Friday, November 26, 2021

ULASAN: FOLLOW ME



Film-film atau series yang bertema sebuah permainan yang dengan kosekeunsi kematian sepertinya sedang menjadi tren yang dibidik oleh studio-studio film. Yang teranyar ada Squid Game yang sukses besar, selain itu ada Alice in Borderland, itu untuk series. Sementara untuk film ada Escape Room, The Hunt atau Ready or Not. Dan yang terbaru ada Follow Me. Film yang sudah tayang sejak tahun lalu secara internasional namun baru mendapatkan kesempatan tayang tahun ini di bioskop-bioskop Indonesia. Konsep yang diambil permainan Escape Room dan memasukan unsur toxic influecer dalam bermedia sosial.

Follow me yang mempunyai judul asli No Escape ini bercerita tentang Cole (Keegan Allen), seorang vlogger dengan belasan juta followers yang sukses karena selalu mencoba tantangan baru. Sampai suatu saat ia mendapat undangan tantangan untuk bisa lolos dari lokasi yang penuh misteri yang berada di Rusia. Tantangan yang disanggupi oleh Cole dan teman-temannya yang awalnya mengira akan mendapat kesenangan ini, perlahan berubah menjadi mimpi buruk ketika satu-persatu teror muncul mengancam nyawa mereka.

Sutradara Will Wernick sepertinya belum puas mengeksplorasi dari permainan Escape Room, karena di film pertamanya sang sutradara yang juga menulis filmnya sendiri ini menjadikan Escape Room sebagai pondasi cerita. Hanya saja untuk Follow Me, Wernick memasukan unsur media sosial di dalam ceritanya. Formula yang ada pada film Follow Me hampir sama dengan sebagaian besar film-film berjenis ini. sekelompok orang yang terjebak pad situasi harus menyelesaikan permainan dengan konsekuensi kehilangan nyawa jika gagal. Tapi untungnya Wernick cukup pintar meramu formula yang sudah banyak dipakai ini dan mampu membawa penonton merasakan segala unsur ketegangan dalam film ini.

Secara garis besar plot cerita memang tidak ada yang sesuatu yang istimewa, namun Wernick sedikit mengeksplorasi karakternya. Untuk sebuah film survival hal ini sangat jarang dilakukan. 30 menit pertama  wakttu yang cukup lama untuk pengenalan karakter sebelum menuju konflik utama. Selain itu film yang sangat berpotensi kental akan gore ini juga dibawa sedikit lebih ramah yang akan memunculkan pertanyaan. Namun hal itu terjawab di akhir film yang menjadikannya beralasan.

Follow Me hadir dengan konsep yang sudah banyak kita lihat dalam film-film sejenis. Jika kamu tidak berekspetasi macam-macam dan membandingkan film ini dengan film bertema escape room lainnya, percayalah film ini sangat menghibur dari yang kamu duga.

Tuesday, November 23, 2021

JAKARTA FILM WEEK TAHUN PERTAMA SUKSES TERSELENGGARA



Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta sukses menyelenggarakan festival film bertaraf internasional, Jakarta Film Week 2021. Festival film ini dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada Kamis, 18 November 2021, dan ditutup pada Minggu 21 November 2021 oleh Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta Ahmad Riza Patria bersama dengan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta, Andhika Permata.



Dalam acara ini, sutradara asal Filipina Carlo Francisco Manatad juga ikut memberikan sambutannya. Carlo merupakan sutradara dari film Whether the Weather Is Fine, yang merupakan film penutup di Jakarta Film Week. Sebelumnya, film ini sudah ditayangkan pertama kalinya di Festival Film Locarno ke-74. Meski begitu, Carlo mengungkapkan bahwa setiap penayangan di tiap festival pastinya akan memberikan pengalaman menonton yang berbeda.


Acara dilanjutkan dengan penyerahan piala untuk para pemenang kompetisi Jakarta Film Week. Di tahun pertama penyelenggaraanya, Jakarta Film Week memberikan Piala Cakra Wahana (CSW) untuk para pemenang. Di mana piala CSW ini memiliki makna tersendiri yang lekat dengan imej Kota Jakarta.


Berikut daftar para pemenang film kompetisi di Jakarta Film Week 2021. Untuk kategori Global Feature Award (penghargaan film panjang internasional terbaik) dimenangkan oleh Petite Maman karya. Céline Sciamma. Dengan special mention untuk film Money Has Four Legs karya Maung Sun.

Untuk kategori Direction Award atau (penghargaan film panjang Indonesia terbaik) dimenangkan oleh Dari Hal Waktu karya Agni Tirta. Dengan Special mention Death Knot karya Cornelio Sunny. Untuk Global Short Award (penghargaan film pendek internasional terbaik) dimenangkan oleh The Girls Are Alright karya Gwai Lou. Dengan special mention, Diary Of Cattle karya Lidia Afrilita dan David Darmadi.

