Sunday, April 28, 2019

ULASAN: THE CURSE OF WEEPING WOMAN (LA LLORONA)



Sebagai penikmat film horor, khususnya yang berasal dari The Conjuring Universe, maka film The Curse of The Weeping Woman ini harus kamu tonton. La Llorona (The Weeping Woman atau Wanita yang menangis) merupakan hantu legenda masyarakat Meksiko. Kalau kamu permah menonton film animasi Pixar yang berjudul Coco, kamu tidak asing dengan nama ini.



La Llorona merupakan salah satu lagu yang muncul di film Coco, berikut liriknya untuk menyegarkan ingatan kalian:

“Ay de mí, llorona
Llorona de azul celeste
Ay de mí, llorona, llorona
Llorona de azul celeste
Y aunque la vida me cuesta llorona
No dejare de quererte”



La Llorona dinyanyikan oleh Imelda, Ibu dari Coco, dan nenek canggah dari Miguel (anak laki-laki keturunan Meksiko yang merupakan tokoh utama film ini). Imelda yang menyanyikan lagu itu merupakan salah satu arwah yang ditemui Miguel. Sebagai arwah, dia mengetahui tentang La Llorona, lagu yang dinyanyikannya terdengar begitu sedih dan membuat merinding.



Kembali ke film The Curse of The Weeping Woman, ya, The Weeping Woman (La Llorona) memang begitu terkenal di kalangan masyarakat Meksiko. La Llorona meerupakan hantu wanita yang suka menculik anak-anak. Sepintas dari karakteristiknya, La Llorona mirip dengn Wewe Gombel, hantu perempuan dari legenda di pulau Jawa, yang juga seuka menculik anak kecil.



Dikarenakan suka menculik anak kecil, La Llorona sering dijadikan bahan untuk orangtua mengancam anak-anaknya yang tidak menuruti perintahnya dan keluar lewat dari matahari terbenam atau keluar terlalu jauh dari rumah. Jika mereka melakukan hal-hal tersebut, maka La Llorona akan menculik dan membunuh mereka.



Kisah La Llorona juga bukan untuk pertama kalinya diangkat menjadi sebuah film. Menurut IMDb, La Llorona sudah pernah difilmkan di tahun 2012 dan tahun 2018. Kedua film ini memiliki kisah yang berbeda. Persamaannya hanyalah karakter hantu perempuan yang menyeramkan itu.

Lalu bagaimanakah dengan film The Curse of La Llorona? Bagaimanakah La Llorona bisa masuk ke The Conjuring Universe? Berikut kisahnya.



Film ini seakan dibuat berdasarkan kisah nyata tentang sebuah keluarga kecil yang tinggal di suatu pedesaaan Meksiko pada tahun 1600-an. Keluarga yang terdiri dari seorang ibu yang cantik, ayah peternak yang tampan, dan dua orang anak laki-laki. Keluarga ini cukup bahagia, sampai akhirnya sang ibu membunuh kedua anak laki-lakinya (dengan menenggelamkan mereka ke sungai) karena merasa kesal diselingkuhi suaminya. Namun dia akhirnya menyesal setelah membunuh kedua anaknya, ia pun bunuh diri. Setelah bunuh diri, dia tidak juga bertemu dengan anaknya, maka ia kembali ke dunia manusia dengan menjadi hantu. Ia terus mencari anak-anaknya dengan menangis lirih: Ay mis hijos (Di mana anak-anakku)?.



Kalau ada yang mendengar suara tangisannya, terutama anak kecil, maka akan terancam bahaya. Itulah yang dialami oleh Anna Tate-Garcia (Linda Cardellini) dan kedua anaknya. Anna adalah seorang pekerja sosial yang menangani kasus anak-anak yang mengalami masalah. Salah satu kasus yang ditangani Anna adalah keluarga Alvarez. Sang Ibu, Patricia Alvarez (Patricia Velasquez) mengurung kedua anaknya di dalam suatu ruangan gelap. Pada lengan anak-anaknya, Carlos (Oliver Alexander) dan Tomas (Aiden Lewandowski) terdapat luka-luka. Patricia pun diduga menyiksa kedua anaknya, oleh karena itu Carlos dan Tomas dipindahkan ke tempat penampungan anak. Namun belum semalam mereka berada di tempat itu, kedua anak itu ditemukan tewas tenggelam. Ibu mereka pun menjadi tersangka pembunuhan.



Akan tetapi, ada banyak kejanggalan pada kasus tersebut, kedua anak Anna: Chris (Roman Christou) dan Samantha (Jaynee-Lynne Kinchen), yang ikut pada malam penyelidikan pun mulai terkena terror seorang hantu perempuan. Kejanggalan dan terror yang dialami keluarga ini pun membuat Anna menyadari akan kehadiran sosok hantu perempuan yang mengincar nyawa kedua anaknya. Hantu ini sering terdengar menangis, dialah La Llorona (The Weeping Woman). Berbagai upaya dilakukan Anna dan kedua anak nya unuk terlepas dari terror hantu tersebut, salah satunya adalah menemui Father Perez (Tony Amendola). Pertemuan inilah yang membuat film ini menjadi bagian dari The Conjuring Universe. Kalau kamu ingat, Father Perez adalah pastur yang sama pada kisah Annabelle. Berhasilkah Anna dan putra-putrinya lepas dari teror La LLorona? Silahkan menyaksikan langsung film horror ini.



