Monday, April 25, 2022

ULASAN: KKN DI DESA PENARI



Dua tahun berselang dari mulai pandemi menyerang hingga sekarang mulai membaiknya situasi dan bioskop hampir bisa buka dengan normal lagi. Dan 2 tahun juga waktu dibutuhkan bagi MD Pictures memberanikan diri merilis film horror yang harusnya tayang Maret 2020 lalu. Tanpa perlu dikonfirmasi sekalipun rasanya kita semua tahu alasan kenapa diundur cukup lama untuk bisa memaksimalkan penonton yang menontonnya di bioskop. Dan prediksi hype yang katanya menurun tidak terbukti. makin dekatnya rilis film ini hype-nya kembali naik terlepas banyaknya nada negatif dari calon penonton. Tidak tanggung-tanggung MD Pictures bahkan merilis film ini dalam dua format secara bersamaan. Versi uncut (17+) dan versi non-uncut (13+). Untuk ulasan kali ini saya sendiri akan mengulas versi uncut-nya.



Seperti sebagian besar yang kita tahu, KKN Di Desa Penari merupakan adaptasi dari sebuah utas twitter yang viral tahun 2019 lalu. Bahkan yang yang belum baca sekalipun pasti pernah sedikit atau banyaknya mendapat gambaran besar isi cerita KKN Di Desa Penari yang menceritakan 5 mahasiswa yang akan melaksanakan KKN di sebuah desa. Lima mahasiswa itu  adalah Nur (Tissa Biani), Widya (Adinda Thomas), Ayu (Aghniny Haque), Bima (Achmad Megantara), Anton (Calvin Jeremy), dan Wahyu (Fajar Nugraha). Seperti tipikal plot-plot film horror kebanyakan  5 mahasiwa ini harus berurusan dengan sesuatu yang ghaib dan berada di luar logika. Berpacu dengan waktu 5 sekawan itu harus keluar dari desa tersebut secepatnya karena jika tidak nyawa mereka akan terancam. Kurang seperti itulah sinopsis singkat KKN Di Desa Penari.


Film yang disutradarai oleh Awi Suryadi yang sebelumnya sukses besar lewat universe horror Danur ini tidak berlama-lama atau memmbangun set-up horror. Sejak awal adegan kita sudah disuguhi momen horror. Sebuah pembuka yang cukup berhasil menarik perhatian kita sebagai penonton. Dengan visual yang sangat detail dan paling menonjol sampai akhir film yang dikomandoi oleh sinematografer senior Ipung Rachmat Syaiful kita akan diajak masuk ke dalam cerita. Tapi sayangnya visual yang menonjol dan pembuka adegan yang menjanjikan itu tidak diabrengi dengan plot cerita yang solid. Untuk saya sendiri yang kebetulan juga sudah membaca utas yang jadi  materi film ini, KKN Di Desa Penari lebih terasa rekontruksi visual dari pada sebuah adaptasi. Di satu sisi memang film ini masih sangat setia dengan materi utas ceritanya, namun di sisi lain plot cerita terasa monoton. Transisi adegan demi adegan terasa aneh yang lebih seperti menjadi potongan-potongan cerita misteri, alih-alih menjadi suatu kesatuan plot cerita.


Sementara itu set-up horror yang dibangun diapakai berulang-ulang yang membentuk pola yang bahkan penonton yang tidak membaca utasnya sekalipun akan bisa menebak pola itu. Awalnya berhasil, namun tidak sampai setengah durasi set-up repetitif mulai membuat bosan dan itu dilakukan sepanjang film yang durasinya 2 jam. Sangat royal penampakan yang berdampak pada karakter-karakter utama yang ada pada film ini. Tidak ada satupun karakter kuat yang membuat kita peduli dengan karakternya.