Satu penghargaan lagi, yaitu Jakarta Film Fund Award dimenangkan oleh Ringroad karya Andrew Kose. Dengan special mention One Night In Chinatown karya William Adiguna. Selamat untuk para pemenang. Semoga menjadi pemicu lahirnya karya-karya berikutnya.













Monday, November 22, 2021

ULASAN: SONGBIRD


Pandemic yang menyerang hampir seluruh bagian dunia pada awal tahun 2020 memang sempat membuat situasi serba dengan ketidakjelasan. Semua aktivitas dan kegiatan pada saat itu dihentikan, termasuk produksi film. Namun untungnya kejadian itu hanya sementara. Setelah situasi sudah sedikit membaik, produksi film kembali mendapatkan izinnya dengan aturan protokol yang ketat. Dan satu kesamaan yang banyak terjadi pada saat itu, para filmaker berbondong-bondong membuat film bertema pandemic. Mulai drama, horror, thriller sampai dengan komedi. Termasuk Songbird, film yang salah satunya diproduseri oleh Michael Bay.

Songbird mengambil setting pada saat sebuah virus menyerang yang membuat semua warga harus berada dalam rumah karena sangat mudahnya virus penyakit ini menular. Bagi warga yang melanggar aturan tersebut disamakan sebagai kriminal. Orang-orang yang bisa leluasa keluar adalah kurir pengantar paket kiriman yang memang mempunyai imunitas yang kebal terhadap virus. Dan plot cerita akan berputar pada seorang kurir Nico (KJ Apa) yang ingin mencoba menyelamatkan kekasihnya Sara (Sofia Carson) setelah neneknya yang berada satu atap dengannya meninggal karena virus. Berpacu dengan waktu, Nico dengan koneksi terbatas yang dia punya, Nico tidak hanya berhadapan dengan pihak berwajib, namun juga dikejar-kejar oleh pembunuh bayaran karena Nico mengetahui sebuah rahasia kotor keluarga yang menfaatkan situasi dan melakukan bisnis ilegal untuk kepentingan pribadi.

Songbird mempunyai plot cerita yang sederhana yang setting menjadi dasar utama cerita ini sangat dekat dengan penonton. Namun hal itu juga yang menjadi sisi lemah film ini. Kedekatan kita dengan setting cerita membuat hal-hal dramatisasi pada film ini tidak mempan kepada penonton. Naskah yang menjadi fondasi film ini terasa lemah yang mejalar pada tokoh atau karakter film ini yang juga tidak begitu kuat. Memang ada beberapa momen sequence thriller yang membuat tensi film naik, namun hal itu tidak bertahan lama. Menontonnya pada saat ini dimana situasi sudah membaik mungkin menjadi salah satu penyebab kenapa kita tidak bisa menikmati film ini sepenuhnya.

Lalu apa yang menjadi nilai lebih film ini? Untuk saya personal adalah nama produser Micahel Bay. Meskipun posisinya di sini sebagai produser, untuk penikmat film-film sutradara yang gemar dengan adegan ledakan ini, kita akan sangat bisa merasakan pengaruh Micahel Bay dalam film ini. Seperti pergerakan kamera, matahari terbenam sampai bagian sequence actionnya. Hanya saja untuk kali ini tidak ada ledakan.

Secara keseluruhan film ini memang tidak memuaskan dahaga kamu untuk menonton film yang menghibur. Tapi setidaknya film ini bisa kita samakan dengan film 2012 yang disutaradarai oleh Roland Emmerich itu. Film yang sama-sama bisa kita jadikan dokumentasi dan dituntjukan pada anak cucu nanti bahwa generasi kita pernah melewati situasi seperti itu.

DRAMA-ROMANCE YANG MENGANGKAT PASANGAN BERBEBEDA KEYAKINAN DALAM 'AKHIRAT: A LOVE STORY'




BASE Entertainment bekerja sama dengan Studio Antelope bersiap meluncurkan film debut panjang sutradara dan penulis naskah Jason Iskandar. Film yang dibintangi Adipati Dolken dan Della Dartyan ini menyajikan kisah fantasy romance yang ringan namun mempunyai filosofi mendalam tentang hubungan antar manusia, bukan hanya percintaan tapi juga keluarga. Film cinta dengan sudut pandang unik ini akan tayang 2 Desember di seluruh bioskop Indonesia.



Film bercerita mengenai dua anak manusia, Timur (Adipati Dolken) dan Mentari (Della Dartyan) yang memiliki agama berbeda. Tapi, keduanya jatuh cinta dan berjanji untuk terus bersama. Suatu hari, kecelakaan membuat keduanya berpindah dunia. Di dunia yang baru dan berbeda ini, mereka diberi kesempatan kedua untuk akhirnya bisa bersama tanpa halangan apapun. Apakah akhirat akan memisahkan, atau menyatukan mereka?