The Curse of The Weeping Woman merupakan film horror yang sangat menegangkan, jauh lebih seram dari The Nun (berasal dari universe yang sama). La Llorona bisa datang kapan saja, di mana saja, dengan wajah yang menakutkan, sulit dikalahkan, dan memiliki motif yang kuat untuk menghantui. La Llorona juga bisa menyentuh tubuhmu, sehingga kamu tidak menyadari bahwa ia adalah hantu. Walaupun nilai rating di IMDb dan Rotten Tomatoes cukup kecil (IMDb: 5,8 sedangkan Rotten Tomatoes 31%), namun angka 7/10 cukup layak diraih oleh film karya Michael Cavez dari Warner Bross Studio ini. Silahkan tonton film ini sebelum turun layar!



ULASAN: AVENGERS 'ENDGAME'




Bagi para penggemar film superhero, terutama yang berasal dari Marvel Cinematic Universe, film Avengers: Endgame adalah film yang paling ditunggu di tahun 2019 ini. Hal ini dibuktikan dengan membludaknya jumlah penonton, termasuk di bioskop-bioskop di Indonesia. Banyak penonton yang seakan berlomba menjadi yang pertama menyaksikan film ini, terlihat dari beberapa bioskop yang sampai menayangkan film ini 24 jam non stop! Sungguh suatu fenomena yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Aapkah yang membuat banyak orang ingin menonton Avengers: Endgame? Berikut ulasannya.



Seperti yang sudah diketahui di akhir film Avengers: Infinity War, para pahlawan kita mendapatkan kekalahan telak dari Thanos, The Mad Titan. Thanos (Josh Brolin) berhasil mengumpulkan keenam infinity stones dan memasangnya pada gauntlet-nya, lalu melakukan finger snap (menjentikkan jarinya). Akibatnya, separuh populasi dari seluruh alam semesta punah serentak menjadi debu. Termasuk beberapa sueprhero seperti Dr. Strange, Spider-Man, Black Panther, Scarlet Witch, Bucky, Falcon, Star Lord, Groot, Mantis, dan Drax. Iron Man (Robert Downey Jr.) berhasil selamat dan berada di planet Titan (tempat kelahiran Thanos) bersama Nebula (Karen Gillan), sementara para pahlawan yang selamat lainnya berada di bumi. Kisah inilah yang langsung berlanjut di Avengers: Endgame.



Para penonton dibuat penasaran dengan beberaap pertanyaan: Apakah Tony Stark a.k.a Iron Man berhasil bertahan hidup di luar angkasa dan dapat kembali ke bumi? Apakah ada superhero lainnya yang selamat selain superhero yang muncul di Avengers: Infinity War? Apakah yang akan terjadi selanjutnya? Berhasilkan para Avengers membalaskan dendam untuk mengalahkan Thanos? Pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab dalam film berdurasi 3 jam ini! Ya, ini adalah film superhero dengan durasi tayang terlama. Namun jangan khawatir, kamu tidak akan bosan menonton film ini, 3 jam jadi tidak terasa karena penonton akan sangat terbawa suasana dan kisah pada film.



Film Avengers: Endgame ini mengisahkan bagaimana para superhero yang berhasil selamat mencoba bertahan dan melanjutkan kehidupan mereka, walau sebenarnya mereka merasa sangat kegilangan dan masih dipenuhi perasaan bersalah karena gagal mengalahkan Thanos. Oleh karena itu beberapa upaya ditempuh untuk membalaskan dendam atas kekalahan dan kehilangan orang-orang yang dicintai. Akan tetapi, tidak semudah itu. Ada banyak hal yang harus dipertaruhkan dan dikorbankan, termasuk nyawa mereka sendiri. Avengers yang tersisa: Iron Man, Captain America a.k.a Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Hulk a.k.a Bruce Banner (Mark Ruffalo), Black Widow a.k.a Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), dan Hawkeye a.k.a Clint Barton (Jeremy Renner) mengeluarkan segenap daya upaya untuk melakukan hal tersebut. Mereka tidak sendirian, seperti terlihat di poster film, terlibat juga superhero lainnya yang masih hidup: Captain Marvel a.k.a Carol Danvers (Brie Larson), Ant-Man a.k.a Scott Lang (Paul Rudd), Rocket Raccoon (Bradley Cooper), bahkan oleh anak perempuan Thanos yang kemudian beralih melawan ayahnya: Nebula. Bagaimanakah cara mereka membalas dendam? Sebaiknya kamu tonton sendiri, karena pada ulasan ini tidak akan ada spoiler (bocoran cerita), sesuai arahan para pemeran dan sutradara Avengers: Endgame.