Secara keseluruhan KKN Di Desa Penari adalah sebuah film horror yang mempunyai visual menakjubkan. Dengan adegan pembuka yang menjanjikan film ini tidak bisa mempertahankan ritmenya yang membuat penonton bisa betah. Durasinya yang dua jam jadi terasa sangat lama. Jadi kalau ada yang bertanya lebih baik nonton versi uncut atau non-uncut? Saya akan menyarankan nonton versi durasinya lebih pendek. Hype yang besar itu tidak terbayar dengan tuntas setelah saya keluar dari studio.

Overall: 5/10



Friday, April 22, 2022

GREEN MOTHERS CLUB, PAKET LENGKAP DRAMA IBU-IBU PKK




Akhir bulan Maret lalu seperti rutinitas bulanan biasanya, saya akan membuat konten film-film atau series tv yang bisa dijadikan rekomendasi untuk teman-teman follower di media sosial Gila Film. Dan salah satu series yang saya masukan sebagai rekomendasi yang harus coba ditonton adalah 'Green Mothers Club' yang tayang di Netflix. Perlu saya garis bawahi saya termasuk salah satu yang tidak terlalu mengikuti drama-drama korea. Lalu kenapa saya memasukan sebagai salah satu rekomendasi harus ditonton? Well, saya memasukannya karena saya sendiri langsung tertarik menonton karena premis ceritanya menarik dan cukup sederhana. Sekarang series ini sudah berjalan 6 episode dari total 16 episode. Dan setelah menonton 6 episode, pilihan saya memasukan serial ini sebagai rekomendasi sudah sangat tepat. Lalu apa saja yang menjadi kelebihan series ini? Yuk mari kita coba bahas.



Green Mothers’ Club yang menjadi judul series ini sendiri adalah sebuah asosiasi orang tua sekolah dasar, yang harus diikuti dan tidak dapat dihindari oleh ibu-ibu di Korea Selatan. Asosiasi yang berfungsi berkumpulnya semua jenis ibu dengan bermacam status sosial dan latar belakang yang berbeda. Dan di sini kita akan berada pada sudut Lee Eun Pyo (Lee Yo Won) seorang ibu beranak dua yang baru pindah di lingkungan yang cukup mewah. Di rumah barunya Lee Eun Pyo harus beradaptasi tidak hanya dengan lingkungannya namun juga komunitas ibu-ibu yang harus diikuti dan mempertemukan Lee Eun Pyo dengan Byun Chun Hi (Chu Ja Hyun), seorang Ibu alpha di komunitasnya. Peretemuan keduanya yang awalnya tidak terlalu baik berubah menjadi pertemanan. Dan dari 6 episode yang berjalan kita akan melihat naik-surut  hubungan mereka berdua.


Permasalahan Lee Eun Pyo tidak sebatas beradaptasi dengan lingkungan dan komunitasnya namun juga masa lalunya. Di tempat barunya tanpa diduga Lee Eun Pyo dipertemukan orang dari masa lalunya yang sangat dia hindari yaitu Seo Jin Ha (Kim Kyu Ri) yang menikahi mantan pacarnya. Dan hari-hari pertemuan mereka bertiga pun tidak bisa dihindari. Bisakah Lee Eun Pyo berdamai dengan masa lalunya atau justru tetap menghindari di saat masa lalu itu terus mendekat? Kurang lebih seperti itulah sinopsis yang ada dalam Green Mothers Club.


Oke, sekarang kita akan membahas kenapa series ini menarik, setidaknya sampai 6 episode yang sudah dionton sejauh ini. Seperti yang sudah disebutkan di atas Green Mothers Club mempunyai plot cerita yang cukup sederhana. Namun kesederhanaan itu akan cukup relevan dengan keadaan sekitar kita. Dalam series ini kita akan disajikan bermacam-macam ibu dengan bermacam-macam pola pengasuhan pula. Kita akan melihat perubahan atau respon Lee Eun Pyo dalam mengasuh anaknya yang awalnya biasa saja menjadi ikut tertekan. Layaknya perkumpulan komunitas, bumbu komedi dan drama paling ringan akan berkutat dengan perkumpulan ibu-ibu tersebut. Untuk drama beratnya kita akan dibawa mengenali karakter-karakternya lebih jauh lagi. Masing-masing karakter utama dalam film yang juga mempunyai latar belakang berbeda pula. Masing-masing mempunyai motif tersendiri dalam komunitasnya yang terkadang harus saling sikut. Bahkan lebih jauh series ini juga bagaimana seorang ibu sangat rentan trauma dan depresi yang lagi-lagi membuatnya cukup relevan dengan banyak penonton.