Shanty Harmayn, produser dari BASE Entertainment menyatakan, “Melalui film perdananya, Jason berusaha mengajak penonton untuk berpikir mengenai hubungan antar manusia. Diceritakan dengan cara yang menghibur melalui dua orang yang saling jatuh cinta namun harus terhalang oleh keinginan keluarga. Dengan dibalut unsur fantasi dan musik yang membawa penonton masuk ke cerita film.”



Adipati dan Della bermain dengan performa yang baik, keduanya mampu menjadi pasangan yang menggemaskan, meski dalam situasi yang sulit. Mereka sanggup membawakan kisah yang tak biasa ini menjadi sesuatu yang mudah dicerna. Chemistry keduanya menjadi nyawa utama dari film ini.


Menjelang perilisan, para pemeran di film diajak menonton dalam sebuah special screening. Verdi Solaiman yang berperan sebagai Wang mengatakan, “Saya yakin pasangan-pasangan yang nonton film ini kocar-kacir hatinya.” Dari special screening juga banyak yang speechless dan bahkan sampai menangis. Ending yang memuaskan dan tak terduga jadi highlight bagi mereka yang sudah menonton film ini. Bahkan Della yang berperan sebagai Mentari mengatakan, “Tiba-tiba pas nonton kayak berasa orang lain. Aku gak sadar itu, aku… nangis lagi!”



Pada 12 November lalu, “Akhirat: A Love Story” merilis lagu yang terdengar di bagian awal trailer film. Penyanyi muda dengan tipe suara bariton, Adikara Fardy, mengisi salah satu soundtrack film lewat lagu bertajuk “Sayup Menjauh”. Lagu dan video musik soundtrack berikutnya yang dirilis 19 November ini adalah lagu “Jarak” dari Ivan Gojaya dan Agustin Oendari. Keduanya menyumbang 7 lagu untuk original soundtrack dan ada satu lagu dari Kunto Aji berjudul "Pilu Membiru". Ivan Gojaya juga adalah sosok di balik music scoring film "Akhirat: A Love Story".


Film “Akhirat: A Love Story” merupakan produksi BASE Entertainment bekerja sama dengan Studio Antelope. Selain dibintangi Adipati Dolken dan Della Dartyan, film ini juga diisi bintang-bintang muda seperti Windy Apsari, Agnes Naomi, Tubagus Ali, Ravil Prasetya, Farhan Rasyid.


Thursday, November 18, 2021

ULASAN: VENOM "LET THERE BE CARNAGE"









Setelah tertunda beberapa kali dan bahkan sempat dijadwalkan rilis tahun 2022, akhirnya sequel musuh bebuyutan Spider-Man ini sudah bisa kita saksikan di bioskop-bioskop. Masih dibintagi oleh Tom Hardy yang kembali memerankan Eddie Brock/Venom. Lalu ada Michelle Williams sebagai Anne, dan untuk villain utama ada Naomi Harris dan Woody Harrelson yang memerankan pasangan psikopat. Andy Serkis sang spesialis aktor CGI bertindak di kursi sutradara, melanjutkan yang sudah dikerjakan oleh Ruben Fleischer yang menyutradarai film pertama.

Melanjutkan yang sudah tertuang pada film pertama, Eddie Brock (Tom Hardy) yang masih kesulitan  mengontrol Venom yang ada dalam dirinya harus berhadapan masalah baru ketika Cletus Kasady (Woody Harrelson) seorang tahanan hukuman mati ingin menjumpainya sebelum hari hukuman mati baginya tiba. Pertemuan itu secara tidak sengaja membuat berpindah dan bermutasinya simbiot yang ada dalam diri Cletus setelah didapatkan dengan cara menggigit Eddie. Situasi makin memburuk ketika Cletus akhirnya bisa melarikan diri dari penjara dengan kekuatan barunya dan mulai meneror seisi kota. Hanya tinggal menunggu waktu bagi Eddie ditemukan oleh Cletus yang mutasi simbiot dalam dirinya menjadi lebih kuat dari Venom dan menamai dirinya Carnage.

Tanpa berbasa-basi, sequel ini mempunyai alur yang cukup cepat. Perkenalan karakter villain utama film ini Cletus Kasady hingga dia mendapat kekuatan seperti hanya sekadar mengisi posisinya sebagai villain klasik. Jadi jika kamu berekspetasi sesuatu pada karakter ini yang lebih dari sekadar villain sebaiknya kubur saja eksptasi kamu. Tidak ada nilai lebih yang diberikan karakter Carnage. Bahkan karakter Riot yang menjadi villain utama masih lebih berisi dibandingkan Carnage. Miskinnya penggalian karakter Carnage untungnya dapat ditutup dari sisi lain, yaitu hubungan antara Venom dan Eddie Brock yang banyak memancing tawa. Hubungan mereka sudah layaknya seperti bromance. Sangat menarik bagaimana Tom Hardy berakting beradu argumen dengan dirinya sendiri.