Judul film ini berasal dari perkataan Dr. Strange (Benedict Cumberbatch) pada Tony Stark di planet Titan: “We’re in the endgame now” (pada film Avengers: Infinity War). Walaupun sebenarnya kata endgame sudah pernah diucapkan oleh Tony Stark di film Avengers: Age of Ultron. Ya sesuai judulnya, bagaimanakah mengakhiri permainan melawan Thanos ini adalah suatu hal yang sangat menarik dan membuat penasaran, sehingga wajar kalau banyak orang berlomba-lomba menjadi penonton pertama. Selain itu, film ini layak ditonton lebih dari satu kali. Disarankan untuk menonton film ini di layar IMAX, karena kamu akan mendapatkan gambar 26% lebih besar, ya, film ini menggunakan teknologi terbaru untuk hal tersebut. Untuk merasakan langsung keseruan adegan-adegan penuh aksi dalam film ini, maka kamu juga harus menonton film ini dengan format 4DX.



Avengers: Endgame sudah berada pada posisi 5 besar IMDB (rate 8.9) pada seminggu penayangannya, dan diakui sebagai film superhero paling epic. Meskipun begitu, bukan berarti film garapan Russo Brothers (Anthony dan Joseph Russo) ini tidak memiliki kekurangan. Ada beberapa plothole dan jalan cerita yang membingungkan para penonton, namun hal tersebut bisa saja dijelaskan pada film-film selanjutnya dan justru memancing banyak diskusi pada fans. Oh ya, film ini sangat memanjakan fans (banyak fans service) baik bagi para penonton MCU maupun pembaca komik Marvel. Film ini juga memperlihatkan sisi lain para superhero. Seorang superhero tidak selamanya sempurna, banyak sisi humanis mereka yang terlihat, inilah yang membuat para penggemar semakin mencintai superhero favorit mereka masing-masing.



Setelah menonton Avengers: Endgame, bukan berarti tidak ada lagi pertanyaan, justru akan memunculkan pertanyaan baru: Apakah yang akan terjadi di film berikutnya? Mau dibawa ke mana MCU phase 4? Marvel dan Disney sepertinya sudah menyiapkan film-film selanjutnya dengan baik, inilah yang membuat fans Marvel setia. Ya, setelah film ini, kita tunggu film MCU selanjutnya, dimylai dari yang terdekat waktu penayangannya: Spider-Man Far From Home!


Friday, April 19, 2019

ULASAN: AFTER


Kisah percintaan remaja tidak akan pernah habis dibahas dalam film yang sudah sering kita lihat dalam berbagai genre, mulai dari yang normal hingga beratmosfer supranatural. Maklum dalam usia ini kondisi jiwa sedang labil dan seakan tidak ada yang bisa memahami. Kali ini giliran film After yang diangkat dari Novel Fiksi Dewasa berjudul sama yang ditulis oleh Anna Todd di tahun 2014, yang akan mewarnai kancah perfilman Indonesia. 



Film ini merupakan kisah ‘fan fiction’ romantis terhadap personil One Direction, Harry Styles sebagai tokoh sentral prianya. Kisah ini tadinya ditulis Anna di Wattpad, semacam platform komunitas online untuk segala jenis cerita, sebelum akhirnya diangkat menjadi film. Kisah After terdiri atas 5 novel dan cerita dalam film mengambil jalan cerita dari novel pertamanya. Film After menceritakan soal Tessa Young (Jessica Langford), gadis lugu yg tertarik dengan pemuda yang urakan dan tipikal 'bad boy' Hardin Scott (Hero Fiennes- Tiffin) di kampusnya. Tessa adalah tipikal gadis yang teratur dan hidupnya tidak pernah menyimpang dari peraturan ataupun hal-hal yang tidak baik, Tessa juga memiliki ibu yang suportif dan pacar yang baik. Tessa dikisahkan sedang memasuki kehidupan di asrama kampus dan harus berpisah dari ibu dan pacarnya. Di kampus inilah dia bertemu dengan Hardin, pria yang bertolak belakang dengannya namun tanpa disadari Tessa, pertemuannya dengan Hardin inilah yang akan mengubah kehidupannya. Walau terkesan kasar dan urakan namun sisi misterius Hardin membuat Tessa diliputi rasa penasaran. Akankah Tessa tetap teguh pada pendiriannya untuk menjalani kehidupan yang normal atau jatuh cinta pada pesona Hardin.



