence sampai Reynaldi.

Premisnya cukup menggigit: sepasang pengantin muda mendapati malam pertama mereka berubah jadi mimpi buruk ketika sang istri kerap mendapat penglihatan misterius. Rahasianya pun terkuak — sang istri dirasuki roh seorang Nyai yang dulunya dibunuh oleh sekelompok pemuda brengsek. Dari situlah perjalanan balas dendam dimulai, dengan tubuh sang istri sebagai medium pelampiasan dendam sang arwah.

Buat penonton yang doyan film vengeance & violent ala Kill Bill atau Hard Candy, Darah Nyai bakal jadi suguhan penuh gore yang over-the-top, intens, dan sering kali unintentionally funny tapi tetap menghibur. Perpaduan tema mistis tradisional dengan gaya modern terasa unik, apalagi dialog yang (sepertinya) banyak diimprovisasi menambah kesan raw. Kehadiran aktor senior seperti Djenar Maesa Ayu, Vony Anggraini, dan Yudi Ahmad Tadjudin, plus dukungan tokoh perfilman seperti Prof Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan di balik layar, memberi bobot lebih pada film ini.

Meski begitu, ada beberapa hal yang masih bisa diperbaiki, seperti teknis sound dialog yang kadang terlalu keras atau mendem, serta makeup yang terasa kurang maksimal. Namun, di balik kekurangannya, Darah Nyai berhasil menyampaikan gagasan kuat soal female empowerment lewat balas dendam brutal sang Nyai.

Secara keseluruhan, Darah Nyai jadi salah satu film indie lokal yang berani tampil beda dan berhasil rilis komersial. Harapannya, karya semacam ini makin sering muncul, tentunya dengan kurasi lebih matang sebelum tayang ke publik.

Rating: 7,5/10

REVIEW FILM MATERIALIST (2025) – DAKOTA JOHNSON, PEDRO PASCAL & CHRIS EVANS DALAM ROMANSA TENTANG CINTA DAN STATUS


Celine Song, yang sebelumnya sukses lewat Past Lives, kembali menghadirkan kisah romansa dengan sentuhan unik lewat film terbarunya, Materialist. Kali ini, Dakota Johnson tampil sebagai seorang “mak comblang” profesional yang mencarikan pasangan bagi para eksekutif muda. Namun, di balik profesinya yang unik, ia juga terjebak dalam dilema pribadi: memilih cinta lama yang penuh kenangan, atau sosok baru yang lebih ideal di atas kertas.

Seperti judulnya, film ini tidak sekadar tempelan. Materialist benar-benar mengupas esensi status dan materi dalam komitmen hubungan, baik secara tersirat maupun gamblang melalui dialog. Angle ini membuat film terasa berbeda dibanding romansa sejenis, bahkan dibanding karya Celine Song sebelumnya.

Akting para pemeran utama menjadi daya tarik tersendiri. Pedro Pascal memancarkan kharisma sebagai pria mapan ideal, namun tetap bisa menyentuh hati lewat sisi rapuhnya. Chris Evans, di sisi lain, memberikan tantangan tersendiri bagi penonton karena bayangan persona dan typecasting-nya masih terlalu kuat, sehingga agak sulit dipercaya sebagai aktor yang sedang berjuang. Meski begitu, chemistry-nya dengan Dakota Johnson tetap berjalan mulus dan meyakinkan.

Secara tematis, film ini menutup perdebatan tentang penting atau tidaknya status dan materi dalam hubungan dengan konklusi yang sengaja dibiarkan terbuka. Pilihan ini menimbulkan pro-kontra, tapi juga memberi ruang interpretasi bagi penonton. Dari sisi teknis, visual yang hangat dengan lanskap glamor New York, ditambah lighting lembut dan dialog intim, berhasil membangun atmosfer romantis yang cocok dinikmati bersama pasangan.

Rating: 7/10

Tuesday, August 19, 2025

REVIEW DEMON SLAYER - KIMETSU NO YAIBA THE MOVIE: INFINITY CASTLE- PART 1



Gilak! Wajib banget nonton di layar lebar dengan sound yang bikin merinding!

Sebagai pembaca manga, pengalaman menonton Demon Slayer: Infinity Castle Part 1 terasa penuh nostalgia sekaligus memacu adrenalin. Walaupun saya sudah tamat membaca manganya, menonton adaptasi layar lebarnya memberikan sensasi yang berbeda, terutama di momen epik pertarungan Shinobu vs Douma yang jadi salah satu highlight utama.