Jika dari sisi cerita tidak terlalu banyak berubah dengan film pertama, tidak dengan sisi actionnya. Andy Serkis sepertinya snagat memaksimalkan pada bagian ini. Sequence action pada sequel ini jauh lebih massive dibandingkan film pertama. Jikapun ada hal yang kurang memuaskan dari action ini tidak disajikan dalam rating semestinya. Untuk fans komiknya tahu persis bagaimana brutalnya Carnage yang sayang belum mendapat visual yang maksimal karena mengejar rating yang cocok untuk PG13.

Secara keseluruhan Venom: Let There Be Carnage hadir dengan elemen-elemen seperti film pertamanya. Seri ini yang tidak memberikan peningkatan dari plot cerita yang kuat, namun masih akan memberikan kepuasan jika kamu mengharapkan action yang jauh lebih besar dibandingkan film pertama





RESPON MENGGEMBIRAKAN DI PEMUTARAN PERDANA SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS DI INDONESIA



Film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, pemenang hadiah utama Golden Leopard di Locarno Film Festival baru saja melakukan pemutaran perdaanya di Indonesia dalam pemutaran screening untuk media pada tanggal 17 November 2021. Film yang akan tayang secara umum mulai 2 Desember di bioskop seluruh Indonesia. Film yang disutradarai pemenang Piala Citra Edwin ini dibintangi oleh Marthino Lio dan Ladya Cheryl juga turut dibintangi Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan memperkenalkan Sal Priadi. Diangkat dari novel penulis dengan penghargaan internasional Eka Kurniawan, film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” mendapatkan klasifikasi 17+ dari Lembaga Sensor Film, meski begitu Palari Films menghimbau film ini untuk 18+ Khusus Dewasa.



Film berkisah tentang Ajo Kawir, seorang jagoan yang tak takut mati. Hasratnya yang besar untuk bertarung didorong oleh sebuah rahasia — ia impoten. Ketika berhadapan dengan seorang petarung perempuan tangguh bernama Iteung, Ajo babak belur hingga jungkir balik — dia jatuh cinta. Akankah Ajo menjalani kehidupan yang bahagia bersama Iteung dan, pada akhirnya, berdamai dengan dirinya?



Mengusung tema kisah cinta tragis di dunia yang maskulin, film ini menjadi pernyataan bagi Edwin mengenai toxic masculinity. Edwin yang tak hanya menyutradarai tapi juga turut menulis skenarionya bersama Eka Kurniawan mengatakan, “Tumbuh besar di masa kejayaan rezim militer, cerita dan mitos mengenai heroisme dan kejantanan lelaki menjadi sangat familiar bagi saya. Kejantanan adalah tolok ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia hari ini, di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang di era 80an/90an. Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi”.



Tak hanya Ajo Kawir, sang jagoan kampung yang terjebak dengan ekspektasinya sebagai laki laki di dunia maskulin, ada juga sosok Iteung, karakter cewek yang berhasil mengimbanginya dalam hal beraksi laga dan bernyali tinggi. Iteung yang diperankan oleh Ladya Cheryl tampil berenergi sebagai cewek badass yang bukan cuma menjadi kekasih bagi Ajo, tapi juga jagoan yang punya kekuatan setara dengan Ajo Kawir. Iteung juga punya traumanya sendiri sebagai perempuan yang harus hidup di dunia yang maskulin. Iteung tumbuh untuk berani mengambil resiko dan keputusannya sendiri yang menjadikannya seorang tak kalah kuat.

Berlatar waktu di akhir tahun 80an dan awal 90an, film ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’ berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara. Salah satunya adalah penggunaan seluloid. Edwin menjelaskan, “Referensi saya tentang

gambar sangat dipengaruhi oleh imaji-imaji yang terekam dalam berbagai acara TVRI seperti Flora dan Fauna, Sesame Street, hingga Si Unyil yang kebanyakan menggunakan medium pita seluloid 16mm. Bagi saya, 16 mm adalah representasi realita sehari-hari yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan dan ingatan saya terhadap periode 80/90an. Tentu saja keinginan menggunakan pita seluloid dalam proses shooting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih dalam merealisasikannya. Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm. Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang. Sebuah pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan dalam masa pandemi. Meiske Taurisia, dan Muhammad Zaidy selaku produser percaya bahwa setiap cerita, dan karakter dalam film harus dituturkan dengan caranya yang unik.”

Untuk “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, Edwin melakukan kolaborasi internasional dengan menggandeng Director of Photography Akiko Ashizawa yang berasal dari Jepang. Akiko biasa berkolaboasi bersama sutradara kawakan Kiyoshi Kurosawa salah satunya Tokyo Sonata (2008) dan editor dari Thailand, Lee Chatametikool. Lee dikenal sebagai kolaborator dari sutradara terkemuka Thailand, Apichatpong Weerasethakul. Salah satunya pemenang Cannes Film Festival 2010, ‘Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives’ (2010).

Setelahnya, film ini berkeliling ke festival film berbagai negara seperti Toronto, Hamburg, Busan, London, dan masih banyak lagi. Lebih dari 30 festival disambangi oleh film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” dan sebelum kembali pulang ke Indonesia film ini didaulat sebagai pembuka Singapore International Film Festival pada 25 November.








