Thursday, November 23, 2023

REVIEW: THANKSGIVING




Di dunia industri kreatif ide original adalah sesuatu yang mahal, termasuk dalam industri film. Pada saat industri film yang sangat sudah jauh berkembang dan bahkan berubah, ide original pada sebuah film sudah semakin sulit ditemukan karena hampir semua blueprint genre semua film sudah pernah diaplikasikan. Namun memodifikasi sebuah ide yang sudah ada juga merupakan prosese kreatif. Hal itulah yang dilakukan oleh Eli Roth (Hostel, Cabin Fever) lewat film Thanksgiving, sebuah film horror slasher dengan konsep yang tidak baru lagi, tetapi Eli Roth masih mampu menyajikannya dengan gaya berbeda. 

Cerita dibuka pada hari Thanksgiving, bermula dari Jessica dengan privilegenya sebagai putri pemilik supermaket terbesar dikotanya membawa teman-temannya lewat jalur khusus ke dalam supermarket di tengah-tengah masa para warga Plymouth yang menunggu supermaket dibuka untuk bisa berbelanja diskon besar-besaran dalam rangka Black Friday. Dipicu oleh teman-teman Jessica sendiri yang memprovokasi orang-orang yang menunggu di luar, akhirnya blokade antrian menjadi pecah dan rusuh yang membuat malam black friday itu menjadi peristiwa tragis hingga memakan korban. Setahun setelah kejadian tersebut tiba-tiba orang yang penyebab dan pemicu terjadinya kerusuhan pada tragedi black friday dibunuh satu-persatu oleh seorang pembunuh bertopeng  John Carver. Dan dkejar waktu, Jessica dan teman-temannya harus bsa menyelamatkan diri sekaligus mencoba mencari tahu siapa orang dibalik topeng John Carver tersebut.


Tidak seperti film-film thriller-slasher lainnya yang biasanya dibukan dengan adegan pembunuhan, Thanksgiving membawanya dengan cara yang berbeda. Dengan sebuah bridging acara keluarga yang damai lalu perlahan berubah menjadi chaos di sebuah supermaket yang menjadi pemicu konlik utama film ini. Namun uniknya pada adegan chaos di supermaket yang berkahir tragis itu, Eli Roth sedikit menyisipkan humor pada momen tersebut. Ketika kita dibikin meringis melihat adegan demi adegan kematian, namun juga diselingi oleh tawa. Sebuah satir yang sangat kuat dan dan butuh kepakaan menangkap momen humor pada sequence rusuh di supermaket tersebut.


Saat adegan meloncat satu tahun kemudian setelah kejadian di supermaket, film mengarah pada hakikatnya film thriller-slasher yang cukup generik, terutama sangat mengingatkan dengan franchise Scream. Adegan pembunuhan demi pembunuhan terjadi sekaligus membawa penonton menebak siapa dan apa motif pembunuh. Dan untungnya Eli Roth sangat jeli memainkan ranah ini. Menipu penonton dengan asumsi dan prasangka yang membawa efek kejutan pada akhirnya ketika sang pembunuh terungkap.


Secara garis besar Thanksgiving adalah film thriller-slasher yang generik, namun kemampuan Eli Roth mengolah jalan cerita generik dengan menyisipkan humor dalam adegan-adegan kekerasannya menjadi daya lebih tersendiri. Tidak luar biasa, namun masih tampil sebagai film yang memikat.