Film ini bukan recap atau kompilasi, melainkan langsung melanjutkan cerita dari arc Desa Pedang. Tiga pertarungan besar jadi fokus utama:

  • Shinobu vs Douma

  • Zenitsu vs Kaigaku

  • Tanjiro + Giyu vs Akaza

Visual & Animasi

Penggambaran Infinity Castle dengan teknik animasi 3D terasa megah dan benar-benar memberikan skala “tak terbatas” yang imersif. Walau saya menonton di bioskop reguler, efeknya sudah luar biasa—kebayang kalau menontonnya di IMAX, pasti jauh lebih epik.

Audio & Musik

Sound design jadi salah satu poin terkuat film ini. Benturan pedang, efek jurus, hingga scoring musik semuanya berpadu sempurna untuk membangun ketegangan di tiap sekuens pertarungan. Ufotable sekali lagi membuktikan kualitas mereka dalam menyajikan visual spektakuler yang selaras dengan audio yang memacu adrenalin.

Narasi & Tempo

Bagi non-manga reader, mungkin akan sedikit terganggu dengan adegan flashback yang disisipkan di tengah-tengah pertarungan karena tone-nya mendadak mellow. Tapi sebenarnya, bagian ini justru berfungsi sebagai jeda napas setelah aksi intens, sekaligus memberi ruang emosional pada karakter.

Durasi 135 menit terasa padat, dengan transisi antar-pertarungan yang rapat sehingga nyaris tidak ada momen membosankan. Film ini sukses mengadaptasi salah satu arc paling epik dengan cara yang proper, memuaskan fans lama sekaligus mudah diikuti penonton baru.

Catatan Kecil

Satu hal teknis yang agak mengganggu adalah subtitle yang kadang kalah terang dibanding adegan visualnya. Mungkin bisa lebih ditebalkan outline-nya agar lebih nyaman dibaca.

Kesimpulan

Demon Slayer: Infinity Castle Part 1 adalah tontonan wajib di bioskop. Jangan tunggu rilis streaming kalau ingin merasakan pengalaman audio-visual yang maksimal. Sebuah adaptasi penuh energi, emosional, dan memuaskan.

Rating: 9/10
Info tambahan: Part 2 dijadwalkan tayang dua tahun lagi—jadi siap-siap menunggu pertarungan berikutnya!

REVIEW FILM TINGGAL MENINGGAL: HUMOR ABSURD, SATIR, DAN SENTILAN EMOSIONAL


Tinggal Meninggal hadir sebagai debut film panjang Kristo Immanuel yang berani sekaligus unik. Dengan gaya khasnya yang nyeleneh, absurd, namun tetap menyelipkan sisi emosional, Kristo berhasil menghadirkan karya yang tidak hanya mengundang tawa, tetapi juga menyentil penonton lewat pesan-pesan yang subtil.

Sejak awal, alur ceritanya sebenarnya masih bisa ditebak, tetapi Kristo pintar menjaga atensi dengan celetukan kocak, momen awkward, hingga teknik breaking the fourth wall yang memberi kesegaran tersendiri. Premisnya sendiri dibangun dengan humor getir yang terasa natural, menjadikan film ini punya warna berbeda dibanding komedi lokal kebanyakan. Salut juga untuk Imajinari yang berani mengeksekusi ide “seaneh” ini ke layar lebar—karena biasanya konsep semacam ini hanya berhenti di film pendek.

Salah satu elemen paling menonjol adalah bit jokes bernuansa agama yang meski agak riskan, justru menjadi salah satu bagian paling ngena. Di sisi lain, ada Mario “Mahi Mahi” Caesar yang tampil sebagai scene stealer lewat perannya sebagai kolega penuh curiga namun cerdik dalam rekayasa.

Meski begitu, film ini terasa masih butuh sedikit “ledakan” ekstra agar tidak tampak canggung di beberapa bagian. Namun bisa jadi rasa canggung itu memang disengaja, agar penonton ikut merasakan apa yang dialami karakter Gema. Beberapa ganjalan mungkin ada, tetapi tidak sampai mengganggu keseluruhan pengalaman menonton.

Secara keseluruhan, Tinggal Meninggal adalah tontonan segar yang patut diapresiasi karena keberaniannya. Kristo membuktikan dirinya bukan hanya sekadar komika dengan persona lucu, tetapi juga seorang storyteller yang punya visi.