Dari segi cast, kedua pemain utama baik Jessica maupun Hero Fiennes sudah memberikan penampilan yang apik dan chemistry yang meyakinkan, mereka berhasil terjun ke dalam karakter Tessa dan Hardin dan membuat kita terhubung dengan mereka seiring berjalannya film. Jessica merupakan adik dari Katherine Langford, yang kita kenal lewat penampilannya di serial 13 Reasons Why sebagai Hannah, sedangkan Hero Fiennes merupakan keponakan dari aktor Ralph dan Joseph Fiennes, yang pernah memerankan Tom Riddle muda di film Harry Potter and Half Blood Prince. Kita dapat melihat Tessa sebagai gadis lugu yang berambisi yang perlahan berubah sepanjang jalannya film sebagai akibat dari ketertarikannya terhadap Hardin. Hardin sukses menampilkan sisi pemuda berandal namun tetap memiliki sisi manis dan gentle terhadap Tessa. Sayangnya sisi background mereka terkait masa lalu kurang begitu dieksplorasi secara mendalam di film ini, itu membuat dinamika mereka dengan orang tua masing-masing, Tessa dengan ibunya dan Hardin dengan ayahnya, terkesan biasa saja dan kurang bisa ditangkap dengan sepenuhnya oleh kita yang menonton. Seandainya ada sedikit adegan flashback di bagian ini tentu akan lebih baik. Film ini benar-benar berfokus pada karakter mereka dan kurang memberikan porsi ke hal lain yang tentu dapat memberi nilai tambah terhadap film ini. Karakter teman-teman mereka terkesan sekedar lewat saja, apalagi Landon yang diceritakan menjadi saudara Hardin sebagai akibat pernikahan kedua ayahnya dengan ibu Landon, padahal di awal Landon diperkenalkan sebagai karakter yang kita kira cukup penting.



Kisah gadis baik-baik yang jatuh cinta terhadap pemuda ‘bad boy’ cukup klise sebenarnya karena tentu ada banyak film sejenis, tinggal bagaimana cast utamanya piawai memainkan karakter mereka agar tetap diingat oleh penonton. Walau film After memiliki pacing yang lambat untuk menuju konflik utamanya tapi penampilan Jennifer dan Hero Fiennes mampu membuat kita penasaran untuk mengikuti alur film ini hingga selesai. Aspek lain yang juga patut diapresiasi adalah sinematografi film ini, adegan-adegan romantis mampu ditangkap dan ditampilkan dengan utuh baik dari shot close up maupun long shot ketika berada di tempat-tempat yang sengaja diset untuk efek romantis, seperti adegan di danau ataupun di Akuarium Laut, dukungan skor musik juga menambah efek . Pengambilan adegan-adegan romantis dan intim antara Tessa dan Hardin juga terlihat lebih ke arah seni ketimbang seks-eksploitatif.



Menonton film ini akan membuat penonton merasakan suasana kehidupan remaja, khususnya di US, yang penuh lika-liku dan tantangannya sendiri mulai dari pertemanan, kehidupan di kampus yang terkenal bebas dan diwarnai pesta (house party), pengaruh obat-obatan sampai hubungan asmara yang semuanya akan berdampak pada perkembangan karakter remaja itu sendiri. Dari segi konteks sosial, film ini ingin memberi pesan bagi orang tua untuk lebih memperhatikan kehidupan anak-anak mereka khususnya ketika mereka beranjak remaja dan lingkungan sosial mereka semakin luas. Sekaligus mengingatkan bahwa sebagai orang tua, segala didikan dan hal yang terjadi di rumah turut membentuk sifat dan perilaku mereka.



Film ini potensial untuk menjadi hit sebenarnya karena masih banyak hal yang bisa digali dari karakter Tessa dan Hardin termasuk teman-teman dan orang tuanya tapi film pertama ini sepertinya penulis cerita memutuskan untuk bermain aman dan berfokus pada kedua pasangan ini sepenuhnya. Mungkin hal-hal lain masih disimpan dan baru akan dibahas di sekuelnya jika film pertama ini sukses. Kita berdoa saja agar film pertamanya ini sukses sehingga film ini punya kesempatan untuk menebusnya di film sekuelnya


Overall: 7/10

(By Camy Surjadi)




ULASAN: HOTEL MUMBAI




Peristiwa terorisme Yang terjadi pada 26 - 29 November 2008 Di beberapa pusat kegiatan Di India
Yang dikenal sebagai Mumbai Attack merupakan peristiwa kelam dalam sejarah India. Salah Satu bangunan historis yang terkena dampak adalah The Taj Mahal Palace Hotel, sebuah hotel prestisius bintang 5 di jantung kota Mumbai. Kisah terorisme dan penyelamatan yang terjadi pada waktu serangan inilah yang dijadikan tema film ini. Hotel Mumbai merupakan film bergenre biopic-thriller yang dibuat berdasarkan film dokumenter Surviving Mumbai yang dirilis tahun 2009 karya sutradara Victoria Midwinter Pitt. Cerita film ini berfokus pada sudut pandang 5 protagonis utama yang semuanya bersinggungan ketika mereka sama-sama berada pada hotel Taj Mahal di mana nasib
mereka mempertemukan satu sama lain ketika hotel mereka diinvasi oleh sekelompok teroris
sebagai bagian dari serangan jihad terencana dari dalang teroris, Laskhar-e-Taibaa, yang dipimpin
oleh seseorang bernama The Bull.