Friday, November 12, 2021

KARTU POS WINI, SEBUAH FILM YANG DIPERSIAPKAN PADA HARI KANKER SEDUNIA


Kartu Pos Wini (KPW) merupakan sebuah film yang menceritakan Ruth (Denira Wiraguna) seorang gadis milenial yang termkaana idealisme dan kekerasan hatinya yang juga termasuk obsesi punya cita-cita sebagai staf kantor pos. Pekerjannya sebagai staf kantor pos memmbawnaya pada perkenalan dengan seorang anak penyandang leukimia bernama Wini. Perkenalan yang berubah menjadi semakin dekat seperti hubungan seorang kakak dan adik mebuat Ruth ingin membantu Wini dengan mengirimkan proposal pengobatan ke Amsterdam, Belanda. Begitu kira-kira sedikit sinopsis dari Kartu Pos Wini.

Film yang diproduksi oleh Sinemata ini yang memang ingin mengangkat tema penyakit kanker juga telah menggandeng Yayasan Kanker Indonesia (YKI) agar bisa membuat film jadi serelevan mungkin. Film KPW bermaksud ingin menjadi semacam literasi bagaimana menjadi keluarga, sahabat, dan kerabat memperlakukan penderita kanker.

Sinemata sebagai ruah produksi ingin KPW tidak mis-leading dalam produksi. Itu sebabnya pula, Sinemata merencanakan rilis Kartu Pos Wini pada tanggal 4 Februari 2022. Sebuah tanggal yang bertepatan dengan Hari Kanker Sedunia.

Sebuah langkah mempromosikan film ini sudah mulai dilakukan oleh Sinemata. Pada tanggal 11 November 2021, Sinemata mengadakan konfrensi pers untuk perilisan poster dan teaser film. Tidak Sekadara konfrensi pers, naun juga melakukan semacam talkshow dengan mengundang survivor penderita kanker dan dokter sebagai narasumbernya. Acara rangkaian talkshow ini akan dijadikan roadshow ke beberapa kota yang sekaligus menjadi bagian promosi film.

Saturday, November 6, 2021

SEBUAH RASA BARU DALAM KARYA RIRI RIZA LEWAT PARANOIA



Film terbaru produksi Miles Films, PARANOIA, akan hadir di layar lebar seluruh Indonesia mulai 11 November 2021. Film drama thriller pertama dari sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana ini langsung meraih nominasi Piala Citra untuk kategori Film Panjang Terbaik FFI 2021. Film PARANOIA, dibintangi oleh Nirina Zubir, Nicholas Saputra, Lukman Sardi, dan Caitlin North-Lewis, telah terlebih dahulu tayang di 25th Bucheon International Fantastic Film Festival (BIFAN) 2021, Korea Selatan, dan juga terpilih untuk berkompetisi di Spanyol untuk Asian Film Festival Barcelona 2021. 


PARANOIA telah membuka pemutaran khusus atau advance screenings di 4 kota, yaitu Jakarta pada 30 Oktober, Bekasi pada 31 Oktober, Bandung pada 6 November, dan Yogya pada 8 November 2021. Tiket langsung terjual habis di hari pertama ticket box dibuka. Bahkan, tiket advance screening Jakarta habis hanya dalam waktu kurang dari 20 menit sejak penjualan dibuka. “Kami terkejut sekaligus senang sekali. Hanya dalam waktu singkat, tiket langsung sold out! Kami kemudian menambah layar. Yang semula hanya 4 layar menjadi 8 layar dan tiketnya juga langsung terjual habis. Semoga ini menjadi tanda bahwa penonton sangat merindukan kembalinya film Indonesia di bioskop,” ungkap produser Mira Lesmana penuh harap. “Menyaksikan reaksi dan mendengar komentar-komentar penonton yang antusias sangat membuat terharu dan memberi kami semangat keberanian untuk terus mendorong bangkitnya industri film Indonesia yang terguncang akibat pandemi,” tutur sutradara Riri Riza tentang keseruan pemutaran khusus film PARANOIA. 