Overall: 7,5/10 

Wednesday, November 22, 2023

REVIEW: IMMERSION



Takashi Shimizu adalah salah satu sutradara Jepang paling sukses, terkenal karena film horornya. Dia terkenal karena film horor "Ju-On" yang adalah hit blockbuster pada tahun 2002 dan menjadi nomor satu di AS dan dilanjutkan dengan beberapa sekuel. Bahkan dibuat ulang di Hollywood pada tahun 2004 dan dibintangi oleh Sarah Michelle Gellar. Film terakhirnya, “Suicide Forest Village”, ditayangkan pada tahun 2021. Kini ia hadir dengan film seram baru, “Immersion” yang menggabungkan antara teknologi dan folklore horor. Perpaduan teknologi dan horor bukan barang baru di kalangan sineas horor Jepang, Ring dan One Last Call merupakan contoh di mana teknologi video dan telepon seluler dipakai sebagai media menyebarkan teror oleh entitas supernatural. Di Film Immersion, Takeshi juga menggunakan teknologi VR sebagai medium horor yang akan menguji keberanian para penonton.


Di pulau kecil di selatan, terdapat laboratorium yang dijalankan oleh perusahaan startup teknologi untuk sebuah proyek bernama Shin-Sekai (yaitu Dunia Baru), tempat Tomohiko Kataoka, seorang programmer jenius ikut bergabung. Tomohiko bekerja pada pengembangan penelitian yang mengkolaborasikan kemajuan teknologi realitas virtual dan neurosience serta dengan tujuan dunia realitas neo-virtual yang mewujudkan kehidupan yang serupa dengan dunia nyata. Tomohiko mulai mengejar penelitian yang telah dikerjakan oleh programmer lain, Ide (Ayumi Ito), bersama anggota proyeknya yang lain. Di sana mereka telah menciptakan ruang virtual untuk seluruh pulau, dan mereka ingin Tomohiko menggunakan teknik canggihnya untuk menyempurnakan proyek tersebut. Namun, saat Tomohiko memakai kacamata VR dan memasuki dunia virtual, teror mengerikan dari Wanita misterius berbaju merah pun dimulai dan mengancam keselamatan seluruh tim VR.


Menyaksikan film ini membuat saya berpikir mengenai keanehan soal Perusahaan teknologi VR yang beroperasi di pulau terpencil, dari mana mereka bisa mendapatkan akses internet dengan kecepatan super tinggi dan daya listrik yang besar. Ini terlihat seperti sebuah anomali dalam film ini yang menimbulkan tanda tanya besar. Rahasia mengerikan yang disimpan pulau tersebut dijelaskan di paruh kedua film melalui dua untaian cerita. Pertama tentang mantan budak perempuan, Imajo, yang dikisahkan lewat flashback disiksa hingga mati oleh penduduk pulau, Imajo-lah yang mengutuk pulau itu. Kisah lainnya menyangkut seorang lelaki tua, Shigei. Dikisahkan karena masa lalu orang tuanya yang kelam, Orang-orang di pulau itu mengucilkan Shigei dan dia tumbuh menjadi seorang penyendiri, jauh dari orang-orang yang mengolok-oloknya. Kedua kisah ini kurang terjalin rapi sehingga masih membuat kita bingung apa hubungannya dengan kegiatan yang dilakukan oleh Tomohiko dan timnya. Imajo yang tampil sebagai glitch dan special effect di film ini masih terasa kasar di banyak adegan. Kekurangan lainnya adalah kurangnya pendalaman karakter baik karakter utama Tomohiko maupun rekan-rekannya sehingga mereka hanya sekedar lewat saja. Horornya cukup serius namun penggarapannya harusnya bisa lebih baik dari ini.


Immersion di atas kertas sebetulnya dapat menjadi kisah menarik yang memadukan ketegangan mengasyikkan antara teknologi modern dan bagaimana benturannya dengan cerita hantu kuno di suatu desa terpencil. Banyak plot hole dan background yang tidak self-explanatory membuat jalur ceritanya agak sulit untuk diikuti. Menurut saya Shimizu seharusnya tetap berfokus pada horor tradisional dan tidak bereksperimen dengan hal lain yang di luar spesialisasinya.