Film ini dibintangi oleh banyak bintang terkenal dan semua memainkan karakternya dengan sangat baik. Penampilan gemilang di film ini layak diberikan untuk Arjun (Dev Patel) dan Kepala Chef Hermant Oberoi (Anupam Kher) yang benar-benar tampil meyakinkan sebagai pegawai hotel yang berani dan memegang filosofi bahwa tamu adalah raja, Armie Hammer tampil cukup mengesankan sebagai David, ayah yang pemberani yang berani mengambil risiko demi keselamatan keluarganya. Zahra (Nazanin Boniadi) berperan sebagai istri David yang membuat kita bersimpati terhadap karakternya yang berada dalam tekanan karena memikirkan keselamatan anak, suami, dan asistennya Sally. Kalaupun ada karakter yang underdeveloped di film ini yaitu Jason Isaacs, yang berperan sebagai mantan agen Spetznaz, Vasili, seperti dibuat berkharisma di awal tapi seiring berjalannya film seperti kurang dieksplorasi karakternya. Sementara dari sisi karakter antagonis, semua pemeran teroris tampil meyakinkan sebagai karakter yang brutal dan di saat yang sama berada dalam keadaan frustrasi dan kebingungan dalam menjalankan aksinya.



Walau awalnya terlihat tenang tapi film ini secara perlahan membangun ketegangan dengan terstruktur dan rapi, ketika adegan sudah berubah menjadi tegang dan masuk dalam situasi penyanderaan kita sebagai penonton seperti tidak diberikan waktu untuk bernafas lega.



Menyaksikan film yang berdurasi 2 jam ini seperti berada dalam situasi teror itu sendiri di mana kita pun bertanya-tanya kapan akan berakhir dan bagaimana berakhirnya. Kita merasakan simpati terhadap para korban-korban yang disandera dan emosi kita terhadap para pelaku teroris juga benar-benar bergejolak. Terlihat film ini benar-benar memaksimalkan penggunaan setting tempat di hotel Taj Mahal, baik dari kamar, dapur, Lobi hotel, maupun Lounge rahasia hotel. Film ini juga ingin memberikan garis bawah terhadap humanisme yang diciptakan sangat baik oleh sang sutradara, Anthony Maras, terlihat lewat keteguhan para pelayan Hotel yang tetap tinggal untuk melindungi para tamu mereka.



Sinematografi film ini juga turut memberikan andil menciptakan suasana mencekam dan penuh ketegangan. Situasi dramatis pun terasa di film ini pada adegan klimaks di mana teroris mulai menghabisi nyawa para sandera sementara bantuan kepolisian terhambat akibat sulitnya akses dan kurangnya sumber daya keamanan di kota tersebut. Yang menjadi kunci suksesnya film biopik selain dari para aktor pemerannya juga adalah seberapa akurat situasi yang digambarkan dengan kejadian sebenarnya. Film ini menggambarkan aksi terorisme dengan cukup detil dan terkadang brutal. Walau ada beberapa selipan humor tapi cenderung kurang tepat sasaran dan bisa dihilangkan sebenarnya, film ini bisa tetap serius dan tidak memerlukan humor seperti demikian.



Menurut berita, film ini dibuat berdasarkan dokumenter, semua berita dan rekaman yang terjadi di waktu peristiwa ini terjadi dan melihat hasil akhirnya di film yang kita tonton, kita patut mengacungkan jempol terhadap penulis cerita, sutradara dan semua cast Yang terlibat. Film ini jelas akan selalu berada di ingatan saya sebagai film biopik yang berkesan. Namun perlu diingat menonton film biopik seperti ini kita perlu menelaah lebih dalam mengenai fakta terhadap kejadian sebenarnya karena apa yang digambarkan dalam film tidak mencakup seluruh aspek secara menyeluruh.



Overall: 8/10

(By Camy Surjadi)

Sunday, April 14, 2019

ULASAN: AVE MARYAM





Begitu mendengar Ave Maryam, mungkin yang terbersit dalam pikiran kita adalah Bunda Maria. Ya, ave adalah kata dari bahasa Latin yang berarti ibu atau bunda, Maryam merupakan nama Maria dari bahasa Arab. Berdasarkan hal tersebut, pemikiran kita bisa langsung mengarah ke cerita Bunda Maria begitu mendengar film dengan judul Ave Maryam. Namun ternyata pemikiran itu salah, Ave Maryam bukanlah cerita mengenai Bunda Maria, melainkan cerita mengenai suster/biarawati bernama Maryam.


Maryam (diperankan oleh Maudy Koesnaedi) adalah seorang suster yang bertugas merawat suster-suster yang sudah lanjut usia di kota Semarang, bersama beberapa suster muda lainnya seperti Suster Mila (diperankan Olga Lydia). Suster tua yang dirawat oleh Maryam adalah Suster Monik (diperankan oleh Tutie Kirana). Suster Monik berbeda dari suster-suster tua lainnya, ia cenderung pendiam dan seperti menyimpan rahasia. Berbagai cara pendekatan yang dilakukan Maryam untuk akrab dengannya tidak berhasil. Sampai suatu hari datang seorang pastur muda bernama Pastur Yosef (Chicco Jerikho). Selain muda dan tampan, Romo Yosef merupakan pastur yang sangat berbakat di bidang musik serta mampu menghibur para suster tua. Ia pun sangat dekat dengan Suster Monik.  Suster Maryam pun tertarik dengan Romo Yosef, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, mereka berdua harus mematuhi Kaul (janji sukarela mengabdi kepada Tuhan). Salah satu kaul yang mereka ucapkan adalah Kaul Kemurnian, yaitu tidak boleh menikah atau menjalin hubungan cinta. Film ini bercerita tentang dilema yang dirasakan Suster Maryam dan Romo Yosef: mematuhi kaul atau mencintai satu sama lain. Apakah yang kemudian dipilih oleh keduanya? Silahkan cari tahu jawabannya dengan menonton film yang sangat artistik ini.