Kental dengan elemen slice of life-nya, dari total 6 episode yang sudah berjalan saya masih sangat menikmati series ini. Itu bisa termasuk kejutan buat saya sendiri yang jarang nonton drama korea. Masih banyak yang belum dimunculkan dalam series ini yang membuat saya cukup penasaran akan di bawa kemana plot cerita setelah ada kejutan di episode 5 dan 6.


Sama halnya dengan tema seriesnya mengenai seorang ibu, series ini cukup ramah jika ditonton dengan keluarga yang bisa ditonton di Netflix. Karena Netflix adalah layana streaming, menontonnya dengan WiFi cepat adalah sebuah kebutuhan wajib agar kenikmatan menonton tidak terganggu. Dan kebetulan Telkom Group dengan IndiHome memenuhi kapasitas itu. Sebuah internet keluarga yang melancarkan acara nonton puas tanpa batas kamu semua.

Thursday, April 21, 2022

ULASAN: THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT





Nicolas Cage punya resume film yang cukup panjang, penampilannya yang fenomenal dan paling diingat ada di film Con Air (1997), The Rock (1996), Face/Off (1997), City of Angels (1998), Lord of War (2005), The Wicker Man (2006) dan Knowing (2009). Film-filmnya beragam mulai dari action, quirky comedy, sampai award winning movies. Kondisi finansialnya yang sempat terlilit hutang membuatnya terlibat dalam film-film multigenre dan terkadang absurd, ada yang flop tapi ada juga beberapa yang bagus. Nah Apa jadinya jika ada film yang mengisahkan dirinya sendiri? The Unbearable Weight of Massive Talent adalah jawabannya. Film ini bukan biopik tapi lebih bergenre komedi surreal yang menempatkan aktor Nic Cage sebagai tokoh utama dengan plot komedi yang kental, representasi karakter fiksi (dan sebagian riil) dari Nic Cage, serta mengambil beberapa referensi dari film-filmnya. Disutradarai oleh Tom Gormican dan skenario yang ditulis bersama dengan Kevin Etten. Film ini dibintangi oleh Nicolas Cage (sebagai versi fiksi dirinya), bersama dengan pemeran pendukung yang meliputi Pedro Pascal, Sharon Horgan, Ike Barinholtz, Alessandra Mastronardi, Jacob Scipio, Neil Patrick Harris, dan Tiffany Haddish.



Alkisah Aktor Nicolas Cage diberitawaran 1 juta USD untuk menghadiri ulang tahun penggemar super miliarder Javi Gutierrez (Pedro Pascal) seperti diinfokan agennya Fink (Neil Patrick Harris) namun ia enggan untuk menerima pada awalnya. Karena keadaan dirinya yang sedang tidak dalam kondisi baik di tengah perceraian dengan istrinya Olivia (Sharon Horgan), pamor bintangnya meredup,dan hubungan dengan putrinya Addy (Lily Mo Sheen) juga memburuk maka akhirnya tawaran tersebut diterima juga. Ketika keadaan berubah menjadi sangat kacau, Cage yang terjebak dalam konflik karena membantu penyamaran CIA dipaksa untuk menjadi versi dari beberapa karakter paling ikonik dan dicintainya untuk melepaskan istri dan putrinya dari Javi yang menurut info CIA adalah seorang pedagang senjata dan diduga terlibat penculikan putri presiden Meksiko.