“Terharu melihat semangat teman-teman yang sudah menantikan film PARANOIA dan memburu habis tiket advance screening dalam waktu yang sangat singkat. Dan melihat reaksi penonton saat pemutaran adalah perasaan yang luar biasa menyenangkan. Senang sekali penonton kembali ke bioskop untuk menikmati PARANOIA di layar lebar," ungkap Nicholas Saputra, pemeran tokoh Raka dalam film PARANOIA. Nirina Zubir, pemeran tokoh Dina dalam film PARANOIA, menambahkan,"Na senang banget bisa kembali berinteraksi langsung dengan penonton di bioskop. Sampai sulit bagi Na untuk menggambarkannya dengan kata-kata. Reaksi mereka juga menggembirakan, ada yang bilang tegang sampai tutup mata, ada yang kaget sampe elus-elus perut. Hahaha!” Ketegangan yang mencekam dibangun melalui penyutradaraan yang terampil dan dukungan akting yang berkelas dari pemerannya. Ditambah lagi scoring musik yang akan membawa penonton terbawa dalam ketegangan cerita sampai akhir. Sajian sinematik yang disuguhkan oleh film PARANOIA membuktikan bahwa Miles Films selalu konsisten dalam membuat film berkualitas, hal ini pun dibuktikan dengan meraih 4 nominasi Piala Citra pada Festival Film Indonesia 2021, yaitu Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Riri Riza, Pemeran Utama Perempuan Terbaik untuk Nirina Zubir, dan Penata Suara Terbaik untuk Aria Prayogi dan Arief Budi Santoso.



PARANOIA adalah salah satu film Indonesia yang menerima dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Bidang Perfilman untuk skema promosi film melalui Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Dua brand juga turut mendukung promosi film PARANOIA, yaitu OPPO Indonesia dan BANK MANDIRI. "Senang sekali dengan adanya begitu banyak dukungan yang diberikan kepada film PARANOIA yang berarti banyak pula kepedulian untuk sama-sama kembali menghidupkan industri film nasional," ungkap Mira Lesmana optimis. PARANOIA, film produksi terbaru dari Miles Films, mulai tayang hanya di bioskop Indonesia mulai 11 November 2021. INFORMASI FILM SINOPSIS PARANOIA bercerita tentang DINA (Nirina Zubir) yang melarikan diri dari suaminya, GION (Lukman Sardi). Ia diburu karena selain lari bersama anak mereka, LAURA (Caitlin North-Lewis), ia juga membawa sebuah barang berharga. Dalam persembunyiannya, seorang pria tak dikenal yang bernama RAKA (Nicholas Saputra), muncul dan mengusik hubungan Dina dan Laura. Situasi menjadi bertambah sulit dan ancaman semakin mendekat.










Friday, November 5, 2021

67 JUDUL FILM PANJANG DAN FILM PENDEK SIAP MERAMAIKAN PERGELARAN TAHUN PERTAMA JAKARTA FILM WEEK



Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta resmi meluncurkan Jakarta Film Week, festival film berskala Internasional di Jakarta, yang akan berlangsung pada 18 - 21 November 2021 mendatang. Penyelenggaraan Jakarta Film Week dilakukan baik secara online maupun offline. Kegiatan festival secara offline akan diadakan di CGV, Cinema XXI dan Hotel Ashley, sedangkan pemutaran film secara online eksklusif tayang hanya di Vidio.com. Tiket dapat diakses mulai tanggal 10 November melalui Loket.

Hadirnya Jakarta Film Week, diharapkan membuka kesempatan dan peluang baru untuk berkarya. Juga diharap bisa menjadi bagian penguatan ekonomi pasca pandemi. Karena itu, Disparekraf ikut memberikan dukungan atas berlangsungnya festival berskala internasional ini.


Program Jakarta Film Week

Jakarta Film Week akan dibuka dengan world premiere dari film Indonesia yaitu Ranah 3 Warna, produksi MNC Pictures yang disutradarai Guntur Soeharjanto. Sementara Whether The Weather is Fine karya sutradara asal Filipina, Carlo Francisco Manatad akan menjadi film penutup. Sebelumnya film produksi Globe Studios ini tayang perdana di Locarno Film Festival ke-74 dan berkompetisi di The Script Development Fund, Asian Cinema Fund dari Busan International Film Festival 2014.

Program film lain yang akan hadir yaitu Global Feature yang berisi pemutaran film panjang, Global Short yang berisi pemutaran film pendek, dari Indonesia, FIlipina, Malaysia, Thailand, China, Perancis, Jepang, Myanmar, Italia, Kanada, New Zealand, Hongkong, dan Korea Selatan. Film panjang dan pendek terpilih akan berkompetisi untuk memenangkan Global Feature Award dan Global Short Award. Hadir pula Direction Award, kompetisi khusus untuk film-film Indonesia yang diputar selama festival. Selain itu, para pelaku industri juga berkesempatan untuk memamerkan karya-karya mereka di ruang exhibition dan showcase yang terletak di lokasi utama festival.

Program lain yang fokus pada pendanaan yaitu Jakarta Film Fund. Tim program Jakarta Film Week akan memilih lima ide cerita film pendek yang akan mendapatkan dana dukungan produksi dan mentoring dari pembuat film professional, movielab penyutradaraan, penulisan naskah dan penyuntingan gambar. Semua film yang telah selesai diproduksi akan ditayangkan pada saat festival berlangsung.

Program lain yang diselenggarakan selama Jakarta Film Week antara lain Masterclass untuk pekerja film profesional, Talks untuk diskusi isu terkini dalam industri film, dan juga Community sebagai wadah bertukar pengalaman dan memperkuat jaringan.