Ave Maryam memang film festival, sebelum tayang resmi di April 2019, film ini sudah tayang di beberapa ajang festival film. Sebagai film festival, Ave Maryam dikemas dengan sangat artistik, baik dari sinematografi, musik, sampai isi dialog. Layaklah kalau menjadi nominasi arau menggondol Piala Citra 2019, maupun penghargaan lain yang sejenis. 


Sayangnya ada beberapa kekurangan pada film tersebut. Pertama, latar belakang tahun Ave Maryam adalah tahun 1998, namun tidak mengungkap era ini sama sekali selain satu percakapan yang bisa membuat penonton menduga itu tahun 1998. Ada beberapa flop yang membuat film ini jelas terlihat bukan di era 1990an, tapi jauh lebih modern. Selain itu, sebetulnya tidak ada esensinya untuk film ini berlatar tahun 1998, tidak ada hubungan aappun dengan tahun itu. Jadi akan lebih baik tidak usah diceritakan bahwa latar film ini adalah tahun 1998.

 
Kekurangan lainnya adaah film ini seperti berusaha mengangkat tema toleransi antar agama, namun penggambaran toleransi tersebut kurang terlihat. Jadi aeakan memaksakan tema tersebut. Terakhir, kalau Anda adalah penikmat film dengan banyak dialog, maka jangan terlalu banyak berharap untuk menyukai film ini, karena film ini minim dialog.


Di luar dari semua kekurangannya, film karya Robby Ertanto ini layak dinikmati bukan hanya oleh para penganut Katolik, namun oleh penganut agama lain, karena sebetulnya tema besar dari film ini sangatlah sederhana dan cocok untuk seluruh kalangan, yaitu CINTA. Jadi ayo tonton film Ave Maryam yang akhirnya mendapat jadwal rilis (seharusnya sudah tayang tahun 2018), di tanggal 11 April 2019. Film ini memang agak sensitif dan banyak film yang bersaing memperebutkan penonton di bulan April ini, jadi segeralah tonton selama masih ada kesempatan tayang!

Overall: 8/10

(By Aisyah Syihab)

Monday, April 8, 2019

ULASAN: PET SEMATARY












Remake seperti  menjadi kata yang sangat regular dalam kondisi industri sinema saat ini disaat ide orisinil semakin susah untuk ditemukan. Tetapi jika film yang akan diremake masih sangat memiliki potensi yang bisa digali dibandingkan dengan film originalnya dengan lebih memancing penonton yang belum menonton film originalnya, lantas kenapa tidak ? Mungkin itu yang berada dalam pemikiran rumah-rumah produksi hollywood yang untuk kesekian kalinya meremake film horror klasik hasil buah pena Stephen King berjudul Pet Semataray yang sebelumnya pernah diproduksi tahun 1989.


Dengan bayang-bayang kesuksesan remake 'It' yang juga hasil adaptasi novel horror Stephen King, Pet Sematary membawa nama baru pada kursi sutradaranya yaitu duet Dennis Widmyer dan Kevin Kolsch. Seperti film originalnya, film ini tidak memakai banyak pemeran utama dalam ceritanya, setidaknya hanya ada 5 aktor yang akan kamu lihat mendominasi layar sepanjang durasi. Nama-nama aktor yang ikut meramaikan remake film horror ini ada nama Jason Clarke (Zero Dark Thirty, First Man), Amy Seimetz (Love Song, Alien: Covenant) dan John Lithgow (This is 40, Instertellar). Untuk pemain cilik yang cukup penting dalam plot cerita Jeté Laurence dan kembar Hugo Lavoie dan Lucas Lavoie yang memerankan satu karakter yang sama.


Louis Creed (Jason Clarke) yang berprofesi sebagai dokter, bersama istrinya, Rachel (Amy Seimetz), dan dua anaknya memilih tinggal di daerah pedesaan. Desa yang unik, jauh dari keramaian dan berada di tengah hutan. Tempat yang dipilih Louis dikarenakan alasan tekanan pekerjaannya tidak akan seberat di kota. Di tempat barunya Louis dan Rachel mengenal tetangga baru seorang lansia yang baik hati yang sudah lama hidup sendiri Jud Crandall (John Lithgow)


Kehidpuan berjalan dengan normal awalnya sampai akhirnya Louis mendapat sebuah peringatan aneh dari pasien yang sudah meninggal, sesuatu diluar logika Louis yang dia acuhkan. Semua berubah ketika kucing hewan peliharaan kesayangan putri mereka Ellie (Jeté Laurence) tewas kecelakaan. Atas dasar tidak mau membuat Ellie sedih, Jud menunjukan sebuah lokasi  makam masal di dalam hutan yang sudah mempunyai mitos. Menghidupkan kembali yang sudah mati. Keputusan yang nantinya akan disesali oleh Jud dan Louis yang memang kucing peliharaannya hidup kembali. Tetapi itu hanyalah awal dari sesuatu lebih menyeramkan akan terjadi  Apa yang sebenarnya terjadi di hutan itu? Apakah benar permasalahan ini terjadi karena pemakaman masal yang berada di tengah hutan? Lalu, apa hubungannya dengan keluarga Louis ?