Sepanjang durasi 107menit, film ini sangat asyik dan tidak membosankan untuk diikuti. Ceritanya ringan dan sangat menghibur. Di bagian awal film inimemberikan kita pengenalan kepada karakter Nick Cage yang dalam universe ini adalah representasi fiksi dirinya yang diceritakan adalah legenda film di Hollywood yang karirnya sedang meredup serta memiliki permasalahan keluarga yang cukup pelik. Lalu bagian kedua penonton dibawa untuk mengenalkan rakter Javi di mana interaksi Javi dan Nick Cage menjadikan cerita semakin menarik. KarakterJavi akan  membuat penonton menduga-duga motif yang sebenarnya. Layer cerita dibuat semakin menarik dengan kemunculan dua agen CIA Vivian(Tiffany Haddish) dan Martin (Ike Barinholtz) yang mengajak Nick menguak identitas Javi. Di Bagian akhir ditutup dengan sedikit kejutan namun petunjuknya sebetulnya sudah diberikan di pertengahan cerita. Jalinan cerita yang menarik, porsi komedi yang pas, dan cerita yang tidak mudah tertebak merupakan faktor kunci kesuksesan film ini. Hal paling unik dan lucu dalam film ini ialah bagaimana persona Nicholas Cage dijadikan bahan lawakan lewat referensi peran dan film-film yang pernah ia bintangi di sepanjang film. Sebuah tribute yang tentunya memberiefek nostalgia bagi penonton khususnya yang sudah mengikuti film-filmnya dari tahun 90-an.



Cage dan Pascal memiliki chemistry yang absurd dan klop ketika bersama. Mereka sangat menyenangkan dan saling mengagumi satusama lain. Hal ini menular. Pada hakikatnya film ini adalah buddy action comedy yang dengan gembira memahami keinginan penonton. Cage tahu penonton suka dirinya ketika beraksi dalam film aksi maka diberikanlah porsi aksi yang cukup absurd sepanjang film mulai dari car chase, aksi mata-mata sampai tembak-menembak. Ini adalah penghargaan seorang aktor yang menaruh kepercayaannya pada penonton sebanyak mereka percaya padanya.



The Unbearable Weight of Massive Talentmerupakan film cerdas dan inovatif, film ini seakan menegaskan bahwa Nick Cage punya potensi yang jika dikembangkan dalam film yang tepat akan menjadi luar biasa efeknya. Semoga ke depannya Nick Cage bisa lebih selektif terlibat dalam film dan menghasilkan lebih banyak film-film berkualitas seperti ini



Overall : 8/10

(By Camy Surjadi)  

Tuesday, April 12, 2022

ULASAN: FANTASTIC BEASTS 'THE SECRETS OF DUMBLEDORE



Sempat tertunda masa produksinya karena pandemi dan juga mengakibatkan mundurnya jadwal tayang, akhirnya Fantastic Beasts: The Secret of Dumbledore rilis dan bisa ditonton khalayak ramai. Sebagian besar cast di film kedua kembali hadir seperti Eddie Redmayne, Jude Law, Dan Fogler dan Ezra Miller. Perubahan drastis ada pergantian aktor pemeran Gridelwald dari Johnny Depp ke Mads Mikkelsen. Sutrdara masih oleh David Yates dengan penulis naskah yang dikomandoi oleh J.K Rowling sendiri bersma Steve Kloves.