Monday, November 20, 2023

REVIEW: THE HUNGER GAMES 'THE BALLAD OF SONGBIRDS AND SNAKES'




The Hunger Games adalah salah satu franchise film adaptasi dari Novel Young Adult (YA tersukses milik Liongates dengan total perolehan box office lebih dari 2.97 M USD dan berada diurutan ke-21 film terlaris sepanjang masa. Film ini dirilis pada tahun 2012 dan turut mempengaruhi trend adaptasi novel YA menjadi film di kala itu (Divergence, The Maze Runners, dsb). Ceritanya yang bergenre sci-fi dystopian future terbukti menarik minat banyak penonton dan termasuk salah satu film yang mampu mengadaptasi novelnya dengan detil yang sangat baik dan tidak terlalu menyimpang jauh dari cerita di novelnya. Penampilan Jennifer Lawrence turut membantu kesuksesan film ini di samping pemilihan para cast yang sangat pas dan mumpuni untuk tiap peran penting di ceritanya. Pada April 2020, adaptasi film diumumkan secara resmi sedang dalam pengembangan. Francis Lawrence didapuk kembali sebagai sutradara. Hal ini tentu mengundang kegembiraan para penonton yang penasaran seperti apa cerita prekuelnya. Film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes didasarkan pada novel tahun 2020 The Ballad of Songbirds and Snakes karya Suzanne Collins, yang merupakan prekuel The Hunger Games (2012). Film ini dibintangi oleh Tom Blyth, Rachel Zegler, Peter Dinklage, Hunter Schafer, Josh Andrés Rivera, dan Viola Davis. Berlatar waktu jauh sebelum peristiwa film pertama, alur ceritanya mengikuti peristiwa demi peristiwa yang akhirnya membawa Coriolanus Snow muda ke jalur untuk menjadi pemimpin tirani Panem.

64 tahun sebelum Katniss Everdeen mengajukan diri sebagai tribute, dan beberapa dekade sebelum Coriolanus Snow menjadi Presiden Panem yang kejam. THE HUNGER GAMES: THE BALLAD OF SONGBIRDS & SNAKES mengikuti Coriolanus muda (Tom Blyth) yang merupakan harapan terakhir atas peristiwa nahas yang menimpa keluarganya, keluarga Snow yang dulunya terhormat dan kaya namun telah jatuh dari kejayaan di Capitol pasca perang. Karena terdesak demi hadiah uang, Snow menerima ditugaskan untuk menjadi mentor Lucy Gray Baird (Rachel Zegler) dalam kontes Hunger Games ke-10, seorang peserta dari Distrik 12 yang miskin. Namun setelah pesona Lucy Gray memikat penonton Panem, Snow melihat peluang untuk mengubah nasib. Dengan semua yang telah ia usahakan masih belum satupun memberikan kepastian, Snow bersatu dengan Lucy Gray untuk membalikkan keadaan demi perubahan yang lebih baik mereka. Melawan nalurinya antara kebaikan dan kejahatan, Snow berpacu dengan waktu untuk bertahan hidup dan mengungkapkan apakah pada akhirnya dirinya akan menjadi burung penyanyi (songbird) atau ular (snake).