Jika kamu belum menonton versi originalnya  seperti saya, berarti kita sama. Yang menjadikan kita tidak mempunyai bandingan menonton versi remake dengan originalnya. Hal itu berhasil pada 'It' yang mana film remake itu memuaskan penggemar film originalnya ataupun yang belum pernah menonton sama sekali. Jadi wajar kita sedikit memasang ekspetasi pada Pet Sematary ini akan memberikan pengalaman yang sama. Ekspetasi makin meningkat ketika trailernya muncul yang sudah memberikan kengerian tersendiri tanpa memperlihat wujud yang menjadi terror film ini. Dan untungnya ekspetasi yang dipasang cukup terbayarkan.


Seperti yang sempat disingung diatas, Pet Sematary tidak perlu sering-sering menampilkan sebuah wujud tertentu untuk memberikan pengalaman horror pada penonton. Film ini sudah memberikan nuansa horror dengan atmosfer dan tone film yang membuat penonton merasa harus selalu waspada. Padahal konflik film ini benar-benar terjadi di 40 menit terakhir, tetapi perjalanan menuju kesana dijamin akan menarik perhatian kamu sepenuhnya pada layar yang diwakili oleh 3 karakter utamanya. Salah satunya dengan menunjukan masa lalu Rachel yang dikejar rasa bersalah divisualisasikan menjadi sebuah pengalaman horror.


Dennis Widmyer dan Kevin Kolsch sangat tahu cara memvisualisasikan sebuah final terror di 40 menit terakhir. Setelah hampir separuh lebih durasi penonton cukup depresif dengan tone dan jumpscare scene, 40 menit terakhir tensi film makin naik hingga adegan terakhir. Hanya saja ketika semua lini sudah tidak ada bolong, beberapa hal yang agak mengganjal ada pada beberapa bagian seperti adegan awal seperti kumpulan anak-anak melakukan ritual yang sangat menarim perhatian penonton tidak terjelaskan sampai akhir film. Entah memang maksudnya itu semacam pesan implisit untuk penonton ? Jika iya maka akan banyak penonton yang butuh waktu diskusi tersendiri.


Jika kita membagi 2 kategori film remake dengan kata berhasil dan gagal, maka Pet Sematary ada pada kategori berhasil yang berada pada daftar yang sama dengan It meskipun berada dibawahnya. Pet Sematary film horror yang tidak boleh kamu lewatkan terlebih buat kamu yang memang menggemari film horror berbau ritual seperti Pengabdi Setan, Rosemary Baby, The Witch dan Hereditary.

Overall: 8/10

(By Zul Guci)




Sunday, April 7, 2019

ULASAN: SHAZAM!




Berbenah, itulah yang coba dilakukan Warner Bros/DC Comics dalam menata timeline atau superhero mana lagi yang akan diproduksi filmnya dalam DC Universe di layar lebar. Meskipun dari  film superhero yang dimunculkan seperti mengabaikan film sequel Man of Steel yang seharusnya mendapat prioritas karena keinginan fans, sampai saat ini tidak mendapatkan kejelasan. Lalu film solo Batman yang awalnya simpang-siur akhirnya mendapatkan film solonya  sendiri harus dibayar dengan perginya Ben Affleck dari peran Bruce Wayne/Batman. Seakan belum lengkap, sequel Justice League yang seharusnya menjadi puncak karakter-karakter superhero DC juga hanya tinggal di awang-awang. WB/DC seperti makin menjauh dari Justice League. Sepertinya WB/DC makin berhati-hati setelah hasil film Justice League pertama yang tidak memuaskan dan fokus pada film solo superhero mereka. Strategi itu mulai berhasil dimulai dari Wonder Woman (2017), lalu diikuti oleh Aquaman (2018) dan sekarang Shazam! akan mencoba peruntungan selanjutnya.



Untuk perjalanannya di komik, Shazam bisa dikatakan sudah cukup populer yang bisa disandingkan dengan trinity DC seperti Superman, Batman dan Wonder Woman. Tapi sayangnya peruntungannya di layar lebar tidak semulus Superman dan Batman. Mungkin itu yang menjadi salah satu alasan WB/DC menunda sequel MoS, Batman atau Justice League agar memberikan karakter lainnya yang tidak kalah menarik, dan Shazam adalah satunya. Disutradarai oleh David F. Sandberg (Lights Out, Annabelle: Creation) film layar Shazam membawa nama-nama aktor cilik yang akan menjadi pondasi plot cerita yang dipimpin oleh dua aktor dewasa Zachary Levy dan Mark Strong.