Melanjutkan apa yang ada pada akhir film kedua di mana Grindewald (Mads Mikkelsen) yang menjadi buron mempunyai pengaruh kuat dibagian kepemimpinan dunia sihir. Atas bantuan orang paling berkuasa di pemerintahan sihir, Grindelwald bahkan dibebaskan dari segala tuduhan kejahatan yang pernah dia lakukan. Tidak hanya itu, setelah bersih dari tuduhan Grindelwald bahkan mencalonkan diri sebagai pemimpin dunia sihir yang bersaing dengan dua kandidat lainnya. Tahu kesempatan menangnya sangat kecil, Grindelwald melakukan sebuah usaha sabotase melalui seekor hewan sihir yang sangat langka dinamakan Qilin yang mempunyai kemampuan membaca bersih atau kotornya hati seseorang. Rencana Grindelwald yang harus membuatnya berkonfrontasi dengan Newt Scamander (Eddie Redmayne) yang untuk pertama kalinya bersama Dumbledore (Jude Law) membentuk tim kecil untuk bisa menggagalkan rencana Grindelwald tersebut.

Sama halnya dengan film kedua , plot cerita bagian ketiga Fantastic Beasts ini makin menegaskan fokus cerita bukan pada Newt Scamander lagi, tapi mengarah kepada perang dunia sihir dengan Grindelwald dan Dumbledore sebagai poros utamanya. Memang Newt masih mempunyai peran penting, hanya saja kehadirannya jika bersama karakter-karakter lain seakan terlihat sebagai karakter pembantu,alih-alih karakter utama itu sendiri. Karakter Newt seakan tertahan atau tidak berkembang jika berada dengan karakter-karakter penting lain. Tidak banyak pengembangan karakter yangg berarti dari Newt sejak film pertama. Momen terbaik Newt di film ketiga ada pada saat dia mencoba menyalamatkan kakaknya Theseus (Callum Turner) darpenjara. Momen ikonik yang komikal sekaligus menegangkan dan penonton bisa membaca kuatnya hubungan adik-kakak ini di sini.

Poros cerita yang beralih kepada hubungan Grindelwald dan Dumbledore  memang mampu diaplikasikan dengan sangat kuat secara karakter yang diperankan oleh Mads Mikkelsen dan Jude Law. Namun sayangnya tidak didukung oleh naskah yang sama kuatnya juga. Di film  ketiga ini kita bisa melihat sangat jelas bagaimana mulai keteterannya J.K Rowling dan Steve Kloves dalam mengembangkan plot cerita. Kita bisa merasakan mulai bertele-tele dan plot cerita seakan diadakan untuk bisa memenuhi kuota 5 film. Lihat saja klimaksnya yang kebingungan ingin menutupnya seperti apa. Mungkin bisa dikatakan klimaks terburuk dari semua klimaks semua franchise Harry Potter. Satu-satunya kenapa kita masih masih bertahan dengan franchise ini dam masih menunggu film selanjutnya adalah visual dari Wizarding World itu sendiri. Daya magis visualnya masih mapu menyihir kita. Untuk franchise Fantastice Beasts sendiri tentunya kita masih ingin melihat makhluk-makhluk beasts lainnya yang belum dimunculkan.

Secara keseluruhan, The Secrtes of Dumbledore tidak jauh lebih baik dibandingkan The Crimes of Grindelwald. Namun setidaknya The Crimes of Grindelwald masih bisa memeberikan klimaks yang seru yang tidak ada pada seri terbaru ini. Banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk film selanjutnya, terutama dalam hal naskah. 


Overall: 5/10





Tuesday, April 5, 2022

ULASAN: SONIC THE HEDGEHOG 2



Sonic the Hedgehog bisa dijadikan contoh oleh studio-studio lain bagaimana mengadaptasi video game menjadi film yang benar. Rahasianya adalah mendengarkan suara fans. Sukses dengan film pertama dengan rombak besar-besaran dari sisi sepsial efek yang berbuah hasil manis, Sonic the Hedgehog melanjutkan petualangannya di film kedua. Rasa was-was tentu saja ada. Tidak banyak film adaptasi game bisa berlanjut ke film kedua karena seringnya gagal di film pertama. Dengan modal sukses film pertama dan masih banyaknya karakter dari universe Sonic belum muncul, sequel ini hadir dengan rasa percaya diri yang cukup tinggi.