Selain kritik sosial yang kental seperti pada trilogi Hunger Games, Songbird dan Snake menekankan pada dampak dari pilihan-pilihan yang jahat: baik yang dibuat oleh dunia di sekitar kita maupun pilihan-pilihan yang egois dan buruk yang kita buat sendiri. Songbird and snake membuat kita menyaksikan Snow meraih posisi tiran dengan menceritakan kehidupannya secara lengkap mulai dari bawah. Keluarga Snow dieksplor secara mendalam di bagian awal film ini. Kompetisi Hunger Games yang jadi tema cerita di trilogi film utamanya hanyalah satu bagian dari narasinya pada film prekuel ini yang berdurasi 158 menit. Jika pertumpahan darah dalam kompetisi hunger games lebih difokuskan di film-film sebelumnya, maka pada Songbird and Snakes kita diperlihatkan tidak hanya pertarungan yang cenderung lebih dekat dan brutal namun juga politik yang terjadi di belakang layar, di mana Snow bekerja dengan dan melawan musuh demi keuntungan Lucy Gray. Kelebihan lain adalah plotnya beralih ke apa yang terjadi di luar arena, saat Snow dan Lucy mencari tahu apakah mereka bisa menjalin hubungan serta apakah mereka bisa saling percaya. Di luar pertarungan hidup mati ala Battle Royale, hubungan Snow dan Lucy penting untuk disimak, Zegler berhasil memerankan jenis pahlawan wanita yang berbeda dari Katniss-nya Jennifer Lawrence, ditambah lagi dia bisa bernyanyi dengan band Appalachian folk/country dan memberikan sentuhan musikal yang unik dan tidak berlebihan ke dalam film ini. Francis Lawrence telah mengumpulkan cast yang mengesankan. Cukup menyenangkan melihat peran Viola Davis sebagai Volumnia Gaul, kepala pembuat game/ilmuwan gila yang tampil cukup eksentrik. Peter Dinklage berperan sebagai Casca Highbottom, pencipta Hunger Games, yang tampil memukau seperti biasa namun screen timenya tidak terlalu banyak. Chemistry Blyth dan Davis adalah faktor penting yang berhasil membuat penonton akan engage dengan mereka sepanjang film.


The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes sangat satisfying sebagai prekuel dan menambah kedalaman cerita dari trilogi Hunger Games yang sudah ada. Di tangan sutradara dan cerita yang tepat prekuel dapat memberikan penonton sisi lain yang belum mereka dapatkan dari timeline cerita utama. Prekuel adalah kesempatan untuk menggali suatu karakter penting atau suatu momen penting supaya gambaran menyeluruh cerita dapat diambil. Dengan berfokus pada Coriolanus Snow, penonton akan memahami apa yang sebetulnya menyebabkan dirinya menjadi penguasa tiran di Panem. Keunikan prekuel adalah kita sudah mengetahui nasib atau peristiwa individu penting di film timeline utamanya. Jika fokus kita di trilogi Hunger Games adalah Katniss, maka di prekuelnya kita akan melihat dari POV Snow sebagai protagonis dan evolusinya hingga ia menjadi karakter antagonis yang kita kenal. Walau penampilan Katniss dirindukan di film ini namun menyaksikan motivasi dan sepak terjang Snow muda dijamin tidak akan kalah seru.


Overall: 8,5/10


(By Camy Surjadi)

JAKARTA WORLD CINEMA WEEK 2023 DITUTUP DENGAN SUKSES



Jakarta World Cinema Week, 18 Nov 2023 resmi ditutup. Festival Film Tahunan yang digelar oleh Klik Film itu sudah menayangkan 91 Film pada penyelenggaraannya yang kedua. Menariknya, Film Rumah Masa Depan,yang disutradarai oleh Danial Rifki,jadi Surprising Film di event ini. Film ini baru akan tayang di bioskop pada 7 Desember mendatang.  

Film terfavorit pilihan penonton tahun ini adalah “Inshaallah a Boy” film yang berasal dari Jordania. Sementara Closing Film dari JWCW adalah Shayda,film asal Australia yang mewakili negeri Kangguru ke perhelatan Oscar mendatang. Usai penayangan Shayda,Norra Niasari ( Sutradara) Shayda,mengaku bangga dapat hadir di JWCW tahun ini. Noora yang hadir Bersama  Keiran Watson-Bonnice selaku produser ikut menutup JWCW tahun ini. “ Saya sangat bangga dapat menjadi bagian JWCW tahun ini,kata Noora didampingi Keiran”,katanya seraya berharap semoga filmnya yang mendatang Kembali dapat menjadi bagian pada JWCW tahun depan. Berkali, Noora bertanya pada penonton yang hadir “Do you Like My Film?”, usai Penayangan Shayda.  Dia juga membubuhkan tandatangan pada dinding yang disediakan bagi penonton untuk menuliskan kesannya di festival itu. 