Jakarta Film Week diharapkan menjadi wadah bagi para pelaku industri film Indonesia, terutama di Jakarta agar semakin berkembang baik secara wacana, keterampilan juga pengembangan jaringan. Selain itu dapat menjadi pemicu bagi industri film di daerah lain untuk semakin berkembang sehingga bisa meningkatkan kualitas industri film di Indonesia secara keseluruhan. Seluruh program dan informasi terkait Jakarta Film Week sudah dapat diakses di laman www.jakartafilmweek.com.




Opening

1. Ranah 3 Warna / Guntur Soehardianto / Indonesia

Closing

2. Whether the weather is fine / Carlo Mangantad / Philippines

Global Feature

1. Petite Maman / Céline Sciamma / Prancis

2. Black Box / Yann Gozlan / Prancis

3. Barbarian Invasion / Tan Chui Mui / Malaysia, Hong Kong, The Philippines 4. Money Has Four Legs / Maung Sun / Myanmar

5. Me and the Cult Leader / Atsushi Sakahara / Japan

6. Nussa / Bonny Wirasmono / Indonesia

7. Dari Hal Waktu / Agni Tirta / Indonesia

8. Ibu / Jeihan Angga/ Indonesia

9. Kadet 1947 / Rahabi Mandra & Winaldo Artaraya / Indonesia

10. Death Knot / Cornelio Sunny / Indonesia

11. Cinta Bete / Roy Lolang / Indonesia

12. Yowisben 3 / Bayu Skak & Fajar Nugros / Indonesia

13. Shankar’s Fairies / Irfana Majumdar / India

14. Zero / Kazuhiro Soda / Japan, Usa

15. Veyilmarangal / Biju Kumar / India

16. 12x12 Untitled / Gaurav Madan / India

17. Marapu, Fire & Ritual / Andrew Campbell / Indonesia

18. Mang Jose / Raynier F. Brizuela / Philippines

19. The Tales of the Black Saint / Ludovica Fales / Italia

20. You & I / Fanny Chotimah / Indonesia

21. Recalled / Seo You-min / South Korea

22. Everyday is lullaby / Putrama Tuta / Indonesia

Global Short

1. Golden Frames In The Closet / Putri Sarah Amelia / Indonesia

2. The Girls Are Alright / Gwai Lou / Malaysia

3. Diary of Cattle / David Darmadi, Lidia Afrilita / Indonesia, Swiss

4. Develop Viriyaporn Who Dared in 3 Worlds / Kanyarat Theerakrittayakorn / Thailand / Documentary (international premiere)


5. Only If Possible / Kiva Liu / China / Documentary (international premiere) 6. Five Minutes / Meelad Moaphi / Canada / Fiction (World Premiere) 7. Elephantbird / Amir Masoud Soheili / Afghanistan / Fiction

8. Glass Shards / Kyle Barrett / New Zealand / Documentary (Indonesian Premiere) 9. Udin’s Inferno / Yogi S. Calam / Indonesia / Fiction

10. Splish Splash / Andra Fembriarto / Indonesia / Animation

11. The Present / Farah Nabulsi / Palestine

12. Anomaly / Gwai Lou / Malaysia / Fiction

13. Anxietus Domicupus / Gugun Arief / Indonesia / Fiction

14. Before 7 Days / Ivan Padak Demon / Indonesia / Fiction

15. Black Hole Monster / Sim Seow Khee / Malaysia / Fiction

16. Dilemma Maya / Ridho Hisbi Sulaiman / Indonesia / Fiction

17. Diponegoro 1830 / Gata Mahardika / Indonesia / Fiction

18. Don’t be a Stranger / Ariya Sidharta / Indonesia / Fiction

19. End of The Tunnel / Garry Christian / Indonesia / Fiction

20. Fifty Fifty / Rizky Mochammad Rayadi / Indonesia / Documentary 21. Golek Garwo / Wahyu Utami / Indonesia / Documentary

22. Kodakan / Janine Coleen de Villa / Philippines /Fiction

23. Honeymoon Package / Netanya Yemima / Fiction

24. Into the Happiness / Imam Syafi'i / Fiction

25. Joni’s Poster / Adrian Pratama P. W / Indonesia / Fiction

26. Gap / Jun-Yuan Hong / Taiwan / Experimental

27. Please be Quiet / William Adiguna / Indonesia / Fiction

28. Sarikat / Ezra Cecio / Indonesia / Documentary

29. Special Course / Bagas Satrio / Indonesia / Fiction

30. The World of Mindfulness / YING Liang / Hongkong / Fiction

31. Stranger by Fiction / Roufy Nasution / Indonesia / Fiction

32. The Age of Remembrance / Sazkia Noor Anggraini / Indonesia / Documentary 33. Family Story / Rendro Aryo / Indonesia / Fiction

34. The Bookbinder / Brahmastra Bayang Sambadha / Indonesia / Fiction 35. The Last Will / Riandhani Yudha Pamungkas / Indonesia / Fiction