Melanjutkan apa yang sudah terjadi pada film pertama, Sonic (Ben Scwartz) yang hidup tanpa gangguan Robotnik (Jim Carrey) mengisi hari-harinya dengan damai sambil mencoba menjadi pahlawan di malam hari. Namun aksi heroiknya sering mendatangkan kerugian dari pada manfaatnya. Disaat yang bersamaan dengan cara tak terduga Robotnik mampu kembali ke bumi setelah terasing dari planet jamur. Robotnik bisa kembali ke bumi atas bantuan Knuckles (Idris Elba) yang kebetulan juga mencari keberadaan Sonic dan ingin melampiaskan dendam lamanya. Sonic yang tidak mengetahui bahaya yang akan datang padanya diperingatkan oleh Tails (Colleen O'Shaughnessey) yang datang jauh-jauh dari luar planet. Dengan bantuan Tails, sekarang Sonic tidak hanya kembali harus menghadapi Robotnik, namun juga Knuckles yang mempunyai kekuatan lebih besar dari Sonic.

Layaknya sebuah sequel film aksi tentunya para kreator film ini harus bisa memberikan sesuatu yang lebih besar dari pada film pertama namun juga tidak mengorbankan dari sisi cerita. Dan untungnya sutradara Jeff Fowler cukup berhati-hati dalam hal ini yang seakan tidak mau hanya dianggap aji mumpung dengan kesuksesan film pertama. Jeff Fowler bisa membagi porsi drama, aksi dan pengembangan karakter-karakter penting dalam film ini dengan pas. Mulai dari Sonic, Knuckles, Tails sampai Robotnik dapat mengisi porsi dengan kekuatannya masing-masing. Hadirnya Knuckes dalam sequel ini lebih dari sekadar villain. Kehadirannya yang diisi suara oleh Idris Elba cukup menarik perhatian tanpa melepaskan fokus kita pada Sonic yang pusat cerita. Plot cerita yang sederhana dapat dimaksimalkan dengan baik oleh Jeff Fowler.

Ketika penonton sudah masuk dan menikmati ceritanya siap-siap disuguhi aksi dan spesial efek yang jauh lebih besar dibandingkan film pertama. Teruta dan visual 3 landak utama kita, Sonic, Knuckles dan Tails. Visual fisik mereka terasa makin halus. Perhatikan saja bulu-bulu yang makin terasa nyata lalu dipadukan dengan adegan aksi yang cukup massive. Penonton akan terasa puas dengan klimaks aksi 30 menit terakhir. Yang kamu lihat di trailer belum ada apa-apanya dengan yang disajikan di klimaksnya. Jim Carrey layak mendapat kredit lebih  karena bisa meramaikan karakter manusianya di tengah-tengah CGI.

Secara keseluruhan, film kedua ini menjawab rasa was-was kita sebagai penonton, yang tidak hanya mampu memuaskan fans, namun juga dapat membawa penonton yang baru mengenali universe Sonic. Dan selalin itu Sonic the Hedgehog pertama dan kedua ini bisa dibilang mematahkan mitos jika film yang diadaptasi dari game akan selalu berakhr dengan kegagalan. Tidak seperti Resident Evil yang memang mendulang keuntungan dari pemasukan namun gagal mendapat respon poisitif dari penikmat film, dua film Sonic mampu meraih keduanya.


Overall: 7,5/10



Friday, April 1, 2022

ULASAN: MORBIUS



Setelah memasuki era Spider-Man Homecoming sepertinya Sony makin percaya diri memperluas universe Spider-Man. Itu terbukti dengan suksesnya spin-off Venom dan sequelnya terlepas dari kurang memuaskan respon kritkus dan juga fans akan ceritanya yang lemah. Sekarang hadir Morbius, film spin-off dari villain Spider-Man lainnya yang sempat berkali-kali diundur dan bahkan sampai syuting ulang beberapa kali. Dibintangi Jared Leto, Matt Smith, Adria Arjona, Jared Harris dan Tyrese Gibson. Sementa ada nama Daniel Espinosa (Safe House, Life) di kursi sutradara.