Shandy Gasella selaku Festival Director JWCW,menyampaikan terimakasihnya kepada para penonton dan semua pihak yang mendukung JWCW tahun ini hingga dapat terlaksana dengan baik,” Terimakasih untuk semuanya yang telah mendukung. Sampai jumpa di JWCW tahun depan!,” katanya didampingi dari Daniel Irawan ( Pimpinan Program JWCW 2023).

JWCW tahun ini memang terlihat lebih baik dalam pelaksanaannya film yang hadirpun semakin beragam dan animo para penontonnyapun lebih besar,” ada seorang penonton asal Makassar,sengaja memborong tiket JWCW tahun ini, datang ke Jakarta dan marathon menonton Film setiap harinya sepanjang event”,kata salah seorang panitia seraya menunjukkan tandatangan penonton tersebut.

KLIK FILM MENDATANGKAN SUTRADARA ZERO FUCKS GIVEN






Klik Film dan Festival Film World Cinema Week menghadirkan sutradara film Prancis berjudul Zero Fucks Given, Julie Lecoustre dan Emmanuel Marre. Film ini berkisah tentang kegelisahan generasi muda eropa di era globalisasi dan sosial media. Berpusat pada karakter seorang pramugari muda, film ini menggambarkan pekerjaan pramugari secara akurat baik saat melayani penumpang maupun di balik tirai kabin.


Sutradara Prancis Emmanuel Marre & Julie Lecoustre mengungkapkan, memilih judul yang konteoversi agar mempu menarik kalangan muda." Judul Zero Fucks Given yang provokatif sengaja digunakan sesuai dengan penggambaran istilah anak muda sekarang yang seolah-olah tidak peduli, padahal sesungguhnya mereka peduli pada isu-isu sosial. Bisa dicek hashtag #zerofucksgiven yang ramai di medsos," ungkap Emmanuel Marre.



" Selain itu, judul yang provokatif ini makin menguatkan pesan dari filmnya yang menyasar penonton muda berusia antara 20 sampai 30an," tambahJulie Lecoustre.

Saturday, November 4, 2023

TEROBOSAN TERBARU CINEPOLIS INDNESIA LEWAT PROGRAM CLUB CINEPOLIS





Cinépolis Cinemas sebagai salah satu jaringan bioskop global terbesar di dunia. tidak henti melakukan inovasi dan pembaruan demi memanjakan para penggunanya. Cinepolis Cinemas Indonesia memahami pentingnya pengalaman menonton film bagi para movie-goers dengan melakukan evolusi pembaruan tampilan dan fitur website dan aplikasinya guna meningkatkan user experience pecinta film di tanah air.


Dalam versi terbarunya, aplikasi dan website Cinépolis Cinemas Indonesia menghadirkan fitur yang lebih lengkap, responsif, dan mengutamakan kenyamanan dalam menggunakan aplikasi Cinépolis dimana saja dan kapan saja hanya dalam satu genggaman. Tidak hanya itu, dalam aplikasinya juga didukung oleh layanan pembayaran digital seperti E-Wallet, Banking, Kartu Kredit dan Kartu Debit, untuk mempermudah transaksi bagi para pelanggannya.


Bersamaan dengan itu, Ciné polis Cinemas juga menghadirkan Club Cinépolis pada aplikasinya, yaitu Loyalty Program eksklusif untuk mendukung gaya hidup seluruh pengunjung setia Cinépolis di Indonesia. Club Cinépolis memberikan banyak keuntungan bagi penggunanya dengan menghadirkan 3 jenis membership: Silver, Gold, Platinum yang menawarkan berbagai keuntungan mulai dari bonus poin, tiket nonton gratis, popcorn gratis, hadiah ulang tahun, dan berbagai penawaran istimewa khusus bagi seluruh member Club Cinépolis.