Rating: 7,5/10

REVIEW FILM LA TAHZAN (2025) – DRAMA RUMAH TANGGA BERBALUT KLENIK

Meski menggunakan judul yang sama dengan film La Tahzan (2013) yang dibintangi Joe Taslim, versi terbaru ini sama sekali tidak memiliki hubungan cerita dengan pendahulunya. Judulnya sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “Jangan Bersedih”, namun ironisnya justru kurang relevan dengan isi film yang lebih menyerupai drama pelakor berbalut unsur mistis.

Kisahnya berpusat pada Alina (Marshanda) dan Reza (Deva Mahenra), pasangan harmonis dengan dua anak kecil. Kehidupan mereka berubah sejak kedatangan babysitter baru, Asih (Ariel Tatum), yang menyimpan maksud tersembunyi. Perlahan, intrik dan misteri mulai mengusik rumah tangga mereka. Sayangnya, alih-alih mengembangkan potensi drama dan pesan islami sesuai judulnya, film ini lebih sering terasa seperti sinetron yang dipindahkan ke layar lebar.

Meski begitu, ada beberapa sisi hiburan yang menyelamatkan, seperti celetukan jenaka dari para pemeran pendukung (Asri Welas, Benedict Siregar, Patricia Gouw) serta momen-momen tegang yang lumayan menghidupkan suasana, apalagi jika ditonton bersama-sama. Marshanda memberikan akting dramatis yang kuat, namun filmnya sendiri terasa ragu-ragu menentukan arah, terombang-ambing antara klenik dan drama rumah tangga. Penyelesaian akhirnya pun terkesan tempelan kutipan Islami untuk menambal alur yang goyah.

Hikmah yang ingin disampaikan sebenarnya bisa tersampaikan tanpa elemen mistis yang mendominasi. Apalagi dengan sutradara sekelas Hanung Bramantyo yang piawai meramu drama, rasanya sayang melihat potensi film ini kurang dimaksimalkan. La Tahzan akhirnya menjadi tontonan yang punya momen menghibur, tetapi tidak cukup meninggalkan kesan mendalam.

Rating: 6/10

Thursday, August 14, 2025

LABINAK: MEREKA ADA DI SINI TAWARKAN HOROR KANIBALISME DAN KRITIK SOSIAL TAJAM


Anami Films merilis film horor terbaru berjudul Labinak: Mereka Ada di Sini, karya sutradara Azhar Kinoi Lubis, dengan produser Prakash Chugani, Deepak Chugani, dan Dilip Chugani. Mengangkat tema unik tentang sekte kuno penganut kanibalisme demi meraih keabadian, film ini dibintangi oleh Raihaanun, Arifin Putra, Giulio Parengkuan, Nayla Purnama, Chantiq Schagerl, Jenny Zhang, Aimee Saras, dan Ivanka Suwandi. Ceritanya memadukan teror berdarah dengan kritik sosial terhadap ketimpangan yang mempertahankan kekuasaan kaum elite.

Kisah berfokus pada Najwa (Raihaanun), seorang guru honorer yang hidup sederhana bersama anaknya, Yanti (Nayla Purnama). Tawaran dari Yayasan Payung Emas membawa mereka pindah ke kota untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, di balik fasilitas mewah, Najwa mulai dihantui makhluk-makhluk menyeramkan. Pemilik yayasan, Lucius (Arifin Putra), ternyata menyiapkan Najwa dan anaknya sebagai tumbal dalam ritual kanibalisme sekte Bhairawa yang diyakini memberi keabadian.

Film ini menampilkan teror visual ekstrem, mulai dari potongan tubuh hingga wujud hantu baru yang disebut “pocong malu”. Azhar Kinoi Lubis menggabungkan desain hantu, efek praktikal, dan koreografi gerakan berpadu mantra untuk menciptakan suasana sakral namun mencekam. Produser Dilip Chugani menegaskan bahwa selain menghadirkan horor, film ini juga membawa pesan tentang keserakahan dan eksploitasi yang relevan secara universal.

Raihaanun mengaku perannya menantang karena Najwa adalah sosok rasional yang harus menghadapi teror tak masuk akal, sekaligus menyimpan masa lalu kelam demi melindungi anaknya. Labinak: Mereka Ada di Sini menjanjikan perpaduan horor psikologis dan kritik sosial yang memicu diskusi, khususnya soal relasi kekuasaan antara kaum kaya dan miskin. Film ini tayang di bioskop Indonesia mulai 21 Agustus 2025, dengan informasi terbaru tersedia di Instagram resmi @anamifilms_official.