Seorang anak yatim piatu bernama Billy Batson (Asher Angel) yang sering berpindah-pindah orang tua asuh karena bermasalah. Dan perhentian orang tua asuh selanjutnya Billy diasuh oleh pasangan suami-istri Victor (Cooper Andrews) dan Rosa Vasquez (Marta Millians) dan memperkenalkannya pada anak-anak asuh lainnya mulai dari Freddy (Jack Dylan Grazer), Mary (Grace Fulton), Eugene (Ian Chen), Pedro (Jovan Armand), dan Darla (Faithe Herman). Suatu hari pada sebuah kejadian misterius, Billy bertemu dengan seorang penyihir yang sudah melemah mencari penerusnya dan memilih Billy karena memenuhi persyaratan yang membuatnya memiliki kekuatan super dan berubah dalam tubuh orang dewasa dengan hanya menyebutkan kata 'Shazam'.



Billy yang masih mencoba beradaptasi dengan kekuatan barunya didampingi oleh Freddy mencoba mencari tahu sampai mana batas dari kekuatan yang dimiliki oleh tubuh dewasa Shazam (Zachary Levi). Sebuah kesenangan yang  mewarnai hari-hari mereka berdua mulai menarik perhatian ketika Dr. Thaddeus Sivana (Mark Strong) muncul untuk mengejar kekuatan yang dimiliki Billy. Dr. Sivana terobsesi dan sangat ingin memiliki kekuatan Shazam itu tidak hanya mengancam nyawa Billy sendiri, tetapi juga mulai mengancam semua nyawa keluarga barunya. Bisa kah Billy yang dibantu Freddy memaksimalkan kekuatan besar yang dimilikinya untuk melindungi nyawa-nyawa keluarga asuhnya ? Dan kenapa Dr. Sivana sangat ingin memiliki keuatan Shazam ? Jawaban yang bisa ditemui lewat filmnya secara langsung.



Film keluarga, itulah yang pertama kali kata yang muncul untuk mendeskripsikan setelah menonton 'Shazam'. Sesuatu hal yang baru dari film-film universe superhero DC yang a  oleh Man of Steel (2013). Dan karena memang karena kentalnya dengan film keluarga meskipun cerita dibuka dengan prolog masa lalu Dr. Sivana, film Shazam! yang berjalan secara naratif ini akan mudah dipahami oleh anak-anak sekalipun. Dari plot cerita makin menarik sejak a kali munculnya transformasi Billy ke tubuh Shazam. Bahkan untuk penggemar komiknya sekalipun akan bisa menikmati plot cerita karena hampir 90% plot cerita mengadaptasi origin Shazam pada komiknya di reboot semua karakter DC Comics yang disebut dengan New 52. Bisa dibilang Shazam! adalah film adaptasi yang sangat mendekati komiknya. Yang menjadi pembeda adalah jika pada komik Shazam langsung menghadapi musuh bebuyutannya Black Adam, maka posisinya untuk film pertama diganti ke Dr. Sivana. Hal yang mungkin sangat disayangkan mungkin untuk sebagian fans komiknya.



Jika plot cerita tidak ada masalah, maka untuk para pemain sangat mudah sedikit merasa mengganjal. Transformasi karakter Billy ke Shazam salah satunya. Seperti yang kita tahu Billy dan Shazam adalah orang yang sama dengan tubuh yang berbebeda yang harusnya mempunyai karakter yang sama, tetapi hal itu sangat terasa sangat kontras berbeda. Billy yang masih dengan kepribadian bermasalah mengontrol emosi menjadi sangat menjadi karakter yang terlalu kanak-kanak pada tubuh Shazam yang diperankan Zachary Levy. Jika kamu tidak mempermasalahkan itu, maka kamu akan sangat terhibur dengan penampilan Zachary Levy yang sangat komikal.



Lalu jika kamu mengharpkan sebuah adegan final pertarungan yang seru seperti film kebanyakan maka sebaiknya menurunkan ekspetasi. Duel Shazam versus Dr Sivana dan wujud 7 dosa besarnya seperti ala kadarnya saja yang bisa dibandingkan dengan film-film serial tv DC seperti The Flash. Agak mengecewakan memang meskipun ada sedikit kejutan ketika 5 anak asuh lainnya mencoba memantu Shazam melawan Dr. Sivana.



WB/DC sepertinya ingin sedikit melunak dalam hal menampilkan visual para superheronya yang diidentikan dengan tone dark dan serius seperti film-film sebelumnya yang dimulai lewat Aquaman yang terbukti sukses. Dan sekarang diikuti oleh Shazam yang mempunyai potensi cukup besar di sequelnya nanti yang mungkin bisa membayar segara kekurangan di film pertama ini yang budgetnya sendiri jauh dibawah Man of Steel, Wonder Woman, BvS dan Aquaman sekalipun. Untuk saat ini kita cukup berdoa film pertama ini akan sukses, karena dengan segala kekurangannya Shazam! masih sangat menghibur untuk ditonton bersama keluarga.


Overall: 7,5/10

(By Zul Guci)