36. The Little Plant / Komeil Soheili / South Korea / Fiction

37. Two Fishes and A Dish / Bani Nasution / Indonesia / Fiction

38. Uphold the Trus / Findo Bramata Sandi / Indonesia / Documentary 39. Heil Raja! / Edelin Wangsa, Perdana Kartawiyudha / Indonesia / Documentary 40. Culas / Sabrina Rochele / Indonesia / Fiction


Special Program

5 film pendek Jakarta Film Fund 

o And that’s what Married is

o Ringroad

o Night in Chinatown

o Sebelum Malam Hari

o Suatu hari di Pemancingan


Thursday, November 4, 2021

ULASAN: LAST NIGHT IN SOHO



Salah satu film yang paing ditunggu-tunggu tahun ini Last Night in Soho akhirnya tayang juga. Nama Edgar Wright sang sutradara tentunya kenapa film ini sangat layak diantisipasi.  Sejak namanya melambung lewat "Cornetto Trilogy", semua film terbaru yang dia sutradarai akan otomatis masuk list film yang akan kita tonton. Semua itu karena dalam karya-karyanya Edgar Wright punya ciri khas dengan visi unik dalam bentuk visual dan plot cerita. Namun untuk Last Night in Soho Edgar Wright hadir dengan film terbaru yang cukup berbeda. Untuk pertama kalinya memasang wanita sebagai poros utama cerita dan genrenya pun juga sesuatu yang baru yaitu horor.

Last Night in Soho bercerita tentang Ellie Turner (Thomasin McKenzie), seorang mahasiswi perantauan di Kampus Mode London. Setelah tidak merasa cocok dengan teman satu kamar asramanya, Ellie memutuskan yang tinggal di sebuah kamar sewaan yang dimiliki oleh seorang wanita tua yang dipanggil Mrs. Collins (Diana Rigg) . Di kamar barunya itu Ellie mulai mengalami sesuatu yang tidak wajar. Di saat dia tertidur, dia bermimpi memasuki kota Soho tahun 1960-an dengan segala keglamorannya. Di sinilah, Ellie bertemu dengan gadis bernama Sandie (Anya Taylor Joy) yang bercita-cita menjadi penyanyi. Pengamatan Ellie pada Sandie pada saat dia tidur yang awalnya banyak memberi Ellie inspirasi untuk desain pakaian yang dia kerjakan perlahan berubah menjadi tekanan ketika Ellie makin terseret dalam dunia Sandie. Ambisi Sandie malah membawanya masuk ke dalam gelapnya dunia malam Soho dan melihat Sandie menjadi korban pembunuhan. Sesuatu yang terus meganggu Ellie. Dengan bermodal penglihatan yang dia lihat dalam mimpinya, Ellie berusaha untuk mencoba menangkap sang pembunuh berbeda generasi itu. Bisakah Ellie menangkap pembunuh tersebut? Jawaban yang bisa didapatkan dalam filmnya.

Edgar Wright sepertinya ingin mengeksplorasi lebih jauh lagi kemampuannya dalam menyutradarai sebuah film. Menyentuh hal-hal yang belum pernah ada di film-film dia sebelumnya. Tidak hanya dari sisi plot cerita, namun juga visualnya. Untuk Last Night in Soho visual adalah yang terlihat paling kontras atau menonjol. Terutama penggambaran tahun 60an di Soho yang penuh warna. Bisa dibilang untuk hal ini Edgar Wright berhasil memberikan sesuatu yang segar dalam karyanya.

Sementara untuk cerita, film ini cukup berhasil membangun secara pelan-pelan plot cerita yang menarik perhatian penuih penonton lewat karakter Ellie. Dari drama lalu berubah menjadi horor yang lagi-lagi ini benar-benar rasa yang baru dari Edgarr Wright. Ya walaupun untuk twist yang diselipkan, penonton sangat merasa mudah menebaknya, namun hal itu tidak mengurangi kepuasan kita menikmati filmnya. Mungkin untuk kamu yang menunggu adegan montase yang menjadi ciri khas sang sutradara, untuk kali ini kamu tidak akan menemukannya. Kemungkinan tidak adanya adegan montase itu karena memang terasa kurang pas untuk film sejenis Last Night in Soho. Jikapun ada persamaan Last Night in Soho sengan film-film Edgar Wright sebelumnya adalah media lagu yang ada dalam film. Seperti Baby Driver, komposisi lagu-lagu yang ada dalam film lebih dari sekadar soundtrack, namun juga sudah menjadi bagian elemen plot cerita.

Secara keseluruhan Last Night in Soho adalah sebuah eksplorasi dan improvisasi bagi Edgar Wright dalam berkarya. Dan hal itu cukup berhasil. Last Night in Soho juga disajikan sebagai tribut dan penghormatan untuk sang maestro horor Alfred Hitchcock. Dalam film ini kamu akan banyak menemukan adegan-adegan yang menjadi ciri khas sang sutradara tersebut.


Rating 8,5/10