Setiap pelanggan akan langsung mendapatkan bonus poin setiap melakukan transaksi pembelian tiket dan makanan di aplikasi Cinepolis Indonesia. Poin akan otomatis masuk ke Club Cinépolis dan dapat ditukarkan dengan berbagai penawaran menarik dari Cinépolis Cinemas. Dalam peluncuran Club Cinépolis, manajemen Cinépolis Cinemas Indonesia telah memastikan teknologi yang diterapkan telah didukung dengan sistem dan infrastruktur yang terbaik untuk melayani jutaan pelanggan Cinépolis Cinemas di seluruh Indonesia. Club Cinépolis akan resmi hadir di Indonesia mulai 3 November 2023.


Pada peluncuran Club Cinépolis, Pablo Billard, CEO Cinépolis Cinemas Indonesia menjelaskan “Dengan adanya pengembangan fitur-fitur baru website dan aplikasi ini, maka ini merupakan wujud nyata komitmen Cinépolis Cinemas dalam merangkul teknologi digital guna memenuhi kebutuhan pasar saat ini, terutama untuk milenial dan Gen-Z yang serba menuntut kepraktisan dan kecepatan dalam bertransaksi”.


Untuk mendaftar menjadi member Club Cinépolis dapat dilakukan dengan mengunduh Aplikasi Cinépolis Indonesia App Store dan Google Play, atau dapat klik melalui link https://onelink.to/jy5ebg

REVIEW: BUDI PEKERTI


Tentang Sebab dan akibat yang digarap dengan cermat. Setelah "Penyalin Cahaya", Wregas kembali menempatkan tokoh utama yang ditekan oleh situasi beserta konsekuensi yang dialaminya dalam feature film terbarunya ini. Perbedaannya dengan film sebelumnya, kali ini "dunia" yang collapse bukan hanya dunia-nya sang tokoh utama saja tapi juga berdampak ke lingkungan sekitarnya. Scopenya juga lebih luas dari "Penyalin Cahaya" yang lebih banyak berkutat di lingkungan kampus.



Bu Prani seorang guru yang "terjebak" dalam situasi yang tidak mengenakkan adalah juga "akibat" tidak langsung dari situasi kondisi keluarganya. Namun meski begitu, film tidak pernah menekankan status keluarga tersebut menjadi pemicu situasi-situasi yang muncul. Konflik yang muncul disini bersifat domino dan bisa terjadi kepada siapa saja yang sedang apes karena cepatnya persebaran informasi di zaman digital ini.


Sebab-akibat yang terjadi adalah situasi yang tak terelakkan. Wregas mencoba memberi tekanan pada sosok yang biasanya mencontohkan nilai Budi Pekerti, namun kali ini ia yang menerima konsekuensinya akibat "lalai" menerapkan nilai budi pekerti tersebut. Sebuah kondisi yang manusiawi sebetulnya.  Beberapa aspek teknis yang MinGil sorot disini yakni salah satunya di departemen audio, dimana sering ada dialog yang overlapping antar karakter padahal ada yang sedang outframe. Entah itu disengaja atau tidak. Juga tentunya sinematografi dan directing. Kudos untuk Wregas dan Gunnar Nimpuno. Banyak banget shot yang ikonik disini, contohnya adegan blocking kelompok senam di Tebing Breksi dan adegan gantian duduk saat antri vaksin.



Adegan simbolis khas a la Wregas juga masih diselipkan, namun kali ini masih ada esensinya ke konflik utama ( adegan "healing" di kolam & adegan long take kedipan warna lampu ke wajah Bu Prani saat setelah rekaman video ). Lewat BUDI PEKERTI Wregas menampilkan sketsa situasi yang miris tapi sekaligus juga dekat dan up-to-date dengan realita. Ditambah lagi fenomena cancel culture yang masih masif dan bergerak bagai bola es yang liar. Sebuah karya film yang menggugah.


Overall: 8,5 / 10