Seperti yang terlihat di trailer, Morbius menceritakan Dr. Michael Morbius  (Jared Leto) yang berubah menjadi vampir setelah eksperimennya untuk bisa menyembuhkan penyakit genetika yang dia derita tidak berbuah hasil yang diharapkan. Efek samping dari eksperimen yang dilakukan itu memang membuat Morbius menjadi sehat dan juga mendapatkan kekuatan-kekuatan yang tidak terbayangkan, namun itu hanya bersifat sementara. Untuk bisa bertahan hidup Morbius harus mengkosumsi darah manusia yang membuat jatuhnya korban jiwa. Kejadian yang membuat Morbius menjadi buron dan dikejar-kejar oleh pihak berwajib. Di saat yang bersamaan, Milo (Matt Smith) sahabat Morbius mengambil kesempatan menyuntik serum yang sama dengan Morbius. Dan persimpangan dua sahabat ini untuk menyikapi serum sangat berbeda dan membuat mereka yang tadinya sahabat, lalu menjadi musuh yang saling membunuh. Kurang lebih seperti itu rangkuman plot cerita Morbius.


Tidak banyak basa-basi, film yang berdurasi 104 menit ini mempunyai alur yang cukup cepat. Perpindahan dari adegan pembuka saat Morbius menemukan sarang kelelawar vampir, lalu adegan flashback masa kecil Morbius sampai akhirnya yang menjadi konflik utama berlangsung sangat cepat. Tetapi jangan khawatir, bahkan ketika kamu tinggal buang air kecil sekalipun kamu tidak akan melewatkan apa-apa. Karena dari adegan manapun kamu menontonnya kamu akan bisa menangkap isi keseluruhan cerita. Kamu tidak perlu takut tidak mendapatkan emosi film ini, karena menontonnya secara keseluruhannya pun kamu tidak mendapatkan emosi apa-apa dari film ini. Masalah utama dalam film Morbius memang terletak pada naskahnya yang tidak punya kedalaman cerita. Naskahnya divisualkan bagaimana filmnya bisa cepat selesai.


Seburuk itu kah Morbius? Jika ditanya dari sisi plot cerita jawabannya iya. Tapi dari sisi lain seperti penampilan pemain Jared Leto cukup mampu menghidupkan karakternya, tetapi lagi-lagi semua itu tidak didukung naskah yang solid yang membuat penampilan yang cukup bagus itu serta spesial efek yang cukup mumpuni jadi terasa hambar. Jika Jared Leto mampu menghidupkan karakternya tetapi tidak dengan yang lainnya. Banyak karakter yang ada sekadarnya atau tempelan belaka. Sangat disayangkan talenta seorang Jared Harris terasa tersia-siakan di film ini. Belum lagi fungsi karakter-karakter agen FBI yang cukup penting dalam plot cerita namun ditelantarkan ketika menuju klimaks akhir dan tidak diberikan konklusi sama sekali.


Jika kamu berpendapat DCEU milik Warner tertatih-tatih menyusun timeline yang lebih ke berantakan, maka kesan yang jauh lebih buruk akan kamu dapatkan pada Sony lewat Spider-Man Universenya. Bahkan after credit scenenya yang dimaksudkan ingin memancing antusias penonton untuk film selanjutnya jadi terasa aneh dan justru menjadi plot hole. Kenapa menjadi plot hole? Harus kamu tonton sendiri terlebih dahulu. Secara keseluruhan materi dari universe villain-villain Spider-Man memang punya potensi yang kuat. Namun sejauh ini sama halnya seperti 2 film Venom, Morbius hadir hanya untuk diadakan, tidak ada hati dalam cerita yang bisa dipersembahkan kepada penonton.